Kata ‘Madrasah’ Tak Muncul dalam RUU Sisdiknas, Pengamat: Harus Ditolak
Tinta Media - Hilangnya kata ‘madrasah’ dalam batang tubuh Rancangan Undang-Undang (RUU) Sisdiknas tahun 2022, disikapi oleh Pengamat Pendidikan el Harokah Research Center (HRC) Titok Prihastomo bahwa RUU itu harus ditolak.
“Pada prinsipnya kalau bermasalah harus ditolak,” tuturnya dalam acara Kabar Petang: Tolak RUU Sisdiknas, Kamis (31/3/2022) melalui kanal Youtube Khilafah News.
Menurut Titok, penguasaan terhadap ilmu-ilmu keagamaan merupakan perkara penting dalam kehidupan. Kalau kata madrasah dihilangkan dari batang tubuh undang-undang, maka ini jelas merupakan satu bentuk peminggiran terhadap pendidikan Islam.
Titok menilai ada set back dari pemerintah terhadap dunia pendidikan Islam. Dalam Undang-Undang no 20 tahun 2003 di sana sudah disandingkan antara sekolah umum SD, SMP, SMA dengan Madrasah. Yakni Madrasah Ibtidaiyah (MI), kemudian MTS (Madrasah Tsanawiyah) dan Madrasah Aliyah (MA) bahkan MAK (Madrasah Aliyah Kejuruan).
“Nah dengan dihilangkannya madrasah di draft ini menunjukkan langkah mundur. Karena ini berarti kembali kepada undang-undang nomor 2 tahun 1989 dimana madrasah terkategori sebagai sub sistem pendidikan,” ungkapnya.
Sekularisasi
Titok menilai ada upaya pemerintah menjauhkan agama dari kurikulum pendidikan. Agama dianggap sebagai hambatan dalam menyatukan Indonesia yang memuat banyak sekali keragaman. “Maka tak heran ketika dulu BPIP, entah dia sadar atau tidak, pernah mengatakan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama,” tandasnya.
“Jadi, ada usaha untuk menjadikan Pancasila sebagai civil religion. Menurut istilah Robert N. Belah jadi sumber nilai, sumber moral yang lepas dari klaim-klaim kebenaran keagamaan. Jadi bisa digunakan bersama oleh seluruh anak bangsa,” bebernya.
Makanya tidak aneh, lanjutnya, jika dalam Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 di sana tidak disebutkan frasa agama, akhlak, ketaqwaan. “Yang berbau agama enggak ada, karena memang sudah ada paradigma tertentu dalam benak para pengambil kebijakan hari ini,” tegasnya.
“Makanya hilangnya madrasah dalam draft RUU Sisdiknas saya pikir juga bisa dimaknai sebagai satu usaha pemerintah untuk menampilkan bahwa undang-undang itu bebas dari keberpihakan kepada salah satu agama. Bebas dari satu bentuk mengistimewakan salah satu agama,”ungkapnya.
Titok menyimpulkan bahwa pendidikan saat ini menuju pendidikan sekuler. Padahal hasil pendidikan yang sekularistik ini melahirkan orang-orang yang menjalankan kebijakan saat ini banyak yang menyalahgunakan kekuasaan, korupsi dan lain-lain.
“Ini menunjukkan sejauh mana kualitas pendidikan kita. Karena orang-orang yang berkuasa yang menduduki jabatan tertentu telah dianggap berhasil menjalani pendidikan sehingga mereka masuk kualifikasi untuk menduduki jabatan jabatan tertentu. Menunjukkan bahwa pendidikan kita belum berhasil menciptakan orang yang pinter sekaligus bertakwa,” simpulnya.
Ambil Pelajaran
Titok mengajak umat Islam belajar dari banyak kasus yang menimpa mereka. Jangan terombang-ambing dengan berbagai macam kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang mendeskreditkan umat Islam. Umat Islam harus menyadari bahwa itu semua akibat diterapkannya tatanan pemerintahan sekuleristik.
“Kita harus mulai berpikir untuk menghadirkan solusi yang lebih komprehensif, dalam mengatur seluruh aspek kehidupan kita termasuk dalam pendidikan,” tandasnya.
Titok berharap, semestinya seorang muslim meyakini bahwa aturan islam itu kompatibel dengan seluruh tatanan kehidupan yang dijalani. Kompatibel dengan tatanan ekonomi, tatahan hukum, tatanan pendidikan, tatanan politik, semuanya.
“Kita harus mencoba untuk memikirkan solusi yang lebih komprehensif, memikirkan tentang kehidupan sosial politik yang sepenuhnya sesuai dengan Islam. Yang para ulama menyebut pentingnya imamah, pentingnya khilafah demi kehidupan umat Islam yang sesuai dengan ajaran Islam,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun