Tinta Media: Laki-laki
Tampilkan postingan dengan label Laki-laki. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Laki-laki. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 Agustus 2022

Hukum Laki-laki Pakai Daster

Tinta Media - Tanya: Bolehkah laki-laki memakai daster perempuan saat pertandingan sepak bola dalam rangka 17-an?

Jawab:
Haram hukumnya laki-laki menyerupai perempuan (tasyabbuh bi an-nisaa) sebagaimana haram perempuan menyerupai laki-laki (tasyabbuh bi ar-rijal).

Dalilnya adalah hadis riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu anhu bahwasanya "Rasulullah ﷺ telah melaknat para lelaki yang menyerupai para wanita dan [melaknat] para wanita yang menyerupai para lelaki." (la’ana rasulullah ﷺ al-mutasyabbihiina min ar-rijaal bi an-nisaa wa al-mutasyabbihaat min an-nisaa bi ar-rijaal). (HR Ahmad dalam Musnad Imam Ahmad Juz I hal. 227 & 339, dan HR al-Bukhari Shahih al-Bukhari hadis no. 5886 & 6834). (Imam Syaukani,Nailul Authar, [Dar Ibn Hazm : Beirut, 2000], hal. 1306).

Imam Syaukani memberi syarah (penjelasan) hadis di atas dengan mengatakan, "Dalam hadis itu terdapat dalil bahwa haram atas laki-laki menyerupai wanita, dan haram pula atas perempuan menyerupai laki-laki, dalam hal cara bicara, pakaian, cara berjalan, dan lain-lain…" (fiihi dalil[un] ‘ala annahu yuhramu ‘ala ar-rijaal[i] at-tasyabbuhu bi an-nisaa[i] wa ‘ala an-nisaa`[i] at-tasyabbuhu bi ar-rijaal[i] fi al-kalaam[i] wa al-libaas[i] wa al-masyi wa ghairi dzaalika) (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1306).

Maka dari itu, jelaslah bahwa apa yang ditanyakan, yaitu laki-laki mengenakan daster yang biasa dipakai perempuan, adalah haram tanpa keraguan lagi.

===

Perlu kami tambahkan, bahwa yang dimaksud menyerupai (tasyabbuh) di sini adalah menyerupai jenis lain dalam segala hal (berbicara, berpakaian, berjalan, dsb) yang memang menjadi ciri khas jenis lain tersebut. 

Misalnya laki-laki memakai pakaian yang secara khusus dipakai wanita saja, semisal daster, rok, kebaya, kerudung (khimar), jilbab (jubah), dan sebagainya. Atau misalnya laki-laki memakai anting-anting, cincin emas, memakai kain sutera, dan sebagainya. Atau sebaliknya, perempuan memakai pakaian yang secara khusus dipakai laki-laki saja, misalnya perempuan memakai celana panjang khas laki-laki, atau memakai sepatu khas laki-laki, tas khas laki-laki, dan sebagainya. Ini semuanya haram.

Adapun jika suatu pakaian sudah biasa dipakai oleh laki-laki dan juga perempuan, semisal sarung, maka hukum memakainya baik oleh laki-laki maupun perempuan tidaklah haram. Karena dalam kondisi tersebut tidak terjadi tindakan menyerupai jenis lain sehingga hadis di atas tidak dapat diterapkan untuk kondisi itu.

Jika kita pahami hadis di atas dan mencoba menerapkan kandungan hukumnya pada masyarakat sekuler saat ini, akan kita dapati banyak sekali penyimpangan syariah dalam hal menyerupai jenis lain tersebut.

Misalnya saja eksistensi waria (wanita pria) yang sesungguhnya berjenis kelamin laki-laki, tapi berpenampilan seperti wanita. Waria ini berdandan, berbicara, berpakaian, seperti wanita. Ini jelas haram.

===

Haram pula mengukuhkan dan mengesahkan eksistensi waria itu dengan segala macam cara dan sarana. Misalnya, menghimpun waria dalam organisasi/perkumpulan khusus waria, atau menyelenggarakan kontes-kontes waria yang menjijikkan yang didukung pejabat. Atau menyuntik para waria dengan hormon perempuan agar tanda-tanda seksual khas perempuan seperti payudara dapat tumbuh. Atau mengoperasi kelamin mereka sehingga menjadi seperti kelamin perempuan. Semua ini adalah tindakan haram.

Haram juga para artis atau selebritis laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan. Misalnya, Tessy atau Aming. Perbuatan keduanya adalah haram dan terlaknat. Haram pula berbagai rumah produksi (PH, production house) dan stasiun TV yang memproduksi dan menayangkan laki-laki berpenampilan perempuan tersebut. Penghasilan mereka dari tayangan itu haram dan tidak akan berkah.

Haram juga laki-laki yang secara psikologis merasa dirinya sebagai perempuan, lalu berpakaian dan berperilaku seperti perempuan, misalnya berkerudung, padahal jenis kelaminnya jelas laki-laki. Alasan psikologis semacam itu kadang dijadikan dalih untuk menolak taqdir Allah yang telah menetapkan jenis kelamin seseorang. Tentu alasan itu harus ditolak, karena sesungguhnya jiwa merekalah yang sakit dan harus dirombak total agar kembali kepada fitrahnya yang sehat.

===

Sanksi Islam

Sebagai agama fitrah yang sehat, Islam tidak membiarkan adanya orang-orang yang jiwa dan perilakunya menyimpang dalam masyarakat. Laki-laki yang berperilaku seperti perempuan, atau perempuan yang berperilaku seperti laki-laki, wajib diusir dan dikucilkan dari masyarakat ramai. Ini merupakan jenis sanksi ta’zir yang dijatuhkan oleh Qadhi Hisbah (Muhtasib) atas mereka.

Dalam satu riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu anhu meriwayatkan Nabi ﷺ telah melaknat laki-laki banci (mukhannats) yang berlagak seperti perempuan dan perempuan yang berlagak seperti laki-laki. Bahkan Nabi ﷺ mengatakan :

"Keluarkan mereka dari rumah-rumah kalian." (akhrijuuhum min buyuutikum). Maka Nabi ﷺ telah mengeluarkan si Fulan, dan Umar pun pernah mengeluarkan si Fulan. (HR Ahmad dan Bukhari). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1306).

Nabi ﷺ telah mengusir Anjasyah, seorang budak hitam yang berlagak seperti banci. Demikian juga Umar bin Khaththab telah mengusir Mati’, dan beberapa orang lainnya (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Baihaqi, dan lain-lain) (Abdurrahman al-Baghdadi, Emansipasi Adakah dalam Islam, hal. 73).

===

Demikianlah Islam sebagai agama fitrah yang sempurna di samping telah menjelaskan keharaman menyerupai jenis lain, juga menjelaskan hukuman tegas dengan mengusir dan mengucilkan para pelaku perbuatan haram itu dari masyarakat.

Ini sangat jauh berbeda dengan masyarakat sekuler yang rusak dan bejat saat ini. Perbuatan menyerupai jenis lain itu malah dilindungi dengan dalih HAM, sehingga berbagai perilaku menjijikkan dan hina itu lalu merajalela secara gila-gilaan di tengah masyarakat. Ini tidak boleh dibiarkan dan wajib dihentikan, karena ia merupakan kemungkaran yang nyata. [ ]

Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fikih Kontemporer 

Kiai Shiddiq: Haram Hukumnya Laki-laki Pakai Daster


Tinta Media - Pakar Fikih Kontemporer, KH M. Shiddiq Al-Jawi, menegaskan hukum Laki-laki Pakai Daster adalah haram.

"Haram hukumnya laki-laki menyerupai perempuan (tasyabbuh bi an-nisaa) sebagaimana haram perempuan menyerupai laki-laki (tasyabbuh bi ar-rijal)," ungkapnya kepada Tinta Media, Sabtu, (14/8/2022) 

Menurutnya, laki-laki tidak boleh memakai daster perempuan saat pertandingan sepak bola dalam rangka 17-an berdasarkan larangan dari hadis Rasulullah SAW.

"Dalilnya adalah hadis riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu bahwasannya Rasulullah ﷺ telah melaknat para lelaki yang menyerupai para wanita dan (melaknat) para wanita yang menyerupai para lelaki." (la’ana rasulullah ﷺ al-mutasyabbihiina min ar-rijaal bi an-nisaa wa al-mutasyabbihaat min an-nisaa bi ar-rijaal). (HR Ahmad dalam Musnad Imam Ahmad Juz I hal. 227 & 339, dan HR al-Bukhari Shahih al-Bukhari hadis no. 5886 & 6834). (Imam Syaukani,Nailul Authar, [Dar Ibn Hazm : Beirut, 2000], hal. 1306)," jelasnya. 

Lebih lanjut, ia mengutip paparan dari Imam Syaukani yang memberi syarah (penjelasan) hadis di atas dengan mengatakan, "Dalam hadis itu terdapat dalil bahwa haram atas laki-laki menyerupai wanita, dan haram pula atas perempuan menyerupai laki-laki, dalam hal cara bicara, pakaian, cara berjalan, dan lain-lain…" (fiihi dalil[un] ‘ala annahu yuhramu ‘ala ar-rijaal[i] at-tasyabbuhu bi an-nisaa[i] wa ‘ala an-nisaa`[i] at-tasyabbuhu bi ar-rijaal[i] fi al-kalaam[i] wa al-libaas[i] wa al-masyi wa ghairi dzaalika) (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1306)," paparnya

Maka dari itu, Kiai Shiddiq, jelaslah bahwa apa yang ditanyakan, yaitu laki-laki mengenakan daster yang biasa dipakai perempuan, adalah haram tanpa keraguan lagi.

Tasyabbuh

"Perlu kami tambahkan, bahwa yang dimaksud menyerupai (tasyabbuh) di sini adalah menyerupai jenis lain dalam segala hal (berbicara, berpakaian, berjalan, dsb) yang memang menjadi ciri khas jenis lain tersebut," tuturnya

Agar mudah dipahami, KH M. Shiddiq mencontohkan, "Misalnya laki-laki memakai pakaian yang secara khusus dipakai wanita saja, semisal daster, rok, kebaya, kerudung (khimar), jilbab (jubah), dan sebagainya. Atau misalnya laki-laki memakai anting-anting, cincin emas, memakai kain sutera, dan sebagainya. Atau sebaliknya, perempuan memakai pakaian yang secara khusus dipakai laki-laki saja, misalnya perempuan memakai celana panjang khas laki-laki, atau memakai sepatu khas laki-laki, tas khas laki-laki, dan sebagainya. Ini semuanya haram," terangnya

Tidak termasuk Tasyabbuh, katanya, bila satu benda biasa dikenakan laki-laki dan perempuan, "Adapun jika suatu pakaian sudah biasa dipakai oleh laki-laki dan juga perempuan, semisal sarung, maka hukum memakainya baik oleh laki-laki maupun perempuan tidaklah haram. Karena dalam kondisi tersebut tidak terjadi tindakan menyerupai jenis lain sehingga hadis di atas tidak dapat diterapkan untuk kondisi itu," katanya

Mencermati masyarakat sekuler saat ini, ia memandang sudah jauh menyimpang, "Jika kita pahami hadis di atas dan mencoba menerapkan kandungan hukumnya pada masyarakat sekuler saat ini, akan kita dapati banyak sekali penyimpangan syariah dalam hal menyerupai jenis lain tersebut," pantau nya

"Misalnya saja eksistensi waria (wanita pria) yang sesungguhnya berjenis kelamin laki-laki, tapi berpenampilan seperti wanita. Waria ini berdandan, berbicara, berpakaian, seperti wanita," tuturnya, dan "Ini jelas haram," sergahnya. 

Haram dan Terlaknat

Apapun cara dan sarana yang mengarah perbuatan menyerupai wanita jadi pria atau sebaliknya, KH. M. Shiddiq menyatakan, adalah tindakan haram. "Haram pula mengukuhkan dan mengesahkan eksistensi waria itu dengan segala macam cara dan sarana. Misalnya, menghimpun waria dalam organisasi/perkumpulan khusus waria, atau menyelenggarakan kontes-kontes waria yang menjijikkan yang didukung pejabat. Atau menyuntik para waria dengan hormon perempuan agar tanda-tanda seksual khas perempuan seperti payudara dapat tumbuh. Atau mengoperasi kelamin mereka sehingga menjadi seperti kelamin perempuan," paparnya.

"Dan semua ini adalah tindakan haram," tegasnya. 

Ia meyakini penghasilan ladang tasyabbuh haram dan tidak akan berkah. "Haram juga para artis atau selebritis laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan. Misalnya, Tessy atau Aming. Perbuatan keduanya adalah haram dan terlaknat. Haram pula berbagai rumah produksi (PH, production house) dan stasiun TV yang memproduksi dan menayangkan laki-laki berpenampilan perempuan tersebut," ungkapnya.

"Dan penghasilan mereka dari tayangan itu haram dan tidak akan berkah," tambahnya. 

Terhadap laki-laki yang berpsikologi perempuan, ia mengatakan agar dikembalikan kepada fitrahnya. Haram juga laki-laki yang secara psikologis merasa dirinya sebagai perempuan, lalu berpakaian dan berperilaku seperti perempuan, misalnya berkerudung, padahal jenis kelaminnya jelas laki-laki. Alasan psikologis semacam itu kadang dijadikan dalih untuk menolak taqdir Allah yang telah menetapkan jenis kelamin seseorang. "Tentu alasan itu harus ditolak, karena sesungguhnya jiwa merekalah yang sakit dan harus dirombak total agar kembali kepada fitrahnya yang sehat," pungkasnya.[] Arip


Rabu, 10 Agustus 2022

Inilah Hukum Berjabat Tangan Antara Laki-laki dan Perempuan Bukan Mahram

Tinta Media - Aktivis Muslimah Ustazah Wiwing Noraeni mengungkapkan hukum berjabat tangan (mushafahah) antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. 

"Mungkin diantara sahabat muslimah ada yang masih bingung, bertanya-tanya dengan bagaimana hukum berjabat tangan (mushafahah) antara laki-laki dan perempuan bukan mahram," tuturnya dalam acara Kuntum Khaira Ummah: Hukumnya Berjabat Tangan dengan Laki-laki Bukan Mahram, di kanal YouTube Muslimah Media Center, Jum'at (5/8/22).

Ia melanjutkan, sebagian ulama mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan. Mereka mendasarkan pendapatnya dari hadist yang diriwayatkan dari Urwah dari Aisyah ra. berkata yang artinya, "Sesungguhnya tangan Rasulullah Saw tidak pernah sekalipun menyentuh tangan seorang wanita kecuali wanita yang menjadi milik beliau (istrinya)." (HR. Buhkhari).

"Nah, hadist ini dijadikan sebagai dalil tidak bolehnya berjabat tangan. Tapi tidak hanya hadist ini, masih ada beberapa hadist lainnya. Dan ternyata ada juga hadist yang membolehkan perempuan berjabat tangan dengan laki-laki," paparnya.

Hadist ini diriwayatkan oleh Bukhari dari Ummu Athiyah, "Kami pernah membai'at Rasulullah Saw dan beliau membacakan kepada kami ayat bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah dan melarang kami untuk meratapi orang yang mati. Lalu seorang wanita dari kami menarik tangannya kemudian dia berkata, "Fulanah telah membantu saya dan saya ingin untuk membalas dia." Saat itu beliau tidak berkata apa-apa." (HR. Bukhari)

"Hadist dari Ummu Athiyah ini nampak ada pertentangan dengan hadist yang diriwayatkan dari Urwah. Ketika ada pertentangan antara dua hadist seperti ini, maka bagaimana seharusnya kita menyikapinya?" tanyanya.

Ia pun menjelaskan, dalam kitab Syakhsiyah Islamiyah juz 3 berkaitan dengan Ushul fiqih dijelaskan bahwa ketika ada hadist-hadist yang bertentangan seperti ini, maka ada metode untuk menyelaraskan hadist-hadist ini. Atau dengan kata lain mengkompromikan hadist-hadist ini sehingga tidak ada hadist yang ditolak, dengan cara memperhatikan situasi dan kondisi dari masing-masing hadist tadi.

"Di dalam kitab Syakhsiyah Islamiyah tersebut dinyatakan bahwa mengkompromikan hadist tadi adalah bahwa penolakan dari Rasulullah Saw untuk melakukan sebuah aktivitas, itu bukan berarti larangan. Penolakan Rasul untuk tidak berjabat tangan dari hadist Aisyah tadi, tidak menunjukkan adanya larangan untuk berjabat tangan. Tapi merupakan penolakan Nabi SAW atas sesuatu yang mubah," ungkapnya.

Ia menambahkan, ini sekaligus merupakan qarinah bahwa perbuatan Rasul ketika membai'at para wanita dengan berjabat tangan itu bukan sesuatu yang hukumnya wajib (mandub), tapi hukumnya adalah mubah.

"Jadi,  ketika beliau menolak untuk berjabat tangan itu bukan berarti larangan, tapi beliau menjauhi dari sesuatu yang mubah. Dan aktivitas beliau menjauhi sesuatu yang mubah itu bukan dalam perkara berjabat tangan saja, tapi juga dalam hal lain," simpulnya.

Misalnya, lanjutnya, ketika tindakan beliau SAW untuk menginapkan atau menyimpan dirham atau dinar di rumah beliau. Atau dengan kata lain dinar atau dirham harta-harta umat yang kemudian disampaikan kepada rasul untuk didistribusikan (disampaikan) ke yang lebih berhak untuk mendapatkannya, rasul itu menghindari untuk menyimpan harta ini menginapkan. Begitu rasul menerima langsung membagikan. 

"Harta ini bukan berarti tidak boleh, bukan berarti haram, bukan berarti larangan untuk menyimpan harta umat tadi. Tapi Nabi menjauhi dari yang mubah. Itu semata-mata karena kehati-hatian yang kemudian berkaitan juga tentang menjauhi hal yang mubah," tegasnya.

"Nah, ditambah lagi masih dalam kitab Shakhsiyah Islamiyah juz 3, dijelaskan bahwa ada dalil-dalil lain yang menunjukkan kebolehan menyentuh wanita. Contohnya seperti dalam Qur'an surat An-Nisa ayat 43, "...atau menyentuh perempuan...". (TQS. An-Nisa : 43). Ayat ini berkaitan dengan hal-hal yang membatalkan wudhu, yaitu ketika bersentuhan laki-laki dengan perempuan. Sehingga sesungguhnya ayat tersebut dalam pengertiannya yang tersirat menunjukkan kebolehan laki-laki menyentuh perempuan, hanya membatalkan dalam wudhu," tandasnya.

Ia pun menyimpulkan, bahwa ini dalil 'am yang membahas bersentuhan secara umum. Sementara hadist tadi memang berkaitan langsung dengan berjabat tangan bersentuhan. Sehingga hukum berjabat tangan (tanpa disertai syahwat) adalah mubah.

"Jelaslah disini bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan ini hukumnya adalah mubah. Tetapi bukan berarti kalau mubah kemudian harus dikerjakan? Tidak," tegasnya. 

"Karena Nabi juga tidak selalu mengerjakan yang mubah. Beliau justru sering menjauhi yang mubah. Sehingga kita bisa saja berjabat tangan dengan bersentuhan, bisa juga dengan tidak bersentuhan. Kenapa? Karena ini perkara yang mubah," pungkasnya.[] Willy Waliah
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab