Tinta Media - Baru-baru ini perhatian masyarakat tercurah pada program konversi kompor gas ke kompor listrik yang rencananya akan direalisasikan tahun depan secara bertahap.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif blak-blakan menjelaskan alasan pemerintah menggenjot penggunaan kompor listrik dan kendaraan listrik belakangan ini. Hal tersebut tak lepas dari upaya mengatasi kondisi kelebihan pasokan daya atau surplus listrik yang dialami PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. (22/9)
Senada dengan itu, Praktisi Energi, Dina Nurul Fitria sempat mengusulkan peralihan kompor gas ke kompor listrik agar menjadi program nasional. Hal ini disebutnya demi menyelamatkan keuangan negara yang menurutnya, pemerintah tengah dipusingkan dengan pembengkakan impor dan subsidi gas elpiji.
Wacana ini diikuti dengan penarikan tabung gas di sejumlah daerah. Pemerintah juga sudah mulai mengalokasikan dana untuk membagikan paket kompor listrik gratis ke masyarakat. (Suara.com, 28/9/22)
Program tersebut mendapatkan banyak penolakan dari masyarakat, karena dinilai membutuhkan biaya yang sangat besar. Pemakaian kompor listrik membutuhkan setidaknya 1000 VA. Padahal, rakyat menengah ke bawah banyak yang memakai daya 450-900 VA. Artinya, masyarakat harus tambah daya untuk bisa memasak dengan kompor listrik tersebut.
Selain itu, alat masak perlu diganti dan ada beberapa menu masakan yang membutuhkan waktu lama agar matang jika menggunakan kompor listrik. Tak ayal, tagihan listrik pun akan membengkak. Kemudian juga akan sangat merepotkan bagi masyarakat yang mempunyai hajat untuk memasak dalam jumlah besar.
Kompor Listrik Ditunda hingga Dibatalkan
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) dan Kementerian ESDM memberikan pernyataan bahwa pihaknya menunda program konversi LPG 3 kg ke kompor listrik pada tahun 2022 ini.
Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto menyebutkan, bahwa pemerintah memantau dan menghargai masukan dari masyarakat, termasuk juga memonitor pemberitaan di media. (23/9)
Selang beberapa hari kemudian, PLN memastikan bahwa konversi kompor elpiji 3 kg ke kompor listrik dibatalkan. Tarif dasar listrik juga tidak naik, serta tidak ada penghapusan golongan pelanggan dengan daya listrik 450 Volt Ampere (VA).
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo mengungkapkan bahwa langkah pembatalan tersebut dilakukan agar masyarakat merasa nyaman, terutama dalam pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. (28/9)
Benarkah Pembatalan Program Kompor Listrik demi Kenyamanan Rakyat?
Alasan pemerintah menggenjot progam kompor listrik adalah karena PLN mengalami surplus daya listrik. Dukungan terhadap pentingnya program tersebut adalah demi menyelamatkan keuangan negara akibat membengkaknya nilai subsidi gas. Namun, setelah mendengar aspirasi rakyat dan pemberitaan media, akhirnya pembatalan program tersebut dilakukan dengan alasan demi kenyamanan rakyat.
Semua itu sejatinya menunjukkan bahwa pemerintah plin-plan atau juga masih belum memiliki roadmap yang jelas terkait bidang energi. Jika pemerintah konsisten mengeluarkan kebijakan semata-mata demi kenyamanan rakyat, tentu tidak akan pernah tercetus sedikit pun pernyataan yang menganggap bahwa subsidi menjadi beban bagi negara. Padahal, subsidi merupakan salah satu cara untuk memudahkan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan.
Jika pembatalan tersebut benar-benar karena demi kenyamanan rakyat, maka seharusnya pembatalan itu diiringi dengan pembatalan kebijakan-kebijakan lain yang juga tidak membuat rakyat nyaman. Sebut saja kenaikan harga BBM, kenaikan iuran BPJS, dan banyak lagi kebijakan yang dirasakan oleh rakyat justru memberatkan.
Selama ini, kebijakan demi kebijakan diambil seolah tanpa mempertimbangkan efek ke depan bagi masyarakat, tidak pula melihat prioritas mana yang dibutuhkan masyarakat. Namun, justru terkesan sebatas bagaimana agar kebijakan itu memberi manfaat atau keuntungan semata bagi perusahaan maupun lembaga pelaksana.
Sesungguhnya semua kebijakan pemerintah dipengaruhi oleh sistem yang diadopsi saat ini, yakni sistem Kapitalis. Pemerintah yang tegak di bawah paradigma Kapitalisme, cenderung mengambil kebijakan yang dianggap dapat menguntungkan perusahaan maupun lembaga pelaksana, meskipun kebijakan tersebut justru merugikan rakyat. Sebab, Kapitalisme lebih mengutamakan nilai materi dan mengagungkan kepemilikan pribadi. Karena itu, tak heran jika SDA yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dikuasai individu maupun kelompok pengusaha, yang penting punya modal.
Inilah bukti rusaknya Kapitalisme yang diemban negeri ini. Kebijakan tidak lagi berorientasi pada kemaslahatan masyarakat, tetapi justru demi mendulang manfaat bagi pejabat dan korporat. Tujuan Kapitalisme adalah profit oriented alias hanya memikirkan keuntungan materi, baik itu keuntungan finansial maupun kedudukan.
Islam Menjamin Kenyamanan Hakiki bagi Rakyat
Sengkarut yang terjadi akibat sistem Kapitalis ini sungguh berbeda dengan pengaruh yang diberikan ketika sebuah negara mengadopsi sistem Islam. Sebab, Islam merupakan seperangkat aturan dari Allah yang Mahatahu. Hanya Allah yang mengetahui aturan apa yang sesuai bagi makhluk-Nya.
Islam memiliki aturan yang jelas dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam hal energi, baik pengelolaan maupun pemanfaatannya. Sebenarnya tidak masalah melaksanakan program konversi ini, dengan catatan selama tidak memberatkan rakyat. Hal itu karena Islam tidak melarang aktivitas memasak, baik menggunakan kompor gas, minyak tanah, listrik, maupun kayu bakar. Namun, titik tekannya adalah bagaimana kebijakan tersebut efeknya bagi rakyat. Sebab, prioritas bagi pemimpin menurut Islam adalah melayani urusan rakyat.
Inilah yang membedakan paradigma Islam dengan Kapitalisme. Islam dibangun atas dasar keimanan terhadap Allah Swt. Karena itu, seorang pemimpin harus bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.
Berdasarkan aturan Islam, sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak hakikatnya adalah milik rakyat. Hal ini didasarkan pada sejumlah hadis. Di antaranya riwayat Ibnu ‘Abbas Ra. yang menuturkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara: air, padang rumput dan api. Harganya adalah haram.” (HR Ibnu Majah dan Ath-Thabarani).
Dari hadis di atas bisa digali kaidah hukum, yakni "Setiap benda/barang (sumber daya alam) yang menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat secara luas adalah milik umum.” (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, 3/466).
Maka dari itu, tidak hanya air, api, dan padang rumput, tetapi semua SDA yang menjadi kebutuhan masyarakat secara luas (min maraafiq al-jamaa’ah) adalah milik umum. (An-Nabhani, An-Nizhaam al-Iqtishaadi, hlm. 201)
Imam/Khalifah (penguasa dalam sistem pemerintahan Islam) harus memberikan akses atas milik-milik umum ini kepada semua rakyatnya, baik yang miskin ataupun kaya. (Muqaddimah ad-Dustuur, hlm 365)
Kepemilikan umum ini dikelola oleh negara untuk kepentingan publik. Negara boleh memberikan kepada rakyat secara gratis atau menetapkan harga murah yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Sebab, negara hanya mewakili umat untuk mengelola barang tersebut.
Oleh karena itu, sudah selayaknya umat Islam menerapkan aturan Islam yang jelas membawa rahmat bagi seluruh alam. Saat ini, yang harus dilakukan adalah terus menyeru kepada penguasa untuk menerima Islam sebagai pedoman agar dapat menyelesaikan seluruh problematika kehidupan. Wallahu a'lam!
Oleh: Wida Nusaibah
Pemerhati Kebijakan Publik