Menumbuhkan Budaya Literasi bagi Pendidik
Tinta Media - Dalam wikipedia budaya literasi didefinisikan sebagai suatu budaya di dalam masyarakat yang meliputi segala usaha manusia yang berkaitan dengan kegiatan membaca dan menulis. Komponen utama dalam pembentukan budaya literasi adalah kegiatan membaca, menulis dan berpikir kritis.
Tujuan budaya literasi adalah menciptakan tradisi berpikir yang diikuti oleh proses membaca dan menulis sehingga dapat menciptakan karya tulis ilmiah yang berdaya guna.
Tuntutan perkembangan dunia pendidikan di era digital menuntut pendidik untuk memiliki kemampuan literasi yang baik. Apakah kemampuan literasi membaca, menulis terlebih lagi literasi digital. Dengan kemampuan literasi yang baik akan dapat mendorong pendidik untuk memanfaatkan berbagai macam kemudahan teknologi untuk menuangkan berbagai macam karyanya agar dapat memberikan kemanfaatan bagi orang lain terlebih lagi bagi peserta didiknya.
Menumbuhkan budaya literasi bagi pendidik merupakan hal yang harus terus menerus diupayakan dengan berbagai macam cara dan juga dengan pemanfaatan teknologi yang ada agar persepsi pendidik bahwa budaya literasi itu suatu hal yang sangat berat dan sulit diwujudkan akan dapat terkikis. Sehingga karya-karya produktif dapat dihasilkan oleh para pendidik melalui budaya literasi yang pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan pendidik. Untuk menumbuhkan budaya literasi bagi pendidik ada beberapa hal yang bisa dilakukan di antaranya:
1. Membangun kebutuhan
Membangun kebutuhan perlu dilakukan pertama kali untuk dapat menumbuhkan budaya literasi bagi pendidik. Biasanya seseorang akan melakukan sesuatu didorong oleh rasa kebutuhan orang tersebut pada sesuatu itu. Semakin tinggi rasa kebutuhan pada sesuatu itu akan semakin besar pula usaha yang dicurahkan. Kebutuhan tentunya ada tingkatannya, ada kebutuhan dilandaskan pada nilai materi dan ada kebutuhan dilandaskan pada nilai spiritual. Dari dua nilai kebutuhan ini, Kebutuhan yang dilandaskan pada nilai spiritual yang memiliki kekuatan yang tinggi dikarenakan tujuan akhirnya bukan sekedar nilai materi tetapi nilai spiritual yang tidak bisa dinilai dan diukur dengan apa pun.
Nilai spiritual akan menjadikan standar ukuran kebahagiaan adalah keridhoan Allah SWT bukan sekedar materi. Allah SWT berfirman dalam Al Quran Surat Ali ‘Imran ayat 133:
”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”.
Membangun kebutuhan spiritual perlu dikaitkan dengan suatu kesadaran bahwa hidup di dunia ini sangat sebentar, kisaran 60 – 70 tahun. Kalau diambil rata-rata kurang lebih 65 tahun. 65 tahun ini jika kita bandingkan dengan kehidupan di akhirat sekitar 0.5 hari akhirat. Sangat singkat sekali. Oleh karenanya, sangat disayangkan kehidupan dunia yang singkat ini kita pertaruhkan untuk kehidupan yang selama-lamanya kekal abadi di akhirat kelak. Maka penting bagi kita untuk menggunakan umur kita sebaik-baiknya agar hasilnya dapat kita petik di dunia dan kelak di akhirat.
Muncul pertanyaan, dengan umur yang sangat singkat ini apakah ada cara, agar kita dapat memiliki amal yang sebanyak-banyaknya? Bahkan amal itu dapat jauh melampaui umur kita sendiri?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat merenungkan sabda Nabi SAW: “ Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim dan Ahmad).
Sabda yang lain, “Barang siapa yang mengajak pada petunjuk, maka baginya adalah pahala orang yang mengikutinya ajakannya, tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang mengajak pada kesesatan, maka baginya menangung dosa seperti dosa orang-orang yang mengikuti ajakannya itu, tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa mereka itu” (HR. Muslim).
Dua hadis ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa amal manusia akan terhenti ketika sudah meninggalkan dunia yang fana ini, kecuali beberapa amal yang pahalanya terus mengalir yakni Shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shalih yang mendo’akannya”.
Ketiga amal ini ada satu amal yang mudah dilakukan oleh siapa pun tanpa harus menjadi orang kaya terlebih dahulu sehingga bisa shodaqoh jariyah, atau memiliki banyak anak yang shalih mengingat fakta hari ini tidak banyak yang berkeinginan memiliki anak yang banyak. Amal itu adalah mengajak orang lain pada petunjuk Allah Swt, amal ini adalah salah satu aktivitas amal yang dicintai oleh Allah Swt dan menjadi amal yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para Sahabatnya.
Menekuni amal ini perlu untuk terus melakukannya sehingga pengalaman yang didapatkan bisa menjadi pelajaran untuk terus menemukan pola dan cara yang tepat dengan berbagai macam latar belakang objek yang akan diajak. Salah satu hal yang bisa kita jadikan sebagai uslub ( cara) dalam mengajak orang lain adalah melalui tulisan. Menulis bukan perkara yang mudah namun bisa kita lakukan. Dengan tulisan kita, harapannya orang lain mendapatkan inspirasi baik dan tulisan kita bisa menjadi bukti kelak di hadapan Allah Swt bahwa kita sudah berupaya untuk memberikan kontribusi menyampaikan risalah yang diturunkan-Nya. Hidup kita sangat singkat, melalui tulisan yang kita hasilkan meskipun kita sudah meninggalkan dunia ini, orang lain masih mengenal dan mendapatkan inspirasi dari tulisan kita.
“..Demi Allah, bila ada satu orang saja yang mendapat hidayah melalui perantaraan dirimu, maka itu lebih baik bagimu dari pada unta-unta merah (benda/kendaraan yang paling dibanggakan orang Arab).” (HR. Al-Bukhari)
Jika kebutuhan pendidik sudah didasarkan kepada nilai spiritual, maka budaya literasi akan dapat ditumbuhkan. Dengan dorongan untuk terus melahirkan karya yang dapat memberikan kebermanfaatan bagi orang lain yang kelak akan menjadi amal kebaikan bagi diri pendidik ketika menghadap Allah SWT.
2. Memulai dari yang paling mudah
Untuk Menumbuhkan budaya literasi, mulailah dari yang paling mudah. Mulai membaca dari topik yang paling disenangi. Tujuannya adalah dalam rangka menumbuhkan kecintaan dan kesukaan dalam membaca. Jika rasa cinta dan suka tumbuh maka akan menjadi modal bagi kita untuk terus meningkatkan variasi topik yang akan kita baca. Semakin banyak bacaan kita akan menambah banyak informasi yang kita rekam di otak kita. Dan informasi ini akan membantu kita untuk menumbuhkan budaya literasi.
3. Merawat rasa cinta dan rasa suka yang tumbuh
Rasa cinta dan rasa senang yang mulai tumbuh harus terus dirawat. Ibarat tunas tanaman yang baru tumbuh perlu di sirami secara teratur dan dijaga dari faktor-faktor yang merusak tunas tanaman tersebut. Demikian halnya dengan rasa cinta dan senang membaca harus terus dirawat. Caranya bisa dengan membuat komitmen diri untuk mengalokasikan waktu membaca sehari berapa lama.
Komitmen diri ini harus dijalankan dengan berbagai macam cara. Misal jika tidak dijalankan kita bisa memberi sangsi pada diri kita sendiri. Bentuk sangsinya pun yang positif, misal jika saya tidak membaca sesuai dengan komitmen diri saya maka saya akan bercerita kepada teman saya topik bacaan yang sudah saya baca. Ataupun bentuk sangsi positif lainnya. Harapannya dengan komitmen diri dan adanya sangsi positif, kecintaan dan kesukaan yang sudah tumbuh dapat terus dirawat.
4.Berbagi dalam forum kecil
Berbagi dalam forum kecil sebagai bentuk untuk terus membuat otak kita yang menyimpan informasi yang kita dapatkan dari membaca topik yang kita suka akan terus optimal. Otak akan terus dipaksa bekerja menyimpan dan mengeluarkan informasi yang ada. Melatih lisan, melatih gestur, melatih merangkai informasi akan terus menyuburkan budaya literasi. Pendidik tentunya tidak akan kesulitan membuat forum kecil untuk berbagi. Bisa forum kecil bersama peserta didik atau forum kecil bersama pendidik yang lain.
5. Tuangkan dalam bentuk tulisan
Setelah tumbuh rasa cinta dan suka membaca, dan juga sudah berbagi dalam forum kecil. Untuk mengikat pemahaman yang sudah kita miliki dengan cara menuangkan dalam bentuk tulisan. Menulis bisa kita lakukan di mana saja. Bisa menulis di akun media sosial, bisa menulis di laptop, atau menulis di buku harian kita.
Dalam menulis tidak harus terkungkung dengan persepsi harus sesuai dengan kaidah penulisan, harus tersistematis, harus sempurna dan persepsi lainnya yang justru membuat kita tidak akan menulis. Menulis saja seperti kita menulis balasan WA teman kita, atau balasan email. Setelah kita terbiasa menulis baru kemudian akan kita naikkan levelnya dengan standar penulisan yang sesuai dengan kaidah yang berlaku.
Semoga dengan lima hal ini, budaya literasi bagi pendidik dapat tumbuh dan terus berkembang. Didasarkan pada dorongan nilai spiritual menjadikan pendidik akan terus menghasilkan tulisan yang mampu menginspirasi pembaca menjadi pribadi yang semakin baik, yang akan memiliki pandangan yang berbeda tentang kehidupan ini sesuai dengan ketentuan Sang pencipta alam semesta.
Oleh: Rudi Harianto
Praktisi Pendidikan