Tinta Media - Profesi hakim bukanlah main-main. Di tangannyalah segala vonis dan putusan peradilan ditegakan. Betapa tersayat hati masyarakat saat profesi yang dipercayakan ini rupanya bisa melukai hati mereka. Pasalnya, hakim yang tidak kompeten hanya akan berimbas pada cacat hukum yang jauh dari prinsip berkeadilan.
Padahal, pemerintah telah mengupayakan gaji tinggi disertai tunjangan, dengan harapan mencegah prilaku korup dan terpeliharanya integritas hakim. Pemberian remurenerasi itu rupanya tidak pernah cukup di tangan mereka yang rakus.
Mungkinkah seorang hakim rakus? Meski kelihatannya tidak mungkin, tetapi proses mempertahankan integritas itulah yang tidak mudah, bagi mereka yang sudah dipercaya dengan integritas yang baik. Godaan akan selalu ada menggoyahkan mereka, untuk menguji apakah integritas itu akan tetap bertahan, atau jangan-jangan dilanggar.
Persoalan integritas tak pernah usai disoroti. Betapa tragisnya pengkhianatan dari seorang aparat peradilan yang jatuh di kubangan korup. Hal ini sekaligus momentum bersih-bersih untuk negeri ini mengingat semakin luasnya lingkungan koruptif belakangan ini.
Asal Muasal Tamak
Proses dan sepak terjang seseorang hingga ia menjadi hakim tentu tidaklah mudah. Dapat dipastikan bahwa peluang menjadi hakim tersebut karena sudah adanya penilaian mengenai integritas yang baik.
Kembali pada kaidah manusia biasa, bahwa dalam masa perjalanan itu, seseorang sangat mungkin tersandung krikil, meski sosok berintegritas tinggi sekalipun. Mungkin karena gaya hidup yang tak lagi sesederhana sebelum menjadi hakim dengan kapasitas pendapatan yang jauh lebih tinggi, hingga pola hidup hedon inilah yang disinyalir kuat menjadi pemicunya.
Atau mungkin lingkungan yang kurang support dan sistem yang buruk hingga tidak ada dorongan untuk bertahan sehingga berani melanggar integritasnya. Ditambah lagi, faktor minimnya pendidikan akidah yang sesungguhnya dapat menyelematkan seseorang dari sikap tamak karena rasa takut kepada Allah.
Pada prinsipnya, ini tidaklah tepat menjadi sangkalan kesia-siaan gaji yang besar. Pemerintah justru harus semakin meningkatkan kesejahteraan para pemangku peranan penting di negeri ini. Dan kasus ini tidak bisa digeneralisasi sebagai kegagalan gaji tinggi dalam membentengi korupsi.
Akan tetapi, bagaimana caranya mengedukasi agar terhindar dari sifat tamak? Ada semacam PR pendidikan karakter yang perlu dibenahi secara optimal. Karena bagaimanapun, asal-muasal tamak adalah indikasi gagalnya pendidikan karakter seseorang.
Penguatan Karakter
Sikap tamak adalah akhlak tercela dan harus dihindari. Keyakinan akan tercelanya sikap tamak perlu dikuatkan sedari kecil. Pendidikan akidah akan menguatkan seseorang untuk berlindung diri dari harta yang tidak hak. Kemudian, perlu adanya keteladanan gaya hidup yang baik dari orang terdekat sebagai percontohan anak.
Mulai dari lingkungan keluarga, pemerintah perlu menyosialisasikan masyarakat dalam menghimbau pentingnya praktik ilmu parenting, serta memfasilitasi berbagai hal yang dapat membantu untuk keberlangsungan parenting yang menyeluruh.
Sebab, lingkungan pertama ini akan meninggalkan atsar (pengaruh) yang sangat membekas dan mendarah daging menjadi sebuah watak dan kepribadian seseorang semasa hidupnya. Betapa krisis akhlak yang menghantui masyarakat perlu ditindak serius. Semua bisa dimulai dari pembenahan lingkungan keluarga yang harus berkesadaran memberikan hak pendidikan, bukan sekadar membesarkan anak.
Belum lagi persoalan lembaga pendidikan. Kualitas para pendidik harus dilirik karena lembaga pendidikan pun sebagai momentum strategis pembentukan karakter seseorang. Para pendidiknya perlu disejahterakan, setidaknya untuk menjamin agar bisa tampil sebagai figur pendidik sebagaimana yang diamanatkan undang-undang.
Sedangkan saat ini, RUU Sisdiknas masih di ambang keambiguan. Banyak ahli yang mempertanyakan keberpihakannya pada kesejahteraan guru. Padahal, jaminan pendidikan terbaik pun harus bisa ditingkatkan. Pemerintah harus mengupayakannya dengan menjamin kesejahteraan para guru sebagai pegiat pendidikan.
Tidak cukup hanya menyosialisasikan program-program pendidikan karakter, situasi zaman kita berada dalam paradigma bahwa pendidikan yang hanya mengandalkan kelembagaan saja tidaklah cukup.
Saat ini, lembaga pendidikan tidak bisa lagi berdiri sendiri.
Zaman ini tantangannya sudah begitu berat. Peranan keluarga dapat secara signifikan membantu keberlangsungan lembaga pendidikan dalam melanjutkan penguatan karakter para anak didiknya. Sebab anak yang sudah diberi dasar, tak sama dengan anak yang tidak pernah diberi pendidikan sama sekali.
Sentuhan parenting inilah yang dirasa dalam fase darurat untuk dioptimalkan. Wajah pendidikan kita yang suram itu, perlu penguatan karakter dari peranan keluarga. Sebab, dari mana lagi hak pendidikan mendasar itu jika bukan dari keluarga?
Oleh: Shopiah Syafaatunnisa
Guru