Tinta Media: MK
Tampilkan postingan dengan label MK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MK. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 November 2023

PEPS: Majelis Kehormatan MK Terkesan Mendegradasi Kesalahan Anwar Usman


 
Tinta Media - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan menilai Majelis Kehormatan MK terkesan mendegradasi kesalahan Anwar Usman.
 
"Dengan hanya menyebut 'melanggar kode etik _Sapta Karsa Hutama'_, Majelis Kehormatan MK terkesan mendegradasi kesalahannya Anwar Usman dari pelanggaran berat menjadi tidak berat," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (9/11/2023).
 
Menurutnya, Sapta Karsa Hutama hanya dokumen berisi deklarasi yang mengatur butir-butir kode etik dan perilaku hakim konstitusi, dimuat di dalam lampiran Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PMK/2006. Peraturan ini sendiri, ujarnya, tidak mengatur sanksi atas pelanggaran kode etik dimaksud.
 
"Seharusnya, Majelis Kehormatan MK menyatakan secara jelas dan spesifik, Anwar Usman melanggar pasal apa, di peraturan yang mana, atau undang-undang yang mana," imbuhnya.
 
Tanpa menyebut itu semua, lanjutnya, masyarakat tidak bisa mengukur bobot dari pelanggaran berat Anwar Usman dan sanksi yang pantas diberikan kepadanya.
 
Ia melanjutkan, upaya mendegradasi atau meringankan pelanggaran Anwar Usman ini juga terlihat dari pengenaan sanksi kepadanya. Anwar Usman hanya dikenakan sanksi diberhentikan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi. Tetapi tidak diberhentikan sebagai hakim konstitusi.
"Pemberian sanksi ringan ini melanggar Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No.1/2022, pasal 46 butir b, yang menyatakan secara eksplisit bahwa hakim konstitusi yang terbukti melakukan pelanggaran berat wajib diberhentikan dengan tidak hormat," bebernya.
 
Ia mengungkapkan isi pasal 47 PMK 1/2023 yang menyatakan bahwa dalam hal Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, menurut Majelis Kehormatan terbukti melakukan pelanggaran berat, Majelis Kehormatan menyatakan: a. Hakim Terlapor Terbukti melakukan pelanggaran berat; b. Menjatuhkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat.
 
"Selain itu, sanksi yang diberikan Majelis Kehormatan kepada Anwar Usman juga melanggar Pasal 23 ayat (1) huruf h UU No.7/2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24/2023 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi: Hakim Konstitusi diberhentikan tidak dengan hormat apabila melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi," terangnya.
 
Ia memandang bahwa sanksi yang diberikan kepada Anwar Usman membuat reputasi MK terpuruk dan kepercayaan masyarakat hilang. Hakim konstitusi yang melakukan pelanggaran berat dianggap masih layak menjadi Hakim Konstitusi. "Ini contoh _yuris prudensi_ yang sangat buruk. Bagaimana masyarakat bisa percaya MK?" jelasnya.
 
"Dengan masih menjabat hakim konstitusi, Anwar Usman masih menyandang _yang mulia, yang terhormat_, padahal tidak. Karena seharusnya diberhentikan tidak dengan hormat," tegasnya.
 
Oleh karena itu, tidak salah kalau masyarakat beranggapan, sanksi yang diberikan Majelis Kehormatan MK kepada Anwar Usman, yang hanya memberhentikannya dari jabatan Ketua MK, sejatinya untuk mempertahankan dan menyelamatkan kehormatan Anwar Usman. "Dengan cara melanggar undang-undang," pungkasnya.[] Ajira

Jumat, 10 November 2023

Kejanggalan Putusan Majelis Kehormatan MK dan Sanksi Kepada Anwar Usman

Tinta Media - Tugas Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK), dalam memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik, selesai dibacakan Selasa lalu, 7/11. Anwar Usman dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran berat kode etik dan perilaku hakim konstitusi, dan diberhentikan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi. 

Ada beberapa kejanggalan terkait putusan Majelis Kehormatan MK dan sanksi yang dikenakan kepada Anwar Usman.

Pertama, Majelis Kehormatan MK tidak menyebut secara spesifik pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Anwar Usman. Sehingga sanksi yang diberikan kepadanya menjadi tidak jelas, karena tidak mengacu pada kesalahan spesifik pasal berapa, peraturan dan atau undang-undang mana. 

Tentu saja, hal seperti ini sangat tidak lazim dan mencurigakan. Kenapa Majelis Kehormatan MK tidak menyebut secara eksplisit pelanggaran hukum Anwar Usman? Ada apa? 

Kedua, sanksi yang diberikan kepada Anwar Usman tidak sesuai dengan sanksi yang diatur di dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK No 1/2023) maupun undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi (UU No 7/2020), yang secara eksplisit menyatakan, sanksi pelanggaran berat untuk hakim konstitusi hanya satu, yaitu “diberhentikan tidak dengan hormat”.

Tetapi, Anwar Usman tidak diberhentikan dari hakim konstitusi, apalagi tidak dengan hormat. Anwar Usman hanya diberhentikan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi. 

Sanksi ini secara nyata melanggar Peraturan Mahkamah Konstitusi dan UU.

Ketiga, pelanggaran berat kode etik Anwar Usman secara nyata melanggar Pasal 17 ayat (5) mengenai konflik kepentingan yang diatur di dalam UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 17 ayat (5) berbunyi, “Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.” Anwar Usman tidak melakukan perintah pasal dimaksud, sehingga melanggar.

Sebagai konsekuensi, putusan yang diambil berdasarkan pelanggaran pasal 17 ayat (5) wajib dinyatakan tidak sah (pasal 17 ayat (6)), dan perkara harus diperiksa kembali (pasal 17 ayat (7)).

Tetapi Jimly Asshiddiqie, Ketua Majelis Kehormatan MK, mengatakan, pasal 17 ayat (6) dan (7) UU No 48/2009 tidak berlaku untuk putusan MK. Karena pasal 24C ayat (1) UUD mengatakan, putusan MK bersifat final. Sehingga pasal dimaksud tidak bisa membatalkan atau menyatakan tidak sah putusan MK yang bersifat final menurut UUD.

Penjelasan Jimly Asshiddiqie sulit diterima akal sehat masyarakat. Mungkin akal sehat masyarakat awam non-hukum beda dengan akal “sehat” ahli hukum.

Bagaimana mungkin, putusan yang jelas-jelas cacat hukum dan moral masih bisa tetap berlaku? Bagaimana bisa masuk akal sehat?

Gambaran bahwa hakim konstitusi sebagai manusia yang sangat terhormat, manusia sempurna, tidak akan melakukan pelanggaran hukum, apalagi dengan sengaja, dalam menangani perkara, sehingga putusannya dinyatakan final dan tidak bisa diganggu gugat, ternyata hanya ilusi. Gambaran palsu.

Faktanya, Anwar Usman telah melakukan pelanggaran berat, mungkin secara sadar. Tapi putusannya masih dianggap sebagai putusan manusia sempurna, tidak bisa dibatalkan. Ironi.

Aneh, tapi nyata. Masyarakat harus menerima kenyataan pahit, harus menerima pasal 17 ayat (6) tersebut tidak berlaku untuk putusan MK. Masyarakat tidak berdaya menghadapi hakim yang dipercaya sebagai utusan Tuhan. Yang dalam hal ini malah berperilaku sebaliknya: Indonesia dalam cengkeraman tirani dan iblis berkedok hakim.

Tetapi, meskipun putusan MK tidak bisa dibatalkan, meskipun pasal 17 ayat (6) tidak berlaku bagi putusan MK, tetapi pelanggaran berat kode etik Anwar Usman harus bisa diproses dan dikenakan sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Pasal 17 ayat (6) berbunyi, “Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Artinya, selain putusan dinyatakan tidak sah, hakim yang melanggar pasal 17 ayat (5) dikenakan sanksi administratif atau bahkan dipidana.

Pasal 24C ayat (1) UUD mengenai putusan final tentu saja tidak bisa menghilangkan pelanggaran berat Anwar Usman, dan tidak bisa menghapus sanksi administratif, apalagi pidana.

Majelis Kehormatan MK juga tidak bisa menghilangkan pelanggaran dan sanksi kepada Anwar Usman.

Karena itu, Majelis Kehormatan MK seharusnya menyebut secara eksplisit, Anwar Usman melanggar apa saja. Tanpa melakukan itu, Majelis Kehormatan MK terkesan sedang melindungi kepentingan Anwar Usman dan kroni-kroninya, serta mendegradasi sanksi yang diberikan kepadanya.

Oleh: Anthony Budiawan 
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

—- 000 —-

Indonesia Berduka: Majelis Kehormatan (MK) Menjadi Penjaga Kehormatan Anwar Usman



Tinta Media - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (Majelis Kehormatan MK) menyatakan Anwar Usman, hakim konstitusi terlapor dugaan pelanggaran kode etik, terbukti bersalah melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim, sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama.

Dengan hanya menyebut “melanggar kode etik Sapta Karsa Hutama”, Majelis Kehormatan MK terkesan mendegradasi kesalahan Anwar Usman dari pelanggaran berat menjadi “tidak berat”.

Karena Sapta Karsa Hutama hanya dokumen berisi deklarasi yang mengatur butir-butir kode etik dan perilaku hakim konstitusi, dimuat di dalam lampiran Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PMK/2006. Peraturan ini sendiri tidak mengatur sanksi atas pelanggaran kode etik dimaksud.

Seharusnya, Majelis Kehormatan MK menyatakan secara jelas dan spesifik, Anwar Usman melanggar pasal apa, di peraturan yang mana, atau undang-undang yang mana.

Tanpa menyebut itu semua, masyarakat tidak bisa mengukur bobot dari pelanggaran berat Anwar Usman, dan sanksi yang pantas diberikan kepadanya.

Upaya mendegradasi atau meringankan pelanggaran berat Anwar Usman ini juga terlihat dari pengenaan sanksi kepadanya. Anwar Usman hanya dikenakan sanksi “diberhentikan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi”. Tetapi tidak diberhentikan sebagai hakim konstitusi.

Pemberian sanksi “ringan” ini melanggar Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No 1/2023, pasal 47 butir b, yang menyatakan secara eksplisit bahwa hakim konstitusi yang terbukti melakukan pelanggaran berat wajib “diberhentikan dengan tidak hormat”.

Pasal 47 PMK 1/2023:
“Dalam hal Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, menurut Majelis Kehormatan, terbukti melakukan pelanggaran berat, Majelis Kehormatan menyatakan:
a. Hakim Terlapor Terbukti melakukan pelanggaran berat;
b. Menjatuhkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat.

Selain itu, sanksi yang diberikan Majelis Kehormatan kepada Anwar Usman juga melanggar Pasal 23 ayat (1) huruf h UU No 7/2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi:
“Hakim konstitusi diberhentikan tidak dengan hormat apabila, melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.”

Anggota Majelis Kehormatan, Bintan Saragih, juga berpendapat sama. Bintan Saragih menyampaikan dissenting opinion atas pemberian sanksi yang tidak sesuai peraturan dan undang-undang.

Bintan Saragih: Sanksi terhadap “pelanggaran berat” hanya “pemberhentian tidak dengan hormat”, dan tidak ada sanksi lain, sebagaimana diatur pada Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Jimly Asshiddiqie dan Wahiduddin Adams, dua anggota Majelis Kehormatan  MK lainnya, yang masing-masing merangkap sebagai Ketua dan Sekretaris Majelis Kehormatan, tentu saja mengerti sepenuhnya.

Jimmy Asshiddiqie memberi dua alasan pembenaran atas pemberian sanksi yang melanggar peraturan dan UU tersebut.

Pertama, Jimly Asshiddiqie berpendapat, pemberian sanksi harus mempertimbangkan ukuran proporsionalitas, seperti pada kasus pidana.

Jimly Asshiddiqie memberi perbandingan, pada kasus pidana, majelis hakim wajib memperhatikan alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk meringankan atau justru memperberat sanksi yang akan dijatuhkan.

Alasan yang dikemukakan Jimly Asshiddiqie tidak tepat dan tidak relevan untuk kasus pelanggaran berat kode etik hakim. Karena, “jumlah” sanksi pada kasus pidana tidak diatur di dalam UU. Yang diatur hanya batas sanksi “maksimum”, sehingga majelis hakim mempunyai hak subyektif dalam menjatuhkan sanksi hukuman kepada terpidana, sepanjang tidak bertentangan dengan UU. Sepanjang sanksi tidak lebih dari batas “maksimum” setinggi-tingginya, maka putusan majelis hakim tidak melanggar UU. 

Tetapi, sanksi pelanggaran berat hakim konstitusi hanya satu, seperti diatur sangat jelas di dalam PMK dan UU. Yaitu, pemberhentian tidak dengan hormat.

Kalau memang mau mempertimbangkan hal yang meringankan, seharusnya dilakukan sewaktu menentukan bobot pelanggaran, apakah Anwar Usman melakukan pelanggaran berat atau tidak. “Vonis” bahwa Anwar Usman melakukan pelanggaran berat harus dimaknai sudah melalui semua pertimbangan, dan tidak ada hal yang bisa meringankan lagi.

Alasan kedua, Jimly Asshiddiqie mengatakan, hakim konstitusi yang “diberhentikan tidak dengan hormat” dapat mengajukan banding, sehingga sanksi tersebut bisa membuat penyelesaian perkara menjadi berlarut-larut dan tidak pasti. Terutama mengingat agenda pilpres sudah sangat dekat.

Alasan ketiga ini juga tidak masuk akal. Sanksi kepada Anwar Usman tidak pengaruh pada agenda dan jadwal pilpres, karena Majelis Kehormatan tidak mengubah putusan MK No 90 terkait syarat batas usia calon wakil presiden. Sehingga, upaya banding Anwar Usman, seandainya ada, tidak mempunyai dampak sama sekali terhadap agenda pilpres.

Sebaliknya, sanksi Majelis Kehormatan yang tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku akan memberi dampak sangat negatif.

Sanksi ini membuat reputasi MK terpuruk, dan kepercayaan masyarakat hilang. Hakim konstitusi yang melakukan pelanggaran berat dianggap masih layak menjadi hakim konstitusi. Ini contoh (yuris prudensi) yang sangat buruk. Bagaimana masyarakat bisa percaya MK?

Dengan masih menjabat hakim konstitusi, Anwar Usman masih menyandang “yang mulia, yang terhormat”, padahal tidak. Karena seharusnya diberhentikan tidak dengan hormat.

Oleh karena itu, tidak salah kalau masyarakat beranggapan, sanksi yang diberikan Majelis Kehormatan MK kepada Anwar Usman, yang hanya memberhentikannya dari jabatan Ketua MK, sejatinya untuk mempertahankan dan menyelamatkan kehormatan Anwar Usman. Dengan cara melanggar undang-undang.

Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

—- 000 —-

Kamis, 01 Juni 2023

MAHFUD MD 'TERJEBAK' MANUVER POLITIK DENY INDRAYANA DALAM ISU 'BOCORAN' PUTUSAN MK

Tinta Media - 'Sepandai-pandai tupai melompat, toh akan jatuh ke tanah juga'. Mungkin, pribahasa ini sangat tepat untuk menggambarkan kondisi Mahfud MD.

Mahfud MD, selama ini mengaku sering melakukan upaya kontrol penegakan hukum secara politik melalui sejumlah statementnya di sosial media. Konon, pembongkaran kasus pembununan berencana terhadap Brigadir Josua, bisa terungkap karena ulah Ferdy Sambo, juga tak lepas dari manuver politik Mahfud MD.

Mulanya Mahfud MD saat itu mengaku, ingin memancing anggota DPR bersuara terkait kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J. Menurutnya, suara DPR dibutuhkan untuk memberikan dukungan agar kebenaran atas perkara tersebut bisa dibongkar.

"Karena hukum itu produk politik, ndak bisa hukum jalan sendiri kalau tidak ada suasana politik yang mendorong, suara masyarakat, dan lain sebagainya,” ungkap Mahfud dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (22/8/2022).

Namun sayang, entah karena motifnya berbeda (bukan penegakan hukum) atau karena ada tendensi Mahud MD untuk melindungi Moeldoko, kali ini Mahfud kena batunya. Mahfud terpancing statemen Deny Indrayana soal dugaan 'bocoran putusan MK' yang akan memutus Pemilu akan dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup, juga soal kemungkinan PK Moeldoko akan dimenangkan untuk memuluskan kudeta Partai Demokrat yang berujung penjegalan Anies Baswedan.

Mahfud MD terjebak menggunakan frasa 'info A1' dan frasa 'pembocoran' hingga menuduh adanya pembocoran rahasia negara dari pernyataan Deny Indrayana.

"Terlepas dari apa pun, putusan MK tak boleh dibocorkan sebelum dibacakan. Info dari Denny ini jadi preseden buruk, bisa dikategorikan pembocoran rahasia negara. Polisi harus selidiki info A1 yang katanya menjadi sumber Denny agar tak jadi spekulasi yang mengandung fitnah," kata Mahfud lewat akun Twitter resminya @mohmahfudmd Minggu (28/5/2023).

Padahal, Deny Indrayana sama sekali tidak menggunakan frasa ''info A1' dan frasa 'pembocoran'. Deny mengaku hanya mendapatkan informasi bahwa MK akan memutuskan Pemilu dengan sistem proporsional tertutup dengan komposisi 6 hakim menerima dan 3 hakim mengajukan disenting opinion.

"Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja," kata Denny lewat cuitan di akun Twitternya @dennyindranaya, Minggu.

Entah ada korelasinya atau tidak dengan statemen Mahfud MD, Deny Indrayana akhirnya dilaporkan Paguyuban BCAD ke Mapolda Metro Jaya, Senin (29/5). Alasannya, Deny Indrayana membocorkan rahasia negara dan membuat resah.

Akhirnya, Deny Indrayana membuat Siaran Pers yang salah satu poinnya memberikan penegasan tentang tidak adanya pembocoran rahasia negara dalam pesan yang disampaikannya soal akan ada putusan MK dengan sistem proporsional tertutup.

Secara rinci, Deny meminta publik menyimak dengan hati-hati, dirinya sudah cermat memilih frasa, "... mendapatkan informasi', bukan "... mendapatkan bocoran". 

_"Saya juga secara sadar tidak menggunakan istilah "informasi dari A1" sebagaimana frasa yang digunakan dalam twit Menkopolhukam Mahfud MD. Karena, info A1 mengandung makna informasi rahasia, seringkali dari intelijen. Saya menggunakan frasa informasi dari "Orang yang sangat saya percaya kredibilitasnya"._ Ungkap Deny dalam siaran pers, dari Melbourne, 30 Mei 2023.

Karena itu, penulis berkesimpulan sebagai berikut:

*Pertama,* Mahfud MD terjebak ikut menari dalam genderang yang ditabuh oleh Deny Indrayana, dimana Deny memang menghendaki statemennya menjadi perbincangan publik, agar menjadi kontrol politik terhadap MK. Mengingat, sifat putusan MK yang final dan mengikat, maka ikhtiar untuk menjaga putusan MK agar taat konstitusi adalah mengawalnya secara politik, sebelum putusan dibacakan.

Kalau kritik terhadap MK dilakukan setelah putusan dibacakan, maka itu sama saja buang energi sia-sia. Sebab, putusan MK yang bersifat final dan mengikat tidak akan dapat dibatalkan dengan opini dan kritikan.

*Kedua,* Mahfud MD terpeleset, terpelanting, terbanting dan jatuh saat mengikuti irama tarian yang ditabuh oleh Deny Indrayana, karena terjebak menggunakan ungkapan 'pembocoran rahasia negara' dengan mengutip pernyataan Deny Indrayana melalui frasa 'info A1'. Motif politik Mahfud justru terbongkar melalui pernyataannya, sehingga Mahfud MD patut diduga punya motif yang ada kaitannya dengan kepentingan sistem Pemilu proporsional tertutup (PDIP) dan kudeta partai Demokrat melalui modus operandi pengajuan PK (Moeldoko).

Sebagaimana diketahui, PDIP adalah partai yang menginginkan Pemilu dengan sistem proporsional tertutup, sementara Moeldoko yang mengajukan PK ke Mahkamah Agung jelas punya motif untuk mengambil alih Partai Demokrat dan bisa juga berujung penjegalan pencapresan Anies Baswedan.

*Ketiga,* atas kesalahan Mahfud MD yang terjebak masuk dalam manuver politik Deny Indrayana, Deny jadi untung besar. Sebab, jika nantinya putusan MK menetapkan Pemilu dengan sistem proporsional tertutup maka benarlah informasi yang diungkap Deny.

Namun, apabila MK menolak proporsional tertutup maka ini menjadi kemenangan Deny Indrayana, karena Deny punya pandangan memang menginginkan sistem Pemilu dilakukan secara proporsional terbuka. Soal, siapa yang diuntungkan atau Deny Indrayana punya kepentingan dan terafiliasi dengan siapa? Cukuplah ungkapan 'Kudeta Partai Demokrat' yang mampu menjawabnya, dan statemen Beny K Harman yang mengkritik Mahfud MD sebagai konfirmasinya.

*Keempat,* hari ini kondisi bangsa Indonesia sangat tidak baik, dan apa yang disebut SBY akan ada 'Chaos Politik' bukan mustahil benar-benar akan terjadi. Karena itu, selain sibuk copras capres, segenap elemen pergerakan perlu memikirkan jalan lain untuk menyelesaikan sengkarut problem yang melanda negeri ini.

Terakhir, penulis rekomendasikan ke depan agar Mahfud MD lebih bijak memilih ungkapan dalam berstatemen, apalagi statemen yang sifatnya mengcopy statemen pihak lain. Alih-alih mau mengambil benefit politik, salah langkah bisa menjadi bumerang dan malah jadi terjebak secara politik. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik



Minggu, 08 Januari 2023

Terbitkan Perppu Cipta Kerja, LBH Pelita Umat: Pemerintah dan DPR RI Melawan Putusan MK

Tinta Media - Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. menilai, apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI terkait UU Cipta Kerja adalah sebagai bentuk pembangkangan atau perlawanan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Apa yang dilakukan Pemerintah dan DPR terkait UU Cipta Kerja adalah bentuk pembangkangan atau perlawanan terhadap putusan MK. Padahal, UU Cipta Kerja telah dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020,” tuturnya pada Tintamedia.web.id, Kamis (5/1/2023).

Menurutnya, pembangkangan atau perlawanan Pemerintah dan DPR yang dimaksud ada tiga yaitu: 

Pertama, DPR dan Pemerintah melakukan revisi UU P3. “Tahun 2022 DPR mengesahkan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (RUU P3) menjadi undang-undang. Ada dugaan revisi UU merupakan siasat memperbaiki UU Cipta Kerja. UU yang dijuluki Omnibus Law itu padahal sudah dinyatakan cacat prosedur oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2021.” ungkapnya.
 
Ia melanjutkan bahwa revisi terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang disahkan ini disebut menjadi landasan hukum bagi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Revisi UU P3 itu dilakukan karena pada UU 12/2011, yang merupakan pedoman penyusunan peraturan perundang-undangan, menurutnya masih belum mengatur mengenai metode omnibus law. 
 
“Selama ini beleid tersebut merupakan patokan utama dalam pembuatan regulasi, dari undang-undang, peraturan menteri, hingga peraturan daerah. Salah satu substansi baru dalam UU P3 adalah berlakunya metode omnibus sebagai opsi penyusunan regulasi,” imbuhnya. 
 
Ia menandaskan bahwa UU P3 selama ini tidak memungkinkan DPR dan Pemerintah membentuk regulasi dengan metode omnibus law. “Inilah yang dipersoalkan MK dan membuat UU Cipta Kerja belum bisa diterapkan walau sudah disahkan sejak awal November 2020. Masuknya opsi omnibus melalui revisi UU P3 merupakan jalan pintas DPR dan pemerintah untuk melegalkan UU Cipta Kerja dan memberi legitimasi pada UU Cipta Kerja,” tambahnya. 
 
Selain itu, masih menurutnya revisi Undang-Undang 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) ini sebelumnya dikritik sebagai siasat memperbaiki UU Cipta Kerja yang dinyatakan cacat prosedur oleh Mahkamah Konstitusi (MK). 
 
Kedua, DPR dan Pemerintah memberhentikan hakim Mahkamah Konstitusi dengan melantik Guntur Hamzah sebagai Hakim MK pada Rabu (23/11/2022). “Guntur Hamzah ini menggantikan Hakim MK Aswanto yang diberhentikan oleh DPR RI sebelumnya. Alasan mengganti Aswanto menurut Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto karena kinerja Aswanto mengecewakan lantaran kerap membatalkan produk undang-undang dari DPR. Salah satunya Aswanto ikut menilai UU Cipta Kerja cacat formal dan inkonstitusional bersyarat,” bebernya 
 
Chandra menilai proses pelantikan tersebut akan merusak wibawa Mahkamah Konstitusi dan dikhawatirkan MK akan dianggap sebelah mata. “Kalau langkah ini dibenarkan, DPR berhak memecat hakim konstitusi kapanpun dia mau, nanti lembaga pengusul lainnya misalnya Presiden dan Mahkamah Agung juga dikhawatirkan akan memecat hakim konstitusi,” ucapnya.

Ini, lanjutnya tentu tidak dapat dibiarkan. Ditambah lagi dikhawatirkan juga hakim-hakim MK takut kepada lembaga pengusul (DPR, Presiden dan MA). “Menghadapi kondisi ini MK sepatutnya untuk memproteksi hal tersebut dengan melakukan Judicial Review terhadap UU MK dan UU terkait lainnya,” usulnya
 
Ketiga, Pemerintah menerbitkan Perppu 2/2022. “Penerbitan Perppu ini membuktikan kekuasaan Presiden sangat lah besar termasuk kewenangan dalam legislasi, kekuasaan absolut dalam membentuk dan menetapkan undang-undang,” ujarnya.

Menurut Chandra, hakekatnya, sebuah undang-undang harus memberi ruang bagi partisipasi masyarakat setidaknya melalui parlemen. Sedangkan Perppu tidak perlu partisipasi masyarakat karena Perppu adalah kewenangan absolut Pemerintah.

Chandra menegaskan semestinya Pemerintah menjalankan amanat dari Mahkamah Konstitusi untuk melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja yang diberikan waktu selama 2 (dua) tahun sejak putusan dibacakan yaitu UU Cipta Kerja yang dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020.

“Dalam Putusan tersebut, apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen,” pungkasnya.[] Erlina

Rabu, 30 November 2022

MENGAPA MK BATALKAN UU PENJUALAN PLN?

Tinta Media - UU Penjualan/Privatisasi PLN itu bernama UU Ketenagalistrikan. Yang pertama UU No 20/2002 yang dibatalkan MK secara total/seluruhnya pada 2004. Dan yang kedua UU No 30/2009 yang hanya dibatalkan pada pasal-pasal yang mau jual PLN (dinamakan juga pasal "unbundling"). 

Karena UU No 30/2009 ini hanya dibatalkan pada pasal-pasal penjualan/privatisasi atau pasal "unbundling" nya, maka oknum penguasa yang sudah diperalat oleh investor selalu melakukan "plintirisasi" sehingga semuanya seolah-olah jadi halal. Sebagaimana dilakukan oleh Dahlan Iskan saat menjual retail khususnya di Jawa-Bali. Dan selanjutnya JK, Luhut BP dan Erick Thohir melakukan "plintirisasi" juga pada akhir 2014 sehingga lahirlah Mega Proyek Pembangkit 35.000 MW. Dan mereka membikin IPP bersama Shenhua, Huadian, Itechu, GE, Nebras, Jera, Mitshui dll di Jawa-Bali. Yang akhirnya sesuai pemberitaan Gatra pada pertengahan September 2021, akibat proyek 35.000 MW itu PLN "over supply" 25.000 MW dan itu mayoritas di Jawa-Bali. Akibat lanjut pembangkit PLN hanya beroperasi 3.000 MW. 

Dan akibat dari semua itu, karena biaya operasi kelistrikan swasta sesuai pembahasan MK pada sidang tahun 2003 akan menjadi sekitar 1,5 sampai 2x lipat lebih dari operasional yang dilakukan PLN, maka mulai saat DIRUT Dahlan Iskan, karena retail sudah dijual ke Tommy Winata serta Taipan 9 Naga yang lain, maka subsidi listrik membengkak menjadi Rp 100,2 triliun pada Laporan Keuangan PLN 2010 (padahal biasanya hanya rata2 Rp 50 triliun per tahunnya). 

Selanjutnya, mulai 2020 sesuai data Webinar PP IP, SP PJB (Serikat AP Pembangkit PLN) pembangkitan Jawa-Bali sudah mayoritas oleh IPP sedang pembangkit PLN hanya kurang dari 10% apalagi ritail sudah swasta semua, maka Subsidi listrik makin membengkak yaitu Rp 200,8 triliun (Repelita Online 8 Nopember 2020). Meskipun akhirnya Laporan Keuangan (LK) PLN yang dibikinkan oleh Konsultan PWC (Pricewaterhouse Coppers) menyatakan untung Rp 5,95 triliun. Suatu keanehan yang terjadi saat itu atau suatu keterlanjuran statement pejabat Kementerian Keuangan yang di siarkan oleh Repelita Online.

Namun kalau kita lihat biaya operasi PLN tahun 2020 yang tercatat di LK adalah Rp 301,009 triliun. Dan bila merujuk putusan MK dalam pertimbangan-pertimbangannya yang mengatakan bahwa biaya operasi kelistrikan bila sudah dikuasai swasta diperkirakan akan melonjak antara 1,5 sampai 2 kali lipat dari biaya operasi PLN, maka logis bila biaya operasional oleh Kartel Listrik Swasta pada 2020 adalah sekitar Rp 500 triliun. Sehingga bila pendapatan usaha PLN 2020 sebesar Rp 345 triliun, maka logis pula (sebagaimana diberitakan oleh Repelita Online 8 November 2020) bahwa PLN untuk 2020 masih harus di subsidi Rp 200,8 triliun.

KESIMPULAN :

Artinya terjawab sudah mengapa MK (Mahkamah Konstitusi) membatalkan UU Penjualan/Privatisasi PLN sampai dua kali yaitu 

1. Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 tgl 15 Desember 2004.
Yang membatalkan seluruh pasal-pasal dari UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan. 

2. Putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015 tgl 14 Desember 2016. Yang hanya dibatalkan pasal-pasal terkait privatisasi/penjualan PLN atau pasal-pasal "unbundling" nya saja dari UU No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan.

Karena semuanya akan mengakibatkan mahalnya tarif listrik!

Namun saat ini Penjualan PLN itu telah terjadi. Atau tegasnya bahwa program penjualan/privatisasi PLN itu riil ada ! Meskipun saat ini di "framing" dengan masalah HSH Beyond Kwh , HSH Pembangkit, Digitalisasi pembangkit Genco 1, Genco 2, Energy Transisition, Mobil Listrik, SPKLU, dan seterusnya. Yang semuanya itu sebenarnya dibesar-besarkan dan dilakukan "plintirisasi" terhadap PSRP yang ada, yaitu akan "menggiring" PLN Jawa-Bali hanya berperan ditransmisi saja. 

Hal di atas juga pernah ditegaskan oleh Erick Tohir pasca dilantik menjadi Menteri BUMN (baca Tempo pertengahan Desember 2019 dan Jawa Pos 16 Mei 2020). Bahwa PLN itu tidak usah operasikan pembangkit. PLN urusi transmisi saja. Operasional pembangkit serahkan saja kepada IPP swasta. 

Dan lewat YouTube Erick Tohir juga pernah menyatakan bahwa target HSH adalah agar PLN fokus urus transmisi saja!

Dan semuanya memang sudah disetting oleh IFIs (WB, ADB, IMF) pada 25 Agustus 1998 sebagai follow up dari LOI (Letter Of Intent) 31 Oktober 1997. Meskipun saat ini kalangan investor kapitalis  kalah dengan Cina  komunis seperti Shenhua, Huadian, Chengda, Shanghai Electric, Sinomach, CNEEC, dan seterusnya atau perusahaan-perusahaan dari Cina! 

CLEAR DAN JELAS MENGAPA MK MEMBATALKAN UU PENJUALAN/PRIVATISASI PLN!

RAKYAT HARUS MELAWAN ATAS PENJUALAN ASSET BANGSA INI!!

ALLOHUAKBAR !!
MERDEKA !!

MAGELANG, 29 NOVEMBER 2022.

Oleh: Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST. 

Jumat, 07 Oktober 2022

INTERVENSI KEKUASAAN ATAS PEMBERHENTIAN HAKIM MK

Tinta Media - Mengutip informasi dari kantor berita yang memberitakan terkait Komisi III DPR mengungkapkan alasan Aswanto diberhentikan dari jabatan Hakim Mahkamah Konstitusi meski masa pensiunnya masih panjang. Komisi III menjelaskan bahwa Aswanto merupakan hakim konstitusi usulan DPR. Tetapi, Dia menilai Aswanto sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi pilihan DPR kerap menganulir undang-undang yang disahkan oleh DPR.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

PERTAMA, bahwa keputusan DPR memecat Hakim MK tidak sah. Karena tidak sesuai dengan ketentuan UU Mahkamah Konstitusi, masa jabatan hakim MK ditambah. Hakim MK Aswanto yang sedianya berakhir pada 2024 ditambah menjadi 2029 dengan UU MK masa tugasnya di Mahkamah Konstitusi itu sampai Maret 2029. Oleh karenanya, tambah lima tahun. Dengan tindakan dari DPR kemarin melanggar prosedur hukum. Maka itu tidak sah.

KEDUA, bahwa Keputusan DPR RI tersebut tidak sah kecuali Presiden mengeluarkan Surat Keputusan atau Keputusan Presiden pemberhentian tersebut. Sehingga "bola ini" selanjutnya berada ditangan Presiden untuk memberikan atau tidak memberikan tanggapan atas keputusan DPR tersebut. Jika Presiden menyetujui tindakan DPR RI maka ini merupakan perbuatan melawan prinsip non-intervensi. terlalu vulgar menunjukkan intervensi kekuasaan kepada proses hukum. 

KETIGA, bahwa intervensi kekuasaan dalam berbagai kasus yang bersinggungan dengan kepentingan penguasa pengaruh kekuasaan terhadap kekuasaan kehakiman berpotensi melahirkan berbagai putusan yang tidak mempu memberi rasa keadilan. Tindakan intervensi tersebut dapat disebut ancaman kepada hakim MK. inilah hakikat dari pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Uneversitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19. Dengan adagium-nya yang terkenal ia menyatakan : *_"power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut)."_* Kekuasaan yang dominan tanpa pengawasan hukum yang efektif tentu akan menimbulkan kekuasaan yang otoriter. Olehkarena itu intervensi kekuasaan terhadap hukum, harus dihentikan.

Demikian.

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH PELITA UMAT


Selasa, 04 Oktober 2022

LBH Pelita Umat: Keputusan DPR Pecat Hakim MK, Tidak Sah

Tinta Media - Menyorot pemecatan  Hakim Mahkamah Konstitusi  (MK) Aswanto oleh DPR dinilai oleh Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan SH MH sebagai pemecatan  tidak sah.
 
“Keputusan DPR memecat Hakim MK tidak sah. Karena tidak sesuai dengan ketentuan UU Mahkamah Konstitusi, masa jabatan hakim MK ditambah. Hakim MK Aswanto yang sedianya berakhir pada 2024 ditambah menjadi 2029 dengan UU MK masa tugasnya di Mahkamah Konstitusi itu sampai Maret 2029. Oleh karenanya, tambah lima tahun. Dengan tindakan dari DPR kemarin melanggar prosedur hukum. Maka itu tidak sah,” tuturnya kepada Tinta Media Sabtu (1/10/2022).
 
Menurut Chandra,  keputusan DPR RI tersebut tidak sah kecuali Presiden mengeluarkan Surat Keputusan atau Keputusan Presiden pemberhentian tersebut. Sehingga "bola ini" selanjutnya berada di tangan Presiden untuk memberikan atau tidak memberikan tanggapan atas keputusan DPR tersebut.
 
“Jika Presiden menyetujui tindakan DPR RI maka ini merupakan perbuatan melawan prinsip non-intervensi. Terlalu vulgar menunjukkan intervensi kekuasaan kepada proses hukum,” ujarnya.  
 
Intervensi kekuasaan, sambung Chandra,  dalam berbagai kasus yang bersinggungan dengan kepentingan penguasa, pengaruh kekuasaan terhadap kekuasaan kehakiman berpotensi melahirkan berbagai putusan yang tidak mampu memberi rasa keadilan.
 
“Tindakan intervensi tersebut dapat disebut ancaman kepada hakim MK. Inilah hakikat dari pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Uneversitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19. Dengan adagium-nya yang  terkenal ia menyatakan, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut),” paparnya.
 
Kekuasaan yang dominan tanpa pengawasan hukum yang efektif, ucap Chandra, tentu akan menimbulkan kekuasaan yang otoriter.
 
“Oleh karena itu intervensi kekuasaan terhadap hukum, harus dihentikan,” tandasnya.[] Irianti Aminatun

Kamis, 15 September 2022

MK Tolak Kasasi Perkara KM 50, LBH Pelita Umat Sampaikan Legal Opini

Tinta Media - Terkait informasi penolakan permohonan Kasasi oleh MA atas putusan Hakim pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memvonis lepas dua polisi penembak laskar FPI, Ketua LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan SH M.H, memberikan pendapat hukumnya.

"Beredar informasi dari kantor berita yang memberitakan, "Majelis Hakim Mahkamah Agung menolak permohonan Kasasi Jaksa terkait putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis lepas dua polisi penembak laskar FPI (Front Pembela Islam) di Tol Cikampek KM 50". Berkaitan dengan hal tersebut diatas, saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut, " tuturnya kepada Tinta Media, Selasa, (13/9/2022).

Pertama, Chandra khawatir putusan Mahkamah Agung tersebut dijadikan legitimasi oleh siapapun tidak terkecuali aparat bersenjata untuk melakukan tindakan pembunuhan dengan alasan "pembelaan darurat yang melampaui batas".

Kedua, bahwa terdapat batasan yang sangat jelas dalam penggunaan dalil “pembelaan darurat yang melampaui batas” atau noodweer exces dapat dilakukan dengan syarat memenuhi unsur yaitu "harus ada serangan dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga". "Sebagai contoh yaitu seorang pembegal tiba-tiba menyerang polisi dengan celurit atau senjata tajam, maka dalam kondisi darurat dapat memungkinkan untuk menembak. Tapi, jika si pembegal telah tertangkap, maka polisi tersebut tidak boleh memukuli, menganiaya, menyiksa dan menembak mati karena pada waktu itu sudah tidak ada serangan mendadak dari pihak pembegal," ujarnya. 

Ketiga, bahwa dalam kasus KM50, kata Chandra, apabila santri pengawal Habib tersebut telah ditangkap dan teriak minta ampun, terlebih lagi misalnya santri pengawal tersebut tidak mengetahui yang mengejar adalah aparat, maka dalam situasi tersebut aparat dilarang melakukan tindakan pembelaan diri yang melampaui batas misalnya sebagai contoh dengan menganiaya dan menembak. 

"Kenapa? Karena unsur atau syarat serangan '...mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga' tidak terpenuhi, sehingga mestinya mengedepankan proses hukum terhadap santri tersebut seharusnya dapat diproses sebagaimana ketentuan pidana yang belaku. Proses hukum tersebut merupakan cerminan dari asas praduga tak bersalah dan memberikan kesempatan bagi pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan secara adil dan berimbang (due process of law)," bebernya. 

Keempat, bahwa ia khawatir vonis tersebut membuat masyarakat tidak percaya (distrust ) terhadap hukum, dan khawatir menimbulkan pembangkangan publik (public disabodiance).

Sebagai penutup, Chandra mengingatkan, bahwa barangsiapa membunuh seseorang, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. "Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia," pungkasnya.[] Arip

Jumat, 15 Juli 2022

Prof. Suteki: Para Pencari Keadilan Menuntut MK Dibubarkan

Tinta Media - Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum., menyatakan bahwa para pencari keadilan menuntut Mahkamah Konstitusi (MK) dibubarkan.

"Atas ketidakpuasan terhadap putusan yang berulangkali sama tersebut, para pencari keadilan akhirnya tidak percaya kepada majelis hakim MK bahkan menuntut agar MK dibubarkan," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (14/7/2022).

Menurutnya, putusan MK sangat klasik, konvensional dan cenderung menggunakan mantra hukum modern dengan dalil black letter law. Putusannya berputar dari tiga opsi, kalau tidak NO (Niet Ontvankelijke Verklaard yang merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil), tidak punya legal standing dan alasan open legal policy.

"Kita perlu prihatin karena terkesan MK telah kehilangan marwah," ujarnya.

Prof. Suteki menilai marwah itu hilang karena para hakim MK bertindak seperti hakim biasa yang tidak mau bahkan takut melakukan terobosan hukum bahkan terkungkung oleh bunyi-bunyi mantra peraturan yang jika diterapkan tidak akan menghadirkan keadilan kepada masyarakat (bringing justice to the people).

"Hukum seringkali menjadi sebuah mantra ajaib dapat dipakai oleh penguasa sebagai sarana melanggengkan kekuasaannya (status quo)," bebernya.

Ia mengungkapkan bahwa mantra ini bisa mengoyak siapapun penghalang yang menghadang kekuasaan. Dengan dalih atas nama hukum semua mulut yang terbuka bisa bungkam, tangan yang membentang bisa diringkus dan langkah kaki pun bisa dihentikan. "Ini namanya hukum dipakai sebagai tameng kekuasaan yang biasa kita sebut sebagai alat legitimasi kekuasaan. Oleh Brian Z Tambahan disebut sebagai The Thinnest Rule of Law (ROL)," ungkapnya.

Ia menjelaskan bahwa mantra ROL paling tipis ini akan lebih dahsyat lagi ketika diilhami oleh ideologi yang diklaim sebagai sosok mulia laksana berhala yang hendak disembah-sembah lantaran dianggap sebagai kalimat suci yang dianggap mampu mendatangkan kebaikan dan keburukan. Ideologi suci dan mantra ROL telah berkolaborasi menikam jantung misi negara hukum itu sendiri. " Misi negara hukum kita pun bukan sebatas mengagungkan tameng kekuasaan bernama black letter law, namun lebih menuju pada penghormatan (to respect), pemenuhan (fulfill) dan perlindungan (protect) yang dirangkum dalam Human Right Dignity," paparnya.

Ia menyatakan lompatan raksasa dari misi ROL yang tertinggi adalah tidak sekedar berorientasi pada legitimacy dan human right dignity tetapi pada misi untuk mewujudkan Social Welfare. Ini yang disebut sebagai The Thickets ROL. "Hal ini tentu tidak mungkin bisa dicapai ketika jalan menuju negara hukum justru secara paksa dibelokkan ke arah negara kekuasaan. "Jurang tengah menanti jatuhnya negara hukum ketika pilar-pilar negara hukum mulai dirobohkan oleh penguasa yang hendak melanggengkan dan mengokohkan tampuk kepemimpinannya," jelasnya.

Banyak contoh, lanjutnya,  yang dapat menjelaskan kasus ini, misalnya kasus pembubaran ormas yang juga sempat melibatkan MK terutama ketika dilakukan judicial review terhadap Perppu Ormas 2017. "Pembubaran ormas yang tidak ditempuh melalui Due Process of Law. nampaknya turut berkontribusi menggiring negara hukum itu ke bibir jurang negara kekuasaan itu," tukasnya.

"Inilah kalau hukum itu bersifat represif bukan responsif apalagi progresif. Mahkamah Konstitusi yang seharusnya bisa membaca hukum dengan moral (Moral Reading) ternyata sama dengan peradilan yang lainnya," ucapnya.

"Membaca hukum dengan kacamata kuda. Mengagungkan cara berpikir secara automat mechanistic. Cara berpikir ini mengandalkan bunyi Undang-undang sehingga hakim seolah hanya menjadi corong atau mulut UU (la bounce denla loi)," imbuhnya.

"Padahal kita tahu, sesuai dengan UU No. 48 Tahun 1009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa: Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat," tambahnya.

Ditambah, lanjutnya, aspek transendental dalam Irah-irahan putusan hakim yang berbunyi: Demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Ia mempertanyakan, Apa arti semua ini? Hal ini sesungguhnya bermakna bahwa hakim dalam memutus perkara tidak boleh hanya berdasarkan bunyi-bunyi pasal UU melainkan diberikan hak untuk berinovasi dalam menyelesaikan perkara.

"Dan di sinilah tampak jelas bagaimana relasi antara negara dan agama dalam penegakan hukum di Indonesia," pungkasnya.[] Ajira

Rabu, 08 Juni 2022

Lewati Tenggat Waktu 45 Hari, LBH Pelita Umat: MK Tolak Gugatan Uji Formil UU IKN


Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji formil tentang Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) karena melewati tenggat waktu 45 hari.

"Mahkamah Konstitusi atau MK menolak gugatan tentang Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara alias UU IKN. Keputusan itu dibacakan pada Selasa, 31 Mei 2022. Majelis hakim berpandangan, gugatan uji formil dilayangkan Argumen ke MK pada hari ke-46, yakni pada 1 April 2022, setelah UU IKN diundangkan pada 15 Februari 2022. Sementara itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, tenggat waktu uji formil maksimum 45 hari sejak beleid diundangkan," tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (7/6/2022).

Menurutnya, pembatasan "tenggat waktu uji formil maksimum 45 hari sejak beleid diundangkan" tersebut dapat menghalangi akses keadilan bagi masyarakat. "Bagi masyarakat tentu akan mengalami kesulitan dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengetahui dengan detail proses pembentukan Undang-undang, terlebih lagi tidak memiliki akses kepada lembaga terkait, ditambah lagi keterbatasan dana dan sumber daya," jelasnya.

Ditengah keterbatasan masyarakat, kata Chandra, negara seharusnya hadir untuk menjamin akses masyarakat terhadap hak akses keadilan sebagai warga negara sesuai amanat konstitusi. Pasal 28H ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Artinya, secara konstitusional, negara berkewajiban menjamin hak untuk memperoleh keadilan hukum setiap warga negara Indonesia.

Ia menilai, putusan Mahkamah Konstitusi tentang pembatasan "tenggat waktu uji formil maksimum 45 hari sejak beleid diundangkan" mesti ditinjau ulang dalam arti Mahkamah Konstitusi dapat membuat "terobosan" putusan yang berbeda terkait tenggat waktu.

"Jika tidak, khawatir publik menilai MK membatasi hak konstitusionalnya," pungkasnya.[] Yupi UN

Sabtu, 02 April 2022

Ketua MK Nikahi Adik Jokowi, Sastrawan Politik: Bisa Dijadikan Strategi Pengamanan Tunda Pemilu

https://drive.google.com/uc?export=view&id=16ZS9N0TtbI9bvHFv7zIK6RgaL7DXJZf4

Tinta Media - Menanggapi kabar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman akan menikahi adik kandung Presiden Joko Widodo, Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin menilai hal ini bisa dijadikan strategi pengamanan tunda pemilu.

"Wajah publik khawatir, langkah ini bisa dijadikan strategi pengamanan tunda pemilu untuk menambah kekuasaan Jokowi," tuturnya kepada Tinta Media, Jumat (1/4/2022).

Menurutnya, sangat wajar publik khawatir, karena pertimbangan putusan MK kelak akan dibahas di kamar berdua Idayati. "Tidak lagi atas pertimbangan hukum dan keadilan, melainkan atas kepentingan kekuasaan," ungkapnya.

Ia mengingatkan, mengenai status Idayati yang merupakan adik Jokowi. Jokowi sebagai pucuk pimpinan lembaga eksekutif (Presiden), dan Anwar Usman selaku ketua lembaga yudikatif (MK). "Akan sangat berpengaruh pada independensi lembaga MK," terangnya.

Ia melanjutkan, MK memiliki posisi strategis sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution, penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution), pengawal demokrasi (the guardian of the democracy), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen's constitutional rights), serta pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).

“Karena itu, sekali lagi potensi konflik kepentingan yang menyebabkan MK kehilangan independensi dalam menjalankan fungsi dan perannya. "Terutama untuk menjaga kualitas putusan Mahkamah Konstitusi," paparnya.

Ia pun menyayangkan kritik masyarakat terhadap Anwar Usman tidak dijawab dengan perspektif seorang negarawan dalam menyampaikan pikiran yang berintegritas. "Dengan narasi wajah gantengnya, Anwar justru bernarasi tentang takdir cinta dan jodohnya," tukasnya.

Ia melihat bahwa disinilah letak kesalahan dan bias jawaban sekaligus penjelasan Anwar Usman. “Anwar tidak pernah menjawab dengan penegasan bahwa keputusannya untuk menikahi Idayati tidak akan mempengaruhi putusan yang dihasilkan MK. Anwar tidak memberikan komitmen dan garansi bahwa dirinya akan tetap independen, menjadi pengawal konstitusi dan tidak akan berubah menjadi garda penjaga kekuasaan Jokowi," bebernya.

Kalaupun Anwar menyatakan komitmen itu, menurutnya, tetap saja publik belum tentu percaya. "Mengingat, publik lebih mempercayai atas apa yang dilakukan ketimbang apa yang dijanjikan," tandasnya.[]Ajira

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab