Jumat, 26 April 2024
Kamis, 11 April 2024
Benarkah Kita Lebaran Serentak? Tidak! Muslim Gaza Masih Belum Berbuka
Rabu, 03 April 2024
Ketergantungan Impor Menjelang Lebaran Kian Menggila
Minggu, 07 Mei 2023
TRADISI LEBARAN DAN RADIKALISME, ADAKAH HUBUNGANNYA?
Saya kutip judul itu seutuhnya : Terdapat fungsi lain dari pelestarian tradisi, termasuk tradisi halalbihalal, yakni untuk mencegah infiltrasi kelompok radikal-teroris. Bagaimana nalarnya? Sebagian besar kelompok radikal-teroris akan berseberangan secara diametral atau menolak sebagian besar budaya dan tradisi yang dijalankan Muslim mayoritas, bahkan juga tradisi budaya pada umumnya.
Karena bagi mereka, itu dianggap sinkretisme, syirik, dan bid’ah. Mereka sering menyerukan jargon ”cukup kembali kepada Al Quran dan hadis”. Padahal, menurut Nadirsyah Hosen dalam artikelnya, ”When ’Back to the Qur’an and Hadith’ is No Longer Enough”, jargon seperti itu tak cukup dan berpotensi menggiring orang beragama secara radikal (Tim Lindsey ed, Islam, Education and Radicalism in Indonesia, 2023).
Menjaga dan mencintainya adalah sebentuk manifestasi menjaga dan mencintai NKRI.
Banyak ditemukan pernyataan kelompok radikal-teroris tentang ketidaksukaannya atas tradisi budaya Muslim Nusantara. Karena itu, jika tradisi budaya itu digalakkan, termasuk halal bihalal, secara otomatis akan mampu membuat generasi muda kita mencintai tradisi itu. Dengan demikian, siapa pun yang membenci tradisi budaya, akan muncul reaksi penentangan sekaligus self defense dalam diri generasi muda.
Generasi muda yang demikian akan mengemban Islam moderat atau wasatiyyah. Dari narasi di atas, perlu ada kesadaran bersama bahwa local wisdom masyarakat Indonesia perlu dijaga dan dilestarikan. Menjaga dan mencintainya adalah sebentuk manifestasi menjaga dan mencintai NKRI.
Sebagai tradisi intelektual yang harus terus dibangun, izinkan saya untuk memberikan tanggapan atas tulisan saudara Ainur Rofiq Al Amin di atas.
Sub judul sebelumnya dari tulisan ini tidak perlu saya tanggapi karena hanya bicara seputar dinamika perkembangan umat Islam dalam memahami ajaran Islam yang Allah turunkan di jazirah Arab dan dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW ke seluruh penjuru dunia lantas bagaimana terjadi proses interaksi dengan masyarakat lokal. Maka, muncul berbagai kreatifitas dakwah agar Islam diterima masyarakat non muslim waktu itu. Salah satunya dengan proses islamisasi nusantara, terutama dalam hal budaya dan tradisi. Tradisi yang jelas-jelas tidak islami akan ditinggalkan, sebab islam akan menerima kebiasaan masyarakat yang memang tidak bertentangan dengan Islam. (Lihat bukunya Carool Kersten berjudul Mengislamkan Indonesia, Sejarah Peradaban Islam di Nusantara)
Karena itu, soal tradisi, Islam bisa menerima seluruh tradisi masa lalu yang tidak bertentangan dengan aqidah, sementara tradisi agama lain dibiarkan dilakukan oleh pemeluknya, sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Dengan demikian, jika polemik budaya muslim nusantara ditujukan kepada umat Islam atau Islam, selain salah alamat juga gagal paham atas ajaran Islam itu sendiri. Mestinya penulis jeli melihat perkembangan islamopobia yang justru merak terjadi di seluruh dunia. Jangan selalu menembapkan umat Islam selalu dalam posisi salah terus.
Sepeninggal Rasulullah, Islam disebarkan oleh melalui dakwah dan pendidikan oleh para khalifah, ulama, ilmuwan, dan bahkan para pedagang. Kenapa ini terjadi, sebab dakwah memang kewajiban bagi setiap individu muslim, apapun profesinya, maka dakwah penyebaran Islam wajib dilakukan. Mengapa Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia, ya karena disebarkan oleh setiap pribadi dan para pemimpin negara, sampai pada munculnya islamopobia yang dihembuskan oleh para musuh Islam dan kompradornya karena ada dendam sejarah. Di titik inilah muncul narasi-narasi islamopobia yang bahkan diadobsi oleh umat Islam sendiri, seperti radikalisme dan terorisme. Padahal faktanya yang jadi korban narasi teorisme ini adalah umat Islam sendiri.
Nah di titik inilah sebenarnya persoalan yang ingin saya tanggapi dari tulisan saudara Ainur Rafiq ini. Sebenarnya soal tradisi dan budaya itu telah tuntas dalam ajaran Islam, namun anehnya mengapa bicara soal tradisi dan budaya malah menyinggung (meski sekilas) soal narasi radikalisme dan terorisme, jadi terkesan agak dipaksakan. Bahkan jika dicermati dari awal tulisan hingga sampai sub judul infiltrasi radikal terorisme, maka tidak ditemukan logika dan relevansinya. Meminjam bahasa Ainur Rafiq sendiri juga tidak ditemukan titik nalarnya. Jadi saya balik bertanya, dimana nalarnya antara tradisi lebaran dengan ilfiltrasi kelompok radikal-teroris itu ?.
Sebagai sama-sama dosen filsafat, saya memahami bahwa dalam ilmu filsafat, berpikir radikal bermakna upaya menggali kenyataan atau ide hingga ke akar-akarnya, jelas merupakan syarat mutlak untuk membangun diskursus rasionalisme dan kritisisme. Bahkan dalam ilmu kimia, tak kecuali, ternyata juga dikenal istilah radikal bebas. Jadi aneh kalau dosen filsafat kok malah mempermasalahkan kata radikal. Berfilsafat itu ya berfikir radikal, piye to sampeyan ini ?.
Secara etimologis, kata radikal sesungguhnya netral. Radikalis, kata sifat ini berasal dari bahasa Latin, radix atau radici. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), istilah radikal berarti ‘akar’, ‘sumber’, atau ‘asal-mula’. Dimaknai lebih luas, istilah radikal mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan esensial atas bermacam gejala, atau juga bisa bermakna “tidak biasanya” (unconventional).
Sampai disini jelas bahwa, kata radikal sesungguhnya netral dalam arti tidak berhubungan agama, apalagi Islam. Kata radikal lebih tepat jika ditempatkan dalam konteks akademik atau filsafat, dimana segala sesuatu harus digali dari akarnya untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki. Aktifitas berfikir dalam rumus filsafat justru harus radikal, bukan dangkal.
Berpikir radikal dalam tinjauan filsafat justru memiliki aksilogi positif. Sebab dengan berpikir radikal, seseorang dapat memahami, menganalisa dan bahkan memberikan solusi yang benar. Pemimpin negara yang berpikir radikal pun demikian, ia akan dapat memahami hakikat permasalahan yang dihadapi oleh negaranya.
Berpikir radikal hanya mungkin dilakukan oleh pemimpin cerdas. Pemimpin yang berpikir radikal akan mampu menganalisa secara holistik setiap permasalahan sehingga pemecahan masalahnya pun bisa tuntas dan benar. Pemimpin radikal justru akan menjadikan negara kuat dan memiliki prinsip kokoh. Kebalikan dari berpikir radikal adalah pemimpin yang plin plan, tidak punya prinsip dan tidak punya landasan dalam berpikir.
Kembali ke laptop. Saya akan tanggapi beberapa paragraf dari tulisan saudara Ainur Rafiq untuk menumbuhkan budaya diskusi mencerdaskan kehidupan bangsa. Saya mulai dari paragraf pertama sub judul Mencegah Infiltrasi Kelompok Radikal Teroris.
Paragraf pertama : Terdapat fungsi lain dari pelestarian tradisi, termasuk tradisi halalbihalal, yakni untuk mencegah infiltrasi kelompok radikal-teroris. Bagaimana nalarnya? Sebagian besar kelompok radikal-teroris akan berseberangan secara diametral atau menolak sebagian besar budaya dan tradisi yang dijalankan Muslim mayoritas, bahkan juga tradisi budaya pada umumnya.
Menyatakan sebagian besar kelompok radikal-teroris adalah kalimat absurd yang justru akan menimbulkan polemik di masyarakat muslim. Alih-alih penulis mendukung hari anti-islamopobia, kok malah manas-manasin lagi soal narasi radikal teroris yang sudah mulai basi. Tanpa menyebut kelompok mana yang disebut radikal teroris juga akan menimbulkan suasana yang tidak nyaman di kalangan umat Islam sendiri. Mestinya lebaran atau idul fitri itu kan bahagia, kok malah menebar narasi yang bisa mengganggu kebahagiaan umat Islam. Lagi pula apa sih hubungan antara halal bi halal dengan radikal-teroris ? plis jangan lebay deh...
Paragraf kedua : Karena bagi mereka, itu dianggap sinkretisme, syirik, dan bid’ah. Mereka sering menyerukan jargon ”cukup kembali kepada Al Quran dan hadis”. Padahal, menurut Nadirsyah Hosen dalam artikelnya, ”When ’Back to the Qur’an and Hadith’ is No Longer Enough”, jargon seperti itu tak cukup dan berpotensi menggiring orang beragama secara radikal (Tim Lindsey ed, Islam, Education and Radicalism in Indonesia, 2023).
Pertanyaannya mereka itu siapa ?. Siapa yang menganggap halal bi halal itu sinkretisme, syirik dan bid’ah, siapa ?. Mestinya disebutkan dalam tulisan agar tidak terjadi prasangka buruk antar umat Islam yang sedang akan menikmati lebaran berbahagia dengan keluarga, berkumpul, silaturahmi dan berbagai rejeki. Istilah kembali kepada al qur’an dan hadits itu mestinya dirujuk kepada para ulama ahli tafsir agar maknanya lebih obyektif. Kan banyak para ahli tafsir, kenapa harus Nadirsyah Hosen yang dipilih ? Cuma nanya loh he he ?.
Kutipan frase : berpotensi menggiring orang beragama secara radikal adalah kutipan yang mengalami kerancuan. Sebab kembali kepada Al Qur’an dan Hadits memang kewajiban sebagai muslim, sementara kata radikal itu istilah yang dikembangkan oleh Barat sebagai bagian dari perang pemikiran (ghozwul fikr). Sama sekali tidak ada hubungan antara Al Qur’an dan hadits dengan radikalisme. Jika dipaksa dihubung-hubungkan, maka mungkin ada kepentingan tertentu. Karena memang ghozwul fikr ini ada yang pro barat ada pula yang pro islam dari kalangan umat Islam sendiri.
Paragraf tiga : Menjaga dan mencintainya adalah sebentuk manifestasi menjaga dan mencintai NKRI. Kalimat ini terlalu berlebihan, sebab lebaran sebagai tradisi umat Islam adalah bagian dari kecintaan kepada agama ini. Lantas jangan diragukan lagi apakah umat Islam ini cinta Indonesia atau tidak. Loh bukannya Indonesia ini hasil perjuangan para ulama dan umat Islam.
Justru Indonesia saat ini sedang dalam penjajahan kapitalisme dan komunisme, mencintai Indonesia mestinya dengan mengusir dan menolak ideologi kapitalisme dan komunisme ini. Inilah sesungguhnya tantangan terbesar negara ini. Dengan menerapkan kapitalisme dan komunisme, indonesia kini terjual habis, rakyat tambah sengsara, SDA dikuasi asing aseng dan seterusnya.
Jika para pemimpin negeri ini menerapkan kapitalisme dan merestui komunisme, apakah mereka sedang mencintai NKRI atau malah sebalaiknya?
Paragraf empat : Banyak ditemukan pernyataan kelompok radikal-teroris tentang ketidaksukaannya atas tradisi budaya Muslim Nusantara. Karena itu, jika tradisi budaya itu digalakkan, termasuk halal bihalal, secara otomatis akan mampu membuat generasi muda kita mencintai tradisi itu. Dengan demikian, siapa pun yang membenci tradisi budaya, akan muncul reaksi penentangan sekaligus self defense dalam diri generasi muda.
Tulisan ini hanya memperkuat kelemahan nalar penulisnya dalam membangun logika korelasi antara radikal-teroris dan tradisi nusantara. Bagaimana kalau saya bertanya begini: apakah yang tidak setuju dengan tradisi nusantara adalah teroris? Jika jawabnya iya, berarti harus dihukum berat dong? Mengapa perbedaan pendapat soal tradisi nusantara lantas dikaitkan dengan radikal-teroris, apakah tidak berlebihan. Karena lemahnya korelasi, maka tulisan ini kurang ilmiah.
Paragraf enam: Generasi muda yang demikian akan mengemban Islam moderat atau wasatiyyah.
Kalimat ini terdapat banyak kesalahan istilah. Ayat tentang wasatiyah itu merujuk kepada umat, bukan kepada islam. Istilah moderat sendiri bukan berasal dari khasanah Islam, namun dari epistemologi barat. Intinya moderat itu tidak sama dengan wasatiyah, termasuk juga tidak langsung berhubungan dengan budaya lebaran.
Terkait ummatan wasathan, Allah berfirman : “Demikian Kami jadikan kamu ummatan wasathan supaya kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad SAW) menjadi saksi atas perbuatan kamu...” (QS. Al-Baqarah (2): 143). Ummatan wasathan adalah umat yang adil dan pilihan karena terbentuk kepribadian dari pelaksanaan ajaran Islam.
Tapi saya akan coba berikan tanggapan masalah ini lebih detail ya, sekali lagi sebagai upaya menghidupkan budaya diskusi untuk mencerdaskan kehidupan umat Islam dan bangsa.
Barat telah menyebarkan istilah-istilah aneh yang dikaitkan dengan Islam, seperti Islam moderat. Barat yang dimaksud bukanlah letak geografis, melainkan Barat dalam makna pemikiran, ideologi dan peradaban yang sekuleristik dan kapitalistik. Pandangan ini menghendaki Barat harus dikritisi dan bahkan dilawan, karena dianggap sebagai neoimperialisme. Barat, oleh seorang muslim juga sering dianggap sebagai kiblat kemajuan teknologi dan kecanggihan metodologi penelitian.
Oleh Barat, pandangan pertama diberikan julukan sebagai muslim fundamentalis atau radikalis yang harus dimusuhi bahkan diberangus karena dianggap mengancam hegemoni Barat. Sedangkan pandangan kedua diberi julukan sebagai muslim moderat yang harus didukung eksistensinya karena dianggap mendukung dan menguntungkan Barat.
Semestinya seorang muslim melihat Barat dalam sudut pandang Islam yang obyektif, kritis dan syar’i. Barat sebagai ideologi sekuleristik dan imperialistik yang jelas-jelas telah merugikan sebagai besar negeri-negeri muslim jelas harus dilawan. Sementara terkait kemajuan teknologi, masih dalam ranah yang diperbolehkan mengadopsinya. Sebab jika seorang muslim memandang Barat dari sudut pandangan Barat, maka identitas Islam sebagai peradaban dan muslim sebagai komunitas menjadi kabur. Cara pandang muslim dan sisi-sisi konseptual peradaban Islam terdistorsi oleh cara pandang ini. Selain hilangnya identitas kemusliman, cara pandang ini tidak memberikan sumbangan terhadap kemajuan Islam itu sendiri.
Karena itu, seorang muslim mesti berfikir cerdas untuk menyikapi pelabelan istilah-istilah Barat setelah kata Islam. Pelabelan dengan istilah muslim moderat atau muslim radikal dimaknai oleh Barat bahwa jika seorang muslim tidak mendukung Barat, maka akan dicap sebagai muslim radikal yang harus dimusuhi. Ironisnya, banyak kaum muslimin yang mengikuti arus ini, sehingga terjadi kondisi kaum muslimin yang saling mencurigai dan bahkan memusuhi antar sesama muslim. Pelabelan istilah Barat terhadap kata Islam adalah politik adu domba Barat yang harus disadari oleh seluruh kaum muslimin di dunia. Ini adalah bentuk nyata dari upaya penyerangan Barat kepada Islam.
Dalam buku Ceryl Bernard berjudul "Civil Democratic Society" terbitan Rand Corporation, umat Islam dibagi menjadi 4 golongan:1) Muslim Fundamentalis 2) Muslim Tradisionalis 3) Muslim moderat (liberal) 4) Muslim Sekuler. Dengan data ini berarti umat Islam hari ini menghadapi berbagai ancaman dan tantangan baik dari internal umat Islam maupun dari eksternal umat Islam. Ancaman paling serius adalah Ghazwul Fikri (perang pemikiran) sebuah strategi baru yang digunakan untuk menghancurkan Islam.
Menurut Mr Hamid Algadri dulu Belanda selalu menyebut kelompok yang melakukan perlawanan terhadap penjajah sebagai radikal dan Islam fundamentalis. Seperti yang dilakukan sekarang ini oleh AS dan sekutu-sekutunya terhadapat para pejuang Islam yang tidak mau tunduk padanya (Tulisan Alwi Shahab di Republika.co.id). Raden Saleh (dari keluarga Bin Yahya), yang merupakan anak didik Belanda, pada akhir hayatnya pernah ditangkap dan dituduh membela kelompok Muslim radikal yang memberontak di Bekasi. Belanda juga menyebut para pejuang kemerdekaan sebagai kaum ekstrimis yang membahayakan.
Tuduhan radikal dan radikalisme atas muslim dan Islam oleh Barat dan negara anteknya sesungguhnya bisa ditelusuri jejaknya. Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council/NIC) pada Desember 2004 merilis laporan dalam bentuk dokumen yang berjudul Mapping The Global Future. “A New Caliphate provides an example of how a global movement fueled by radical religious identity politics could constitute a challenge to Western norms and values as the foundation of the global system” [Maping The Global Future: Report of the National Intelligence Council’s 2020 Project].
Dokumen ini berisikan prediksi atau ramalan tentang masa depan dunia. Dalam dokumen tersebut, NIC memperkirakan bahwa ada empat hal yang akan terjadi pada tahun 2020-an yakni: (1) Dovod World : Kebangkitan ekonomi Asia; Cina dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia. (2) Pax Americana: Dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh AS. (3) A New Chaliphate: Kebangkitan kembali Khilafah Islam, yakni Pemerintahan Global Islam yang bakal mampu melawan dan menjadi tantangan nilai-nilai Barat. (4) Cycle of Fear, lingkaran ketakutan. Dari sinilah sesungguhnya narasi radikal radikul itu bermula.
Dalam pandangan al Qur’an, Islam adalah satu. Agama tauhid yang dibawa oleh Rasulullah. Agama sempurna yang meliputi seluruh ajaran kehidupan manusia. Agama kebenaran dan pelurus agama-agama yang telah tersimpangkan. Pelabelan Islam minimal akan mereduksi makna Islam yang komprehensif, maksimalnya justru akan menghilangkan hakekat Islam itu sendiri. Allah menegaskan dalam surat Ali Imran : 19, “ Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
Sementara, secara etimologi, makna al wasath adalah sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding, pertengahan [Mufradat al Fazh Al Qur’an, Raghib Al Isfahani jil II entri w-s-th]. Bisa bermakna sesuatu yang terjaga, berharga dan terpilih. Karena tengah adalah tempat yang tidak mudah dijangkau : tengah kota [At Tahrir wa At Tanwir jil II hal 17].
Umat wasath yang dimaksud adalah umat terbaik dan terpilih karena mendapatkan petunjuk dari Allah. Jalan lurus dalam surat al Fatihah adalah jalan tengah diantara jalan orang yang dibenci [yahudi] dan jalan orang sesat [nasrani] [Tafsir Al Manar jil. II hal 4]. Karakter umat washtiyah ada empat : Umat yang adil, Umat pilihan [QS Ali Imran : 110], Terbaik dan Pertengahan antara ifrath [berlebihan] dan tafrith [mengurangi] [Tafsir Al Rari, jil. II hal 389-390]. Makna washatiyah dalam perspektif tafsir ini tidak sama dengan makna moderat atau moderasi yang kini terus dipropagandakan.
(AhmadSastra,KotaHujan,02/05/23 : 14.00)
Oleh: Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa
Rabu, 04 Mei 2022
LIMA MAKNA LEBARAN
1. Lebaran
Lebaran adalah merayakan Idul Fitri dengan perasaan gembira ria karena selesai puasa sebulan penuh. Idul Fitri itu unsur agamanya, lebaran adalah unsur budayanya. Dalam merayakan lebaran, kita tentu mesti lebih memperhatikan aspek Idul Fitrinya bukan lebarannya. Dalam lebaran umumnya yang lebih diperhatikan adalah mengecat rumah dengan cat baru, membuat kue dan memakai baju baru. Idul Fitri artinya kembali kepada fitrah, kembali kepada kesucian diri setelah selama sebulan kita berpuasa. Hasil yang harus diperhatikan setelah menjalani ibadah puasa adalah kebersihan dan leburnya dosa-dosa bukan meriahnya tradisi berlebaran dengan perayaan-perayaan tertentu sementara puasa kita sendiri belum tentu diterima.
2. Lébaran
Lebaran juga harus bermakna melebarkan diri. Lebarkanlah hati untuk memaafkan orang lain. Lebarkan hati untuk merenungkan apakah yang didapatkan dari menjalani puasa sebulan penuh. Apakah puasa kita diterima oleh Allah atau tidak? Apakah dosa-dosa kita diampuni? Apakah ibadah kita bertambah? Apakah memasuki bulan Syawal dengan hati yang bersih dan suci? Itulah makna lébaran dalam Idul Fitri.
3. Leburan
Hari lebaran atau Idul Fitri bagi seorang Muslim harus menjadi hari melebur dosa-dosa dan kesalahan kita. Kepada Allah dengan cara banyak bertaubat, meningkatkan ibadah, perubahan kesadaran diri, dan kepada sesama manusia dengan cara saling meminta maaf dan memamafkan. Pada hari Idul Fitri, leburkankah semua dosa-dosa dan kesalahan kita dengan cara membersihkan diri sehingga memenuhi apa yang diharapkan oleh Allah SWT bahwa pada hari Idul Fitri seorang Muslim kembali kepada fitrahnya yaitu seperti bayi yang baru dilahirkan.
4. Liburan
Lebaran juga dianjurkan diisi dengan liburan yaitu liburan ruhani. Liburan ini adalah pergi bersilaturahmi mengunjungi orang tua dan sanak saudara di kampung halaman dan memohan maaf kepada mereka atas segala kesalahan diri sehingga semakin lengkap dan bersihlah diri kita setelah menjalani ibadah puasa selama satu bulan. Saling meminta maaf dan memberi maaf sejatinya tidak harus selalu pada hari lebaran. Yang lebih afdhal adalah disaat setiap kita berbuat dosa kepada Allah dan melalukan kesalahan kepada sesama manusia. Tetapi, khusus pada hari lebaran atau Idul Fitri juga bukan berarti salah. Saling memaafkan pada Idul Fitri melengkapi pembersihan dosa-dosa dan taubat kita kepada Allah SWT yang kita usahakan pada bulan bulan Ramadhan.
5. Lébéran
Lebaran juga bermakna lébéran. Lébér artinya penuh, lébéran artinya memenuhi hati dengan kebersihan diri, dengan jembar manah saling memaafkan, saling menyayangi antar sesama. Hilangkanlah kesempitan berfikir, jauhkan kesempitan sikap, hapuskanlah kesempitan jiwa. Bila jiwa masih sempit, tidak lapang dada, tidak jembar manah, tidak bisa memaafkan berarti puasa kita tidak berhasil, puasa kita tidak bermakna, tidak memberikan pembersihan dan perubahan diri ke arah yang lebih baik. (Kitab Paradigma Hikah Lima)
Oleh: Moeflich H. Hart
Intelektual Muslim