Tinta Media: Lahan
Tampilkan postingan dengan label Lahan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lahan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 08 Mei 2024

Lahan Pertanian untuk Cina, Mampukah Mewujudkan Swasembada?



Tinta Media - Lagi-lagi Cina! Pemerintah berencana membuka lahan sejuta hektar di Kalimantan Tengah untuk penanaman padi Cina. Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam akun Instagram resminya @luhut.pandjaitan, Minggu 21 April 2024, bahwasanya Indonesia meminta Cina untuk memberikan teknologi padi mereka yang sudah sangat sukses menjadi swasembada dan mereka bersedia.

Artinya, Cina akan mengembangkan pertanian di Kalimantan Tengah dengan memberikan teknologi mereka sebagai bentuk kerja sama dengan Indonesia yang akan dimulai Oktober 2024. 

Kesepakatan tersebut merupakan hasil pertemuan Luhut dengan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi dalam ajang High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) RI-RRC di Labuan Bajo, NTT (19/4).

Luhut mengatakan bahwa tersedia satu juta hektar lahan di Kabupaten Pulau Pisang, Kalimantan Tengah yang bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan sawah Cina secara bertahap. Pemerintah juga akan menggandeng mitra lokal setempat dan off taker-nya nanti adalah Bulog. 

Harapannya, alih teknologi dari Cina ini nantinya akan berhasil dengan baik karena selama ini Indonesia masih saja harus mengimpor beras dari negara lain setiap tahunnya. Maka, jika proyek ini berhasil, ia meyakini bahwa Indonesia juga akan mencapai swasembada beras di masa depan. (VoaIndonesia.com,27/4/2024)

Bukan hal baru lagi jika pemerintah negeri ini melalui Menteri Luhut selalu saja melibatkan Cina dalam berbagai proyek dan investasi. Cina seolah diberikan tempat istimewa untuk melakukan eksplorasi sumber daya alam Indonesia di segala bidang. Namun, dalam bidang pertanian ini, apakah akan berhasil seperti yang diharapkan ataukah justru merugikan petani lokal yang seolah sudah diragukan kemampuannya.

Khudori, seorang pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) berpendapat bahwa mengadopsi teknologi pertanian dari negara lain adalah langkah yang sah. Namun, harus dipastikan dulu bahwa teknologi tersebut sesuai dan dapat diaplikasikan dengan baik di dalam negeri.

Mengintroduksi sistem usaha tani seperti menghadirkan bibit dari negara lain tidak selalu jadi solusi baik. Namun, butuh adaptasi, baik iklim/cuaca, sifat tanah, dan hama penyakit. Ini butuh waktu dan tidak selalu berhasil. Karena itu, Khudori menyarankan agar sebelum menjalin kerja sama, pemerintah perlu berdiskusi terlebih dahulu dengan para pakar pertanian nasional demi mengurangi risiko kegagalan.

Pemerintah seharusnya juga belajar dari program-program yang telah dilaksanakan sebelumnya, seperti food estate yang tidak kunjung membuahkan hasil memuaskan, padahal sudah menelan biaya besar dan membuka lahan dengan deforestasi. 

Seharusnya, negara lebih fokus memberdayakan petani dalam negeri sendiri dan memberikan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Kegagalan swasembada beras atau terjadinya impor beras yang terus dilakukan bukan semata karena kurangnya kemampuan petani dalam menggarap lahan. Tetapi juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang masih mengimpor beras di saat petani panen raya. 

Selain itu, petani sulit mendapatkan pupuk bersubsidi, sementara pupuk yang berkualitas tinggi dijual dengan harga yang sangat mahal. Hal itu membuat biaya produksi menjadi tinggi, sedangkan harga gabah dari petani cukup rendah. 

Petani dalam negeri sering merugi. Hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya produksi. Banyak petani yang terpaksa menjual lahan dan gantung cangkul untuk mencari mata pencaharian lain. Lantas, dengan memberikan lahan pertanian ke Cina, apakah tidak menyakiti hati petani yang seharusnya lebih dihargai? Bagaimanapun, petani lokal lebih paham dan lebih menguasai kondisi alam di negeri ini. 

Jika memang Cina dianggap telah sukses di bidang pertanian sampai berhasil mewujudkan swasembada beras, maka pemerintah bisa mendatangkan ahli atau teknologinya untuk disosialisasikan kepada petani lokal untuk menambah pengetahuan, bukan malah mengundang mereka untuk mengolah lahan di sini. 

Bisa jadi, keberhasilan pertanian di Cina karena peran negara yang cukup baik dalam mendukung para petani dalam negerinya. Pemerintah seharusnya juga mengevaluasi apakah sudah memberikan dukungan dan fasilitas terbaik untuk memajukan pertanian di dalam negeri atau tidak.

Di Indonesia sendiri sudah ada berbagai teknologi pertanian padi yang dikembangkan oleh para ahli di bidang pertanian nasional, seperti di IPB. Menurut Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Suryo Wiyono, hasil teknologi yang dikembangkan di IPB telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan produksi pangan nasional. 

Misalnya, IPB panen di Subang di kawasan 350 hektare produksinya 9,7 Ton atau peningkatan produktivitasnya 32 persen. Ada juga rintisan untuk membuat padi gogo yang sudah mulai ditanam di Pati, Blora, Bojonegoro dan lain-lain yang itu sudah menjadi potensi untuk memproduksi beras. 

Saling belajar itu perlu dengan melihat keunggulan masing-masing negara. Akan tetapi jangan selalu melihat apa yang dari luar, termasuk Cina itu selalu lebih unggul dan memandang pertanian negeri sendiri lebih rendah

Dalam sistem kapitalisme, segala sesuatu ditujukan hanya untuk memperoleh manfaat dan keuntungan. Pemerintah sampai rela bekerja sama dengan negara lain yang notabene banyak melakukan kezaliman terhadap sesama muslim dan banyak merugikan negara lain dengan jebakan utangnya. 

Sangat berbeda dengan sistem Islam yang selalu mengutamakan kepentingan rakyat. Sebab, kepemimpinan dipandang sebagai amanat yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta. Dalam mengurus segala sesuatu selalu totalitas dengan panduan syariat termasuk dalam bidang pertanian.

Kebijakan pertanian dalam Negara Khilafah ditujukan untuk memaksimalkan pemanfaatan tanah lahan. Karena berdasarkan hadits Nabi Shallallahu alaihi wassalam yang berbunyi,

“Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian,” (HR. Muslim)

Negara tidak melakukan pengaturan yang bersifat teknis dan menyerahkan urusan itu sepenuhnya kepada petani. Negara hanya mengatur urusan yang bersifat umum, seperti sarana dan prasarana yang dibutuhkan dengan fasilitas terbaik. 

Selain itu, negara juga memaksa orang yang mempunyai lahan menggarap tanahnya agar tidak terbengkalai. Jika mereka menelantarkan lahan sampai tiga tahun berturut-turut, negara berhak melakukan penyitaan. Terlebih lagi, negara Islam tidak akan membuka celah kerja  sama dengan negara kafir harbi yang telah menyakiti umat Islam.
Wallahu a’lam bishawab


Oleh: Dini Azra
Sahabat Tinta Media

Selasa, 05 Maret 2024

Alih Fungsi Lahan Sebabkan Angin Puting Beliung di Rancaekek


Tinta Media - Alih fungsi lahan diklaim sebagai pemicu cuaca ekstrem berupa puting beliung di Rancaekek, Kabupaten Bandung.
Eddy Hermawan selaku Profesor Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan bahwa perubahan tata guna lahan yang semula hutan jati menjadi kawasan industri rawan diterjang pusaran angin. Gas emisi yang dihasilkan dari kawasan industri akan sulit diurai oleh atmosfer. Selain itu, penyinaran matahari yang lebih dari 12,1 jam akan berefek pada pembentukan rumah kaca yang akhirnya menyebabkan kawasan tersebut sangat panas di siang hari dan relatif dingin di malam hari.

Perbedaan suhu yang signifikan antara siang dan malam itu membuat kawasan di sekitar Rancaekek berada di tekanan rendah. Akibatnya, kumpulan massa uap air dari berbagai penjuru masuk ke Rancaekek dan memunculkan pembentukan gumpalan awan-awan cumulus, dengan proses pembentukan sekitar 24 hingga 48 jam. Proses ini dikenal dengan nama Pre-MCS.

Cuaca ekstrem seperti puting beliung sulit diprediksi kapan terjadi. Bencana ini tidak bisa dicegah, tetapi dampak kerusakannya bisa dihindari. Karena itu, kita tidak boleh merusak lingkungan dan memperbanyak menanam pohon.

Bencana memang bagian dari qadha Allah Swt. yang harus diterima dengan penuh rida dan sabar. Lagi pula, dalam sebuah hadis dikatakan bahwa terjadinya sebuah musibah akan menghapus dosa bagi para korban.

Akan tetapi, meski bencana termasuk ketetapan Allah yang tidak dapat dipastikan kedatangannya, setidaknya manusia dapat memperkirakan dan memiliki alarm pertama menghadapi bencana alam, sebab Allah memberikan potensi kepada manusia berupa akal yang merupakan ranah kekuasaan manusia untuk dioptimalkan saat menghadapi bencana. Manusia bisa mengupayakan mitigasi bencana agar tidak banyak timbul korban serta meminimalkan dampak kerugian. 

Sayang, konsep seperti ini tidak berjalan optimal dalam sistem kapitalisme. Pasalnya, setiap kebijakan yang diambil dalam sistem ini berasaskan untung rugi. Terlebih, dalam sistem ini pihak yang berkuasa sesungguhnya adalah para korporat. Negara hanya berperan sebagai regulator kebijakan. Hal tersebut terbukti dengan kegiatan eksploitasi lingkungan, seperti alih fungsi lahan yang berlebihan masih tetap eksis hingga sampai saat ini, bahkan semakin meluas.

Kegiatan tersebut memang membawa keuntungan bagi korporat terkait. Namun, tindakan itu sekaligus membawa dampak buruk bagi lingkungan karena ekosistem kehilangan daya dukungnya dan penguasa kapitalisme lebih tunduk pada korporat sehingga wajar jika mitigasi bencana dilakukan ala kadarnya. Penguasa hadir setengah hati dalam upaya mitigasi yang pastinya memerlukan modal besar.

Ini sangat berbeda dengan penguasa dalam sistem Islam. Sebagai institusi negara yang membawa amanah sebagai ra'in, sistem Islam menggariskan kebijakan-kebijakan komprehensif. Prinsip-prinsip kebijakannya didasarkan pada syariat Islam dan ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Maka, upaya penanggulangan bencana meliputi penanganan pra bencana, ketika, dan sesudah bencana. 

Upaya pra bencana dirancang untuk mencegah atau menghindarkan penduduk dari bencana. Dalam sistem Islam, penguasa akan melakukan edukasi kepada masyarakat, sehingga mereka memiliki persepsi yang benar terhadap bencana, peka terhadap bencana, dan mampu melakukan tindakan-tindakan yang benar ketika dan sesudah bencana. 

Ketika terjadi bencana, seluruh kegiatan dirancang untuk mengurangi jumlah korban dan kerugian material akibat bencana. Kegiatan yang dilakukan adalah evakuasi korban dengan cepat, membuka akses jalan dan komunikasi dengan para korban.

Gambaran penanganan bencana yang dilakukan oleh daulah Islam salah satunya bisa terlihat dari keberhasilan kepemimpinan Umar bin Khatab ketika menangani paceklik yang menimpa jazirah Arab. Umar bin khottab r.a. membentuk tim yang terdiri dari beberapa orang sahabat, di antaranya Yazid bin Ukhtinnamur, Abdurrahman bin Al-Qari, Miswar bin Makhramah dan Abdullah bin Uthbah bin Mas'ud radhiyallahu anhu. Tim ini bertugas untuk melaporkan dan merancang upaya yang akan dilakukan untuk menangani korban paceklik.

Adapun manajemen pasca bencana dirancang untuk me-recovery psikologis warga terdampak bencana dengan memberikan tausiyah-tausiyah untuk mengokohkan akidah dan nafsiyah para korban. Selain itu, sistem Islam akan melakukan perbaikan lingkungan tempat tinggal mereka pasca bencana. Inilah langkah-langkah yang akan ditempuh dalam sistem Islam untuk menangani bencana. Sistem Islam akan optimal dalam mitigasi bencana sebagai upaya melindungi dan menjaga warganya dari mara bahaya. Wallahua'alam bishshawab.

Oleh: Rukmini
Sahabat Tinta Media

Senin, 12 Februari 2024

Perketat Izin Alih Fungsi Lahan


Tinta Media - Kawasan Bandung utara ( KBU) telah di tetapkan sebagai kawasan konservasi. Namun wilayah tersebut kini sudah semakin sempit karena pembangunan perumahan yang terus meluas, seperti di beritakan m.bisnis.com pembangunan perumahan yang masif di kawasan Bandung utara yang terus bergeser ke wilayah atas menuju kawasan pertanian Cimenyan, kabupaten Bandung Jawa Barat. (Jakarta, Senin 29/01/24) 

Himpunan kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat meminta agar pemerintah daerah memperketat ijin alih fungsi lahan pertanian, demi masa depan jaminan pasokan pangan. HKTI Jawa Barat menganggap kondisi alih fungsi lahan pertanian Jawa Barat sudah sangat mengkhawatirkan, yang terus menghabisi lahan pertanian produktif untuk keperluan pangan. 

Meskipun sudah banyak aturan, baik Perda KBU, Perda RUTR ataupun perpres yang di buat untuk menata dan menjaganya, namun pada kenyataannya  fungsi bisnis atau ekonomi lebih mengemuka dan mendominasi dibandingkan konservasinya. Bisa di lihat dari lahan pertanian di hampir setiap daerah pun sudah semakin sempit, bukan hanya terjadi di KBU saja namun di daerah lain pun lahan pertanian sudah hampir habis beralih fungsi menjadi ruang publik, seperti gedung dan sejumlah bangunan elite dan lainnya. 

Terbukti Perda sudah jelas menyebutkan 750M dpl (di atas permukaan laut) koefisiennya 80:20 , 80% RTH ( ruang terbuka hijau) 20% bangunan, yang berarti koefisien bangunannya cuma di toleransi 20%. Namun kenyataannya ijin pembangunan perumahan ataupun kawasan wisata dengan mudah diberikan. Lalu Perda itu untuk siapa? 

Padahal himpunan kerukunan tani Indonesia sudah meminta agar pemerintah daerah memperketat izin alih fungsi lahan pertanian, karena lahan pertanian sudah sangat mengkhawatirkan, yang terus menghabisi lahan-lahan pertanian produktif untuk keperluan pangan. Ini pun perlu di tinjau ulang, sebab menjadikan kawasan pertanian yang di tanami sayuran yang tidak memiliki akar yang kuat juga tidaklah tepat. 

Apakah permintaan perijinan di perketat ini diajukan karena di rasa kawasan Bandung utara sudah tidak lagi mendatangkan manfaat, seperti untuk mengembangkan usaha sang pejabat? Karena selama ini pemilik modal (kapitalis) yang memiliki modal yang besar untuk menanami lahan pertanian dengan bahan pangan ataupun di jadikan agro wisata. 

Yang pasti sudah terbukti terjadinya longsor dan banjir bandang yang terjadi di kawasan konservasi menjadi kawasan pemukiman, juga menjadi lahan bisnis, dan juga tempat wisata. 

Inilah bukti jika aturan manusia yang di terapkan  bukan hanya akan menimbulkan masalah, namun akan berdampak pada sesuatu yang lebih parah lagi, karena sudah menepikan aturan sang Pencipta. 

Berbeda dengan sistem Islam, Islam mempunyai aturan tersendiri dalam mengelola lahan, baik itu untuk pertanian, pemukiman dan juga hutan yang harus di lestarikan, karena itu menyangkut hajat hidup manusia yang harus terpenuhi dan sangat penting untuk keberlangsungan makhluk hidup. 

Maka Islam mempunyai mekanisme yang baik dalam pengelolaan lahan, di antaranya, penempatan lahan pertanian sawah dengan dataran rendah yang tercukupi pengairannya, baik itu dari irigasi ataupun mengandalkan air hujan, lahan pertanian kebutuhan pangan, dengan lahan kaki gunung, juga hutan yang tetap dikelola sebagai penopang resapan air agar tidak terjadi banjir. 

Itulah tata kelola lahan pertanian di dalam IsIam, dan mengacu pada penjagaan lingkungan hidup sebagai wujud keimanan dan ketakwaan kepada sang pemilik bumi dan segala isinya yang di peruntukan untuk kelestarian makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. 
Wallahu'alam

Oleh : Ummu Ghifa 
Sahabat Tinta Media 

Kamis, 21 Desember 2023

Ekspansi Lahan, MMC: Korporasi Dimanjakan Sistem Kapitalisme

Tinta Media - Menyoroti kasus ekspansi lahan, narator Muslimah Media Center (MMC) mengatakan korporasi dimanjakan oleh sistem kapitalisme.

"Korporasi begitu dimanjakan oleh sistem kapitalisme yang akhirnya membuat para korporat terus-menerus melakukan ekspansi lahan," tuturnya dalam Serbi-Serbi: Pembukaan Lahan Sawit untuk Pangan, Benarkah untuk Kepentingan Rakyat? Senin (18/12/2023) di kanal Youtube Muslimah Media Center.

Narator melanjutkan, efeknya hidup rakyat akan dirampas secara zalim, dan semua itu diperparah karena negara kapitalisme berlepas tangan terhadap jaminan kehidupan rakyat.

"Negara justru menjadi regulator yang siap memuluskan kepentingan korporat dengan UU bahkan tak segan-segan menurunkan aparat kepolisian dan TNI untuk membantu para swasta menindak warga," imbuhnya.

*Islam*

Menurut Narator, ini berbeda dengan regulasi dalam Islam. Islam, lanjutnya, mengatur terkait persoalan lahan. Islam begitu tegas mengatur persoalan lahan dan hal ini tercermin dari kerasnya nada Rasullah saat menyoroti orang-orang yang melakukan perampasan lahan secara aniaya terhadap tanah orang lain dengan cara batil.

Ia lalu membacakan hadits Rasulullah SAW, riwayat Muslim. “Barang siapa mengambil satu jengkal tanah yang bukan haknya ia akan dikalungi tanah seberat tujuh lapis bumi di hari kiamat."

"Islam tidak membenarkan perampasan lahan, Islam mengatur dengan rinci dan adil agar semua manusia bisa menikmati keberkahan dari sebuah lahan," sambungnya.

Di antara konsep pertanahan dalam Islam, lanjutnya, adalah aturan hak kepemilikan yang terhubung dengan hak pengelolaan.

“Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Nidzam lqtishadiy dan Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al- Amwal, menjelaskan bahwa konsep kepemilikan lahan terbagi menjadi tiga, pertama, lahan milik individu yakni lahan pertanian, perkebunan, lahan untuk kolam, dan lain sebagainya. Kedua, lahan milik umum, yaitu lahan yang di atasnya atau di dalamnya terdapat harta milik umum seperti hutan, sumber mata air, barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas, jalan maupun laut,” jelasnya.

Lahan milik umum, ucapnya, tidak boleh dimiliki oleh individu (swasta) sebagaimana yang terjadi hari ini. Lahan milik umum harus dikelola negara untuk kemaslahatan umum.

“Ketiga, lahan milik negara. Di antaranya lahan yang tidak berpemilik, dan yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun. Lahan milik negara dikuasai negara dikelola dan dimanfaatkan sesuai kepentingan negara,” ungkapnya.

*Alih Fungsi Lahan*

Narator menjelaskan, untuk menyelesaikan masalah persengketaan alih fungsi hutan yang semakin meluas untuk perkebunan sawit, Islam akan mengembalikan masalah tersebut sesuai syariat.

“Hutan adalah milik umum tidak boleh dikuasai swasta. Negara akan mengusir dan memaksa para korporat tersebut mengembalikan harta milik umum kepada negara. Selanjutnya negara akan mengelolanya, mengaturnya, termasuk luasan hutan yang direhabilitasi dan dimanfaatkan sebagai perkebunan sawit,” bebernya.

Hasil pengelolaan ini, sambungnya, diberikan kepada masyarakat dalam bentuk terjangkaunya kebutuhan pangan, sandang, dan papan.

“Hanya saja semua konsep ini akan terealisasi jika ada negara yang menerapkan Islam secara kaffah yakni daulah khilafah," pungkasnya.[] Khaeriyah

 

Kamis, 19 Oktober 2023

Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia Butuh Solusi Sistemik

Tinta Media - Musim kemarau dan El Nino menjadi pemicu kebakaran hutan dan lahan meningkat seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Di Kalimantan Barat, yaitu tempat area PT. MTI Unit 1 Jelai (1.151 Ha), PT. CG 267 Ha, PT. SUM 168,2 Ha, dan PT. FWL 121,24 Ha. Tim pengawas dan Polisi Hutan Balai Gakkum KLHK Kawasan Kalimantan, sudah melakukan penyegelan empat tempat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Semua itu dilakukan untuk menghentikan kebakaran hutan dan lahan.

Melalui data hotspot, Tim Gakkum KLHK terus mengawasi secara intensif tempat-tempat yang terindikasi adanya titik api. Rasio Ridho Sani Direktur Jendral Gakkum KLHK mengatakan, sudah memerintahkan semua kantor Balai Gakkum baik di Sumatera ataupun Kalimantan untuk terus mengawasi serta melakukan verifikasi lapangan dan penyelidikan atas terjadinya karhutla pada area  konsesi perusahaan ataupun tempat yang dikuasai oleh masyarakat.  


Oleh karena itu, menurut Rasio, instrumen penegak hukum yang menjadi kewenangan KLHK akan digunakan untuk menindak tegas kepada penanggung jawab usaha atau kegiatan atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan, baik berupa sanksi administrasi sampai pencabutan izin, gugatan perdata berupa ganti rugi pemulihan lingkungan hidup ataupun penegakan hukum pidana.

Selain melakukan penyegelan kepada 4 tempat konsesi perusahaan yang terjadi kebakaran, juga dilakukan pemasangan papan larangan kegiatan dan garis PPLH, satu perusahaan dilakukan proses penyelidikan/pulbaket, dan satu perusahaan sudah direkomendasikan agar diberikan sanksi administrasi paksaan pemerintah melalui kepala daerah. 

Karena itu, Rasio menegaskan bahwa penyegelan ini harus menjadikan perhatian bagi perusahaan. Selain itu, perusahaan tempat terjadinya kebakaran dapat dikenakan sanksi administratif, termasuk pembekuan dan pencabutan izin, serta gugatan perdata terkait ganti rugi lingkungan hidup dan penegakan hukum pidana. 

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sekarang ini menyebabkan beberapa kota di Indonesia diselimuti kabut asap. Hal ini mengakibatkan meningkatnya kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Dua negara tetangga Indonesia, Malaysia dan Singapura, juga merasa terganggu dan merasa dirugikan.

Dengan meluasnya karhutla, seharusnya pemerintah bisa melakukan evaluasi terhadap usaha penanganan yang ada. Apakah semua yang dilakukan pemerintah selama ini dalam mencegah dan mengatasi karhutla sudah efektif dan antisipatif? Pertanyaan itu muncul karena kejadian karhutla terus berulang. Hal itu menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan penanganan karhutla masih minim dan belum berhasil.

Namun, semua permasalahan karhutla sebenarnya bukan hanya permasalahan teknis semata, tetapi sudah termasuk permasalahan sistemis. Karhutla merupakan salah satu dampak kapitalisasi hutan atas nama konsesi. 

Perusakan hutan besar-besaran dimulai sejak adanya UU 5/1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok  Kehutanan. Semenjak UU ini berlaku, penguasa dan konglomerat menjadi penentu dalam izin pengelolaan hutan. Izin konsesi hutan inilah yang menjadi faktor utama penyebab karhutla terus terjadi.

Demi kepentingan bisnis kaum kapitalis, pembukaan lahan gambut, termasuk deforestasi ini juga masih berlangsung. Sejak adanya UU yang berlaku, korporasi boleh membakar hutan dan lahan, meski dengan ketentuan dan syarat tertentu. Semua ini makin menegaskan bahwa peran negara tidak lebih sekadar regulator dan fasilitator  bagi kepentingan korporasi.

Dampak dari penerapan sistem kapitalisme yaitu pemberian izin konsesi hutan, alih fungsi lahan melalui pembukaan lahan gambut, sampai deforestasi. UU negara juga melegalisasi eksploitasi dan pemanfaatan hutan. Sungguh paket lengkap dalam upaya mendegradasi fungsi hutan menjadi ladang bisnis korporasi, padahal tugas negara adalah memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk menjaga rakyat dari bahaya kebakaran hutan dan dampaknya.

Karena itu, selama pengelolaan hutan masih menggunakan konsep kapitalisme dan kebebasan kepemilikan masih menjadi dasar menguasai aset-aset strategis tanpa batas, maka karhutla dan perusakan hutan jangan harap bisa dihentikan.

Karhutla dapat teratasi secara tuntas jika negara menerapkan sistem Islam secara kaffah. Maka dari itu, tidak ada masalah yang tidak memiliki solusi, begitu pun karhutla.

Pengelolaan hutan dan pemanfaatannya berprinsip tidak ada kebebasan secara mutlak dalam Islam. Para individu wajib berada dalam sistem Islam. Individu boleh mempunyai lahan dengan syarat yang dibenarkan syariat. Lahan-lahan yang dimiliki harus dikelola dengan produktif dan tidak ditelantarkan lebih dari 3 tahun.

Jika lahan tersebut ditelantarkan lebih dari tiga tahun, lahan tersebut berstatus menjadi tanah mati. Lalu negara akan memberikan kepada orang yang lebih dulu menggarap dan menghidupkan tanah oahan itu. Pengelolaannya tidak boleh membakar atau cara apa pun yang dapat menghilangkan unsur hara dan merusak ekosistem.

Islam memerintahkan bahwa kepemilikan umum hanya dikelola oleh negara, lalu hasilnya diberikan sebagai hak rakyat. Salah satunya, hutan tidak boleh dikelola oleh swasta, individu, bahkan asing. Hal ini karena hutan berkepemilikam umum dan harus dikelola oleh negara.

Negara boleh melakukan konservasi hutan yang berupaya untuk melindungi hak-hak ekologi, serta SDA yang asli. Negara juga dapat memproteksi hutan untuk kawasan konversi. Ini dilakukan saat eksplorasi hutan berpotensi membahayakan dan menimbulkan bencana ekologis bagi masyarakat.

Dengan penjelasan di atas, saat sistem Islam diterapkan, negara akan menjalankan fungsinya sebagaimana semestinya, yaitu sebagai raa'in (mengurusi seluruh urusan rakyat). Maka, tidak akan ada ekploitasi hutan secara ugal-ugalan. Wallahu a'lam bish shawab.

Oleh: Aning Juningsih (Aktivitas Muslimah)

Minggu, 08 Oktober 2023

Izinkan Investor Kuasai Lahan Selama 190 Tahun, IJM: Revisi UU IKN Sangat Berbahaya

Tinta Media - Menanggapi disahkannya revisi undang-undang IKN undang-undang Nomor 3 Tahun 2022 yang mengatur hak guna usaha bagi investor hingga 190 tahun, Direktur Indonesia Justice Monitor, Agung Wisnuwardana menilai hal ini sangat berbahaya. 
 
"Pemberian hak guna hingga 190 tahun adalah sangat aneh, tak biasa dan berbahaya," ungkapnya pada video: Ngeri Investor Bisa 'Kuasai' Lahan di IKN Sampai 190 Tahun, di kanal YouTube Indonesia Justice Monitor (7/10/2023).

Ia menjelaskan bahwa pertama kedaulatan berpotensi terancam. Kedua pemerintah semakin lama kehilangan wewenang penuh atas kawasan yang telah dikuasai investor karena waktu hak gunanya yang terlalu panjang.

"Artinya pemerintah kehilangan kesempatan untuk mengelola kawasan," jelasnya.

ketiga, katanya, investor akan berpeluang mengeksploitasi kawasan IKN untuk mendapatkan keuntungan dalam waktu yang sangat lama bahkan bisa tiga generasi.

"Anda bayangkan 190 tahun, ya tiga generasilah," tambahnya.

Ia menyatakan pemberian hak guna merupakan kebijakan panik yang semakin jelas menunjukkan bahwa memang tidak ada investor yang mau masuk ke IKN.

"Masa konsesi yang sangat panjang berpotensi besar menciptakan konflik agraria dan merugikan masyarakat Indonesia," katanya. 

Ia mengatakan bahwa pembangunan yang didasari pada investasi asing sesungguhnya menyimpan bahaya yang besar.

"Yakni penjajahan ekonomi di segala bidang yang dapat melemahkan kedaulatan negara. Negara akan mudah disetir sesuai kepentingan kapitalis," nyatanya.

Ia menyimpulkan bahwa dari kebijakan penguasa yang memberi kemudahan investasi model investasi di Indonesia tidak jauh dari empat hal.

"Satu dijamin APBN yang, kedua bebas pajak, ketiga tenaga kerja murah yang, keempat konsesi lahan hingga ratusan tahun ini," simpulnya.

"Inilah neoimperialism. Inilah penjajahan gaya baru," pungkasnya.[] Azzaky Ali

Jumat, 15 April 2022

Lahan Digusur demi Infrastruktur

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1TvDdtwAT-f-qA18bmZ0jAdvCbcfIJX4O

Tinta Media - Saat ini pemerintah sedang gencar melakukan pembangunan infrastruktur. Untuk pembangunan infrastruktur yang diminta, mau tidak mau area pertanian dialihfungsikan. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, DR. Ir. A. Tisna Umaran.

"Kabupaten Bandung merupakan kawasan sangat strategis. Banyak pihak yang meminta dilakukan penataan ruang. Salah satunya adalah pembangunan Tol Soroja dan Tol Cigatos yang tentunya mengakibatkan peningkatan pembangunan infrastruktur dengan menggunakan lahan pertanian, bahkan kemungkinan semakin banyak lahan pertanian beralih fungsi. Belum lagi fasilitas industri untuk lapangan kerja dalam rangka kesejahteraan masyarakat, juga perumahan untuk fasilitas masyarakat," ujar Tisna Umaran (portalbandungtimur02. 30/3/22).

Menurut Tisna, langkah yang ditempuh oleh pemerintah untuk mengantisipasi alih fungsi lahan saat ini adalah dengan memberikan edukasi dan pemahaman kepada para petani, agar meningkatkan hasil pertanian melalui intensifikasi pertanian. Ini mutlak dilakukan.

Untuk meningkatkan pelayanan kepada para petani, Pemkab sudah menyiapkan kartu tani guna mendapatkan bantuan dari pemerintah. Fungsi kartu tani Sibedas misalnya untuk bantuan traktor, untuk mendapatkan beasiswa anak-anak petani yang ingin melanjutkan kuliah. Tepatkah langkah ini dilakukan ?

Solusi Pemkab bagi petani yang lahannya terkena proyek infrastruktur adalah dengan melakukan edukasi dan memberikan kartu petani. Para petani yang terdampak, akan mendapatkan bantuan dari pemerintah. Namun, hal ini pada hakikatnya bukan solusi, tetapi upaya menyenangkan hati petani. Tetap saja bahwa dampak hilangnya lahan pertanian akan sangat dirasakan oleh petani. Bagaimana tidak, mereka kehilangan lahan dan berujung kehilangan pekerjaan.

Tak jauh beda dengan petani, di tempat lain banyak juga yang kehilangan lahan untuk industri. Model pembangunan kapitalisme memang hanya menguntungkan pemilik modal dan sangat merugikan petani, tak terkecuali pembangunan infrastruktur jalan tol. Berkurangnya lahan pertanian pun berimbas para melemahnya ketahanan pangan nasional.

Disinyalir, pemerintah justru memberikan karpet merah untuk pembangunan infrastruktur tanpa mempertimbangkan efek domino yang terjadi pada masyarakat. Alih-alih mendapatkan jaminan ekonomi, justru pertanianlah yang semakin mengkhawatirkan. Ujung-ujungnya, rakyat juga yang dirugikan.

Inilah watak penguasa di alam kapitalisme, yaitu pemimpin hanya menjadi regulator yang melonggarkan para korporat untuk menguasai lahan strategis demi usahanya. Sedangkan rakyat kembali gigit jari karena perannya semakin termaginalkan dalam pengaturan hak milik lahan pertanian.

Terkait masalah ini, Islam memiliki cara pandang yang khusus. Islam mengakui bahwa lahan pertanian adalah termasuk kepemilikan individu. Ketika kepemilikan ini dianggap sah secara syar'i, maka pemilik tanah memiliki hak untuk mengelolanya. Jika tidak mampu dan ditelantarkan selama dua tahun, maka kepemilikan bisa hilang. Negara akan mengambilnya untuk diberikan pada orang lain yang membutuhkan dan mampu untuk menggarap. Di sini jelas, kehadiran negara secara penuh merupakan hal yang mutlak dibutuhkan dalam tata kelola lahan pertanian. Islam menjamin kepemilikan lahan individu secara adil, selama lahan tersebut dikelola dan dimanfaatkan dengan baik.

Syariah Islam menetapkan bahwa pemimpin berperan sebagai raain (pelayan) dan junnah (pelindung) bagi rakyat. Kedua peran ini harus dijalankan sepenuh hati tanpa bisa diwakilkan karena Allah Swt. akan meminta pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Begitulah Allah menurunkan agama Islam untuk mengatur seluruh kehidupan manusia dengan syariat yang lengkap dan sempurna. Maka, ketika suatu negara mendasarkan pemerintahannya pada syariat Allah, sudah pasti rakyat akan sejahtera. Insyaallah

Wallahu alam bi shawab

Oleh: Erlyn Lisnawati
Sahabat Tinta Media 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab