Tinta Media: Listrik
Tampilkan postingan dengan label Listrik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Listrik. Tampilkan semua postingan

Minggu, 03 Maret 2024

Tarif Dasar Listrik Ikut Naik, Hidup Rakyat Kian Sulit



Tinta Media - Lagi-lagi rakyat yang harus menanggung beban dari rusaknya sistem yang di pakai negeri kita saat ini. Ibarat "Sudah jatuh tertimpa tangga". Sebelumnya harga kebutuhan pokok yang merangkak naik, terutama harga beras yang terus saja naik itu sudah menjadi beban hidup bagi rakyat. Dan sekarang akan di tambah lagi dengan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang bisa di pastikan akan menambah penderitaan bagi rakyat. Apalagi rakyat yang hidup di kalangan menengah ke bawah. Tentu saja kian hari kian terasa betapa sulitnya hidup ini.

Pemerintah menegaskan tidak akan ada kenaikan TDL dan BBM hingga Juni 2024 itu setelah wacana kenaikan tarif listrik pada Maret mengemuka. Dan pada ketentuan Peraturan Menteri ESDM yang menyebutkan penyesuaian tarif dasar listrik bagi pelanggan nonsubsidi di lakukan setiap tiga bulan mengacu pada perubahan terhadap realisasi parameter ekonomi makro yakni kurs, inflasi serta Harga Batubara Acuan (HBA). Tapi apakah setelah bulan Juni TDL tidak akan naik ? Jika semua berpatokan pada penyesuaian setiap tiga bulan maka kebijakan menaikkan TDL atau tidaknya tidak bisa dipastikan apalagi dari pemerintah yang tidak menjamin.

Padahal kita tinggal di negara yang mempunyai sumber daya alam (SDA) yang sangat melimpah dan tentu saja kita juga punya sumber energi listrik yang melimpah juga. Tapi pada saat ini PLN harus memutar otak untuk mendapatkan pasokan batu bara dalam memenuhi kebutuhan sumber energi listrik, karena batu bara yang di keruk dari perut bumi Indonesia yang dikuasai / dikelola oleh swasta. Selain batu bara terdapat banyak sumber energi lain yang juga sama di kuasai oleh swasta.

Di dalam sistem kapitalis, SDA yang melimpah bisa di miliki satu individu asalkan dia memiliki modal. Kekayaan rakyat di perjual belikan sehingga rakyat yang terkena imbasnya. Semua ini akibat dari negara yang tidak melindungi SDA, dan malah membiarkannya di eksploitasi dan di swastanisasi atas nama liberalisasi. Padahal dengan keberlimpahan ini sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik setiap warga jika pengelolaannya benar yakni di kelola oleh negara lalu di salurkan kepada rakyat melalui PLN.

Berbeda hal jika aturan / sistem Islam yang di pakai. Di dalam Islam, listrik merupakan harta kepemilikan umum dan batu bara yang merupakan bahan pembangkit listrik tentu saja termasuk dalam barang tambang yang jumlahnya sangat besar maka haram hukumnya di kelola oleh individu atau swasta. Dan jika pengelolaan listrik berdasarkan syariat Islam maka rakyat dapat merasakan kekayaan alam yang mereka miliki untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam kehidupan sehari hari.

Selama kita berada dalam sistem ini maka selamanya rakyat akan menderita. Mari perjuangkan Islam agar kemaslahatan hidup kembali di rasakan oleh umat. Karena tidak ada solusi yang hakiki dari semua problematik kehidupan kecuali jika kembali diterapkannya Islam sebagai aturan hidup.

Wallahu a'lam bish shawwab


Oleh: Ummu Arkaan
Sahabat Tinta Media 

Rabu, 29 Maret 2023

MENGAPA ESDM MENGEVALUASI TARIP LISTRIK TIAP TIGA BULAN SEKALI?

Tinta Media - Cnbc Indonesia 14 Maret 2023 menginformasikan bahwa mengingat "price contingencies" seperti inflasi, harga BBM, batu bara dsb, maka setiap tiga bulan sekali Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) terpaksa mengevaluasi tarip listrik untuk penyesuaian.

Namun bila dibandingkan dengan situasi dulu (ketika listrik secara Ideologis masih dianggap infrastruktur Negara yang "Public goods"), terutama sebelum Dahlan Iskan menjual ritail PLN ke Taipan 9 Naga pada tahun 2010 , atau sebelum terjadinya kompetisi penuh atau MBMS (Multy Buyer and Multy Seller) System, maka kenaikan tarip listrik harus sepengetahuan DPR RI. Sehingga tarip listrik masih relatip stabil ! 

Semua itu terjadi akibat kondisi kelistrikan yang makin LIBERAL terutama PLN Jawa-Bali sudah dalam kondisi "Unbundling Vertikal" yang mayoritas sudah dikuasai Aseng/Asing dan Taipan 9 Naga. PLN hanya menguasai jaringan Transmisi dan Distribusi saja (atau hanya sebagai "kuli panggul").

Dan apalagi sebentar lagi program HSH (Holding/Sub Holding) selesai, disusul "penyelundupan" UU "Power Wheeling System" (PWS) berhasil, maka kawasan Jawa-Bali akan berlangsung MBMS. Dan secara kodrat bila MBMS berlangsung maka tarip listrik minimal akan naik 5x lipat dari sebelum terjadinya MBMS. 

Sehingga paralel dengan penantian MBMS, tarip listrik secara "merangkak" akan dinaikkan terus mengikuti parameter pasar ! Itulah alasan sebenarnya mengapa Kementerian ESDM setiap tiga bulan sekali mengevaluasi tarip listrik PLN !

Bisa dimaklumi kan? Dan akan lebih baik bila Serikat Serikat dilingkungan PLN "take action" (karena anda anda yang mengetahui dinamika internal PLN ) guna mencegah terjadinya MBMS !

MAGELANG, 22 MARET 2023.

Oleh : Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST

Minggu, 30 Oktober 2022

Polemik Kompor Listrik Berakhir, Program Prorakyat Harus Diutamakan

Tinta Media - Polemik peralihan kompor LPG 3 kg ke kompor listrik berakhir. Hal ini setelah rencana konversi secara massif tersebut dinyatakan batal. 

Pembatalan program ini telah disampaikan oleh Direktur Utama PLN. Pembatalan dilakukan demi menjaga kenyaman masyarakat dalam pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. (liputan6.com)

Sebelumnya, PT PLN (Persero) Unit Induk Distribusi (UID) Jawa Timur mengampanyekan kendaraan listrik dan kompor induksi di kegiatan Car Free Day (CFD) Kota Surabaya dalam acara puncak perayaan Hari Pelanggan Nasional tahun 2022. 

Kampanye diawali dengan konvoi 150 unit motor listrik yang diikuti PLN Grup Jawa TImur. Kegiatan kali ini merupakan salah satu upaya PLN untuk menjalankan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 untuk mengakselerasi penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbahan Baterai (KBLBB).

Hal ini disusul juga dengan Intruksi Presiden Republik Indonesia nomor 7 tahun 2022 tentang penggunanaan kendaraan listrik berbasis baterai sebagai kendaraan operasional dan atau kendaraan perorangan dinas instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 

Program konversi LPG ke Kompor Induksi sebanyak 15,3 juta pelanggan akan menghemat APBN sebesar Rp 85,6 triliun selama 5 tahun setelah pelaksanaan program. Adapun biaya paket konversi berupa kompor, utensil, pemasangan jalur khusus memasak dapat dialokasikan dari pengalihan sebagian penghematan subsidi. (cnbcindonesia.com)

Namun, rencana ini menuai pro kontra di tengah masyarakat. Pasalnya, pengunaan listrik di tengah masyarakat masih sangat riskan, belum pula beban yang harus ditanggung oleh rakyat miskin. Meski pemerintah memberikan kompor gratis, urusan tagihan listrik tiap bulan tetap menjadi tanggungan rakyat.
Dengan penggunaan kompor listrik yang butuh daya besar, tentunya tagihan listrik meningkat.

Direktur Distribusi PLN  mengatakan, untuk kompor listrik yang telah diberikan kepada masyarakat sebanyak 300 unit, yang rencananya dilakukan uji coba, masih dilanjutkan. Hal ini akan menjadi bahan evaluasi ke depannya bagi PLN. Di sisi lain, PLN juga akan melihat perubahan perilaku dari pelanggan setelah melakukan penggunaan kompor listrik dua tungku berkapasitas 1.000 watt tersebut. (kompas.com)

Untuk saat ini, pembatalan program peralihan kompor LPG 3 kg ke kompor listrik membuat lega masyarakat. Akan tetapi, ini menjadi PR besar bagi pemerintah agar program-program berikutnya bisa menjadi program yang tepat, sesuai dengan kebutuhan dan urgensi di tengah masyarakat.

Sejatinya, cita-cita mewujudkan energi yang bersih dan efisien merupakan hal yang baik. Namun, untuk mewujudkannya tidak bisa dengan kebijakan tambal sulam dengan memindahkan beban dari hilir ke hulu, mengurangi biaya APBN, tetapi membebani rakyat

Oleh karena itu, kita butuh visi besar berlandaskan ideologi sahih untuk mewujudkan kemandirian energi, sehingga tidak tergantung kepada impor. Hanya negara yang menerapkan sistem Islamlah yang dapat mewujudkan kemakmuran di tengah-tengah masyarakat.

Wallahualam bii shawwab.

Oleh: Euis Nani 
Muslimah Peduli Umat

Senin, 17 Oktober 2022

Cabut Subsidi Listrik, Bukti Ekonomi Membaik?

Tinta Media - Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet pernah menyatakan bahwa pencabutan subsidi dalam negeri menunggu momentum yang tepat, saat ekonomi telah membaik. Artinya, jika tahun ini subsidi listrik dicabut, maka terbukti bahwa ekonomi negeri telah membaik. Benarkah demikian? 

Sudah membaikkah ekonomi negeri ini pasca pandemi Covid-19 dan kenaikan harga BBM, sehingga mau dicabut pula subsidi listrik? Faktanya, demo penolakan pencabutan subsidi semakin massif. Ini justru membuktikan bahwa ekonomi rakyat kian terhimpit.

Jika kita jeli mengamati, sejatinya rencana pencabutan subsidi listrik bukan semata-mata karena ekonomi telah membaik. Namun, ini lebih ditujukan untuk mengurangi biaya kompensasi negara kepada PLN. Jika tarif listrik tidak disesuaikan, pemerintah menganggap besarnya kompensasi dalam bentuk subsidi kepada PLN semakin membebani negara. 

Miris, pemerintahan di sistem kapitalis menganggap bahwa pemenuhan kebutuhan rakyat sebagai beban negara. Padahal, negara wajib menjadikan rakyatnya makmur melalui pemenuhan segala kebutuhan dasar hidup dengan harga yang murah, bahkan gratis. 

Rencana pemerintah mencabut subsidi listrik juga membuktikan upayanya melepas tanggung jawab dalam mengurus rakyat. Bahkan tidak cukup menghapus subsidi, ternyata negara juga melakukan liberalisasi kelistrikan. 

Hal ini menjadikan pihak swasta bisa ikut campur dalam pengadaan listrik rakyat. Dengan dalil efisiensi, produktivitas dan segala sebutan yang seolah baik, maka jalur swasta dan asing dibuka lebar. Itu artinya, sektor listrik dijadikan sebagai barang komersial untuk mengeruk keuntungan dari rakyat. Sungguh, ini merupakan kezaliman.

Kenapa zalim? Karena sesungguhnya listrik merupakan barang milik umum yang bisa dinikmati oleh siapa pun. Namun, ketika diliberalisasikan, statusnya berubah menjadi ladang bisnis bagi pengusaha yang bekerja sama dengan penguasa. Saat itu terjadi, maka harapan rakyat untuk bisa memanfaatkan listrik dengan harga murah, bahkan gratis, hanyalah mimpi belaka. Itulah kezaliman yang nyata.

Pengelolaan listrik yang merupakan kebutuhan pokok umat, dikelola sebagai komoditi dan hasilnya dijual kepada rakyat. Atas nama investasi, swasta mengelola kelistrikan yang justru dapat melemahkan peran negara sebagai pelayan rakyat. Inilah konsep kapitalis yang bertumpu pada keuntungan semata.

Konsep pengelolaan energi ala kapitalis seperti di atas sangat berbeda dengan Islam. Jika kapitalisme menghalalkan segala cara guna meraih keuntungan, walau mengabaikan kesejahteraan rakyat, maka Islam justru berusaha menyejahterakan masyarakat. 

Dalam Islam, negara berfungsi untuk mengurusi kepentingan rakyat dan memenuhi kebutuhannya. Karenanya, masalah bidang kelistrikan PLN dapat diselesaikan dengan cara menghentikan liberalisasi energi dan mengembalikannya kepada negara sebagai pengelola utama. Itu karena listrik termasuk barang kepemilikan umum, sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad bahwa umat muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (termasuk energi listrik).
 
Ketika negara menjadi pengelola utama, maka hasilnya dapat dinikmati masyarakat sepenuhnya dengan harga murah, sekadar mengganti biaya operasional. Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw. bahwa dalam implementasinya negara berperan sebagai pengelola energi dan hasilnya diberikan untuk kemaslahatan umat dalam bentuk pelayanan. Oleh karenanya, negara akan mengelola energi, tidak dengan prinsip komersial. Semua dapat dinikmati secara merata, di kota maupun desa. Tidak dibedakan antara rakyat kaya maupun miskin, semua memiliki hak sama dalam menikmati barang hasil kepemilikan umum.

Semua ini hanya dapat terwujud dalam kehidupan yang diatur oleh sistem sahih. Sistem ini berasal Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta, yaitu Allah Swt. yaitu Negara Khilafah. Karenanya, perjuangan untuk menegakkan Khilafah Islamiyah menjadi agenda yang harus diutamakan umat Islam saat ini. Allahu a’lam bish shawab.

Oleh: R. Raraswati
Sahabat Tinta Media

Jumat, 14 Oktober 2022

Cabut Subsidi Listrik, Najmah Sa’iidah: Negara Lepas Tanggung Jawab Urusi Rakyat

Tinta Media - Pencabutan subsidi listrik melalui penyesuaian tarif yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi biaya kompensasi kepada PLN dinilai Aktivis Muslimah Ustazah Najmah Sa’iidah sebagai bentuk negara melepaskan tanggung jawabnya dalam mengurus rakyatnya.

“Negara dalam sistem kapitalisme semakin melepaskan tanggung jawabnya dalam mengurus rakyatnya dengan mencabut sedikit demi sedikit subsidi listrik,” nilainya pada rubrik Blusukan Kru MMC: Tarif Listrik Golongan Ini Naik Lagi? Selasa (11/10/2022) di kanal YouTube Muslimah Media Center.

Menurutnya, ini tabiat kehidupan dalam sistem kapitalisme. “Subsidi yang diberikan kepada rakyat justru dipandang sebagai beban negara,” tuturnya.

“Sistem ini juga telah melakukan liberalisasi sektor kelistrikan,” tambahnya. 

Dijelaskannya bahwa tata kelola ekonomi neoliberal telah mendudukkan kegiatan ekonomi pada mekanisme pasar bebas.

“Sehingga pihak swasta ikut campur tangan dalam penyediaan listrik bagi masyarakat dengan alasan menghasilkan kompetisi, efisiensi, produktivitas dan seluruh kebaikan lainnya,” jelasnya.

“Padahal membuka kran swasta dalam ketenagalistrikan berarti mengizinkan listrik menjadi barang komersial,” jelasnya lebih lanjut.

Dia mengungkap bahwa listrik yang bersumber dari barang milik publik, setelah diliberalisasi akan hilanglah statusnya dari barang milik publik menjadi ladang bisnis. 
“Dari sini pupus sudah harapan rakyat untuk menikmati listrik dengan harga murah, sebab dengan mindset pembisnis yang dimiliki swasta, listrik sudah tentu akan terus-menerus mengalami kenaikan,” ungkapnya.
 
“Inilah dampak dari pengelolaan energi yang berbasis kapitalisme untuk mendapatkannya tidaklah murah apalagi gratis,” tambahnya.
 
Ia menilai pengelolaan listrik yang merupakan salah satu kebutuhan pokok rakyat akan energi dikelola sebagai komoditi yang menguntungkan. Dijual kepada rakyat, dikelola oleh swasta yang bekerjasama dengan negara. 

“Berbekal sebutan investasi namun akhirnya melemahkan peran negara dalam melayani masyarakatnya,” nilainya.

Dibandingkannya konsep bernegara ala kapitalis yang sangat bertolak belakang dengan Islam. 

“Bila kapitalisme mengabaikan kesejahteraan, maka Islam justru sangat memperhatikan kesejahteraan hidup masyarakat. Bila kapitalis berdasarkan keuntungan justru Islam memberikan pelayanan rakyat secara maksimal,” ujarnya.
 
Ustazah Najmah menegaskan bahwa dalam Islam, negara adalah pelayan umat. Ia ada untuk mengurusi kepentingan rakyat serta memenuhi hajat hidup rakyat.

“Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah yang terus terjadi khususnya di tubuh PLN sendiri adalah dengan cara menghentikan liberalisasi energi dan mengembalikan seluruhnya ke tangan negara sebagai pengelola utama,” tagasya.

Dalam Islam, listrik termasuk ke dalam ini energi dan karenanya dia terkategori pada kepemilikan umum, sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadis: 
“Kaum Muslim berserikat (bersekutu) dalam tiga perkara yaitu padang rumput, Air dan Api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Ia mengartikan bahwa setiap muslim baik laki-laki atau perempuan memiliki hak yang sama dalam tiga hal ini yaitu padang rumput air dan api. 

“Adapun listrik termasuk energi dan termasuk dalam kategori api. Selain itu berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit dan sebagainya termasuk di dalamnya,” jelasnya.

Selain itu, menurutnya karena sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik sebagian besar berasal dari barang tambang yang depositnya besar seperti migas dan batubara, yang juga milik umum. “Hal ini semakin menguatkan bahwa kepemilikan umum seluruhnya harus dikelola oleh negara untuk kemaslahatan umat,” terangnya. 

Menurutnya, hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Imam (pemimpin) adalah pemelihara dan pengatur urusan umatnya. Dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya.” (HR Bukhori dan Muslim).

Ia menjelaskan bahwa negara yang menerapkan Islam kaffah, akan mengelola listrik sesuai dengan aturan Islam. Dalam implementasinya, negara berperan sebagai pengelola dan hasilnya diberikan untuk kemaslahatan rakyat dalam bentuk pelayanan listrik. Karenanya Negara Islam atau Khilafah akan mengelolanya mulai dari sumber energi primer yaitu minyak dan gas hingga penyediaan tiang listrik, gardu, mesinpembangkit dan sebagainya. 

“Semua pelayanan tidak boleh diserahkan kepada swasta, karena dapat menghalangi kesejahteraan rakyat,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa negara akan mengelolanya dengan prinsip pelayanan tidak dengan prinsip komersial seperti yang dilakuan dalam sistem kapitalisme.
“Dengan demikian, listrik dapat dinikmati seluruh elemen rakyat secara merata. Baik di perkotaan maupun di pelosok desa dengan harga murah bahkan gratis,” ujarnya.

Menurutnya, semua ini hanya akan terwujud dalam kehidupan yang diatur oleh sistem Islam kaffah yaitu Khilafah Islamiyah. “Karenanya, perjuangan untuk menegakkan Khilafah Islamiyah menjadi agenda umat Islam hari ini,” pungkasnya.[] Raras

Referensi: https://youtu.be/VWFWpregLtU

Senin, 10 Oktober 2022

Kompor Listrik Dibatalkan demi Kenyamanan Rakyat, Benarkah?

Tinta Media - Baru-baru ini perhatian masyarakat tercurah pada program konversi kompor gas ke kompor listrik yang rencananya akan direalisasikan tahun depan secara bertahap. 

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif blak-blakan menjelaskan alasan pemerintah menggenjot penggunaan kompor listrik dan kendaraan listrik belakangan ini. Hal tersebut tak lepas dari upaya mengatasi kondisi kelebihan pasokan daya atau surplus listrik yang dialami PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. (22/9)

Senada dengan itu, Praktisi Energi, Dina Nurul Fitria sempat mengusulkan peralihan kompor gas ke kompor listrik agar menjadi program nasional. Hal ini disebutnya demi menyelamatkan keuangan negara yang menurutnya, pemerintah tengah dipusingkan dengan pembengkakan impor dan subsidi gas elpiji. 

Wacana ini diikuti dengan penarikan tabung gas di sejumlah daerah. Pemerintah juga sudah mulai mengalokasikan dana untuk membagikan paket kompor listrik gratis ke masyarakat. (Suara.com, 28/9/22)

Program tersebut mendapatkan banyak penolakan dari masyarakat, karena dinilai membutuhkan biaya yang sangat besar. Pemakaian kompor listrik membutuhkan setidaknya 1000 VA. Padahal, rakyat menengah ke bawah banyak yang memakai daya 450-900 VA. Artinya, masyarakat harus tambah daya untuk bisa memasak dengan kompor listrik tersebut.

Selain itu, alat masak perlu diganti dan ada beberapa menu masakan yang membutuhkan waktu lama agar matang jika menggunakan kompor listrik. Tak ayal, tagihan listrik pun akan membengkak. Kemudian juga akan sangat merepotkan bagi masyarakat yang mempunyai hajat untuk memasak dalam jumlah besar. 

Kompor Listrik Ditunda hingga Dibatalkan

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) dan Kementerian ESDM memberikan pernyataan bahwa pihaknya menunda program konversi LPG 3 kg ke kompor listrik pada tahun 2022 ini.

Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto menyebutkan, bahwa pemerintah memantau dan menghargai masukan dari masyarakat, termasuk juga memonitor pemberitaan di media. (23/9)

Selang beberapa hari kemudian, PLN memastikan bahwa konversi kompor elpiji 3 kg ke kompor listrik dibatalkan. Tarif dasar listrik juga tidak naik, serta tidak ada penghapusan golongan pelanggan dengan daya listrik 450 Volt Ampere (VA).

Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo mengungkapkan bahwa langkah pembatalan tersebut dilakukan agar masyarakat merasa nyaman, terutama dalam pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. (28/9)

Benarkah Pembatalan Program Kompor Listrik demi Kenyamanan Rakyat?

Alasan pemerintah menggenjot progam kompor listrik adalah karena PLN mengalami surplus daya listrik. Dukungan terhadap pentingnya program tersebut adalah demi menyelamatkan keuangan negara akibat membengkaknya nilai subsidi gas. Namun, setelah mendengar aspirasi rakyat dan pemberitaan media, akhirnya pembatalan program tersebut dilakukan dengan alasan demi kenyamanan rakyat.

Semua itu sejatinya menunjukkan bahwa pemerintah plin-plan atau juga masih belum memiliki roadmap yang jelas terkait bidang energi. Jika pemerintah konsisten mengeluarkan kebijakan semata-mata demi kenyamanan rakyat, tentu tidak akan pernah tercetus sedikit pun pernyataan yang menganggap bahwa subsidi menjadi beban bagi negara. Padahal, subsidi merupakan salah satu cara untuk memudahkan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan.

Jika pembatalan tersebut benar-benar karena demi kenyamanan rakyat, maka seharusnya pembatalan itu diiringi dengan pembatalan kebijakan-kebijakan lain yang juga tidak membuat rakyat nyaman. Sebut saja kenaikan harga BBM, kenaikan iuran BPJS, dan banyak lagi kebijakan yang dirasakan oleh rakyat justru memberatkan.

Selama ini, kebijakan demi kebijakan diambil seolah tanpa mempertimbangkan efek ke depan bagi masyarakat, tidak pula melihat prioritas mana yang dibutuhkan masyarakat. Namun, justru terkesan sebatas bagaimana agar kebijakan itu memberi manfaat atau keuntungan semata bagi perusahaan maupun lembaga pelaksana.

Sesungguhnya semua kebijakan pemerintah dipengaruhi oleh sistem yang diadopsi saat ini, yakni sistem Kapitalis. Pemerintah yang tegak di bawah paradigma Kapitalisme, cenderung mengambil kebijakan yang dianggap dapat menguntungkan perusahaan maupun lembaga pelaksana, meskipun kebijakan tersebut justru merugikan rakyat. Sebab, Kapitalisme lebih mengutamakan nilai materi dan mengagungkan kepemilikan pribadi. Karena itu, tak heran jika SDA yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dikuasai individu maupun kelompok pengusaha, yang penting punya modal. 

Inilah bukti rusaknya Kapitalisme yang diemban negeri ini. Kebijakan tidak lagi berorientasi pada kemaslahatan masyarakat, tetapi justru demi mendulang manfaat bagi pejabat dan korporat. Tujuan Kapitalisme adalah profit oriented alias hanya memikirkan keuntungan materi, baik itu keuntungan finansial maupun kedudukan.

Islam Menjamin Kenyamanan Hakiki bagi Rakyat

Sengkarut yang terjadi akibat sistem Kapitalis ini sungguh berbeda dengan pengaruh yang diberikan ketika sebuah negara mengadopsi sistem Islam. Sebab, Islam merupakan seperangkat aturan dari Allah yang Mahatahu. Hanya Allah yang mengetahui aturan apa yang sesuai bagi makhluk-Nya.

Islam memiliki aturan yang jelas dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam hal energi, baik pengelolaan maupun pemanfaatannya. Sebenarnya tidak masalah melaksanakan program konversi ini, dengan catatan selama tidak memberatkan rakyat. Hal itu karena Islam tidak melarang aktivitas memasak, baik menggunakan kompor gas, minyak tanah, listrik, maupun kayu bakar. Namun, titik tekannya adalah bagaimana kebijakan tersebut efeknya bagi rakyat. Sebab, prioritas bagi pemimpin menurut Islam adalah melayani urusan rakyat.

Inilah yang membedakan paradigma Islam dengan Kapitalisme. Islam dibangun atas dasar keimanan terhadap Allah Swt. Karena itu, seorang pemimpin harus bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. 

Berdasarkan aturan Islam, sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak hakikatnya adalah milik rakyat. Hal ini didasarkan pada sejumlah hadis. Di antaranya riwayat Ibnu ‘Abbas Ra. yang menuturkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara: air, padang rumput dan api. Harganya adalah haram.” (HR Ibnu Majah dan Ath-Thabarani).

Dari hadis di atas bisa digali kaidah hukum, yakni "Setiap benda/barang (sumber daya alam) yang menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat secara luas adalah milik umum.” (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, 3/466).

Maka dari itu, tidak hanya air, api, dan padang rumput, tetapi semua SDA yang menjadi kebutuhan masyarakat secara luas (min maraafiq al-jamaa’ah) adalah milik umum. (An-Nabhani, An-Nizhaam al-Iqtishaadi, hlm. 201)

Imam/Khalifah (penguasa dalam sistem pemerintahan Islam) harus memberikan akses atas milik-milik umum ini kepada semua rakyatnya, baik yang miskin ataupun kaya. (Muqaddimah ad-Dustuur, hlm 365)

Kepemilikan umum ini dikelola oleh negara untuk kepentingan publik. Negara boleh memberikan kepada rakyat secara gratis atau menetapkan harga murah yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Sebab, negara hanya mewakili umat untuk mengelola barang tersebut.

Oleh karena itu, sudah selayaknya umat Islam menerapkan aturan Islam yang jelas membawa rahmat bagi seluruh alam. Saat ini, yang harus dilakukan adalah terus menyeru kepada penguasa untuk menerima Islam sebagai pedoman agar dapat menyelesaikan seluruh problematika kehidupan. Wallahu a'lam!

Oleh: Wida Nusaibah 
Pemerhati Kebijakan Publik

Jumat, 07 Oktober 2022

Konversi Kompor Listrik Ditunda, Tunggu Gelombang Protes Reda?

Tinta Media - Sangat disayangkan jika pemerintah membatalkan suatu kebijakan setelah terjadi gelombang protes masyarakat. Seharusnya, pemerintah memiliki rasa kepekaan tinggi hingga tak membuat rencana kebijakan yang menyusahkan rakyat hingga memicu reaksi protes, seperti halnya program konversi kompor gas 3 kg ke kompor listrik. Program tersebut belum disetujui DPR, tetapi sudah menyerap anggaran untuk dilakukan uji coba. Padahal, masyarakat sementara dihadapkan dengan kenaikan harga BBM, ibarat ‘sudah jatuh, tertimpa tangga pula’.

Hapus Daya Listrik 450VA?

Sebelumnya, netizen heboh dengan isu penghapusan daya listrik 450VA. Pihak PLN kemudian memberi klarifikasi, tidak ada penghapusan daya listrik 450VA. Namun, jika dikaitkan dengan program konversi kompor listrik yang sasaran utamanya keluarga miskin, maka butuh penambahan daya listrik. Kompor listrik membutuhkan daya minimal 800VA. Kondisi ini selaras dengan gelaran promo PLN ‘Nyalakan Kemerdekaan’. Biaya penambahan daya listrik yang biasanya Rp5.330.900 menjadi Rp170.845 saja.  

Direktur Utama PLN Darmawan Prasojo menjelaskan, masyarakat yang menerima program kompor listrik gratis adalah pelanggan dengan daya listrik 450VA dan 900VA. Pemerintah tidak akan menghapus atau mengalihkan daya listrik 450VA menjadi 900VA. Sebaliknya, pemerintah akan menyediakan jalur kabel listrik khusus dengan daya yang cukup. Menurutnya, jalur tersebut terpisah dengan jalur listrik yang sudah ada sehingga tarif listrik tidak mengalami perubahan (tribunnews.com, 26/9/2022). 

Meski program tersebut batal, pihak PLN masih melakukan uji coba di Denpasar dan Solo. Ada 2.000 paket kompor listrik gratis yang dibagikan untuk uji coba tersebut. Harga kompor listrik sendiri tidak murah. Katakanlah harga kompor listrik RP1,8 juta, jika dikalikan dengan 2.000 paket saja sudah Rp3,6 miliar. Sebelum program konversi kompor listrik dibatakan, pemerintah sempat berencana membagikan 300.000 kompor listrik gratis. Tampaklah, program tersebut butuh dana tak sedikit, baik anggaran untuk pengadaan kompor listrik maupun rencana proyek jalur kabel listrik khusus. 

Zero Emisi Karbon

Jika mau jujur, program konversi kompor listrik tidak menguntungkan rakyat maupun negara. Setelah rakyat miskin mendapat kompor listik gratis dan penambahan daya, siapa kiranya yang membayar tagihan listrik per bulan? Lagi pula, umumnya para emak membutuhkan lebih dari satu alat masak, sementara yang dipakai adalah alat masak khusus. Artinya, alat masak sebelumnya tidak bisa dipakai dan harus membeli alat masak baru dengan harga cukup mahal. Kompor listrik pun memiliki masa manfaat, mengalami penyusutan kemudian rusak. Akhirnya, rakyat miskin harus membeli sendiri dengan harga tak merakyat. 

Pemerintah beralasan, konversi kompor gas ke listrik harus dilakukan demi mengurangi impor gas. Alasan yang tak bisa diterima akal, mengingat, sumber gas alam Indonesia melimpah. Penggunaan kompor listrik juga disebut-sebut demi mendukung upaya zero emisi karbon. Mungkinkah pemerintah lupa bahwa pembangkit listrik saat ini masih banyak menggunakan ‘uap panas’ untuk memutar turbin? Batu bara digunakan sebagai bahan boiler untuk menghasilkan energi. Artinya, semakin banyak listrik yang diserap, semakin banyak batu bara yang dibakar dan semakin banyak emisi karbon yang dihasilkan.

Pemerintah juga mengaku, konversi kompor listrik berguna menyeimbangkan over supply listrik. Pemerintah melalui PLN bersama Independent Power Producer (IPP) merencanakan dan membangun mega proyek ketenagalistrikan 35 ribu mega watt hingga terjadi surplus listrik di Jawa dan Bali. Jika hasil dari mega proyek ternyata melebihi kebutuhan listrik rakyat, tak seharusnya rakyat yang menanggung beban, bukan? Seperti ramai diberitakan, 50% lebih pembangkit tenaga listrik di Indonesia bukan milik PLN, melainkan milik IPP. 

Di sisi lain, Kementerian Perindustrian sempat memberi kepercayaan kepada rekanan PT Hartono Istana Teknlogi (Polytron) sebagai pemasok kompor listrik. Nettizen pun heboh dan semakin yakin kebijakan konversi tersebut hanya melindungi kepentingan oligarki. Selain kompor listrik, pemerintah mendorong masyarakat menggunakan mobil listrik. Pemerintah telah menyiapkan 55 unit ‘Hyundai lonic 5’ untuk persiapan kegiatan 8th G20 Parliamentary Speakers’ Summit (P20) pada Rabu-Jumat tanggal 5-7 Oktober 2022 di Jakarta. 

Bayangkan, jika segala aktivitas digerakkan dengan listrik. Semakin banyak listrik terserap, semakin banyak pembakaran batu bara dan menghasilkan lebih banyak emisi karbon. Hal ini akan semakin menghambat target Indonesia bebas emisi karbon tahun 2060. Ke depan, jika segala sesuatunya bergantung pada listrik, seketika listrik mati semua aktivitas terhenti. Seharusnya, pemerintah lebih fokus menggunakan anggaran untuk melakukan inovasi, pengembangan, dan perluasan energi baru terbarukan.

Menuju Indonesia Tangguh 

Miris. Indonesia memiliki sumber energi yang melimpah. Namun, rakyat tampak dipermainkan saat memanfaatkan energi tersebut. Padahal, sumber daya alam merupakan barang milik umum (rakyat). Energi merupakan barang vital bagi rakyat. Seharusnya, rakyat bisa menikmati dengan harga terjangkau. Bahkan kalau bisa, gratis. Namun, yang terjadi sebaliknya, harga elpiji, listrik maupun energi lain seperti BBM terus mengalami kenaikan. 

Kebijakan demi kebijakan justru membuat hidup rakyat semakin ruwet. Alasan yang tak logis muncul demi membenarkan kebijakan. Beginilah kondisi imbas dari liberalisasi sektor energi. Pemerintah mengekspor bahan mentah kemudian mengimpor dalam kondisi siap pakai. Pengelolaan sumber energi dari hulu sampai hilir dicampuri oligarki, mulai dari pengelolaan bahan baku yakni batu bara dan gas, pembangunan dan pengelolaan infrastruktur ketenagalistrikan, termasuk perusahaan baterai mengandalkan swasta dan asing untuk berinvestasi. Sementara, investasi hakekatnya istilah halus untuk menguasai negeri.

Rakyat masih menunggu sikap pemerintah, akankah program ini benar-benar batal ataukah hanya ditunda menunggu gelombang protes reda? Jika program konversi kompor listrik tetap dilanjutkan di kemudian hari, maka patut waspadai. IPP bisa sewaktu-waktu menaikkan tarif dasar listrik. Demikian pula dengan perusahaan kompor listrik yang bisa mengubah harga seenaknya, hingga rakyat pun tak bisa berbuat apa-apa. 

Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Penerapan sistem demokrasi saat ini jauh berbeda dengan sistem Islam. Islam merupakan ajaran yang sempurna dan paripurna. Dalam Islam, energi digolongkan sebagai api yang tidak diperbolehkan dikuasai swasta, apalagi asing. Negara wajib mengelola sumber energi benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat. Andai saja Indonesia siap sedia menerapkan Islam secara menyeluruh, termasuk dalam pengaturan energi, insyaallah akan menjadi negara yang tangguh tak dikendalikan oligarki. Islam memiliki struktur negara yang mampu mengatasi hal itu. 

Wallahu ‘alam bish shawab.

Oleh: Ikhtiyatoh, S.Sos.
Sahabat Tinta Media, Pemerhati Kebijakan Publik

Rabu, 05 Oktober 2022

AWAS, 'KESETRUM' OPUNG LUHUT?

Tinta Media - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan memiliki tugas baru dari Presiden Joko Widodo. Yakni, mempercepat pelaksanaan program kendaraan listrik. 

Tugas baru yang harus dilakukan Luhut tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.  

Mengutip inpres yang diterbitkan pada 13 September 2022 itu, setidaknya ada tiga pokok tugas yang mesti dijalankan Luhut terkait percepatan pelaksanaan program kendaraan listrik. 

*Pertama,* melakukan koordinasi, sinkronisasi, monitoring, evaluasi, dan pengendalian atas pelaksanaan Instruksi presiden ini.

*Kedua,* melakukan penyelesaian permasalahan yang menghambat implementasi percepatan program penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai sebagai kendaraan dinas operasional dan kendaraan perorangan dinas instansi pemerintah pusat serta pemerintahan daerah. 

*Ketiga,* melaporkan pelaksanaan Inpres ini kepada presiden secara berkala setiap enam bulan sekali atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. 

Luar biasa opung luhut ini, super sakti. Satu proyek listrik, tapi benefitnya bisa 'nyetrum' dari hulu hingga ke hilir.

*Pertama,* benefit dari proyek pengadaan kendaraan listrik, ini sudah akan sangat menguntungkan. Dimulai dari instansi pemerintah saja, akan banyak menyerap market kendaraan listrik. Kemudian, bisa kepada mitra pemerintah yang diharuskan menggunakan kendaraan listrik pada sejumlah proyek pemerintah yang melibatkan swasta.

Untung bisa diperoleh dari alokasi anggaran, fee dari distributor atau langsung dari produsen kendaraan listrik. Margin dari mitra, dan lain lain.

*Kedua,* benefit dari maintenance dan suku cadang. Akan banyak keuntungan dari izin pembukaan show room hingga bengkel kendaraan listrik.

Bahkan, bisa menjalin kemitraan strategis dengan produsen mobil listrik untuk membangun jaringan showroom dan bengkel. Ini benar-benar bisnis yang sangat menggiurkan.

*Ketiga,* bisnis pasokan listrik baik via PLN atau pendirian stasiun pengisian daya listrik. Yang punya batu bara, Power Plant, jelas akan membuka market lebih luas.

Jaminan konsumsi listrik bukan hanya dari pelanggan PLN, tapi ada market baru dari konversi kendaraan basis BBM ke listrik. Tinggal hitung saja, berapa potensi peningkatan kebutuhan listrik dan berapa keuntungan yang akan diperoleh.

Hehe, canggih, benar-benar canggih otak bisnisnya. Nanti, soal alasan bisa berkoar koar dengan narasi 'Go Green', atau untuk mengurangi energi fosil demi menjaga udara dari dampak polusi, menjaga ekosistem alam, atau agar Nyi Roro Kidul tidak bising dengan suara kenalpot kendaraan berbahan bakar fosil. Pokoknya, asal proyek untung, alasan bisa dirasionalisasi. Awas, 'kesetrum' Opung Luhut ?[].

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

https://heylink.me/AK_Channel/

Rabu, 28 September 2022

PEMERINTAH DAN DPR MENCEKIK LEHER WONG CILIK, DENGAN MENGHAPUS PELANGGAN 450 VA DAN DIPAKSA KONVERSI KE 900 VA?

Tinta Media - Jahat dan biadab. Dua kata ini sepertinya cukup untuk mewakili ungkapan rakyat terhadap Pemerintah dan DPR yang akan menghapus pelanggan PLN 450 VA dan memaksanya ke 900 VA.

Padahal, belum lama ini rakyat dicekik dengan kenaikan harga BBM. Ternyata, rezim ini begitu tega menambah beban rakyat dengan rencana akan menghapus subsidi 450 VA.

Sayangnya, ide mencekik leher rakyat ini muncul dari wakil rakyat di DPR. Bahkan, dari anggota dewan yang mengklaim dari partainya wong cilik.

Said Abdullah, politisi PDIP sekaligus ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI mengusulkan agar daya listrik 450 volt ampera (VA) dihapus untuk kelompok rumah tangga miskin. Sebagai gantinya, kelompok rumah tangga miskin akan dialihkan menggunakan daya listrik 900 VA.

Said Abdullah mangatakan daya listrik 450 VA perlu dihapus untuk penyesuaian dengan tingkat kebutuhan yang semakin lama semakin meningkat. Namun ia menilai hal itu tidak akan dieksekusi dalam waktu dekat ini, karena membutuhkan data penerima subsidi.

Usulan penghapusan daya listrik 450 VA ini berawal dari kondisi PT PLN (Persero) yang terus mengalami oversupply listrik. Kondisi surplus listrik ini diperkirakan mencapai 41 gigawatt (GW) pada tahun 2030, seiring dengan penerapan energi baru terbarukan (EBT).

Luar biasa jahatnya, usulan disampaikan bukan demi dan untuk kepentingan rakyat. Tapi secara terbuka dikatakan demi mengatasi oversuplay, ini berarti demi oligarki listrik penyuplay listrik di PLN.

Artinya, usulan ini dilakukan demi menyerap suplay listrik yang berlebih, yang disuplay swasta ke PLN. Demi jualan listrik swasta laku, dan agar kontrak daya antara PLN dan swasta langgeng.

Sebagaimana diketahui, PLN tidak memproduksi listrik sendiri. Banyak suplier yang memasok kebutuhan listrik PLN.

Setidaknya, ada 20 IPP EBT yang suplai listrik ke PLN, antara lain : PT Pertamina Geothermal Energy, Star Energy Ltd, PT Geo Dipa Energi, Perum Jasa Tirta 2, PT Rajamandala Electric Power, PT Bajradaya Sentranusa dan PT Wampu Electric Power, PT Tanggamus Electric Power, PT Binsar Natorang Energi, PT Bangun Tirta Lestari, PT Energi Sakti Sentosa dan PT Supreme Energy Muaralaboh. Kemudian, PT Supreme Energy Rantau Dedap, Sarulla Operation Ltd, PT Sorik Marapi Geothermal, PT Poso Energy, PT Malea Energy, PT UPC Sidrap Bayu Energi, PT Energi Bayu Jeneponto dan PT Sokoria Geothermal Indonesia.

Kalau oversuplay, semestinya pasokan dikurangi. Kontrak dengan swasta diputus. Bukan melayani swasta agar terus dapat untung, dan memaksa rakyat konversi dari daya 450 VA ke 900 VA.

Ya Allah, kurang ajar sekali usulan ini. Di tengah beban rakyat yang tinggi, wakil rakyat justru berfikir untuk meringankan beban oligarki listrik, agar jualan listrik mereka laris manis.

Sementara untuk rakyat, DPR berdalih agar daya listrik terpenuhi. Dengan beralih ke 900 VA, rakyat miskin bisa nyaman mencuci dan menyeterika, tanpa khawatir meteran anjlok. Daya listrik terpenuhi untuk kebutuhan rumah tangga mereka.

Anggota DPR ini tidak mikir, pindah daya berarti kehilangan hak atas subsidi listrik. Daya 900 VA lebih mahal dari 450 VA. Per KWH untuk 900 VA harganya Rp1.352. Sementara untuk daya 450 VA hanya Rp415 per KWH.

Hapus daya 450 VA dan paksa ke 900 VA, artinya sama saja memaksa wong cilik bayar listrik per KWH Rp415 menjadi Rp1.352. Anggota DPR yang begini ini masih mau ngaku dari partainya wong cilik ? [].

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

https://heylink.me/AK_Channel/



Sabtu, 17 September 2022

Hapus Pelanggan PLN 450 VA dan Paksa Pindah ke 900 VA,  AK: Jahat dan Biadab!


Tinta Media - Rencana Pemerintah dan DPR yang akan  menghapus pelanggan PLN 450 VA dan beralih  ke 900 VA, dinilai oleh Ketua Koalisi Persaudaraan Advokat  dan Umat (KPAU) Ahmad Khozinudin (AK) sebagai rencana jahat dan biadab.

“Jahat dan biadab. Dua kata ini sepertinya cukup untuk mewakili ungkapan rakyat terhadap Pemerintah dan DPR yang akan menghapus pelanggan PLN 450 VA dan memaksanya ke 900 VA,” ungkapnya di akun telegram pribadinya, Jumat (16/9/2022).
 
AK menyesalkan ide mencekik leher rakyat ini muncul dari wakil rakyat di DPR bahkan dari anggota dewan yang mengklaim dari partainya wong cilik.

“Said Abdullah, politisi PDIP sekaligus ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI mengusulkan agar daya listrik 450 volt ampera (VA) dihapus untuk kelompok rumah tangga miskin. Sebagai gantinya, kelompok rumah tangga miskin akan dialihkan menggunakan daya listrik 900 VA,” jelasnya.

Menurut AK, Said Abdullah beralasan daya listrik 450 VA perlu dihapus untuk penyesuaian dengan tingkat kebutuhan yang semakin lama semakin meningkat. Namun Said  menilai hal itu tidak akan dieksekusi dalam waktu dekat ini, karena membutuhkan data penerima subsidi.

“Usulan penghapusan daya listrik 450 VA ini berawal dari kondisi PT PLN (Persero) yang terus mengalami oversupply listrik. Kondisi surplus listrik ini diperkirakan mencapai 41 gigawatt (GW) pada tahun 2030, seiring dengan penerapan energi baru terbarukan (EBT),” tutur AK.

AK tak bisa menyembunyikan kekesalannya, ketika  tahu usulan disampaikan bukan demi dan untuk kepentingan rakyat, tapi secara terbuka dikatakan demi mengatasi oversuplay.  “Ini berarti demi oligarki listrik penyuplay listrik di PLN,” geramnya.

Artinya, lanjut AK,  usulan ini dilakukan demi menyerap suplay listrik yang berlebih, yang disuplay swasta ke PLN. Demi jualan listrik swasta laku, dan agar kontrak daya antara PLN dan swasta langgeng. “Sebagaimana diketahui, PLN tidak memproduksi listrik sendiri. Banyak suplier yang memasok kebutuhan listrik PLN,” terang  AK.

AK menyebut setidaknya, ada 20 IPP EBT yang suplai listrik ke PLN, antara lain PT Pertamina Geothermal Energy, Star Energy Ltd, PT Geo Dipa Energi, Perum Jasa Tirta 2, PT Rajamandala Electric Power, PT Bajradaya Sentranusa dan PT Wampu Electric Power, PT Tanggamus Electric Power, PT Binsar Natorang Energi, PT Bangun Tirta Lestari, PT Energi Sakti Sentosa dan PT Supreme Energy Muaralaboh. Kemudian, PT Supreme Energy Rantau Dedap, Sarulla Operation Ltd, PT Sorik Marapi Geothermal, PT Poso Energy, PT Malea Energy, PT UPC Sidrap Bayu Energi, PT Energi Bayu Jeneponto dan PT Sokoria Geothermal Indonesia.

“Kalau oversuplay, semestinya pasokan dikurangi. Kontrak dengan swasta diputus. Bukan melayani swasta agar terus dapat untung, dan memaksa rakyat konversi dari daya 450 VA ke 900 VA,” ktiriknya.

AK tak habis pikir, di tengah beban rakyat yang tinggi, wakil rakyat justru berfikir untuk meringankan beban oligarki listrik, agar jualan listrik mereka laris manis.

“Sementara untuk rakyat, DPR berdalih agar daya listrik terpenuhi. Dengan beralih ke 900 VA, rakyat miskin bisa nyaman mencuci dan menyeterika, tanpa khawatir meteran anjlok. Daya listrik terpenuhi untuk kebutuhan rumah tangga mereka,” imbuhnya kesal.

Anggota DPR ini tidak mikir, cetus AK,  pindah daya berarti kehilangan hak atas subsidi listrik. Daya 900 VA  lebih mahal dari 450 VA. Per kWH untuk 900 VA harganya Rp.1.352, sementara untuk daya 450 VA  hanya Rp.415 per kWH.

“Hapus daya 450 VA dan paksa ke 900 VA, artinya sama saja memaksa wong cilik bayar listrik per kWH Rp. 415 menjadi Rp. 1.352. Anggota DPR yang begini ini masih mau ngaku dari partainya wong cilik?” tanyanya memungkasi penuturan.[] Irianti Aminatun
 
 

Senin, 27 Juni 2022

Cabut Subsidi Listrik, Inilah Tabiat Kapitalisme


Tinta Media - Pencabutan subsidi listrik sedikit demi sedikit dengan menyesuaikan tarif agar tidak membebani negara, dinilai Narator Muslimah Media Center sebagai tabiat kapitalisme.

 “Inilah tabiat kehidupan dalam sistem kapitalisme. Subsidi yang diberikan kepada rakyat justru dipandang sebagai beban negara. Bahkan negara dalam sistem ini semakin melepaskan tanggung jawabnya dalam mengurus rakyatnya dengan mencabut sedikit demi sedikit subsidi listrik yang sangat dibutuhkan oleh rakyat dalam kehidupan sehari-harinya,” ucapnya dalam video serba serbi MMC: Tarif Listrik naik, Kepemilikan Rakyat Dikomersialkan, Ahad (19//6/2022) melalui  kanal Muslimah Media Center.

Ia lalu menuturkan bahwa pemerintah akan melakukan penyesuaian tarif listrik bagi golongan rumah tangga mampu mulai dari 3500 volt ampere (VA) ke atas.  “Selain menyasar rumah tangga mampu, penyesuaian tarif juga berlaku untuk semua pelanggan pemerintah (P1 P2 dan P3),” ungkapnya.

 “Dirjen ketenagalistrikkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM)  Rida Mulyana menjelaskan bahwa penetapan golongan R2 dan R3 dari golongan rumah tangga dikenakan tarif adjustment, sebab pihaknya menilai golongan ini mampu. Untuk golongan di bawah itu tarif listrik tidak dinaikkan. Akibatnya pemerintah harus menanggung subsidi dan kompensasi listrik yang lebih besar pada 2022,” bebernya mengutip pernyataan Kemen ESDM.

Tarif baru tersebut lanjutnya, akan berlaku mulai Juli 2022 . “Rida menambahkan penyesuaian tarif listrik ini terjadi karena 4 faktor antara lain mengacu pada melemahnya mata uang Rupiah terhadap  US$, melonjaknya harga minyak dunia yang menembus di atas 100 US$  per barel, inflasi, serta harga patokan batubara yang terus naik,” tambahnya.

“Sementara di sisi lain PT PLN persero memastikan tidak ada penyesuaian tarif listrik bagi seluruh pelanggan industri dan bisnis.  Direktur utama PLN Dharmawan Prasojo mengatakan kebijakan ini menjadi salah satu bukti negara hadir dalam menjaga pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19. Ketentuan ini berlaku baik bagi industri kecil hingga industri besar,” ucapnya. 

Ia mengutip penjelasan Vice Presiden komunikasi korporat PLN Gregorius Adityanto yang menjelaskan bahwa industri besar seperti industri semen, industri semelter hingga industri mineral lainnya sangat berpengaruh pada serapan tenaga kerja dan realisasi serapan investasi terhadap penerimaan negara sehingga tarif listriknya diputuskan tetap.

 “Adapun industri kecil yang mencakup UMKM dipandang sebagai tumpuan perekonomian nasional selama pandemi kemarin, sehingga pemerintah dan PLN sangat menyadari pentingnya menjaga agar sektor ini tidak mengalami kenaikan ongkos produksi karena kenaikan tarif listrik,” imbuhnya.

Pro Pemilik Modal

Berdasarkan fakta di atas, Narator menilai, negara juga dibentuk menjadi pihak yang pro terhadap para pemilik modal. “Pasalnya kenaikan tarif listrik hanya diberlakukan pada rakyat yang kaya sementara industri-industri besar tidak mendapat beban kenaikan tarif listrik,” kritiknya.

 “Lagi-lagi yang dijadikan alasan adalah rakyat. Dengan dalih pemulihan ekonomi, menjaga harga barang tetap stabil dan menjaga agar tetap terjadi daya serap tenaga kerja oleh industri keputusan sah pemerintah seolah-olah benar,”nilainya.

 Padahal  menurutnya, listrik adalah salah satu sumber energi milik rakyat. “Seharusnya rakyat dapat menikmatinya secara murah bahkan gratis . Bukan hanya bagi rakyat miskin atau dalam kekurangan, bahkan untuk rakyat yang kaya sekali pun mestinya dapat menikmati listrik murah karena termasuk kepemilikan bersama atau publik,” bebernya.
 
Namun  lanjutnya, dalam sistem ekonomi kapitalisme ketentuan ini tidak berlaku, sebab sistem ini melegalkan penguasaan kepemilikan publik oleh segelintir orang yakni pemilik modal.  “Alhasil demi memenuhi kepentingan korporasi, rakyat seringkali menjadi korban.  Saat rakyat terus menanggung mahalnya tarif listrik pemilik modal justru menikmati keuntungan dengan tarif listrik murah. Tentu hal ini tidak adil bagi rakyat,” simpulnya.

 “Pada dasarnya persoalan PLN yang paling utama adalah konsep kepemilikan. Sistem ekonomi neolib  memang tidak memiliki konsep kepemilikan sehingga segala sesuatu yang bernilai boleh menjadi komoditas,” kritiknya.

Islam

 Menurutnya ini berbeda dengan Islam yang memiliki konsep kepemilikan.  “Islam membagi kepemilikan menjadi tiga yaitu individu, umum, dan negara . Adapun listrik termasuk kepemilikan umum,” jelasnya sambil membacakan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad,
“Kaum muslim berserikat dalam 3 perkara yakni padang rumput, air dan api.”

“Karena milik umum bahan tambang seperti migas dan batubara haram dikelola secara komersial baik oleh perusahaan milik negara maupun pihak swasta. Juga haram hukumnya mengkomersialisasikan hasil olahannya sebagaimana listrik. Dengan demikian pengelolaan listrik tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta apa pun alasannya,” paparnya.

Negara, lanjutnya, bertanggung jawab sedemikian rupa sehingga setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan listriknya, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas serta dengan harga murah bahkan gratis untuk seluruh rakyat baik kaya atau miskin muslim maupun non muslim.

Narator mengatakan, jika pengelolaannya butuh dana besar, subsidi bagi rakyat dari pos pemasukan negara lainnya bukan sesuatu yang menyebabkan in efisiensi.  Justru subsidi ini adalah bentuk pengurusan negara pada umat agar kebutuhan umat bisa merata baik di kota maupun desa.

“Dengan demikian hanya sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah yang dapat menerapkan konsep kepemilikan Islam dan memposisikan listrik sebagai kebutuhan umat yang wajib dipenuhi negara. Sistem ini pula yang akan menghimpun penguasa yang amanah dan terbebas dari setiran pihak manapun,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 

Minggu, 19 Juni 2022

INDIKASI PLN HANYA EO (EVENT ORGANIZER) KELISTRIKAN


Tinta Media - Memang dari data Ditjend Gatrik ESDM per April 2021 daya terpasang pembangkit PLN Jawa - Bali masih unggul yaitu sebesar 41.596 MW. Sementara pembangkit IPP swasta hanya sebesar 20.556 MW. Namun bisnis pembangkit tidak bisa hanya di ukur  pada parameter daya terpasang saja. Tetapi juga tergantung pada berapa jam perhari pembangkit itu beroperasi? Makin tinggi jam operasi makin banyak menghasilkan "chuan". Kecuali pembangkit swasta IPP yang kerja tidak kerja "stroom" nya sudah dibeli PLN sebesar 70% dari assumsi pembangkit tersebut beroperasi seharian, ini yang disebut TOP (Take Or Pay) Clause. 

Dari seminar PP IP dan SP PJB 20 Juli 2021 diperoleh data bahwa saat itu operasional pembangkit Jawa-Bali mayoritas (90%) dikuasai swasta , dan hanya sekitar 3.000 MW (10%) adalah pembangkit PLN. Artinya selama ini sebesar ( 41. 596 - 3.000) 38.596 MW pembangkit PLN di Jawa - Bali mengalami RSH (Reserve Shut Down) alias "mangkrak"!

Data2 yang penulis sampaikan adalah pembangkit Jawa-Bali, mengingat kawasan ini yang disasar oleh para "Oligarkhi Peng Peng" seperti Luhut BP, JK, Dahlan Iskan, Erick Tohir beserta Aseng/Asing serta Taipan 9 Naga. Disini Aseng/Asing bermain di Pembangkit, sedang Taipan 9 Naga dan Dahlan Iskan bermain di Ritail ! Selanjutnya nanti kalau Transmisi PLN sudah dibikin Subholding, maka PLN P2B (Pusat Pengatur Beban) akan lepas dari PLN dan menjadi Unit Independen Pengatur System dan Pengatur Pasar , maka selanjutnya Jawa-Bali akan terjadi MBMS (Multy Buyer and Multy Seller) System, tidak ada subsidi lagi diseluruh golongan tarip, dan sesuai pengalaman Kamerun 1999 (dari Sidang MK 2003) tarip listrik akan melonjak rata2  sampai 7x lipat ! Maka untuk "pemanasan" sekarang dimulai dari 3.500 VA keatas ! 

Begitulah salah satu strategi Kartel Listrik Swasta  yang dimotori "Oligarkhi Peng Peng" diatas mengumpulkan pundi2 untuk pasang Capres 2024 sebagai kuda "tunggangan" masa depan (sekali lagi ini baru yang di PLN , belum sektor lain ) !

INDIKASI YANGTERJADI  DI INTERNAL PLN BAHWA PLN HANYA SEBAGAI EO.

Biasanya kalau ada musibah "lelayu",  YPK (Yayasan Pendidikan dan Kesejahteraan ) yang memegang satu lembar saham ESHOP (Employ Share Ownership Program) PT. PLN (PERSERO), menyumbang Rp 2 juta sebagai sumbangan duka cita untuk pensiunan yang mendapat musibah. Namun  beberapa bulan  yang lalu YPK mengumumkan bahwa sumbangan duka tersebut hanya akan diberikan Rp 1 juta. Dengan alasan pendapatan YPK menurun ! Dan ini bisa dipastikan karena perubahan posisi PLN yang saat ini hanya sebagai EO (Event Organizer) atau "kacung" nya Kartel Liswas Pimpinan Luhut BP, JK, Dahlan Iskan dan Erick Tohir !

Innalillahi wa Inna ilaihi roojiuunn !!

JAKARTA, 17 JUNI 2022.

Oleh: Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST.


Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab