Tinta Media: LBH
Tampilkan postingan dengan label LBH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label LBH. Tampilkan semua postingan

Kamis, 29 Desember 2022

Refleksi Hukum 2022, LBH Pelita Umat Berikan Enam Catatan

Tinta Media - Merefleksi berbagai peristiwa hukum yang terjadi sepanjang tahun 2022 Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan memberikan enam catatan yang berimplikasi terhadap Islam.
 
“Berikut ini adalah catatan peristiwa hukum tahun 2022 yang memiliki implikasi terhadap Islam dan umat Islam,” tuturnya kepada Tinta media, Selasa  (27/12/2022).
 
Pertama, kriminalisasi kebebasan pendapat. “Polemik tak berkesudahan terus mewarnai implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,” jelasnya.
 
Peraturan yang lebih dikenal dengan nama UU ITE tersebut, menurutnya, pada awalnya ditujukan untuk mengatasi berbagai masalah di dunia digital, seperti hoaks, cybercrime, dan sebagainya. Namun, dalam implementasinya, UU ITE justru beberapa kali digunakan sebagai instrumen kriminalisasi bagi kelompok tertentu. 
 
“Hingga kini, jumlah korban kriminalisasi UU ITE tak terhitung banyaknya. Korban dari kriminalisasi UU ITE pun bermacam-macam. Bukan hanya pasal ITE, begitu juga  pasal 14 UU No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Pidana yaitu menyebarkan kebohongan yang sering menjadi kendala atas kebebasan menyampaikan pendapat,” bebernya.
 
Kedua, sebutnya, pernikahan beda agama. Pernikahan beda agama tahun 2022 terjadi di beberapa daerah dan pengadilan mengabulkan permohonan tersebut di antaranya di Surabaya, Yogyakarta dan lain-lain.
 
“Bahkan Amos Petege pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam melakukan Judicial Review terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan (norma perkawinan beda agama),” imbuhnya.
 
Padahal, lanjut Chandra, jika merujuk UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 Ayat (1) berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
 
“Dari pasal ini sudah sangat jelas terdapat frasa ".... menurut hukum masing-masing agama....". Sehingga ketika agama Islam misalnya melarang menikah dengan orang yang beda agama, maka ketika dipaksakan menjadi tidak sah. Ketentuan pasal diatas diperkuat dengan fatwa MUI yang menyatakan pernikahan beda agama haram dan tidak sah. Hal itu dimuat dalam Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama,”urainya.
 
Ketiga, kampanye radikal, ekstrimisme dan toleransi terus terjadi. Chandra mengatakan Pemerintah telah berhasil membangun narasi ‘bahaya radikalisme’. ‘Radikal dan ekstrimisme adalah awal terorisme’. Pemerintah melakukan berbagai kebijakan untuk mendukung narasi yang diciptakan dengan berbagai tindakan diantaranya menerbitkan Peraturan terkait ASN dan pegawai BUMN yang dituduh terlibat kelompok radikal, kemudian mengeluarkan dari pekerjaannya. “Kampanye toleransi pun terus digalakkan seolah-olah muslim di negeri ini tidak toleran,”kesalnya.
 
Keempat, terkait dengan penindakan terduga teroris yang tampak  menyasar umat Islam. Ia mencontohkan kasus dr. Sunardi yang ditembak mati  oleh Densus 88 lantaran diduga terlibat terorisme.
 
“Terdapat catatan atas penindakan terhadap terduga teroris, yaitu sekalipun polisi diberi kewenangan untuk menembak dari peraturan Kapolri, namun bukan berarti bebas menembak sampai mati. Terduga itu tidak untuk dimatikan, tapi dilumpuhkan,”jelasnya.
 
Negara ini, terangnya, merupakan negara hukum, dan tugas polisi adalah menegakkan hukum. Dan hukum itu pun ada asas praduga tak bersalah. Apabila terdapat pelanggaran hukum yang dilakukan terduga tersebut, seharusnya dapat diproses sebagaimana ketentuan pidana yang belaku.
 
Kelima, penistaan agama. Tahun 2022, tercatat cukup banyak yang melakukan penistaan agama.  Kasus penistaan agama kian menjadi-jadi. Mulai dari kasus yang melecehkan Al-Qur’an, menghina Rasulullah Saw. dan simbol-simbol serta ajarannya. Bak jamur di musim hujan, para penista agama terus lantang bersuara atas nama kebebasan,” bebernya.
 
 Keenam, pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang memiliki potensi implikasi terhadap Islam dan umat Islam yaitu Pasal 188 ayat (1) KUHP Baru, yang berbunyi: 
 
 (1)"Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun."
 
“KUHP baru memuat ketentuan yang dapat digunakan secara semena-mena untuk membatasi hak kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi. Pasal 188 KUHP yang mengkriminalisasi “penyebaran dan perkembangan” ideologi atau paham yang bertentangan dengan “Pancasila”. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam pidana penjara sampai 7 tahun,”.ungkapnya.
 
Ia mengkhawatirkan norma “...paham lain yang bertentangan dengan Pancasila...” menjadi criminal extra ordinaria, artinya kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang, sebagaimana yang pernah terjadi pada Romawi Kuno.
 
“Pasal ini sangat bermasalah. Tidak ada penjelasan dengan apa yang dimaksud dengan “paham yang bertentangan dengan pancasila”, siapa yang berwenang menentukan suatu paham bertentangan dengan pancasila. Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru,”khawatirnya.  
 
Pasal karet, lanjut Chandra berpotensi akan ditafsirkan oleh penguasa. Hal ini pernah terjadi pada zaman Romawi Kuno yaitu hukum memberi kebebasan luas bagi penguasa memaknai apa itu perbuatan jahat (crimina stellionatus) itu. Akibatnya, penguasa dapat menjatuhkan sanksi pidana kepada siapapun yang tidak ia sukai dengan dalih yang bersangkutan telah melakukan perbuatan jahat. Para penguasa/ raja di masa itupun sangat berpeluang menggunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang. Oleh sebab itu, sangat diperlukan pemikiran bahwa perbuatan-perbuatan jahat yang dapat dipidana selayaknya harus sudah tercover dalam ketentuan perundang-undangan yang ada.
 
“Kemudian tampak ada pertentangan antara Pasal 188 KUHP Baru dengan UUD 1945 yaitu  pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang. Sedangkan Pasal 28E ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya,”pungkasnya.[] Irianti Aminatun.
 
 

Minggu, 23 Oktober 2022

Lembaga Bantuan Hukum LEX SHARIA PACTA SUNT SERVANDA (LBH LESPASS)

Tinta Media - Lembaga Bantuan Hukum LEX SHARIA PACTA SUNT SERVANDA atau disingkat LBH LESPASS, adalah lembaga bantuan hukum yang fokus memberikan layanan konsultasi dan bantuan hukum pada kasus-kasus keumatan, dengan komitmen untuk menjaga dan menjalankan norma-norma syariat dalam proses pembelaan, melalui optimalisasi sarana norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

LESPASS memahami dan meyakini bahwa setiap muslim wajib taat dan terikat dengan syariat Islam. Karena itu, LESPASS akan selalu terikat dengan hukum syara' dalam setiap langkah dan  pembelaan terhadap kasus-kasus yang ditangani.

LESPASS juga menginsyafi, bahwa norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh dilepaskan dalam setiap aktivitas pembelaan, baik dalam lapangan hukum pidana, perdata, tata usaha negara, sengketa konstitusi, dan seluruh bidang pembelaan hukum lainnya, baik secara litigasi maupun non litigasi.

LESPASS memiliki visi untuk membela dan membersamai umat menuju tegaknya izzul Islam wal Muslimin. Dalam menjalankan visi tersebut, LESPASS memiliki misi melakukan serangkaian kegiatan pembelaan umat, termasuk tetapi tidak terbatas pada pemberian jasa konsultasi hukum, pendampingan, legal opini, pemberian bantuan hukum, pendidikan hukum, pendidikan dan persiapan bagi calon advokat, mengadakan seminar dan diskusi hukum, mengadakan penelitian hukum, penulisan artikel hukum, dan lain sebagainya.

Dalam menjalankan aktivitasnya, LESPASS memiliki motto "Mengadvokasi & membersamai Umat, Mencari pahala & Meraih Ridlo Allah SWT". Motto ini adalah Ruh, untuk menjadi pengingat bahwa seluruh aktivitas LESPASS harus terikat dengan hukum syara', karena tujuannya mencari pahala dan meraih ridlo Allah SWT.

LESPASS akan menjadi mata dan telinga umat, menjelaskan problem skaligus solusinya, baik dalam perspektif syariat maupun perspektif hukum yang berlaku. LESPASS tidak pernah melepaskan kegiatan pembelaan dari visi utama untuk menjalankan syariat guna menegakkan hukum Allah SWT.

LESPASS akan selalu bersinergi dengan simpul dan tokoh umat, organisasi dan jaringan umat, baik kalangan tokoh, ulama, pengusaha, akademisi, praktisi, pemuda dan mahasiswa, buruh tani dan nelayan, dan seluruh elemen umat lainnya.

LESPASS meneguhkan posisinya sebagai mitra umat, untuk membela dan membersamai umat, menjelaskan problematika yang dihadapi, sekaligus berkomitmen terjun langsung untuk mendampingi. Sebuah komitmen yang meneguhkan LESPASS adalah bagian dan merupakan milik umat.

Untuk menjalankan visi misinya, LESPASS didukung penuh oleh sejumlah advokat, paralegal, staf ahli, SDM dan jaringan, yang tersebar di seluruh wilayah indonesia. LESPASS secara berkala juga akan merekrut putra putri terbaik Islam, untuk menjadi mujahid hukum, berkhidmat bagi agama, demi terwujudnya cita-cita izzul Islam Wal Muslimin. 

===(-)===


STRUKTUR LBH :


Ketua Dewan Pembina :

Ustadz Irwan Syaifulloh

Ketua Umum :

Ahmad Khozinudin, SH

Sekretaris Jenderal :

Ricky Fattamazaya Munthe, SH, MH

Minggu, 02 Oktober 2022

150 Lebih Tewas dalam Tragedi Kanjuruhan, YLBH dan LBH: Ada Penggunaan Kekuatan yang Berlebihan?

Tinta Media - Menanggapi tragedi stadion Kanjuruhan Malang yang menewaskan lebih dari 150 korban jiwa, YLBH dan LBH kantor seluruh Indonesia dalam siaran persnya menyampaikan bahwa diduga ada penggunaan kekuatan yang berlebihan.

"Kami menduga bahwa penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use force) melalui penggunaan gas air mata dan pengendalian massa yang tidak sesuai prosedur menjadi penyebab banyaknya korban jiwa yang berjatuhan," tuturnya dalam siaran persnya yang diterima oleh Tinta Media, Ahad (2/10/2022).

Menurutnya, penggunaan gas air mata yang tidak sesuai dengan prosedur pengendalian massa mengakibatkan supporter di tribun berdesak-desakkan mencari pintu keluar, sesak nafas, pingsan, dan saling bertabrakan.

Over Kapasitas

"Hal tersebut diperparah dengan over kapasitas stadion dan pertandingan big match yang dilakukan pada malam hari hal tersebut yang membuat seluruh pihak yang berkepentingan harus melakukan upaya penyelidikan dan evaluasi yang menyeluruh terhadap pertandingan ini," paparnya.

Masih dalam siaran persnya, YLBH dan LBH kantor seluruh Indonesia mengungkapkan bahwa sejak awal panitia mengkhawatirkan akan pertandingan ini dan meminta kepada Liga (LIB) agar pertandingan dapat diselenggarakan sore hari untuk meminimalisir resiko.

"Tetapi sayangnya pihak Liga menolak permintaan tersebut dan tetap menyelenggarakan pertandingan pada malam hari," sesalnya.

Pertandingan berjalan lancar hingga selesai, hingga kemudian kerusuhan terjadi setelah pertandingan dimana terdapat supporter memasuki lapangan dan kemudian ditindak oleh aparat.

"Dalam video yang beredar, kami melihat terdapat kekerasan yang dilakukan aparat dengan memukul dan menendang suporter yang ada di lapangan. Ketika situasi suporter makin banyak ke lapangan, justru kemudian aparat melakukan penembakan gas air mata ke tribun yang masih banyak dipenuhi penonton," terangnya.

Padahal jelas penggunaan gas Air mata tersebut dilarang oleh FIFA. FIFA dalam Stadium Safety and Security Regulation Pasal 19 menegaskan bahwa penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa dalam stadion.

Langgar Aturan

"Kami menilai bahwa tindakan aparat dalam kejadian tersebut bertentangan dengan beberapa peraturan sebagai berikut:
Pertama, Perkapolri No.16 Tahun 2006 Tentang Pedoman pengendalian massa. Kedua, Perkapolri No.01 Tahun 2009 Tentang Penggunaan dalam Tindakan Kepolisian. Ketiga, Perkapolri No.08 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara RI.

Keempat, Perkapolri No.08 Tahun 2010 Tentan Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak Dalam Penanggulangan Huru-Hara. Kelima, Perkapolri No. 02 Tahun 2019 Tentang Pengendalian Huru-Hara.

"Maka atas pertimbangan diatas, kami menilai bahwa penanganan aparat dalam mengendalikan masa berpotensi terhadap dugaan Pelanggaran HAM dengan meninggalnya lebih dari 150 Korban Jiwa dan ratusan lainnya luka-luka," pungkasnya.[]'Aziimatul Azka
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab