Tinta Media: MA
Tampilkan postingan dengan label MA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MA. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 05 Agustus 2023

MAHKAMAH AGUNG (MA) MELARANG PENGADILAN UNTUK MENGABULKAN PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Tinta Media - Berkaitan dengan Mahkamah Agung yang mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung terkait larangan pengadilan mengabulkan pernikahan beda agama, saya akan memberikan pendapat hukum sebagai berikut:

Pertama, Bahwa Kami sangat mendukung Mahkamah Agung (MA) yang telah secara resmi melarang pengadilan mengabulkan pernikahan beda agama. Keputusan itu dimuat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan;

Kedua, Bahwa SEMA tersebut telah sesuai dengan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 Ayat (1) berbunyi _perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dari pasal ini sudah sangat jelas terdapat frasa *".... menurut hukum masing-masing agama....".* Sehingga ketika agama Islam misalnya melarang menikah dengan orang yang beda agama, maka ketika dipaksakan menjadi tidak sah; 

Ketiga, Bahwa SEMA tersebut juga telah sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.68/PUU-XII/2014 dan 24/PUU-XX/2022 yang menolak permohonan dilegalkan pernikahan beda agama. Dan Ketentuan pasal diatas diperkuat dengan fatwa MUI yang menyatakan pernikahan beda agama haram dan tidak sah. Hal itu dimuat dalam Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama;

Keempat, Bahwa orang tua muslimah yang anaknya "telah nikah" beda agama, dapat melakukan gugatan pembatalan melalui pendekatan Perbuatan Melawan Hukum.

Demikian
IG @chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
(Ketua LBH Pelita Umat dan Mahasiswa Doktoral)

Jumat, 06 Januari 2023

Korupsi dan Suap Menggurita di MA

Tinta Media - Kasus suap di negeri ini masih terus terjadi. Mirisnya lagi, dugaan suap juga dilakukan oleh penegak hukum. Bagaimana keadilan bisa dijalankan jika hakim saja menjadi tersangka kasus suap?

Dilansir dari BBC News Indonesia (20/12/2022), seorang hakim yustisia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung. Bahkan EW langsung ditahan lembaga antirasuah pada hari senin (19/2). 

Hal ini tentu menjadikan masyarakat hilang kepercayaan pada penegak hukum. Karena pada realitanya rekayasa hukum itu nyata adanya. Bertambahnya tersangka kasus dugaan suap ini menunjukkan kasus suap semakin menggurita di tubuh MA. Selain kasus suap. KPK juga menangkap tangan hakim dibeberapa daerah terkait korupsi. 

Kapitalisme menyuburkan Korupsi

Seolah tidak ada solusi. Kasus korupsi di negeri ini terus berulang. Bahkan seolah tidak terkendali. Mirisnya kasus korupsi dan suap kini menimpa hakim penegak hukum. Kasus pelanggaran penegak hukum begitu mulus terjadi. 

Menurut peneliti PUKAT UGM Zaenur Rohman, ia mengatakan korupsi peradilan ini sudah menggurita sejak zaman dulu, bahkan jauh sebelum reformasi 1998. bbc.com (20/12/23)

Hal ini menyadarkan kita, bahwa sejak awal sistem peraturan yang dibuat di negara ini belum mampu memberikan keadilan. Keadilan seolah barang tabu dan sulit diwujudkan. Padahal keadilan ini penting diterapkan. Apalagi terkait putusan hakim dalam memberikan ketetapan hukum. Ketika setiap pelanggaran yang dilakukan rakyat akan selesai saat diberi hukuman oleh hakim. Bagaimana pelanggaran bisa hilang jika hukum begitu mudah diperjualbelikan. 

Inilah hukum buatan manusia. Prosesnya bisa direkayasa. Aturannya bisa diubah sesuai kehendak dan hawa nafsu belaka. Bahkan hukum seolah hanya berlaku bagi rakyat melata. Sedangkan bagi pengusaha dan pejabat negara seolah bisa direkayasa. Asalkan ada uang, semua kasus menjadi aman.

Padahal penegakan hukum ini penting. Agar pelaku kriminal bisa jera. Agar kejahatan tidak terus berulang. Sehingga keamanan bisa dirasakan masyarakat. 

Sebagaimana hukum Islam yang Allah turunkan begitu sempurna dalam peradilan. Hukum yang diberlakukan oleh Islam bukan hanya sebatas pada pelaku kejahatan saja. Tapi kemaslahatannya berlaku juga bagi negara dan masyarakat. Karena hukum itu haruslah berpihak kepada semua lapisan. 

Misalnya, hukum harus berpihak kepada masyarakat. Masyarakat merasa terlindungi. Cara Islam dalam melindungi masyarakat agar tidak terkena hukum adalah adanya pencegahan (jawazir). Pencegahan ini bisa direalisasikan saat hukuman bagi pelaku tindak kejahatan dihukum dengan Islam. Seperti hukuman yang Allah berlakukan bagi pelaku pencurian adalah dipotong tangannya. Hukuman ini akan menjadikan masyarakat berpikir beribu-ribu kali untuk melakukan pencurian. Sehingga pencegahan tindakan pencurian yang dilakukan masyarakat bisa terwujud. 

Hukum juga berpihak kepada pemerintah. Jika hukum itu tegas diterapkan. Maka pelaku tindak kejahatan akan berkurang. Hal ini tentu mengurangi beban negara. Saat ini penjara begitu penuh. Beban negara dalam menjamin kehidupan narapidana semakin bertambah. Kapasitas lapas di Indonesia terus bertambah. Padahal lapas hanya menampung 90.000, tapi saat ini orang yang dipenjara lebih dari 300.000. Sehingga negara over load, harus mengeluarkan 2 triliunan untuk makan mereka. 

Selanjutnya, dalam Islam, hukum itu harusnya berpihak kepada korban. Kalau dalam hukum jinayat, korban bisa menuntut balas walau ada peluang untuk memaafkan dengan cara bayar diyat. Sedangkan di sistem Kapitalis peluang itu tidak ada. 

Hukum pidana Islam juga berfungsi sebagai jawabir. Artinya jika manusia dihukum di dunia, maka dia yakin jika dia ikhlas menerima hukuman maka akan jadi kafarat bagi hukuman di akhirat.

Hukum pidana Islam jika diterapkan pada pelaku korupsi dan suap, maka kasus yang serupa tidak akan terulang lagi. Walalahu alam

Oleh: Teti Rostika
Sahabat Tinta Media 

Senin, 10 Oktober 2022

Saat Gaji Tinggi Koruptif Membentengi Korupsi

Tinta Media - Profesi hakim bukanlah main-main. Di tangannyalah segala vonis dan putusan peradilan ditegakan. Betapa tersayat hati masyarakat saat profesi yang dipercayakan ini rupanya bisa melukai hati mereka. Pasalnya, hakim yang tidak kompeten hanya akan berimbas pada cacat hukum yang jauh dari prinsip berkeadilan.

Padahal, pemerintah telah mengupayakan gaji tinggi disertai tunjangan, dengan harapan mencegah prilaku korup dan terpeliharanya integritas hakim. Pemberian remurenerasi itu rupanya tidak pernah cukup di tangan mereka yang rakus.

Mungkinkah seorang hakim rakus? Meski kelihatannya tidak mungkin, tetapi proses mempertahankan integritas itulah yang tidak mudah, bagi mereka yang sudah dipercaya dengan integritas yang baik. Godaan akan selalu ada menggoyahkan mereka, untuk menguji apakah integritas itu akan tetap bertahan, atau jangan-jangan dilanggar.

Persoalan integritas tak pernah usai disoroti. Betapa tragisnya pengkhianatan dari seorang aparat peradilan yang jatuh di kubangan korup. Hal ini sekaligus momentum bersih-bersih untuk negeri ini mengingat semakin luasnya lingkungan koruptif belakangan ini.

Asal Muasal Tamak

Proses dan sepak terjang seseorang hingga ia menjadi hakim tentu tidaklah mudah. Dapat dipastikan bahwa peluang menjadi hakim tersebut karena sudah adanya penilaian mengenai integritas yang baik. 

Kembali pada kaidah  manusia biasa, bahwa dalam masa perjalanan itu, seseorang sangat mungkin tersandung krikil, meski sosok berintegritas tinggi sekalipun. Mungkin karena gaya hidup yang tak lagi sesederhana sebelum menjadi hakim dengan kapasitas pendapatan yang jauh lebih tinggi, hingga pola hidup hedon inilah yang disinyalir kuat menjadi pemicunya. 

Atau mungkin lingkungan yang kurang support dan sistem yang buruk hingga tidak ada dorongan untuk bertahan sehingga berani melanggar integritasnya. Ditambah lagi, faktor minimnya pendidikan akidah yang sesungguhnya dapat menyelematkan seseorang dari sikap tamak karena rasa takut kepada Allah.

Pada prinsipnya, ini tidaklah tepat menjadi sangkalan kesia-siaan gaji yang besar. Pemerintah justru harus semakin meningkatkan kesejahteraan para pemangku peranan penting di negeri ini. Dan kasus ini tidak bisa digeneralisasi sebagai kegagalan gaji tinggi dalam membentengi korupsi.

Akan tetapi, bagaimana caranya mengedukasi agar terhindar dari sifat tamak? Ada semacam PR pendidikan karakter yang perlu dibenahi secara optimal. Karena bagaimanapun, asal-muasal tamak adalah indikasi gagalnya pendidikan karakter seseorang.

Penguatan Karakter

Sikap tamak adalah akhlak tercela dan harus dihindari. Keyakinan akan tercelanya sikap tamak perlu dikuatkan sedari kecil. Pendidikan akidah akan menguatkan seseorang untuk berlindung diri dari harta yang tidak hak. Kemudian, perlu adanya keteladanan gaya hidup yang baik dari orang terdekat sebagai percontohan anak. 

Mulai dari lingkungan keluarga, pemerintah perlu menyosialisasikan masyarakat dalam menghimbau pentingnya praktik ilmu parenting, serta memfasilitasi berbagai hal yang dapat membantu untuk keberlangsungan parenting yang menyeluruh. 

Sebab, lingkungan pertama ini akan meninggalkan atsar (pengaruh) yang sangat membekas dan mendarah daging menjadi sebuah watak dan kepribadian seseorang semasa hidupnya. Betapa krisis akhlak yang menghantui masyarakat perlu ditindak serius. Semua bisa dimulai dari pembenahan lingkungan keluarga yang harus berkesadaran memberikan hak pendidikan, bukan sekadar membesarkan anak. 

Belum lagi persoalan lembaga pendidikan. Kualitas para pendidik harus dilirik karena lembaga pendidikan pun sebagai momentum strategis pembentukan karakter seseorang. Para pendidiknya perlu disejahterakan, setidaknya untuk menjamin agar bisa tampil sebagai figur pendidik sebagaimana yang diamanatkan undang-undang. 

Sedangkan saat ini, RUU Sisdiknas masih di ambang keambiguan. Banyak ahli yang mempertanyakan keberpihakannya pada kesejahteraan guru. Padahal, jaminan pendidikan terbaik pun harus bisa ditingkatkan. Pemerintah harus mengupayakannya dengan menjamin kesejahteraan para guru sebagai pegiat pendidikan. 

Tidak cukup hanya menyosialisasikan program-program pendidikan karakter, situasi zaman kita berada dalam paradigma bahwa pendidikan yang hanya mengandalkan kelembagaan saja tidaklah cukup. 
Saat ini, lembaga pendidikan tidak bisa lagi berdiri sendiri.

Zaman ini tantangannya sudah begitu berat. Peranan keluarga dapat secara signifikan membantu keberlangsungan lembaga pendidikan dalam melanjutkan penguatan karakter para anak didiknya. Sebab anak yang sudah diberi dasar, tak sama dengan anak yang tidak pernah diberi pendidikan sama sekali. 

Sentuhan parenting inilah yang dirasa dalam fase darurat untuk dioptimalkan. Wajah pendidikan kita yang suram itu, perlu penguatan karakter dari peranan keluarga. Sebab, dari mana lagi hak pendidikan mendasar itu jika bukan dari keluarga?

Oleh: Shopiah Syafaatunnisa
Guru

Minggu, 02 Oktober 2022

Penegak Hukum MA Terkena OTT KPK, Gus Uwik: Mereka Layak Disebut Para 'Bedebah'!

Tinta Media - Merespon banyaknya para penegak hukum dari Mahkamah Agung (MA) yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK, Peneliti Pusat Kajian Peradaban Islam Gus Uwik mengatakan mereka layak disebut para 'bedebah'.
 
“Sungguh miris! Para penegak hukum terkena OTT KPK karena terlibat suap menyuap untuk pengkondisian kasus. Enggak  tanggung-tanggung, yang terlibat ada hakim agung, panitera pengganti mahkamah agung, PNS di mahkamah agung  dan sejumlah pengacara. Mereka layak di sebut sebagai para ‘bedebah’,” tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (1/10/2022).
 
Menurutnya,  hal ini sangat sulit diterima oleh akal, yang ada justru sangat brutal. “Mereka-mereka yang seharusnya memberi keadilan hukum atas perkara yang melibatkan rakyat malah menjadi mafia,” geramnya.
 
"Mereka justru mempermainkan hukum. Hukum dikondisikan sesuai dengan keinginan yang punya uang. Sepertinya keadilan hukum dan persamaan di depan hukum itu omong kosong, manis di mulut tapi nol dalam implementasinya,” kritiknya.
 
Kasus di atas, kata Gus Uwik,  jadi tabir pembuka bahwa hukum buta, hukum itu sesuai keinginan yang punya uang dan adanya mafia hukum itu nyata, tidak bisa terbantahkan lagi, tidak bisa berkelit lagi. Fakta begitu jelas lagi kasat mata.
 
“Bisa dibayangkan, para penegak hukum justru yang menjadi mafianya. Hancur leburlah hukum ini. Belum lagi kondisi carut marut yang ada semakin runyam ketika dikaitkan dengan kasus Sambo. Dia begitu piawai merekayasa kasus. Ngeri sekali,” tuturnya miris.
 
Dari Sambo, lanjut Gus Uwik,  bisa dimengerti jika hukum bisa direkayasa sesuai kepentingan kekuasaan atau yang punya uang, rakyat pasti akan selalu jadi korban.
 
“Jika dilihat rangkaian persitiwa yang ada, dari kasus Sambo dan OTT KPK ini akan tersibak kengerian penegakan hukum di negeri ini. Tiga  pilar penegak hukum; kepolisian, hakim dan pengacara ternyata ada para bedebahnya.  Apakah ini oknum? Kalau lihat kasus Sambo dan OTT KPK ini nampak ini ada mafia dan jaringannya, terbukti banyaknya orang yang terlibat. Jelas, bukan oknum. Bisa jadi sudah menjadi budaya,” ungkap Gus Uwik memberikan analisa.
 
Menyikapi kondisi ini, Gus Uwik tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya seraya  mengatakan jangan berharap hukum akan tegak lurus dan berkeadilan jika masih bercokol para bedebah tersebut. “Harus disikat habis sampai keakar-akarnya,” lugasnya.
 
Buah Sekularisasi
 
Banyaknya bedebah ini dinilai Gus Uwik sebagai  buah dari sekularisasi. “Para penegak hukum "diharamkan" untuk beriman dan bertaqwa. Diksi itu hanya ada dalam kalimat ceramah dan sambutan saja. Nol besar dalam pelaksanaan. Buktinya para penegak hukum enggak  takut lagi sama surga dan neraka, apalagi dosa. Mereka tahu, tapi enggak  peduli. Inilah racun sekularisasi. Allah Swt. sebagai Sang Pencipta dianggap "ada" ketika di masjid saja. Di luar itu dianggap hilang, enggak  memantau apalagi hadir. Sekuler kafah,” urainya.
 
Wajar, lanjutnya, jika mereka alergi pada syariat Islam. Pahamnya bertentangan dengan sekuler kaffah. Syariat Islam mewajibkan selalu ingat kepada Allah Swt. dengan bukti selalu terikat dengan syariatNya, sekuler justru "mengharamkan" untuk ingat kepada Allah Swt. apalagi terikat dengan syariatNya. Haram total.
 
“Yakinlah, hukum akan senantiasa buta dan tidak berkeadilan jika para penegakknya sekuler kafah. Negara ini juga menerapkan hukum sekuler,” tandasnya.
 
Keadilan dalam hukum, menurutnya,  akan mudah terwujud jika para penegak hukumnya iman dan taqwa, negaranya menerapkan syariat Islam sebagai bukti iman dan taqwanya.
 
“Ini bukan terori, tapi sudah terbukti selama 14 abad dalam empirium Khilafah. Keadilan hukum buat semua kalangan rakyat dan agama terbukti terjamin. Sejarah pun mencatat dalam tinta emas. Tidak ada yang meragukan,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun
 

Senin, 26 September 2022

Hakim Agung MA Ditangkap, Siyasah Institute: Potret Buram Lembaga Peradilan

Tinta Media - Menanggapi ditangkapnya Hakim Agung MA Sudrajad Dimyati sebagai tersangka kasus suap oleh KPK, Direktur Siyasah Institute Ustaz Iwan Januar menyampaikan bahwa hal itu merupakan potret makin buramnya integritas lembaga peradilan.

"Ini potret makin buramnya integritas lembaga peradilan, mental pejabatnya, gambaran makin buramnya perang melawan budaya korupsi," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (24/9/2022).

Ia menilai adanya kecerobohan dalam seleksi hakim agung, sehingga bisa meloloskan seorang koruptor. "Termasuk kecerobohan seleksi hakim agung sampai-sampai seorang koruptor bisa lolos," sesalnya.

Menurutnya, perilaku korupsi itu tidak muncul tiba-tiba, tapi sudah jadi budaya dan habit seorang pejabat. "Berarti seleksinya bermasalah," tandasnya.

Selain itu, korupsi juga merupakan bagian dari budaya entitas tertentu dan pribadi seseorang. 

"Dalam suatu lembaga bisa jadi begitu toleran terhadap budaya korupsi seperti menerima gratifikasi, makan bersama pejabat atau pengusaha bermasalah," terangnya. 

Tidak kalah pentingnya, lanjutnya, adalah tindakan kuratif atau sanksi pidana terhadap koruptor juga makin ringan. 

"Bulan September ini ada 23 koruptor bebas bersyarat. Hukuman yang dijatuhkan pada mereka juga rata-rata di bawah 4 tahun menurut ICW. Termasuk pada jaksa Pinangki," ujarnya.

Ia menyesalkan sanksi yang diberikan kepada para koruptor, karena tidak memberikan efek jera.

"Bagaimana sanksi macam ini membuat jera? Harusnya semakin keras terutama pada aparat penegak hukum. Bukannya makin ringan," sesalnya.

Menurutnya, yang menjadi akar masalah dari kasus ini adalah publik kita, khususnya di lingkungan pejabat, pengusaha termasuk aparat hukum terlalu toleran terhadap budaya korupsi dan para pelakunya. Budaya gratifikasi masih belum bisa dihilangkan. 

"Ada lingkaran setan korupsi, dimana para pengusaha, pejabat dan aparat yang bermasalah saling kenal dekat, saling membantu dan biasa dengan gratifikasi. Akhirnya sulit diberantas," terangnya.

Untuk menyelesaikan secara tuntas kasus ini, ia memandang harus ada perombakan akidah dan akhlak juga sistem. 

"Tidak cukup hanya akhlak, tapi yang paling mendasar akidah yang jadi falsafah kehidupan dan hukum harus diganti dengan Islam. Jadi muncul ketakwaan yang hakiki," tandasnya.

Kemudian hukum dibenahi dengan hukum Islam. Hukum buatan manusia bisa diubah suka-suka. "Tanamkan juga akhlak karimah termasuk tidak mentolerir budaya gratifikasi dan bergaul dengan pejabat dan pengusaha bermasalah," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka

Sabtu, 24 September 2022

Mahkamah Agung dalam Lingkaran Mafia Peradilan

Tinta Media - Geger Mahkamah Agung (MA) kembali menyeruak setelah ditenggarai oknum hakim agung menjadi Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara. Ini semakin menambah daftar panjang ketidakpercayaan publik terhadap lembaga penegakan hukum di Indonesia setelah lembaga kepolisian juga tercemar dalam kasus Sambo sebagai tersangka pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat. 

Semua pihak mafhum MA merupakan benteng terakhir pencari keadilan, sehingga jika benteng ini saja sudah rapuh, kemana lagi rakyat bangsa Indonesia berharap keadilan. Sangat ironis. Tentu ada persoalan dasar sistemik yang harus digeledah mengapa lembaga peradilan sekelas MA, pada akhirnya terseret lingkaran mafia peradilan. Padahal MA didesain sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang memiliki kredibilitas paling top mengakomodir kepentingan para pencari keadilan.

MA sejatinya merupakan produk lembaga peradilan yang lahir dari rahim peradaban Eropa. Lembaga ini diadopsi dari produk kolonial Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental dengan berdasarkan asas konkordansi. Sebagai produk sistem peradilan Eropa yang nyaris bertumpu kepada paradigma sekuleristik, maka saat bersamaan, rujukan hukum bagi para hakim agung memutus perkara, adalah undang-undang tertulis hasil produk berpikir manusia, yang kemudian menjadi pertimbangan hukum atau ratio decidendi dalam putusan kasasi MA. Pertimbangan hukum umumnya lahir dari subjektivitas nalar para hakim agung.

Subjektivitas nalar hakim, celakanya pada kasus-kasus tertentu, bersandar kepada arus kepentingan pragmatis oknum hakim, semisal kepentingan ekonomi atau intervensi kekuasaan. Ini salah satu problematika sistemik yang menghinggapi MA. Yang lain, MA masih terkoptasi dengan gagasan positivistik yang abai dengan nilai-nilai spiritual meski diatas kertas termaktub kalimat Dengan Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi sekedar kata-kata simbolik.

Problematik sistemik tersebut, yang hingga kini menjangkiti atau boleh dibilang merusak marwah MA, merupakan alasan sulitnya MA keluar dari lingkaran setan mafia peradilan. Apalagi semua pilar penegakan hukum yang menyanggu sistem peradilan Indonesia, hampir dipastikan tidak ada yang lepas dari jeratan lingkaran mafia peradilan. Tentunya MA secara empiris sulit mengelak dari lingkaran setan mafia peradilan.

Ini bukti, peradilan berbasis sekuleristik pragmatis, tidak bisa diharap mengakomodir kepentingan para pencari keadilan yang menginginkan penegakan hukum semua orang sama didepan hukum (equality before the law). Sistem peradilan Islam, sejatinya mampu memberikan cahaya keadilan bagi umat manusia. Alasannya, sistem peradilan Islam datangnya dari Sang Pencipta yang Maha Agung dan Maha Adil. Sehingga, semua sistem peradilan manapun di luar sistem peradilan Islam, tidak akan mampu memberikan jaminan keadilan atas dasar semua orang sama di depan hukum. Sistem peradilan produk manusia, serba lemah dan terbatas. Produk akal manusia, betapapun jeniusnya, tak akan mampu menandingi produk wahyu yang maha sempurna.

Oleh: Dr. Muh. Sjaiful, SH., M.H.
Indonesia Justice Monitor


Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab