AGUNG SEDAYU GROUP MELAKUKAN TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI (EIGENRICHTING): MENYEROBOT TANAH SK BUDIHARDJO & NURLELA
Tinta Media - Sidang lanjutan kasus kriminalisasi dan fitnah keji terhadap ketua Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) SK Budihardjo dan Nurlela, kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, pada Selasa (20/6). Agenda sidang kali ini mendengar keterangan ahli hukum pertanahan, pidana pertanahan, perdata dan tata usaha negara pertanahan, Dr Ir Tjahjo Arianto, SH M Hum.
Ahli dihadirkan dalam rangka membantu terangnya perkara Kriminalisasi berupa tuduhan menggunakan surat palsu dan memasukan keterangan palsu dalam akta, sebagaimana didakwakan oleh Jaksa berdasarkan Pasal 263 ayat (2) KUHP dan Pasal 266 ayat (2) KUHP.
Secara substansial, terdapat 6 (enam) pokok keterangan yang diberikan ahli sehubungan dengan perkara yang didakwakan oleh Jaksa, sebagai berikut:
*Pertama,* ahli menerangkan bahwa jika ada sengketa kepemilikan hak atas tanah karena masing-masing memiliki alas hak, baik SHGB maupun Girik, maka sengketa keperdataan ini harus diselesaikan terlebih dahulu dan tidak bisa langsung mengambil tindakan penyidikan pidana dengan dalih salah satu lebih berhak atas objek tanah dibandingkan pihak lainnya.
Dalam kasus ini, PT Sedayu Sejahtera Abadi (PT SSA/Agung Sedayu Group) yang mengklaim memiliki tanah berdasarkan SHGB 1633 tidak pernah menggugat secara perdata terhadap SK Budihardjo yang memiliki dan menguasai fisik tanah secara sah sejak tahun 2006 hingga 2010 berdasarkan Girik C No. 1906, C No 5047 dan C No. 391, yang totalnya luas 10.259 m².
Pada bulan April 2010, sekonyong-konyong Tanah SK Budihardjo dirampas, 5 kontainer dicuri dan mengalami pemukulan dari preman suruhan Agung Sedayu Group, dan diatas lahan tersebut kemudian dibangun komplek perumahan Golf Lake Residence, milik Agung Sedayu Group. Tidak cukup merampas tanah, SK Budihardjo dan Nurlela juga dikriminalisasi dengan tuduhan menggunakan surat palsu dan memasukan keterangan palsu dalam akta, atas kepemilikan sah tanah berdasarkan bukti Girik Girik C No. 1906 dan C No 5047.
Ketika hal ini ditanyakan Rekan Yahya Rasyid kepada ahli (secara ilustrasi), ahli menjawab bahwa tindakan seperti ini jelas tindakan main hakim sendiri (eigenrichting). Padahal, sebelumnya Nono Sampono selaku direktur PT SSA menyatakan perusahannya selalu taat hukum. Kasus yang dialami SK Budihardjo ini adalah bukti nyata, bahwa PT SSA adalah perusahaan yang tidak taat hukum karena main ambil paksa tanah SK Budihardjo tanpa mengajukan gugatan terlebih dahulu ke pengadilan. (Main hakim sendiri).
*Kedua,* untuk memastikan apakah sebuah hamparan tanah yang dikuasai berdasarkan kepemilikian Girik merupakan bagian dari tanah hak SHGB, maka pemegang SHGB harus memohon kepada BPN untuk melakukan pengukuran ulang untuk menegaskan batas-batas, sehingga dapat dipastikan tanah yang dikuasai berdasarkan Girik apakah bagian dari SHGB atau tidak.
Pada kasus ini, PT SSA tidak pernah melakukan pengukuran ulang bersama BPN untuk menegaskan batas-batas Tanah milik PT SSA berdasarkan SHGB 1633. PT SSA langsung klaim tanah Girik C No. 1906, C No 5047 dan C No. 391, yang totalnya luas 10.259 m² milik SK Budihardjo adalah tanah milik PT SSA.
Padahal, telah dibuktikan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap bahwa khusus tanah Girik C 1906 atas nama Abdul Hamid Subrata milik SK Budihardjo bukan bagian dari SHGB 1633. Hal itu dikuatkan dengan putusan perkara No. 442/PDT.G/2006/PN.JKT.BRT.
*Ketiga,* SHGB yang telah direkomendasikan dibatalkan karena memuat tanah Girik yang bukan bagian dari SHGB berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sejatinya dapat dilakukan tindakan pembatalan SHGB oleh BPN tanpa menunggu proses eksekusi, sebagai bentuk penghormatan terhadap putusan pengadilan.
Dalam kasus ini, SHGB 1633 milik PT SSA yang dibeli dari PT BMJ, telah diusulkan untuk dibatalkan oleh BPN Jakarta Barat, berdasarkan Surat No. 1734/09-03/SKP tanggal 4 Agustus 2008, untuk menindaklanjuti putusan perkara No. 442/PDT.G/2006/PN.JKT.BRT.
Jadi, sejatinya secara substansial alas hak kepemilikan PT SSA berdasarkan SHGB No. 1633 telah cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
*Keempat,* timbulnya Surat Perintah Bayar untuk pengukuran tanah pada permohonan pendaftaran tanah (peningkatan hak) di BPN, adalah konfirmasi seluruh dokumen pendukung termasuk girik yang dimohonkan adalah sah dan telah melalui ferifikasi di tingkat kelurahan (baik administrasi maupun fisik).
Dalam kasus ini, bukti Girik C 1906 dipersoalkan karena diklaim tidak terdaftar di kelurahan. Padahal, terhadap girik ini telah dilakukan pengukuran tanah untuk pendaftaran hak di BPN. Lalu dimana problemnya? Kalau tanah ini bermasalah di kelurahan, tentulah BPN tidak dapat melakukan pengukuran bahkan tidak mengeluarkan surat perintah pembayaran.
*Kelima,* tidak terdaftarnya Girik di Kelurahan bukan bukti kepalsuan girik, Girik adalah produk departeman pajak sehingga yang berwenang untuk menyatakan kepalsuan girik adalah departeman pajak (Kementerian Keuangan).
Pada dakwaan, Jaksa selalu mempersoalkan Girik C 1906 tidak terdaftar di kelurahan, dan karena itu dianggap palsu.
*Keenam,* perubahan alamat fisik tanah Girik yang tidak sesuai dengan alamat tertera pada girik karena adanya faktor pemekaran wilayah adalah sesuatu yang lazim dan bukan konfirmasi girik palsu.
Dalam kasus ini, Jaksa mempersoalkan Girik C 5047 tertera di kelurahan Kapuk tapi fisiknya ada di kelurahan Cengkareng Timur. Padahal telah ada bukti surat keterangan dari kelurahan Cengkareng Timur, yang menerangkan Girik C 5047 dahulu memang berasal dari kelurahan Kapuk, namun setelah ada pemekaran tahun 1989 lokasi Girik C No 5047 saat ini memang masuk di kelurahan Cengkareng Timur.
Luar biasa memang kejahatan mafia tanah dalam kasus ini. Penulis menduga kuat, bukan hanya klien penulis saja yang menjadi korban tetapi banyak korban lainnya yang menjadi korban kriminalisasi, kezaliman dan fitnah keji Agung Sedayu Group pada berbagai proyek properti yang mereka kembangkan. Modusnya dengan menekan korban dan mengendalikan aparat penegak hukum.
Apakah hal itu karena mereka merasa kebal hukum? Kenapa negara tidak hadir untuk membela korban mafia tanah? Apakah mereka berani ngawur karena pemilik Agung Sedayu Group merasa dekat dengan Presiden Jokowi yang juga bermasalah dengan ijazah palsunya?
Semakin mendalami Kasus ini, penulis semakin memahami bagaimana modus operandi perampasan tanah dan bagaimana cara menekan orang yang berhak atas tanah agar menyerah. Untungnya, SK Budihardjo dan Nurlela bukan tipikal orang yang mudah menyerah, bahkan bisa dikatakan pantang menyerah dan terus melawan kezaliman Mafia Tanah dimana mereka berdua menjadi korbannya. [].
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Tim Penasehat Hukum SK Budihardjo & Nurlela
_Catatan Persidangan Kasus Kriminalisasi ketua FKMTI di Pengadilan Negeri Jakarta Barat]_
https://heylink.me/AK_Channel/