Tinta Media: Mafia
Tampilkan postingan dengan label Mafia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mafia. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 17 Juni 2023

Mafia Minyakita Berulah, Bikin Pedagang Gundah

Tinta Media - Kelangkaan minyak goreng kembali terjadi, khususnya minyak goreng bersubsidi merek Minyakita. Hal ini terjadi akibat ulah para mafia yang tidak bertanggung jawab. Mereka menjual Minyakita seharga Rp16.000 perliter di pasar tradisional Jakarta. Harga tersebut berada di atas harga eceran tertinggi yang ditetapkan Kementerian Perdagangan senilai Rp14.000 perliter.

Selain mahal, Minyakita dijual dengan bersyarat atau bundling. Artinya, pedagang yang ingin membeli Minyakita dari distributor harus membeli produk lainnya juga. Tidak hanya itu, pembelian dari distributor ini pun jumlahnya dibatasi.

Salah satu pedagang sembako Via Amalia mengatakan, Minyakita dalam seminggu hanya bisa tersedia dua dus, satu dus berisi 12 Minyakita. 

"Makanya saya beli Minyakita dari tangan ketiga, jadi harganya lebih mahal," ujar Via kepada data.co.id, di pasar tradisional Pondok Labu, Jakarta, Rabu (31/5/2023).

Via membeli Minyakita dari pihak ketiga dengan harga Rp15.000 perliter, kemudian dia menjual ke kunsumen Rp16.000 perliter. Selisih harga Minyakita dari tangan ketiga dibandingkan langsung dari distributor  Rp10.000 perdus. Oleh sebab itu, ia tidak bisa menjual sesuai ketetapan pemerintah yaitu Rp14.000 perliter.

Kondisi saat ini jelas memberatkan pedagang dan kunsumen, apalagi di tengah kondisi masyarakat yang serba sulit seperti saat ini. Klaim pemerintah yang menjadikan Minyakita sebagai solusi mahalnya minyak bagi rakyat kecil teryata kurang berhasil.  Buktinya, Minyakita masih mahal dan ada syarat yang harus dipenuhi ketika kita membelinya. Jadi, tak ada bedanya dengan merek minyak goreng lain yang tak bersubsidi.

Ekonomi ala Kapitalis

Kegagalan ini menunjukkan adanya kesalahan regulasi distribusi dan lemahnya kontrol pemerintah atas jalannya rantai distribusi minyak goreng. Harapannya, dengan adanya subsidi, Minyakita bisa dijangkau oleh masyarakat kelas bawah. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, Minyakita melambung dengan harga eceran tertinggi. 

Kondisi ini wajar terjadi karena masyarakat diatur oleh sistem ekonomi kapitalisme yang berorentasi pada materi. Sistem inilah yang menjadi penguasa sesungguhnya dalam sebuah negara, sedangkan negara sendiri dibuat hanya sebagai regulator kebijakan yang tidak mempunyai power di hadapan para kapitalis tersebut.

Para pakar menyatakan bahwa kisruh minyak goreng ini dipicu karena adanya penimbunan oleh mafia minyak goreng. Hal tersebut juga diakui oleh Muhammad Lutfi yang pada saat itu masih menjabat sebagai Kemendag. Dia mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa mengontrol mafia minyak goreng dan harus menyerahkan pada harga pasar. Karena itu, pada pasokan yang langka dan tingginya harga saat ini disebabkan karena buruknya tata kelola minyak goreng.

Sistem Ekonomi Islam Solusi Tuntas

Dalam Islam, negara mengatur agar distribusi minyak goreng sebagai bahan pangan mudah diakses oleh rakyat. Aturan ini dapat dipahami oleh syariat Islam yang mengatur mekanisme pasar dan nonpasar. Dari segi nonpasar negara wajib menyediakan bahan untuk minyak goreng. Khilafah akan memberi perhatian terhadap petani sawit melalui biro pertanian dari kemaslahatan umat dan biro subsidi dari Baitul Mal.

Dari segi pasar, negara wajib mengawasi jalannya pasar agar sesuai dengan syariat.  Dalam distribusi, khilafah wajib menghilangkan semua hal yang mengacaukan pasar, seperti penimbunan, intervensi harga oleh para kartel, monopoli, dll. Semua tindakan tersebut menyebabkan kelangkaan barang dan gejolak harga. Dalam situasi seperti itu, khilafah akan memberikan sanki ta'jir bagi siapa pun yang mengacaukan mekanisme pasar dan memerintahkan mereka untuk mengeluarkan barang-barang yang ditimbun. 

Abu Umamah Al-Baihaqi berkata 

"Rasulullah melarang penimbunan makanan." (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi).

Di samping itu, khilafah juga akan memenuhi supply dan demand pasar. 

Demikianlah gambaran sistem Islam yang mampu mengatasi masalah kelangkaan barang di pasar. Kondisi seperti itu bisa terwujud hanya dengan penerapan Islam kaffah. Wallahu a'lam bishshawab.

Oleh: Lilie Herny
Aktivis Muslimah

Sabtu, 31 Desember 2022

Jerat Mafia Perdagangan Manusia di Tengah Sempitnya Lapangan Kerja

Tinta Media - Tidak ada seorang pun yang ingin hidup sendiri jauh di negara orang,  meninggalkan keluarga yang dikasihi, dan bekerja diliputi rasa tidak aman dan ketakutan, demikian juga para imigran ilegal. Tapi apalah daya, kegagalan negara dalam menyejahterakan rakyatnya dan tak mampu menciptakan lapangan pekerjaan, menjadi pemicu utama munculnya banyak TKI ilegal,  bahkan terjebak ke dalam sindikat penyaluran tenaga kerja internasional atau perdagangan manusia. 

Meskipun pemerintah telah menghimbau agar masyarakat tidak tergiur gaji besar dan proses praktis, dan diharuskan melalui jalur yang resmi (legal) dan disertai upaya pengagalan dan ancaman untuk para sindikat perdagangan manusia, namun pada faktanya, hal ini tidak menyurutkan langkah para pencari kerja, untuk mencari sesuatu nasi. Karena selain jalur resmi membutuhkan modal besar, perhitungan lamanya penantian di penampungan, serta syarat yang berbelit-belit membuat banyak calon TKI memilih jalur tidak resmi, karena itu membuat beban tersendiri bagi mereka sementara kebutuhan hidup, terus menuntut untuk dipenuhi.

Dengan pemikiran selain dengan modal keberangkatan bisa segera di kembalikan, setelah berkerja, mereka juga bisa memenuhi kebutuhan keluarga secepatnya, meskipun setiba di negara orang, mereka harus bekerja sebagai buruh kasar dan bekerja di sektor yang bahkan rentan terhadap perbudakan. Mereka dieksplotasi baik secara sukarela maupun terpaksa.

Ironisnya di balik kesulitan hidup yang mereka hadapi, ada saja yang mengambil kesempatan dengan memanfaatkan demi meraup keuntungan, dengan penawaran proses lebih mudah dan cepat. Para sindikat ini tidak berkerja sendiri, mereka memiliki anggota yang bekerja mengurus transportasi TKI ilegal, menampung, dan menyalurkan ke agen tenaga kerja Malaysia. Mereka juga berkaloborasi dengan oknum besar, yang memiliki jabatan strategis dalam bisnis ini seperti petugas imigrasi, bandara atau pelabuhan. Sehingga penyaluran TKI ilegal  terus berlangsung aman, karena sangat terorganisir dan sistematis.

Di dalam sistem kapitalisme yang berorientasi pada materi, para kapitalis memandang manusia sebagai komoditas untuk dijual dan tenaga kerja untuk diperas keringatnya demi profit.Terlebih lemahnya pemerintah dalam melindungi rakyat, kurang atau bahkan tidak ada sama sekali.
Sebab negara yang berbasis kapitalis, akan  lebih pro kepada para pemilik modal atau investor, dibanding  mengurus rakyatnya, Bahkan tidak jarang masuknya investasi asing hampir sering diiringi tenaga kerja kerja dari negara asal investor, sebagai bagian dari persyaratan investasi dengan pertimbangan untuk mengawal  dana yang di investasikannya. (Nugraha Pranadita dkk, 2020). Hal ini tentu saja jelas kian membuat semakin sempitnya lapangan pekerjaan di dalam negeri. 

Mencermati secara lebih mendalam berbagai persoalan TKI ilegal ini, maka jelas masalah tersebut berpangkal dari persoalan kesejahteraan hidup. Tentang pemenuhan kebutuhan pokok dan akar penyebab utama adalah kelangkaan lapangan kerja yang menyebabkan sebagian anggota masyarakat menganggur. Dan terpaksa mengambil opsi bekerja di luar negeri. Oleh karena itu, solusi dari permasalahan ini tidaklah cukup hanya himbauan, ancaman atau upaya penggagalan penyelundupan. Terlebih jika aktor utama adalah oknum orang dalam, sehingga butuh langkah konkret dan fundamental untuk menyelesaikannya.

Di dalam islam, negara adalah pengurus rakyat, dan wajib memenuhi hak dan kebutuhan hidup rakyatnya. Negara wajib menyediakan kebutuhan dasar lainnya, yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan secara cuma-cuma kepada seluruh rakyatnya tanpa memandang suku, agama, ras, dan wilayah tinggal mereka. Negara juga harus menyediakan berbagai fasilitas yang memadai dan lapangan kerja, sehingga  setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan.

"Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya" (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, negara wajib mengelola sumber daya alamnya secara mandiri, untuk kesejahteraan rakyat, terlebih sumber daya manusia di Indonesia sangat melimpah. Namun sayang seribu sayang, sumber daya alamnya tidak dikelola dengan baik, bahkan diserahkan kepada asing untuk dikelola dan tentu saja lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan potensi tenaga kerja yang ada.  

Kebijakan pemerintah di dalam negara Islam juga akan menghindari liberalisasi investasi dan perdagangan yang memberikan mudhorot bagi negara dan rakyat, termasuk pada pekerja. 

Sebagai contoh, liberalisasi impor pangan yang merugikan petani domestik dan mengancam kedaulatan pangan negara, saat kebutuhan pangan bergantung pada pangan yang diimpor dari negara-negara kafir, merupakan aktivitas yang masuk dalam kategori berbahaya yang tidak boleh dilakukan oleh negara Islam. Pasalnya, investasi asing di negara-negara muslim saat ini telah menyebabkan pihak asing dapat bebas menjarah dan menguasai kekayaan negara-negara Muslim, dan menjadikan negara semakin bergantung pada utang ribawi.

Dengan demikian, kebijakan investasi dan perdagangan di dalam Islam akan mendukung terciptanya lapangan pekerjaan, yang luas dan mendorong peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat sesuai dengan koridor syariah Islam. 

Selain itu konomi Islam memandang bahwa kesejahteraan bukan semata-mata hanya permasalahan distribusi ekonomi secara materi, tetapi juga menyangkut unsur non materi dan dibidang yang lainnya. Oleh karenanya kesejahteraan dalam bidang ekonomi akan dapat ditegakkan bersamaan pula dengan tegaknya kesejahteraan dalam di bidang lainnya yang berfungsi menopang dan saling menguatkan.


Demikian juga pejabatnya wajib memiliki  ketakwaan yang tinggi, bersih, jauh dari syubhat, apalagi memakan harta haram. Selain itu, mereka sangat menjaga pergaulan, tutur kata dan tindakan mereka. Karena dalam negara Islam, ada tiga pilar tegaknya hukum Islam, yakni ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan peran negara, ketiganya berjalan sinergis. 

Oleh karena itu, untuk menyelesaikan permasalahan TKI ilegal / human trafficking  tidak ada jalan lain, maka kita harus mencabut kapitalisme sampai keakar-akarnya dan menggantinya dengan sistem Islam yang berasal dari wahyu Allah SWT sehingga negara mampu menangani masalah kemanusiaan yang menyangkut ketenagakerjaan dengan menyediakan peluang kerja lebih banyak di dalam negeri.

Wallahu'alam bissawab

Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang

Senin, 03 Oktober 2022

PARA BEDEBAH MAFIA HUKUM

Tinta Media - Sungguh miris. Para penegak hukum terkena OTT KPK karena terlibat suap menyuap untuk pengkondisian kasus. Gak tanggung-tanggung. Yang terlibat ada Hakim Agung, Panitera Pengganti Mahkamah Agung, PNS di MA dan sejumlah pengacara.

Sekali lagi sangat miris. Mereka layak di sebut sebagai para "bedebah". Sebab sangat sulit diterima oleh akal. Yang ada justru sangat brutal. Mereka-mereka yang seharusnya memberi keadilan hukum atas perkara yang melibatkan rakyat malah menjadi mafia.

Mereka justru mempermainkan hukum. Hukum dikondisikan sesuai dengan keinginan yang punya uang. Sepertinya keadilan hukum dan persamaan di depan hukum itu omong kosong. Manis di mulut tapi nol dalam implementasinya. 

Kasus di atas jadi tabir pembuka bahwa hukum buta, hukum itu sesuai keinginan yang punya uang dan adanya mafia hukum itu nyata. Tidak bisa terbantahkan lagi. Tidak bisa berkelit lagi. Fakta begitu jelas lagi kasat mata.

Bisa dibayangkan, para penegak hukum justru yang menjadi mafianya. Hancur leburlah hukum ini. Belum lagi kondisi carut marut yang ada semakin runyam ketika dikaitkan dengan kasus Sambo. Dia begitu piawai merekayasa kasus. Ngeri sekali.

Dari Sambo bisa dimengerti jika hukum bisa direkayasa sesuai kepentingan kekuasaan atau yang punya uang. Rakyat pasti akan selalu jadi korban.

Jika dilihat rangkaian persitiwa yang ada, dari kasus Sambo dan OTT KPK ini akan tersibak kengerian penegakkan hukum di negeri ini. 3 pilar penegak hukum; kepolisian, hakim dan pengacara ternyata ada para "bedebahnya." Apakah ini oknum? Kalau lihat kasus Sambo dan OTT KPK ini nampak ini ada mafia dan jaringannya. Terbukti banyaknya orang yang terlibat. Jelas, bukan oknum. Bisa jadi sudah menjadi budaya.

Jangan berharap hukum akan tegak lurus dan berkeadilan jika masih bercokol para bedebah tersebut. Harus di sikat habis sampai keakar-akarnya.

Ini buah dari sekulerisasi. Para penegak hukum "diharamkan" untuk beriman dan bertaqwa. Diksi itu hanya ada dalam kalimat ceramah dan sambutan saja. Nol besar dalam pelaksanaan. Buktinya para penegak hukum gak takut lagi sama surga dan neraka. Apalagi dosa. Mereka tahu, tapi gak peduli. Inilah racun sekulerisasi. Allah SWT sebagai Sang Pencipta dianggap "ada" ketika di Masjid saja. Di luar itu di anggap hilang. Gak memantau apalagi hadir. Sekuler kaffah.

Wajar, jika mereka alergi pada syariat Islam. Pahamnya bertentangan dengan sekuler kaffah. Syariat Islam mewajibkan selalu ingat kepada Allah SWT dengan bukti selalu terikat dengan syariatnya. Sekuler justru "mengharamkan" untuk ingat kepada Allah SWT. Apalagi terikat dengan syariatNya. Haram total.

Yakinlah, hukum akan senantiasa buta dan tidak berkeadilan jika para penegakknya sekuler kaffah. Negara ini juga menerapkan hukum sekuler. Keadilan dalam hukum akan mudah terwujud jika para penegak hukumnya iman dan taqwa. Negaranya menerapkan syariat Islam sebagai bukti iman dan taqwanya.

Ini bukan terori, tapi sudah terbukti selama 14 abad dalam empirium Khilafah. Keadilan hukum buat semua kalangan rakyat dan agama terbukti terjamin. Sejarahpun mencatat dalam tinta emas. Tidak ada yang meragukan.[]

Gus Uwik 
Peneliti Pusat Kajian Peradaban Islam 


Jumat, 02 September 2022

Kapitalisme Mendorong Pejabat Membangun Mafia Kejahatan

Tinta Media - Banyak pejabat memiliki kekayaan fantastis dalam sistem kapitalis. Kekayaan negeri yang harusnya dinikmati oleh seluruh rakyat, faktanya hanya dikuasai segelintir orang saja. Kekayaan melimpah yang dimiliki selama menjabat diperoleh dengan cara yang tidak wajar. Jika dilogika, tidaklah mungkin seseorang memiliki kekayaan ratusan milyar hanya dengan gaji saja.

Jumlah kekayaan yang tidak wajar harusnya dipertanyakan dan wajib dijawab secara terbuka sebagai bentuk pertanggungjawaban seorang pejabat yang memiliki jabatan publik. Ini terkait dengan asal-muasal harta, apakah diperoleh dengan cara halal ataukah dengan menyalahgunakan jabatan. Jika tidak mampu menjawab sumber kejayaan yang tidak wajar tersebut, negara wajib menyita semua kekayaan dari sumber yang tidak wajar. 

Jika semua itu bisa dilakukan, negara tidak perlu lagi berh
utang. Dari satu orang pejabat saja bisa terkumpul jumlah kekayaan fantastis, apalagi jika ratusan pejabat yang memiliki kekayaan tidak wajar. 

Hal itu pernah dilakukan oleh Umar pada saat beliau diangkat menjadi khalifah. Belum lama menjabat, Umar menginspeksi kekayaan pejabat negara dan menyita harta yang didapat bukan dari gaji yang semestinya. Harta sitaan dikumpulkan di Baitul Mal untuk digunakan bagi kepentingan rakyat. (https://m-republika-co-id.)

Jika kita menginginkan hal tersebut terjadi di negeri ini, maka dibutuhkan seorang pemimpin yang tegas, cerdas, dan punya integritas yang berpihak pada rakyat, bukan oligarki, agar negeri ini bisa keluar dari berbagai masalah ekonomi yang membelit.

Negeri yang kita cintai ini bisa keluar dari jeratan utang riba jika para pejabat amanah, tidak korup, tidak menggarong uang rakyat. 

Namun, semua itu mustahil bisa diwujudkan jika kita masih menerapkan sistem kapitalis sekuler. Sekularisme adalah biang masalah, yang menghalangi adanya solusi tuntas untuk semua masalah. Seperti yang terjadi saat ini, dosa besar seperti riba dihalalkan, bahkan menjadi pilar perekonomian negara. Sebaliknya, kewajiban menutup aurat dihalang-halangi, bahkan dianggap pemaksaan yang melanggar HAM. Virus sekularisme ingin menghilangkan agama dari kehidupan umat. 

Kapitalisme menciptakan pejabat yang korup dan pemimpin yang rakus dan serakah. Manusia bersikap kerdil dan kering dari nilai-nilai agama sehingga membawa kerusakan di muka bumi. 

Sistem kapitalis hanya ingin melanggengkan kekuasaan, agar bisa membangun dinasti yang terus bisa berkuasa, meskipun harus mengorbankan rakyat yang dipimpinnya. 

Kapitalisme telah mendorong banyak pejabat memperkaya diri sendiri. Jabatan dianggap kesempatan untuk korupsi dan membangun kerajaan dengan bisnis haram, tanpa bisa terjerat hukum. Mereka merasa paham, banyak celah hukum dalam sistem demokrasi yang bisa dimainkan oleh pemegang kekuasaan. Akan tetapi, mereka lupa bahwa ada yang lebih berkuasa. Dialah Tuhan Yang Mahakuasa, yang bisa begitu mudahnya mencabut kekekuasan dari siapa saja yang Dia kehendaki dan menggunakan siapa saja yang Dia kehendaki.

Kasus Ferdi Sambo harusnya menjadi pelajaran bagi kita dan berpikir ulang, untuk apa jabatan tinggi dan harta melimpah jika harus berakhir dengan kehinaan, hidup sengsara di dunia dalam kesesatan yang nyata. Itu baru azab pedih yang diterima di dunia, belum azab di akhirat yang tentunya lebih berat. Sementara, hukuman yang menimpa di dunia tidak bisa menghapus azab berat yang akan diterima kelak nanti di akhirat nanti.  

Sangat rugi, karena milyaran kekayaan tidak bisa dinikmati, hanya disimpan dan menjadi kebanggaan. Mereka menyimpan kebusukan, sehingga tidak bisa berjalan pada jalan yang lurus sesuai dengan tujuan hidup yang benar. Mereka hidup resah dan gelisah karena telah menyimpan kebusukan dan dosa besar dari bisnis haram. 

Meskipun jabatan tinggi sudah diraih, dan limpahan kekayaan bisa memenuhi keinginan hati,  kebahagiaan hakiki tidak bisa dirasakan karena sudah menyimpang dari tujuan hidup yang benar. Orang seperti itu akan berakhir dengan kehinaan karena menolak diatur dengan syariat Allah. 

Menghilangkan Tuhan dari hati, akan membuat seseorang jauh dari cahaya dan petunjuk-Nya. Segala cara dilakukan untuk meraih apa yang diinginkan, meskipun haram. Seorang pejabat tidak hanya melakukan kesalahan sendiri, bahkan tidak disadari mendorong yang lain melakukan kesalahan yang sama. Tidak disadari bahwa dia sudah menciptakan jejak-jejak keburukan yang diikuti oleh orang lain. Ini adalah ujian berat bagi pejabat dalam sistem kapitalisme, kerena mereka tidak hanya menanggung dosa atas kesalahannya, tetapi juga membuat orang lain terjerat dalam kesalahan tersebut.

Memang sulit, menumbuhkan kebaikan dalam sistem sekuler, seperti halnya tanaman yang sulit untuk tumbuh dalam tanah tandus. 

Dari sini jelas, berbagai masalah sulit diatasi karena kita menolak penerapan aturan dari al-Khalik.
Kita berharap pintu berkah langit dan bumi terbuka lebar untuk penduduk suatu negeri yang beriman dan bertakwa, tetapi tidak menerapkan Islam secara kaffah dalam kehidupan nyata. 

Karena itu, kita harus kembali pada sistem yang sempurna dan paripurna tersebut, agar bibit kebaikan yang tersebar bisa tumbuh subur, keburukan dan kejahatan akan terkikis habis. Ini  karena hukum yang diberlakukan sangat tegas dan keras sehingga memberi efek jera bagi pelaku kejahatan. Hukum juga menjadi penghapus dosa bagi mereka yang bertaubat dan menyadari kesalahan.

Sungguh sistem Islam akan membangun kehidupan ideal yang membawa keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang. 

Sistem Islam akan melahirkan pemimpin yang beriman dan bertakwa, yang terjaga dari keinginan untuk menyalahgunakan jabatan demi memperkaya diri sendiri. Mereka peduli dan ikhlas mengurusi urusan rakyat. Itulah hakekat politik dalam sistem Islam. Sementara, rakyat peduli dengan ikut mengoreksi pemimpin yang melanggar aturan dan menyimpang dari jalan yang lurus. Inilah bukti cinta mereka pada pemimpin.

Tidakkah kita yakin bahwa Islam diturunkan oleh Pencipta manusia untuk memperbaiki kondisi yang rusak? Allah Swt. Mahasempurna dan Maha Mengetahui aturan terbaik bagi manusia, yang menjadi solusi fundamental untuk seluruh masalah kehidupan. Impitan utang akan segera terselesaikan jika kita mau kembali pada aturan yang benar. Kezaliman dan kemaksiatan tidak lagi punya tempat dan akan hancur karena para pejabat dan penduduknya amanah, beriman, dan bertakwa. Pertolongan Allah akan segera datang dan kita sambut kemenangan serta kejayaan Islam dengan bacaan tasbih dan tahmid untuk mensucikan dan memuji nama-Nya. Sungguh kehidupan islami adalah gambaran kehidupan ideal bagi seluruh umat manusia.

Oleh: Mochamad Efendi
Sahabat Tinta Media 

Jumat, 19 Agustus 2022

MAFIA HUKUM


Tinta Media - Seluruh kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dengan yang namanya hukum, persoalan apapun dapat memiliki implikasi hukum, bisnis yang besar jika ada persoalan hukum akan berantakan hingga berakibat bangkrut, mengendalikan bisnis besar milik seseorang atau perusahaan cukup gunakan pendekatan hukum, mengendalikan organisasi atau membubarkan cukup dengan menggunakan pendekatan hukum, termasuk seseorang atau perusahaan yang terlilit hutang untuk bebas dari jeratan hutang tersebut juga menggunakan pendekatan hukum dan menjalankan Pemerintahan juga menggunakan pendekatan hukum (pro konstitusional dan pro justicia). 
 
Mafia hukum terbagi mafia peradilan, perselingkuhan hukum dengan kekuasaan dan perselingkuhan hukum dengan oligarki. Sedangkan mafia hukum adalah perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif dan terstruktur yang dilakukan oleh aktor tertentu. 
 
Lantas bagaimana dengan mafia peradilan? Dalam sebuah kasus memiliki 2 (dua) dimensi yang berbeda, tergantung dimensi mana yang akan dimainkan. Misalnya seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana suap, maka terdapat dua dimensi yaitu menyuap dan pemerasan. Agar dimensi tersebut masuk dalam logika hukum maka tentu akan dibuat bukti-bukti yang dapat mendukung dimensi tersebut. Mafia hukum akan melakukan kebohongan dalam hal alur cerita atau kronologi fakta dan peristiwa, kebohongan rekonstruksi, bukti surat dan keterangan palsu, menyusun cerita untuk membuat TKP (tempat kejadian perkara) sedemikian rupa, termasuk perusakan TKP. 
 
Sedangkan perselingkuhan hukum dengan kekuasaan yaitu hukum dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Hukum selalu mengiringi perjalanan kekuasaaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan " pintu masuk" untuk mengintervensi hukum. inilah hakikat dari pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Uneversitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19. Dengan adagium-nya yang terkenal ia menyatakan : *_"power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut)."_* 
 
Kenapa kekuasaan menggunakan hukum? Agar kebijakan dan tindakan nya menjadi legal, dan tidak disebut melanggar hukum. Mengendalikan dan mengambil hak-hak sipil agar terlihat legal maka menggunakan instrumen hukum seperti pada kasus pembubaran ormas atau termasuk RKUHP dinilai banyak elemen terdapat indikasi mengancam kebebasan sipil. Begitu juga jika akan mengambil uang Negara agar terlihat legal maka dapat menggunakan instrumen hukum.  
 
Sedangkan perselingkuhan hukum dengan oligarki yaitu problema terbesar adalah support korporasi pada keterpilihan pemegang kekuasaan dan support tersebut berkonsekuensi pada ketergantungan. Ini adalah benih korporatokrasi yang telah menggeser hukum yang melahirkan oligarkhi. 
 
Demikian

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH PELITA UMAT & Mahasiswa Program Doktor/S3

Senin, 28 Maret 2022

Kasus Minyak Goreng, Dr. Arim Nasim: Bukan Negara Kalah Sama Mafia, Tapi Negara Itulah Mafianya

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1jdCt3rP0IaVuKqTqLx1LXb3H0oC5DeMJ

Tinta Media - Melihat kasus krisis minyak goreng serta ramainya narasi negara kalah dengan mafia minyak goreng, Pengamat Ekonomi Dr. Arim Nasim, SE., M.Si., Ak., CA. mengatakan, negaralah yang telah menjadi mafia.

“Sangat kentara sekali, peran penguasa dengan pengusaha sudah menyatu. Kalau saya, bahasanya bukan negara kalah sama mafia. Justru saya melihat negara itu, penguasa itulah sekarang mafianya,” tuturnya dalam ILF edisi 41 : Negara Kalah Sama Mafia? Jumat (25/3/2022) di kanal YouTube LBH Pelita Umat.

Menurutnya, negara tidak lagi memposisikan sebagai penguasa yang mengurus rakyat tapi justru memposisikan sebagai mafia yang sebenarnya. Ia pun menunjukan pernyataan Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi yang sama sekali tidak menunjukkan sikap selayaknya seorang pejabat.

“Coba kita lihat pernyataan Menteri Perdagangan, kan lucu. Pernyataan seorang pejabat kok seperti itu. Dia katakan, lebih baik murah tapi langka atau lebih baik mahal tapi stok banyak? Itu kan bukan pernyataan pejabat. Itu kan pernyataan seorang pengusaha. Pernyataan seorang mafia, menurut saya. Kenapa? Karena disitu dia mengatakan mahal tidak apa-apa yang penting stoknya ada,” ungkapnya.

Dari pernyataan Mendag tersebut, ia mempertanyakan fungsi pemerintah dalam bidang ekonomi. “Lalu pertanyaannya, fungsi pemerintah dimana? Seharusnya justru Menteri Perdagangan dalam konteks regulasi ekonomi harus bisa mengatur agar harga itu terjangkau oleh rakyat dan barangnya ada. Karena percuma, barang melimpah tapi rakyat tidak bisa membeli,” tegasnya.

Dosen Akuntansi Syariah dan Ekonomi Syariah tersebut kemudian menjelaskan kenapa penguasa berperilaku seperti itu. “Saya melihatnya bukan lagi negara kalah oleh mafia. Justru negaranya itu sekarang menjadi mafia. Mereka menjadi alat untuk kepentingan para kapitalis dalam rangka mengeksploitasi sumber daya ekonomi untuk kepentingan mereka dan kepentingan kelompok-kelompok mereka,” jelasnya.

Menurutnya, peran mafia dalam kasus minyak goreng sangat kentara. “Poin yang mendasar dalam perspektif ekonomi, hari ini kita melihat mafia, monopoli dan oligarki betul-betul mengendalikan. Saya kira sangat nyata dalam kasus minyak goreng ini. Sangat transparan dan sangat nampak,” katanya.

Dilihat dari regulasi yang dilahirkan, Dr. Arim Nasim kurang sepakat jika dikatakan negara kalah sama mafia. Kebijakan yang muncul, menurutnya, justru menunjukkan sikap negara sebagai mafia sebenarnya.

“Kalau dikatakan negara kalah sama mafia saya kurang sepakat. Justru saya melihat dalam kasus minyak goreng ini, negaranya mafia itu sendiri. Karena kebijakan-kebijakan tadi, kalau kita lihat tidak mencerminkan sikap negara. Sikap pemerintah seharusnya memberikan perlindungan terhadap rakyat (serta) mengatur urusan rakyat,” imbuhnya.

Mirisnya, pemerintah saat ini, menurutnya, justru memberikan pintu yang selebar-lebarnya agar terjadi eksploitasi dan monopoli terhadap penguasaan minyak goreng. Akhirnya, mereka menentukan harga minyak goreng seenaknya dengan mencari keuntungan sebesar-besarnya.

“Bayangkan, naiknya bukan sepuluh persen atau dua puluh persen. Naiknya itu mencapai seratus persen harga minyak goreng,” pungkasnya. [] Ikhty

Kisruh Minyak Goreng, Pamong Institute: Negara Ditunggangi “Kuda Liar”

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1g-q1xDL8MJoXKpdi23xmXyQWql2UEJBx

Tinta Media - Kisruh minyak goreng yang terjadi di negeri ini dinilai oleh Direktur Pamong Institute Wahyudi Al Maroky karena negara ditunggangi “kuda liar”.

“Kalau kita lihat justru tidak sekedar berhadapan, bukan sekedar kalah  dengan mafia, tapi sudah ditunggangi ‘kuda liar,” tuturnya dalam acara Islamic Lawyers  Forum #41: Negara Kalah Sama Mafia? Kamis (24/3/2022) melalui channel Youtube LBH Pelita Umat.

Wahyudi menjelaskan kenapa kuda liar? Karena yang menunggangi  ini adalah sistem pemerintahan  hasil bentukan dari sebuah pesta demokrasi yang begitu mahal. Sistem kompromistis yang merupakan kolaborasi antara politisi dan para investor politik.

“Dalam konteks ini sistem demokrasi tidak memiliki rel yang harus dijalankan. Karena demokrasi meletakkan kedaulatan membuat hukum,  benar dan salah, bahkan mengubah di tengah jalan, diserahkan kepada tangan manusia dalam hal ini wakil rakyat ataupun para penguasa tadi,” terangnya.

Dengan realita seperti itu, lanjutnya, maka  begitu ada peluang  untuk ditunggangi atau saling menunggangi kapan pun bisa berbalik arah. “Ini yang saya gambarkan sebagai kuda liar,” tegasnya.

“Ketika negara dalam konteks ini pemerintahannya  dibentuk oleh sistem demokrasi yang begitu mahal,  kemudian mereka diberi kewenangan di luar batas kemampuan manusia.  Yaitu menentukan benar dan salah, menentukan baik dan buruk bahkan  boleh membuat hukum sendiri karena kedaulatan ada di tangan mereka, mengatasnamakan rakyat, ini bisa memutar balik kapan saja. Bahkan kesepakatan konstitusional  yang sudah disepakati pun  bisa mereka ubah. Nah ini menurut saya  yang menjadi problematika terbesar,” analisisnya.

Jadi, lanjut Wahyudi, dalam sistem seperti ini bukan sekedar negara kalah oleh  mafia  tapi negara sudah ditunggangi. Bahkan negara  bisa diputarbalikkan arah ke mana saja, sesuka mereka. Kapan mereka punya  kepentingan disitulah mereka akan mengeluarkan kebijakan dengan mengatasnamakan negara atau menunggangi negara. Negara tidak punya rel lagi.

“Celakanya hukum jadi tidak berfungsi efektif. Karena kalau pun hukum digunakan untuk para mafia atau oligarki hukum akan tumpul, baik dari segi prosesnya bisa lamban, panjang atau bahkan bisa mandeg,  tidak jelas lagi kapan bisa diselesaikan. Bahkan kalau itu berhadapan dengan para oligarki, tiba-tiba yang berhadapan itu dilaporkan balik. Kalau hukum itu mengganggu mereka, bisa diubah oleh mereka,” jelasnya.

Wahyudi menilai, ketika sebuah negara dibangun dengan tatanan demokrasi , kebijakannya akan sangat tergantung dengan kebijakan para oligarki atau para pemilik modal atau para mafia yang mengendalikan negara. “Bahasanya bukan negara kalah tapi negara ditunggangi mereka,” simpulnya.  

“Nah kalau  diharapkan negara harus hadir dalam konteks welfare state, ini sulit. Bagaimana negara mau hadir? Dia mau hadir tapi  dikendalikan,” tukasnya.

Wahyudi memberikan contoh ketidakmampuan negara  hadir dalam memenuhi kebutuhan minyak goreng adalah bukti negara sedang dikendalikan oleh para oligarki atau mafia.

“Padahal  negara itu  dibentuk untuk minimal  menjalankan tugas fungsi. Melindungi, mensejahterakan dan mencerdaskan rakyat,” tandasnya. 

Wahyudi menyimpulkan selama pemerintahan itu dibentuk melalui mekanisme demokrasi, akan sangat sulit bisa keluar dari cengkeraman para pengusaha, karena mahalnya biaya politik demokrasi.

“Dalam sistem demokrasi sulit untuk keluar dari tekanan mafia, nyaris tidak bisa,” tegasnya. [] Irianti Aminatun

Sabtu, 26 Maret 2022

Prof. Suteki : Jika Hak Atas Pangan Tak Terpenuhi, Terjadi Silent Genosida

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1IpUibU6Rdubh-_Z27pWuawMxJkNexneVMi

Tinta Media - Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menegaskan bahwa jika hak atas pangan tidak terpenuhi sebenarnya sedang terjadi silent genosida.

“Hak atas pangan itu menjadi hak asasi manusia. Apabila hak asasi manusia ini tidak dipenuhi maka boleh dikatakan sebenarnya sedang terjadi apa  yang disebut dengan silent  genosida,”  tuturnya dalam acara Islamic Lawyers  Forum #41: Negara Kalah Sama Mafia? Kamis (24/3/2022) di kanal Youtube LBH Pelita Umat.

Menurut Prof. Suteki, yang harus dipenuhi dari hak atas pangan itu adalah pertama, ketersediaannya, kedua aksesnya, ketiga penerimaannya, keempat kualitasnya.

“Untuk bisa memenuhi keempatnya ini, negara itu harus mengatur tata niaga pangan. Undang-undang pangan sudah ada, undang-undang perdagangan sudah ada. Kalau sudah diatur demikian mestinya negara itu kuat. Karena  negara bukan hanya  pengawas tapi juga mengatur sekaligus  menyelenggarakan, khususnya dalam  tata niaga pangan ini,” paparnya.

 Ia mengatakan, negeri ini yang menganut adagium  salus populi suprema lex  esto (keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi), kalau sudah atas nama rakyat begini, mestinya negara kuat. “Faktanya negara tidak berdaya menghadapi persoalan pangan ini, malah ada indikasi adanya mafia pangan. Menteri sendiri menyatakan bahwa pemerintah tidak kuasa mengalahkan mafia,” ujarnya.

“Sebenarnya  peraturan perundang-undangan pangan maupun perdagangan sudah mengatur bagaimana penyelenggaraan tata niaga pangan itu. Bahkan dalam undang-undang perdagangan itu jelas mafia dalam arti misalnya di situ ada penimbunan , permainan harga dan seterusnya  itu sudah diatur dalam undang-undang perdagangan  pasal 107 itu,” jelasnya.

Intinya, lanjut Prof. Suteki, barangsiapa yang melakukan penimbunan atau melakukan  mafia  bisa dihukum   penjara maupun denda . Denda dalam pasal  itu disebutkan,  pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling banyak lima puluh miliar. Dalam hal ini jika  menyimpan barang kebutuhan pokok dan atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang.

“Dan ini sudah terbukti kemarin kan bagaimana ada indikasi terjadi penimbunan barang (minyak goreng).  Kita enggak tahu siapa yang menimbun, nyatanya kan  sampai berton-ton. Ternyata setelah  kelangkaan itu kan ada partai politik yang kemudian menggelontorkan  bantuan dengan sekian ratus ribu ton,” bebernya.  

Menurut Prof. Suteki terbukti lagi  begitu HET (harga eceran tertinggi)  nya dicabut  tiba-tiba supermarket penuh dengan minyak goreng kemasan.  “Kalau sekarang silakan cari di supermarket. Supermaket mana  yang tidak ada minyak goreng. Cuma tadi harganya sudah dimainkan karena HET nya untuk  minyak dalam kemasan sudah  dicabut, diserahkan pada mekanisme pasar,” bebernya.

 “Kalau diserahkan pada mekanisme pasar otomatis itu terjadi hukum ekonomi pasar. Siapa yang punya, yang bisa menentukan harga semaunya . Apakah ini tidak bisa dikatakan sebagai mafia?” tanyanya.

Menurutnya, kalau  sesuai dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mestinya tidak diserahkan pada mekanisme pasar. Kita ini punya ideologi  Pancasila. Tapi sifat dari ideologi manusia itu kan adanya logika inkonsistensi.

 “Jadi mengatakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tapi kenyataannya yang terjadi adalah bukan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia tapi keadilan bagi segelintir orang, bagi para elit-elit politik. Dengan begitu praktek perokonomian kita sangat liberal,” tandasnya.

Prof. Suteki mempertanyakan peran Kementerian Perdagangan yang tidak mampu  mengatur tata niaga pangan khususnya minyak goreng.

“Saya kira memang  ini menjadi masalah terbesar bagi kita sekarang  ini. Ngatur minyak goreng saja enggak bisa, mosok mau mikir soal tiga periode, perpanjangan masa jabatan presiden,  mikir IKN dan seterusnya,” sesalnya.

Ia menyimpulkan bahwa mafia menang dibanding negara. Kekalahan negara oleh mafia ini jelas nampak ketika negara melepas harga sesuai pasar.

“Otomatis tidak lagi menjadi negara kesejahteraan (welfare state). Dan ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 45 alinea 4 serta pasal 33,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun

Rabu, 23 Maret 2022

Krisis Minyak Goreng, Prof. Suteki: Ada Dugaan Mafia dan Spekulan

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1mftlkshIN1gPGY8xHw4vNnuRc1PVA8Ok

Tinta Media - Munculnya mafia dan spekulan dalam perdagangan yang sifatnya liberal kapitalistik, khususnya minyak goreng diyakini oleh Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. benar adanya.

"Di dunia perdagangan yang sifatnya liberal kapitalistik macam ini, karena berorientasi pada supply and demand plus profit oriented, maka dugaan mafia dan juga spekulan itu, saya yakini ada benarnya. Khusus untuk minyak goreng, sebenarnya produksi kita ini kan cukup. Banyak analis ekonomi yang menyatakan produksi kita ini cukup. Bahkan, malah kita itu mestinya bisa mengekspor," tuturnya  pada segmen Tanya Profesor: Bahaya Mana Radikal atau Mafia Migor? Sabtu (19/3/2022) di Kanal Youtube Prof. Suteki.

Ia menilai ada masalah besar ketika produksi cukup, kemudian bisa mengeskpor, namun malah terjadi kekurangan. "Berarti disitu memang ada indikasi kuat terjadi namanya mafia dan juga spekulan," tegasnya.

Menurutnya, mafia dan spekulan inilah yang memainkan distribusi dan soal harganya, dengan menimbun untuk jangka waktu tertentu, sehingga terjadi kelangkaan. "Nah akhirnya, kan siapa lagi yang dirugikan? Ya, rakyat," imbuhnya.

Rakyat sulit untuk mendapatkannya, bahkan terjadi antrian dimana-mana yang akhirnya berujung pada kematian. "Ini kan, ironis sekali," sesalnya.

Ia juga menyesalkan sikap pemerintah yang tidak tegas terhadap para mafia, namun justru malah menghapus HET untuk minyak goreng dalam kemasan, serta menyerahkannya pada mekanisme pasar.

"Penimbunan bahan pangan oleh mafia itu kok tidak ditindak. Dengan cara apa? Mestinya kan dipaksa untuk menjual secara wajar. Tapi malah kemarin itu dengan Permendag Nomor 11 Tahun 2022 itu, pemerintah malah menghapus HET untuk minyak goreng dalam kemasan, serta menyerahkannya pada mekanisme pasar yang harganya bisa 2 kali, bahkan mungkin 3 kali lipat lebih," jelasnya.

"Nah, terbukti setelah HET dicabut, lalu harganya melambung, tetapi stoknya melimpah, Kan aneh ini? Stoknya melimpah, harganya tapi melangit," herannya.

Ia menilai negara ini kalah dan dikalahkan oleh mafia dan spekulan. Di Undang-Undang Perdagangan pasal 107 itu, disebutkan ada sanksi pidana untuk penimbun barang. Di pasal itu disebutkan pidana penjara 5 tahun, dan atau pidana denda paling banyak 5 milyar, jika menyimpan barang kebutuhan pokok dan atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu, pada saat terjadi kelangkaan barang.

"Cuma sayangnya, kan ini tidak ditegakkan, menurut saya kurang ditegakkan. Justru tadi, malah diberi kesempatan HET cabut. Wah, akhirnya bruuul, ternyata tidak ada kelangkaan, cuma yang terjadi adalah kemahalan harganya," pungkasnya.
[]'Aziimatul Azka
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab