Proyek Ambisius nan Egois, untuk Siapa?
Tinta Media - Masih hangat di masyarakat kritik terhadap pembangunan light rail transit atau LRT di Palembang, menyusul apa yang disampaikan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil yang secara blak-blakan menyebut bahwa proyek tersebut salah perencanaan. Dalam kritik yang pernah disampaikan, Ridwan menyatakan bahwa pembangunan LRT belum dibutuhkan oleh masyarakat setempat. Namun, pernyataan itu tergerus oleh opini politik untuk menyukseskan Asian Games yang mencuat.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Benny K. Harman juga menyampaikan kritikan yang cukup tajam melalui akun Twitter pribadinya. Dia mempertanyakan efektivitas penggelontoran dana sebesar Rp9,1 triliun tersebut. Menurutnya, sebuah proyek dibuat untuk mengatasi masalah rakyat. Kalau tidak ada penumpang, untuk apa LRT dibangun?
Nyatanya kehangatan kritik masyarakat masih berlanjut, sebab pemerintah masih bergeming dengan melanjutkan proyek terkait rencana pembangunan kereta cepat Jakarta-Surabaya yang awalnya disampaikan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Menurutnya, adanya kereta cepat akan memperpendek waktu tempuh antara Jakarta dan Surabaya, yaitu sekitar empat jam, dengan konsep wilayah Jakarta, Kawarang, Bandung, Kertajati, Purwokerto, Yogyakarta, Solo, Madiun dan Surabaya.
Budi menuturkan bahwa pihaknya akan mengawal proyek tersebut. Dia juga mengatakan bahwa perencanaan proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya tengah disusun. Adanya proyek ini akan melengkapi proyek yang sudah ada saat ini, yakni kereta cepat Jakarta-Bandung.
Selaku pemilik proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) mengakui adanya rencana pengembangan trase tersebut. Namun, untuk saat ini KCIC menyatakan masih fokus pada penyelesaian kereta cepat Jakarta-Bandung yang ditargetkan operasi tahun depan.
Kapitalisme Raih Keuntungan Tanpa Hati
Kereta Cepat Jakarta-Bandung menjadi salah satu perpanjangan investasi Cina melalui proyek Belt & Road Initiative. Di sejumlah negara, proyek yang dibiayai BRI ini menuai kontroversi. Proyek yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) ini menjadi bagian tak terpisahkan dari gurita bisnis Tiongkok. Pelaksana proyek, yakni KCIC merupakan konsorsium yang berisi empat BUMN, yaitu PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan konsorsium perusahaan perkeretaapian China melalui Beijing Yawan HSR Co Ltd, dengan bisnis utama di sektor transportasi publik dengan skema business to business (B2B). Selama beberapa tahun terakhir, otoritas Cina memang agresif mengembangkan banyak proyek di luar negeri melalui bendera Belt & Road Initiative (BRI).
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, membenarkan sekaligus memberikan ‘kode keras’ dengan pernyataan, jika sudah nyaman kenapa harus ganti. Ia membenarkan adanya kerja sama Indonesia-Cina tersebut. (detik.com, 31/10/2022).
Hal tersebut berbeda dengan perkataan sebelumnya yang mengatakan bahwa Indonesia pantang didikte negara asing, termasuk Cina dan Amerika.
LRT dan kereta api cepat menambah deretan proyek yang tidak membawa manfaat optimal dan maksimal untuk rakyat. Dana besar, tetapi tidak membuat rakyat makin mudah dan nyaman hidupnya. Sejatinya, proyek ambisius dan egois ini sekadar pencitraan dan menambah beban negara. Yang diuntungkan tentulah para pemodal besar, terutama Cina. Mereka berhasil menjamin kesejahteraan rakyat mereka, sedang rakyat Indonesia makin menderita. Kebijakan ini tak ada hati.
Sebenarnya, tak hanya proyek kereta cepat ini saja yang tak sambung dengan kepentingan umat. Banyak proyek lain yang mangkrak hanya karena memenuhi ambisi investor, dari mulai jalan tol, jembatan, bandara, IKN dan lainnya.
Banyaknya rakyat yang depresi dan memilih bunuh diri karena tak kuat menanggung beban hidup, tak cukup menghentikan langkah negara untuk sedikit melihat bahwa kebijakannya kian menekan rakyat. Pada akhirnya, APBN juga yang diobok-obok untuk memberikan dana talangan, seperti proyek IKN.
Jika diklaim bahwa ini untuk memudahkan dan sekaligus mengubah wajah negeri menjadi negara maju dan terbarukan, karena sudah menuju masa transisi perubahan ke energi bersih, tetap saja tak bisa disandingkan jika negara sepenuhnya hadir untuk rakyat. Jika pula dimaksudkan adalah untuk pertumbuhan ekonomi, maka ekonomi yang mana dan untuk siapa? Sekali lagi, program ini hanyalah racun yang berbalut madu.
Islam Menjamin Kesejahteraan Rakyat Individu per Individu
Islam tentu tidak menolak kemajuan teknologi, dalam bidang apa pun, termasuk transportasi. Sebab, konsepnya adalah jaminan kemudahan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok. Maka, moda transportasi sangat dibutuhkan dengan kualitas terbaik dan murah. Jika memang keahlian membuat infrastruktur itu terkendala karena tidak ada pakarnya, maka negara boleh mempekejakan asing, sembari mempersiapkan pendidikan yang mumpuni agar tercetak output yang siap mampu berkontribusi kepada negara untuk kemaslahatan rakyat.
Namun, kerjas ama itu tidak boleh merugikan, terutama dari sisi pelakunya, tidak boleh dengan negara yang memerangi Islam dan kaum muslimin. Hubungan dengan mereka hanya boleh perang, bukan yang lain. Selain itu, dalam Islam proyek dibuat berdasarkan kebutuhan dan kebermanfaatan untuk umat, bukan demi investor, apalagi demi ambisi kekuasaan.
Maka, negara akan mengadakan pembiayaan secara mandiri, yaitu melalui Baitul Mal. Pos-pos Baitul Mal berasal dari pengelolaan hak kepemilikan umum dan negara.
Terkait dengan jaminan kesejahteraan, maka dipastikan bahwa negara menjamin tersedianya lapangan pekerjaan sesuai keinginan rakyat, baik itu bidang pertanian, industri, tenaga kesehatan, tenaga pendidikan maupun berwiraswata. Negara akan memberikan apa yang dibutuhkan rakyat, baik permodalan maupun pelatihan.
Alasan mengapa negara harus sepenuhnya hadir untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan rakyat adalah apa yang disabdakan Rasulullah yaitu, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Maka, hubungan antara penguasa dan rakyat tidak boleh hubungan sebagai penjual dan pembeli. Dalam arti, rakyat harus membayar mahal semua infrastruktur yang dibangun negara, padahal pembiayaannya selain dari pajak negara juga utang luar negeri yang juga harus dibayar oleh rakyat
Sebagai muslim, tentulah menjadi kewajiban kita untuk taat terhadap perintah syariat, terlebih karena Rasulullah sudah mencontohkannya. Tidak ada kemuliaan di luar syariat, kecuali Islam hanya dijadikan bancakan kue, tak lebih. Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban