Tinta Media: Lemah
Tampilkan postingan dengan label Lemah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lemah. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 September 2024

Mekanisme Pemilu Jadi Masalah, Bukti Demokrasi Lemah


Tinta Media - Adanya kontestan pemilu di Pilkada Kabupaten Bandung yang masih menjabat kepemimpinan daerah (pejabat petahana) ada tiga orang, di antaranya adalah Dadang Supriatna selaku Bupati Bandung, Sahrul Gunawan selaku Wakil Bupati Bandung 2019-2024, serta Gun Gun Gunawan yang belum lama ini menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Bandung 2024-2029.

Pemerhati kebijakan publik Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Direktur Jamparing Institute, Dadang Risdal Azis menyoroti tentang adanya perbedaan perlakuan regulasi petahana dan anggota legislatif yang menjadi kontestan di pilkada. Karena itu, perlu pendalaman komprehensif untuk menghindari dan meminimalisir konflik kepentingan. 

Dadang mengatakan bahwa jika kontestan pilkada merupakan pejabat petahana, maka cukup mengajukan cuti kampanye, sedangkan jika pesertanya masih anggota DPRD, maka harus mengundurkan diri dari jabatan yang tertuang dalam UU No.7 tahun 2017 tentang pemilu dan UU No.10 tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah.

Dadang juga menyepakati soal adanya surat edaran menteri dalam negeri yang mengatur tentang pengunduran diri pejabat, Gubernur, dan Walikota pada pilkada 2024. Regulasi ini mengatur agar petahana yang akan mengikuti pilkada perlu mengundurkan diri. Tujuannya adalah untuk memberikan keadilan bagi anggota DPR, DPD, DPRD, serta PNS, TNI/POLRI, dan pegawai BUMN/BUMD, yang juga wajib mundur di pilkada jika menjadi kontestan di pilkada. 

Pengaturan tentang hal tersebut menjadi masalah ketika ketetapan pemilu dilaksanakan secara berkala karena habisnya masa jabatan kepemimpinan, yaitu lima tahun. Oleh karena itu, harus ada UU dalam pengaturan pemilu, termasuk para kontestan yang sering kali diikuti oleh para pejabat yang masih berkuasa (petahana). 

Realitas ini sangat niscaya terjadi dalam sistem demokrasi-kapitalisme, yang memandang jabatan sebagai kondisi yang menguntungkan, baik dari sisi pengaruh, fasilitas yang serba mewah, ataupun tunjangan serta sarana-pra sarana yang akan didapat jika meraih jabatan tersebut. 

Ini semua merupakan  sesuatu yang amat menggiurkan, sehingga banyak yang berlomba-lomba mencalonkan diri untuk meraihnya. Apalagi pejabat yang masih menjabat, mereka ingin terus mempertahankan jabatan dengan segala macam cara untuk melanggengkan kekuasaan, bahkan berkeinginan untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi lagi, hingga rela mengorbankan apa pun demi jabatan tersebut. Selanjutnya, mereka ingin mencalonkan lagi dan lagi. Hal ini terjadi karena adanya peluang bagi siapa pun untuk mencalonkan diri, walaupun sekadar untuk memenuhi syahwat politik secara pribadi atau golongan. 

Mungkinan saja petahana menggunakan fasilitas negara ketika mencalonkan karena posisinya masih tetap berkuasa. Ini bisa terjadi manakala politik dijadikan sebagai tujuan untuk melanggengkan kekuasaan dan menyingkirkan lawan-lawannya baik dengan cara memukul maupun merangkul untuk memenangkan persaingan dalam pilkada.

Regulasi yang ada tidak serta-merta dapat mencegah peluang untuk berbuat curang walaupun dengan memanfaatkan kekuasaan. Apalagi dalam demokrasi, sah-sah saja menghalalkan segala cara dalam politik untuk meraih kekuasaan, seperti menggunakan bebagai macam  kekuatan tipu daya, manipulasi untuk mempertahankan kekuasaan, selama memiliki kekuatan modal dan kekuasaan (pengaruh), yaitu dukungan dari para pemilik modal (kapitalis).

Hegemoni kepentingan para pemilik modal (kapitalis) melalui pemilu sebagai metode demokrasi inilah yang menyuburkan politik uang, suap, kolusi, dan korupsi, semata untuk kepentingan para kapitalis, dalam menguasai kendali politik dan kekuasaan dengan membentuk jaringan oligarki yang mampu memengaruhi jalannya pemerintahan beserta segala kebijakannya. Inilah demokrasi yang meletakan kedaulatan di tangan rakyat. Pada realitasnya, demokrasi hanya menjadi sarana bancakan antara penguasa (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan para pengusaha.

Pemilu, termasuk pilkada menjadi pintu awal masuknya hegemoni para kapitalis ini, sehingga para penguasa ada dalam kendali pengusaha (kapitalis) dalam menjalankan pemerintahan. Sementara, kepentingan rakyat hanya menjadi alat yang dipakai dalam meloloskan kebijakan yang pro-kapitalis, tapi tidak pro-rakyat. Hal ini menumbuhsuburkan para pemimpin yang rakus akan kekuasaan yang didukung oleh para kapitalis. Selamanya rakyat akan menjadi korban, seperti saat ini. 

Oleh karena itu, jika ingin terjadi perubahan di tengah masyarakat, yaitu tercipta kesejahteraan dalam berbagai bidang kehidupan, maka tidak bisa dilakukan dengan sekadar mengubah pemimpin melalui pemilu. Namun, yang utama adalah mengubah sistem kapitalisme sekularisme yang diterapkan di negeri ini menjadi  sistem yang sahih dan paripurna, yaitu sistem Islam. 

Paradigma kekuasaan dan kepemimpinan dalam Islam adalah semata-mata untuk  melayani rakyat. Ini karena makna politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan umat (rakyat) yang dilakukan oleh seorang kepala negara (khalifah) melalui penerapan syariat Islam secara kaffah (keseluruhan). 

Untuk menjamin keberlangsungan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada khalifah tersebut, Islam menetapkan tujuh syarat in'iqad (sah) seorang khalifah tersebut, yakni muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu.

Ketujuh syarat tersebut wajib dipenuhi oleh seorang khalifah agar memenuhi kelayakan sebagai seorang pemimpin yang amanah, yang akan dimintai pertanggungjawaban. Tanggung jawab itu bukan hanya kepada manusia (rakyat) yang dipimpin, tetapi juga kepada Allah Swt.

Seorang pemimpin wajib berhukum pada hukum Allah dalam mengatur urusan rakyat, sebab kedaulatan berada di tangan syara' (syariat). Keberadaan rakyat wajib menasihati penguasa agar tidak menyimpang dari syariat Islam, sehingga akan menutup kemungkinan terjadi tindakan pejabat yang menyimpang dari syariat.

Kalaupun terjadi penyimpangan, maka akan diadukan kepada Mahkamah Mazalim. Dialah yang akan memproses hal tersebut, hingga sampai pada keputusan, apakah khalifah bisa tetap melanjutkan kepemimpinannya ataukah di-impeachment (diberhentikan) akibat terbukti melakukan penyimpangan (zalim), yang berarti telah hilang salah satu syarat in'iqad-nya.

Jika khalifah diberhentikan, maka wajib segera dilakukan pemilihan khalifah yang baru. Syariat Islam menetapkan bahwa pemimpin tidak dibatasi masa jabatan, karena faktor yang dapat memberhentikannya sebagai pemimpin adalah ketika sudah tidak terpenuhinya lagi syarat in'iqad pada seorang khalifah meskiy hanya satu. 

Oleh karena itu, pemilu untuk memilih pemimpin tidak menjadi hal yang dilakukan secara berkala. Yang menjadi masalah dalam hal kepemimpinan bukan karena ia mencalonkan lagi atau tidak, tetapi apakah memenuhi syarat in'iqad ataukah tidak. 

Dalam Islam, kepemimpinan tidak sekadar mendudukkan seorang muslim di panggung kekuasaan. Yang utama adalah penerapan Islam kaffah di dalam negeri dan mendakwahkan Islam ke seluruh dunia, dalam rangka mengatur urusan urus rakyat (umat). Wallahu alam bis shawab.





Oleh: Elah Hayani
Sahabat Tinta Media

Rabu, 08 Mei 2024

Hukum Lemah, Kriminalitas Merajalela


Tinta Media - Deputi Direktur Amnesty Internasional Indonesia Widya Adiwena menilai hukum di Indonesia semakin lemah karena kriminalisasi semakin meningkat, terutama dari aparat kepada masyarakat yang melakukan unjuk rasa. 

Tindakan tersebut di antaranya:

Pertama, banyak masyarakat sipil yang terus mendapat tindakan kriminalisasi dari aparat saat menggelar aksi demonstrasi. Tahun 2023, tiga aktivis Papua dihukum penjara dengan tuduhan makar, karena menyuarakan pendapat mereka secara damai.

Kedua, aparat menggunakan kekerasan untuk membubarkan aksi masa di Pulau Rempang, kepulauan Riau. Aparat polisi mengamankan gas air mata dan peluru karet pada masyarakat Rempang yang menyuarakan keberatan terkait proyek pembangunan yang mengancam tanah leluhur mereka.

Ketiga, di Papua, aparat keamanan melakukan penyiksaan terhadap tahanan, seperti kematian 6 orang tahanan di Desa Kwiyagi, Kabupaten Lanny Jaya Papua  Pegunungan pada 6 April 2023.

Lemahnya hukum yang diterapkan di Indonesia terbukti adanya. Akibatnya, kriminalitas semakin meningkat, mulai dari rakyat sipil sampai aparat negara. Kasus-kasus kekerasan yang  dilakukan aparat banyak yang tidak tuntas dan 
dialihkan ke isu lain. 

Ini menunjukkan bahwa hukum yang diterapkan tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ini adalah buah penerapan sistem kapitalisme, sistem buatan manusia yang lemah dan batil, yang tidak bisa memberikan hukuman secara tegas dan menjerakan

Penyebab utama tindakan kriminalitas meningkat adalah individu yang lemah dengan adanya dominasi sekularisme-kapitalisme yang sangat kuat mencengkeram,  sementara standar agama tidak dijadikan rujukan.

Orang melakukan tindakan kekerasan atau tidak,  standarnya adalah rasa suka atau tidak, merugikan atau menguntungkan, sedangkan agama tidak boleh dibawa ke ranah publik. Agama hanya dijadikan sekadar ibadah ritual saja.  

Maka, ketika seseorang bekerja sebagai aparat negara, mereka bisa sewenang-wenang  memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan mereka. Mereka kebal terhadap hukum, tidak pernah memikirkan dosa dan pahala, tidak takut kepada Allah Swt. 

Mereka hanya takut kepada penjara. Maka, ketika melakukan tindakan kriminal, yang dipikirkan adalah bagaimana caranya agar tidak terjerat hukum, walaupun harus menyogok. Karena itu, mereka tidak pernah takut mengulangi kejahatan berikutnya. 

Ini menunjukkan bahwa negara hanya berfungsi sebagai regulator, yaitu penyambung kebijakan para pengusaha besar  (oligarki) yang menguasai sumber daya, mempunyai kekuasaan dan jabatan sehingga bisa mengendalikan kebijakan  negara.

Tidak ada kontribusi dari masyarakat dengan budaya amar ma'ruf nahi munkar. Ketika tindakan kriminal yang dilakukan aparat negara berulang kali dilakukan, disaksikan oleh masyarakat, tidak ada tindakan tegas dari negara, sehingga masyarakat pada akhirnya menjadi hilang kepercayaan. 

Rasa kepedulian masyarakat pun menjadi hilang karena aksi protes, tuntutan keadilan, dan lain sebagainya tidak dianggap oleh hukum. Ini karena negara juga menerapkan pasal karet yang bisa ditarik ulur sesuai dengan kepentingan mereka. 

Sementara, tidak ada tindakan tegas dari negara bahkan negara sendiri ikut terlibat. Negara abai terhadap sanksi yang tegas, membiarkan kriminalitas merajalela.

Saatnya masyarakat kembali kepada solusi Islam yang bisa menutup celah kejahatan  dengan penerapan hukum Islam oleh negara, seperti kriminalitas yang merajalela. 

Pertama, dengan membangun ketakwaan individu sehingga menjadikan halal haram sebagai standar. Mereka akan sadar bahwasanya setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Swt. Mereka yang berbuat kemaksiatan akan mendapatkan dosa dan  balasan, baik di dunia maupun di akhirat sesuai dengan kejahatan yang mereka perbuat.

Kedua, negara dalam sistem Islam akan menumbuhsuburkan budaya amar ma'ruf nahi munkar. Masyarakat akan peduli dengan keadaan sekitar ketika terjadi tindakan kemaksiatan seperti kriminalitas. Ini akan menutup celah tindakan kriminalitas merajalela di masyarakat. 

Ketiga, negara mempunyai sistem sanksi tegas yang berfungsi sebagai zawabir (penebus dosa di akhirat kelak), dan zawajir (pencegah dan epek jera). 

Negara dalam menerapkan sanksi tidak pandang bulu, baik miskin ataupun kaya, aparat ataupun rakyat biasa, termasuk mencegah adanya aparat yang tidak amanah berlaku sewenang-wenang dan kebal hukum. 

Negara akan hadir sebagai penanggung jawab, pelindung masyarakat. Sekecil apa pun tindakan kriminalitas, negara tidak akan membiarkan, karena Allah mengharamkan kemaksiatan sekecil apa pun.

Semua ini akan mencegah terjadinya pelanggaran aturan Allah. Penerapan sistem sanksi dan sistem lainnya dalam negara Islam akan menjaga nama baik hukum dan mewujudkan keadilan dan ketenteraman dalam kehidupan. Wallahu alam bishawab.


Oleh: Elah Hayani
Sahabat Tinta Media 

Senin, 18 Maret 2024

Tanpa Komando Umat Islam Jadi Lemah



Tinta Media - Isr4el melalui menterinya berniat menghapus bulan suci Ramadhan. "Apa yang disebut bulan Ramadhan harus dihapuskan, dan ketakutan kita terhadap bulan ini harus dihapuskan," kata Menteritida4el, Emichai Eliyahu sebagaimana dikutip oleh kompas.com, Selasa (5/3/2024). 

Masya Allah, betapa angkuh dan sombongnya mereka. Sudahlah menghancurkan rumah-rumah, gedung-gedung bertingkat, menghilangkan puluhan ribu nyawa, kali ini mereka ingin menghapus bulan Ramadhan. 

Betapa lemahnya kita sehingga Israel berani bermimpi menghapuskan bulan suci Ramadhan. Entah sampai kapan kita akan membiarkan saudara-saudara kita di Gaza berjuang sendiri mempertahankan tanah kaum Muslimin sejak 76 tahun lalu. Entah kapan kita akan membongkar tembok yang memblokade Gaza. Entah berapa jumlah korban yang kita tunggu baru kita akan memaksa pasukan Israel berhenti dan mengusir mereka dari tanah kita di Palestina. 

Sungguh kita sangat lemah. Kecintaan kita kepada dunia membuat kita takut melawan Israel dan sekutunya. Banyaknya negara yang berpenduduk mayoritas muslim ibarat buih yang terombang-ambing di lautan. Negeri kita yang satu, sibuk urus pemilihan umum untuk berebut kekuasaan. Negeri yang satu sibuk urus turnamen sepak bola agar berkelas dunia. Ada juga yang sibuk memamerkan kekayaan dan keindahan agar memancing wisatawan dunia. Banyak juga yang tengah dalam kemiskinan dan krisis karena masih dilanda perang yang berkepanjangan. 

Alangkah lemahnya kita sehingga kehilangan kekuasaan, kedudukan, harta termasuk nyawa lebih kita takuti daripada kehilangan pengakuan dari Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam. Karena sungguh Nabi yang paling mulia itu telah bersabda sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari Muslim bahwa tidak beriman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. 

Saking lemahnya, kita tidak bisa merasakan penderitaan umat Islam di Gaza. Padahal umat Islam itu bagaikan satu tubuh. Jika satu bagian merasakan sakit, maka seluruh bagian akan ikut terjaga dan mengalami demam karena turut merasakan sakit. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam juga menggambarkan kita bagaikan satu bangunan yang saling menguatkan satu sama lain. 

Tampaknya, tubuh umat Islam hari ini tidaklah utuh. Begitu juga sebagai sebuah bangunan pun tidak utuh. Layaknya tubuh, kita tidak punya kepala yang memberikan komando kepada bagian tubuh yang lain. Sebagai sebuah bangunan kita tidak punya atap yang melindungi. Tidak ada yang memberi komando memerangi Israel dan tidak yang melindungi umat Islam dari serangan Israel dan negara-negara kafir lainnya. 

Jelas Israel tidak akan bisa menghapuskan bulan suci Ramadhan, sebagaimana mereka maupun orang kafir lainnya tidak akan bisa menghilangkan Al-Quran dari muka bumi. Sebab, Al-Qur'an termasuk juga bulan Ramadhan dijaga langsung oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana Allah tegaskan dalam surat Al-Hijr ayat 9. 

Hanya saja memungkinkan bagi mereka menghalangi umat Islam menunaikan ibadah di bulan Ramadhan. Namun sulit dibayangkan mereka akan berhasil selama umat Islam di Gaza masih memiliki iman yang kuat. Dihalangi berpuasa, Muslim Gaza sudah terbiasa berpuasa sebelum Ramadhan, dihalangi shalat mereka tetap shalat meski masjid dan rumahnya telah runtuh. Justru pahala puasa dan shalat di bulan Ramadhan adalah yang sangat dirindukan. Bahkan mati syahid di bulan Ramadhan merupakan nikmat yang sangat diimpikan. 

Justru yang dikhawatirkan ibadahnya di bulan Ramadhan kurang maksimal adalah kita yang tinggal di luar Gaza. Kita memang tetap berpuasa, shalat, sedekah dan tilawah Al-Qur'an, namun selama kita diam dan tidak berbuat apa-apa untuk membebaskan saudara kita yang sedang dijajah dan dizalimi di Gaza serta di belahan bumi lainnya, maka ibadah kita masih jauh dari sempurna. 

"Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga" (HR. Tabrani)



Oleh : Muhammad Syafi'i
Aktivis Dakwah 


Selasa, 04 Oktober 2022

IJM: Restorative Justice Akan Lemahkan KPK dan Menumbuhsuburkan Korupsi

Tinta Media - Pernyataan pimpinan KPK Johanis Tanak yang akan melakukan restorative justice (mediasi antara korban dan terdakwa) terhadap para pelaku koruptor, dinilai Pengamat Kebijakan Publik dari Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. Erwin Permana sebagai bentuk kelemahan dan justru menumbuhsuburkan pelaku koruptor.

“Jelas bukan saja bentuk kelemahan menghadapi koruptor, justru akan menumbuhsuburkan para koruptor itu,” nilai Dr. Erwin kepada Tinta Media, Ahad (2/10/2022).

Menurutnya, dengan adanya restorative justice itu justru kemudian membuat orang semakin terpancing, terangsang, yang tadinya tidak korupsi, menjadi tidak khawatir lagi untuk melakukan aktivitas korupsi. “Yang tadinya korupsi, makin mereka profesional dalam menghadapi hukum yang sudah diberlakukan sedemikian rupa itu,” tuturnya.
 
“Jadi, justru ini akan semakin membuat ekosistem korupsi itu semakin liar, semakin enggak bisa terkendali,” tegasnya.

Erwin yakin, dengan kebijakan ini nanti justru ke depannya pemberantasan korupsi di Indonesia, semakin tidak jelas. “Malah korupsi semakin memberingas,” jelasnya.

Negara Kalah

Erwin menyampaikan dua faktor yang membuat negara lemah bahkan kalah dari koruptor. “Ada dua faktor di situ," ucapnya 

Pertama adalah faktor orangnya. “Faktor orang dengan gaya hidup Gen Z, dengan gaya hidup yang hedonis seperti sekarang ini,” ujarnya.
 
Ia memaparkan bahwa ketika mereka masuk ke dalam komunitas Gen Z, komunitas mereka akan saling berlomba untuk memperlihatkan kemewahan. “Ketika mereka mewah, maka tentu akan berpacu satu sama yang lain,” paparnya.

“Ketika satu orang itu sudah punya mobil mewah, yang lain ingin juga. Ketika seseorang sudah punya rumah mewah, yang lain ingin juga. Itu mereka selalu berpacu di situ,” lanjutnya mencontohkan.

Kemudian ia mempertanyakan, seberapa besar gaji seorang petugas negara? “Kan sudah terukur gajinya mereka, sudah jelas catatan ukuran gaji mereka, tapi kalau kita perhatikan gaya hidup mereka itu, justru enggak masuk di akal,” ungkapnya.

“Tidak memiliki kapasitas, tidak memiliki mentalitas yang baik dalam hal penanganan korupsi,” ujarnya. 

“Sedangkan pada saat yang sama, mereka itu hidup di tengah ekosistem yang hedonis, di tengah ekosistem yang menomersatukan materi,” lanjutnya.

Kedua, adanya sistem yang menumbuhsuburkan korupsi itu. “Ya, sistem demokrasi kapitalis yang dasarnya itu adalah sekuler, di mana nggak ada satupun yang ditakutkan oleh manusia,” jelasnya.

Menurutnya, kalau ketakutan pada manusia yang lain, itu menjadi mudah orang untuk saling akal-akalin. “Jadi kalau takut sama orang lain, dijadikan akal-akalan saja,” tegasnya.

“Apa yang perlu dikhawatirkan? Jadi, enggak ada kekhawatiran atau ketakutan pada apapun, itu sistem sekuler, seperti itu,” tambahnya.

Ia melihat tidak adanya penanaman mentalitas, kemudian dalam ruang hukum juga memberikan ruang yang besar terjadinya korupsi. “Karena, bagaimanapun sistem demokrasi sekuler itu sistem yang berbiaya tinggi,” ucapnya.

Dipaparkannya mulai dari proses penunjukan pimpinan, kepala negaranya, gubernur, bupati, itu berbiaya tinggi semuanya. 

“Bagaimana supaya kemudian biaya tinggi ini bisa balik? Ya, tentu mereka harus mendistribusikan kepada semuanya, kepada pejabat-pejabat di bawahnya, sehingga kemudian terjadi jual beli jabatan. Kenapa? Karena hanya dengan membeli jabatanlah kemudian dia bisa mendapatkan jabatan tertentu,” paparnya.  

“Jadi, ada sistem yang rusak dan juga orang yang tidak kapabel,” tegasnya.
 
Solusi 

Erwin menjelaskan bagaimana agar koruptor itu bisa diberantas. "Kita harus singkirkan kedua hal itu,” jelasnya.

Pertama, tempatkan orang yang kapabel, orang yang memiliki kemampuan kapabilitas, orang yang mampu, orang yang cakep, orang yang memiliki integritas, orang juga bertaqwa kepada Allah SWT. “Tapi, itu saja enggak cukup, yang lebih penting lagi adalah bahwa sistemnya juga harus mendukung,” tuturnya.

Jadi, ia menambahkan bahwa kesatuan sistem dan orang inilah yang bisa menggantikan kerusakan yang ada. “Bukan hanya sebatas orangnya yang cakep, tapi sistemnya juga harus cakep. Kalau tidak, nanti sama aja hasilnya,” tambahnya. 

“Kita berkeringat sampai kapanpun, yang namanya korupsi itu, tidak bisa diberantas. Akhirnya capek sendiri, gak ditemukan yang namanya keadilan, yang akhirnya justru kezaliman di sana-sini, ketimpangan ekonomi, dan segala macam,” tutupnya. [] Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab