Refleksi Hukum 2022, LBH Pelita Umat Berikan Enam Catatan
Tinta Media - Merefleksi berbagai peristiwa hukum yang terjadi sepanjang tahun 2022 Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan memberikan enam catatan yang berimplikasi terhadap Islam.
“Berikut ini adalah catatan peristiwa hukum tahun 2022 yang memiliki implikasi terhadap Islam dan umat Islam,” tuturnya kepada Tinta media, Selasa (27/12/2022).
Pertama, kriminalisasi kebebasan pendapat. “Polemik tak berkesudahan terus mewarnai implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,” jelasnya.
Peraturan yang lebih dikenal dengan nama UU ITE tersebut, menurutnya, pada awalnya ditujukan untuk mengatasi berbagai masalah di dunia digital, seperti hoaks, cybercrime, dan sebagainya. Namun, dalam implementasinya, UU ITE justru beberapa kali digunakan sebagai instrumen kriminalisasi bagi kelompok tertentu.
“Hingga kini, jumlah korban kriminalisasi UU ITE tak terhitung banyaknya. Korban dari kriminalisasi UU ITE pun bermacam-macam. Bukan hanya pasal ITE, begitu juga pasal 14 UU No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Pidana yaitu menyebarkan kebohongan yang sering menjadi kendala atas kebebasan menyampaikan pendapat,” bebernya.
Kedua, sebutnya, pernikahan beda agama. Pernikahan beda agama tahun 2022 terjadi di beberapa daerah dan pengadilan mengabulkan permohonan tersebut di antaranya di Surabaya, Yogyakarta dan lain-lain.
“Bahkan Amos Petege pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam melakukan Judicial Review terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan (norma perkawinan beda agama),” imbuhnya.
Padahal, lanjut Chandra, jika merujuk UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 Ayat (1) berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
“Dari pasal ini sudah sangat jelas terdapat frasa ".... menurut hukum masing-masing agama....". Sehingga ketika agama Islam misalnya melarang menikah dengan orang yang beda agama, maka ketika dipaksakan menjadi tidak sah. Ketentuan pasal diatas diperkuat dengan fatwa MUI yang menyatakan pernikahan beda agama haram dan tidak sah. Hal itu dimuat dalam Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama,”urainya.
Ketiga, kampanye radikal, ekstrimisme dan toleransi terus terjadi. Chandra mengatakan Pemerintah telah berhasil membangun narasi ‘bahaya radikalisme’. ‘Radikal dan ekstrimisme adalah awal terorisme’. Pemerintah melakukan berbagai kebijakan untuk mendukung narasi yang diciptakan dengan berbagai tindakan diantaranya menerbitkan Peraturan terkait ASN dan pegawai BUMN yang dituduh terlibat kelompok radikal, kemudian mengeluarkan dari pekerjaannya. “Kampanye toleransi pun terus digalakkan seolah-olah muslim di negeri ini tidak toleran,”kesalnya.
Keempat, terkait dengan penindakan terduga teroris yang tampak menyasar umat Islam. Ia mencontohkan kasus dr. Sunardi yang ditembak mati oleh Densus 88 lantaran diduga terlibat terorisme.
“Terdapat catatan atas penindakan terhadap terduga teroris, yaitu sekalipun polisi diberi kewenangan untuk menembak dari peraturan Kapolri, namun bukan berarti bebas menembak sampai mati. Terduga itu tidak untuk dimatikan, tapi dilumpuhkan,”jelasnya.
Negara ini, terangnya, merupakan negara hukum, dan tugas polisi adalah menegakkan hukum. Dan hukum itu pun ada asas praduga tak bersalah. Apabila terdapat pelanggaran hukum yang dilakukan terduga tersebut, seharusnya dapat diproses sebagaimana ketentuan pidana yang belaku.
Kelima, penistaan agama. Tahun 2022, tercatat cukup banyak yang melakukan penistaan agama. Kasus penistaan agama kian menjadi-jadi. Mulai dari kasus yang melecehkan Al-Qur’an, menghina Rasulullah Saw. dan simbol-simbol serta ajarannya. Bak jamur di musim hujan, para penista agama terus lantang bersuara atas nama kebebasan,” bebernya.
Keenam, pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang memiliki potensi implikasi terhadap Islam dan umat Islam yaitu Pasal 188 ayat (1) KUHP Baru, yang berbunyi:
(1)"Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun."
“KUHP baru memuat ketentuan yang dapat digunakan secara semena-mena untuk membatasi hak kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi. Pasal 188 KUHP yang mengkriminalisasi “penyebaran dan perkembangan” ideologi atau paham yang bertentangan dengan “Pancasila”. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam pidana penjara sampai 7 tahun,”.ungkapnya.
Ia mengkhawatirkan norma “...paham lain yang bertentangan dengan Pancasila...” menjadi criminal extra ordinaria, artinya kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang, sebagaimana yang pernah terjadi pada Romawi Kuno.
“Pasal ini sangat bermasalah. Tidak ada penjelasan dengan apa yang dimaksud dengan “paham yang bertentangan dengan pancasila”, siapa yang berwenang menentukan suatu paham bertentangan dengan pancasila. Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru,”khawatirnya.
Pasal karet, lanjut Chandra berpotensi akan ditafsirkan oleh penguasa. Hal ini pernah terjadi pada zaman Romawi Kuno yaitu hukum memberi kebebasan luas bagi penguasa memaknai apa itu perbuatan jahat (crimina stellionatus) itu. Akibatnya, penguasa dapat menjatuhkan sanksi pidana kepada siapapun yang tidak ia sukai dengan dalih yang bersangkutan telah melakukan perbuatan jahat. Para penguasa/ raja di masa itupun sangat berpeluang menggunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang. Oleh sebab itu, sangat diperlukan pemikiran bahwa perbuatan-perbuatan jahat yang dapat dipidana selayaknya harus sudah tercover dalam ketentuan perundang-undangan yang ada.
“Kemudian tampak ada pertentangan antara Pasal 188 KUHP Baru dengan UUD 1945 yaitu pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang. Sedangkan Pasal 28E ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya,”pungkasnya.[] Irianti Aminatun.