Tinta Media: LBH Pelita Umat
Tampilkan postingan dengan label LBH Pelita Umat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label LBH Pelita Umat. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 September 2023

LBH Pelita Umat Beri Tiga Pernyataan Sikap Terkait Kata "Piting"

Tinta Media - Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. memberikan pendapat hukum terkait kata piting yang disampaikan pejabat negara.

"Menyikapi kata piting yang disampaikan pejabat negara, saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut," tuturnya kepada Tinta Media, Senin (18/9/2023).

Pertama, pejabat negara semestinya berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan yang ditujukan kepada rakyat, harus pandai memilih kata dan merangkainya, termasuk gesture atau body language. Sebaiknya menggunakan kalimat atau bahasa yang mengayomi, menenangkan. Menggunakan kalimat yang menunjukkan kekuasaan, kewenangan kepada rakyat adalah tidak apple to apple.

"Tidak perlu ditunjukkan bahasa kekuasaan, rakyat sudah takut karena negara memiliki kekuasaan, kewenangan dan senjata," ujarnya.

Kedua, bahwa etika komunikasi atau bicara dapat menunjukkan kualitas moral diri seseorang sebab cara menyampaikan ide, gagasan lewat bahasa akan ketahuan tingkat derajat dan martabat serta bobot etika moral seseorang. "Sehingga sering kita mendengar bahwa bahasa itu menunjukkan jati dirinya, siapa dia," tukasnya.

 Ketiga, LBH Pelita Umat mendesak Ombudsman untuk melakukan penegakan etika dihidupkan secara formal melalui pelembagaan di setiap unsur cabang kekuasaan negara dan berbagai lembaga negara lainnya.

Menurutnya, keberadaan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) tertuang dalam konsideran huruf c UU No.37 Tahun 2008 tentang ORI. 

"Dan juga mendesak Dewan Kehormatan untuk meminta klarifikasi atas penyataan tersebut," pungkasnya.[] Ajira

Sabtu, 18 Maret 2023

Legal Opinion LBH Pelita Umat Atas Kedatangan Timnas Israel

Tinta Media - Beredar informasi dari website kantor berita yang memberitakan bahwa Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Erick Thohir memberikan jaminan keamanan bagi Timnas Israel yang akan datang ke Indonesia untuk Piala Dunia U-20. Ketua LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. menyampaikan legal opinion (pendapat hukum).

"Berkaitan dengan hal tersebut di atas saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut," tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (15/3/2023).

Pertama, bahwa yang perlu diketahui setiap peserta yang berlaga pada piala dunia U-20 merupakan utusan negara atau representasi negara atau sering disebut Timnas (Tim Nasional). 

"Menerima Israel sebagai peserta berarti secara tidak langsung mengakui keberadaan negara Israel," tegasnya.

Kedua, lanjutnya, bahwa Palestina merupakan salah satu negara pertama yang mengakui Indonesia sebagai negara merdeka secara de facto. 

"Pengakuan ini disebarluaskan ke seluruh dunia oleh seorang mufti besar Palestina, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini. Pasca-mengakui Indonesia merdeka, mufti besar Palestina Syekh Muhammad Amin Al-Husaini dan Muhammad Ali Taher, saudagar kaya Palestina, menyiarkan dukungan rakyat Palestina terhadap kemerdekaan Indonesia. Dukungan tersebut disebarluaskan melalui radio berbahasa Arab di Berlin, Jerman," terangnya.

Ketiga, ucap Chandra,  bahwa Israel adalah Penjajah sekaligus perampok tanah rakyat Palestina, mereka mendirikan negara diatas tanah milik rakyat Palestina. 

"Bayangkan bagaimana jika tanah rakyat Indonesia dirampok pihak lain lalu mendirikan negara diatas tanah tersebut," ujarnya retoris.

Begitulah yang terjadi di Palestina, sambungnya,  menerima Timnas Israel sama saja mengakui keberadaan perampok dan penjajah.

"Keempat, saya teringat pepatah lama "air susu dibalas air tuba", pepatah tersebut tepat untuk menggambarkan kebaikan Palestina mengakui kemerdekaan Indonesia," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka

Kamis, 29 Desember 2022

Refleksi Hukum 2022, LBH Pelita Umat Berikan Enam Catatan

Tinta Media - Merefleksi berbagai peristiwa hukum yang terjadi sepanjang tahun 2022 Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan memberikan enam catatan yang berimplikasi terhadap Islam.
 
“Berikut ini adalah catatan peristiwa hukum tahun 2022 yang memiliki implikasi terhadap Islam dan umat Islam,” tuturnya kepada Tinta media, Selasa  (27/12/2022).
 
Pertama, kriminalisasi kebebasan pendapat. “Polemik tak berkesudahan terus mewarnai implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,” jelasnya.
 
Peraturan yang lebih dikenal dengan nama UU ITE tersebut, menurutnya, pada awalnya ditujukan untuk mengatasi berbagai masalah di dunia digital, seperti hoaks, cybercrime, dan sebagainya. Namun, dalam implementasinya, UU ITE justru beberapa kali digunakan sebagai instrumen kriminalisasi bagi kelompok tertentu. 
 
“Hingga kini, jumlah korban kriminalisasi UU ITE tak terhitung banyaknya. Korban dari kriminalisasi UU ITE pun bermacam-macam. Bukan hanya pasal ITE, begitu juga  pasal 14 UU No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Pidana yaitu menyebarkan kebohongan yang sering menjadi kendala atas kebebasan menyampaikan pendapat,” bebernya.
 
Kedua, sebutnya, pernikahan beda agama. Pernikahan beda agama tahun 2022 terjadi di beberapa daerah dan pengadilan mengabulkan permohonan tersebut di antaranya di Surabaya, Yogyakarta dan lain-lain.
 
“Bahkan Amos Petege pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam melakukan Judicial Review terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan (norma perkawinan beda agama),” imbuhnya.
 
Padahal, lanjut Chandra, jika merujuk UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 Ayat (1) berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
 
“Dari pasal ini sudah sangat jelas terdapat frasa ".... menurut hukum masing-masing agama....". Sehingga ketika agama Islam misalnya melarang menikah dengan orang yang beda agama, maka ketika dipaksakan menjadi tidak sah. Ketentuan pasal diatas diperkuat dengan fatwa MUI yang menyatakan pernikahan beda agama haram dan tidak sah. Hal itu dimuat dalam Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama,”urainya.
 
Ketiga, kampanye radikal, ekstrimisme dan toleransi terus terjadi. Chandra mengatakan Pemerintah telah berhasil membangun narasi ‘bahaya radikalisme’. ‘Radikal dan ekstrimisme adalah awal terorisme’. Pemerintah melakukan berbagai kebijakan untuk mendukung narasi yang diciptakan dengan berbagai tindakan diantaranya menerbitkan Peraturan terkait ASN dan pegawai BUMN yang dituduh terlibat kelompok radikal, kemudian mengeluarkan dari pekerjaannya. “Kampanye toleransi pun terus digalakkan seolah-olah muslim di negeri ini tidak toleran,”kesalnya.
 
Keempat, terkait dengan penindakan terduga teroris yang tampak  menyasar umat Islam. Ia mencontohkan kasus dr. Sunardi yang ditembak mati  oleh Densus 88 lantaran diduga terlibat terorisme.
 
“Terdapat catatan atas penindakan terhadap terduga teroris, yaitu sekalipun polisi diberi kewenangan untuk menembak dari peraturan Kapolri, namun bukan berarti bebas menembak sampai mati. Terduga itu tidak untuk dimatikan, tapi dilumpuhkan,”jelasnya.
 
Negara ini, terangnya, merupakan negara hukum, dan tugas polisi adalah menegakkan hukum. Dan hukum itu pun ada asas praduga tak bersalah. Apabila terdapat pelanggaran hukum yang dilakukan terduga tersebut, seharusnya dapat diproses sebagaimana ketentuan pidana yang belaku.
 
Kelima, penistaan agama. Tahun 2022, tercatat cukup banyak yang melakukan penistaan agama.  Kasus penistaan agama kian menjadi-jadi. Mulai dari kasus yang melecehkan Al-Qur’an, menghina Rasulullah Saw. dan simbol-simbol serta ajarannya. Bak jamur di musim hujan, para penista agama terus lantang bersuara atas nama kebebasan,” bebernya.
 
 Keenam, pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang memiliki potensi implikasi terhadap Islam dan umat Islam yaitu Pasal 188 ayat (1) KUHP Baru, yang berbunyi: 
 
 (1)"Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun."
 
“KUHP baru memuat ketentuan yang dapat digunakan secara semena-mena untuk membatasi hak kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi. Pasal 188 KUHP yang mengkriminalisasi “penyebaran dan perkembangan” ideologi atau paham yang bertentangan dengan “Pancasila”. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam pidana penjara sampai 7 tahun,”.ungkapnya.
 
Ia mengkhawatirkan norma “...paham lain yang bertentangan dengan Pancasila...” menjadi criminal extra ordinaria, artinya kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang, sebagaimana yang pernah terjadi pada Romawi Kuno.
 
“Pasal ini sangat bermasalah. Tidak ada penjelasan dengan apa yang dimaksud dengan “paham yang bertentangan dengan pancasila”, siapa yang berwenang menentukan suatu paham bertentangan dengan pancasila. Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru,”khawatirnya.  
 
Pasal karet, lanjut Chandra berpotensi akan ditafsirkan oleh penguasa. Hal ini pernah terjadi pada zaman Romawi Kuno yaitu hukum memberi kebebasan luas bagi penguasa memaknai apa itu perbuatan jahat (crimina stellionatus) itu. Akibatnya, penguasa dapat menjatuhkan sanksi pidana kepada siapapun yang tidak ia sukai dengan dalih yang bersangkutan telah melakukan perbuatan jahat. Para penguasa/ raja di masa itupun sangat berpeluang menggunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang. Oleh sebab itu, sangat diperlukan pemikiran bahwa perbuatan-perbuatan jahat yang dapat dipidana selayaknya harus sudah tercover dalam ketentuan perundang-undangan yang ada.
 
“Kemudian tampak ada pertentangan antara Pasal 188 KUHP Baru dengan UUD 1945 yaitu  pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang. Sedangkan Pasal 28E ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya,”pungkasnya.[] Irianti Aminatun.
 
 

Rabu, 16 November 2022

Ganjar Pranowo Ancam Pecat Guru Suwarno, LBH Pelita Umat: Kami Akan Bela!

Tinta Media - Ancaman pemecatan terhadap guru Suwarno, seorang guru SMA Negeri Sumberlawang, Kabupaten Sragen yang memarahi siswi kelas X, S (15) gegara tak berjilbab, yang dilontarkan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, mendapat pembelaan dari Ketua LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.

"Insya Allah kami bersedia melakukan pembelaan terhadap guru tersebut,” tegasnya kepada Tinta Media, Rabu (14/11/2022).

Chandra menyatakan bahwa LBH Pelita Umat sebagai pembela publik memfokuskan kepada pembelaan terhadap ajaran Islam dan kriminalisasi kepada umat Islam yang berupaya menyampaikan ajaran Islam.

Terkait kasus tersebut, Chandra menyayangkan sikap pejabat yang demikian. Ia menyatakan bahwa pejabat tidak semestinya mengeluarkan pernyataan yang bernada tekanan dan ancaman. Pejabat juga wajib menahan diri untuk mengeluarkan kebijakan dan tindakan kepada guru yang posisinya sebagai pendidik dan pengajar. “Sepatutnya pejabat mengeluarkan pernyataan yang mengayomi dan bersikap negarawan,” tuturnya.

Chandra menganggap wajar ketika seorang guru menasihati anak didik atau anak ajarnya. Menurutnya, selama tindakan guru tersebut bernilai itikad baik untuk mendidik dan mengajar sepatutnya dihargai.   

“UUD 1945 memberikan jaminan, perlindungan untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan agamanya sesuai Pasal 28E ayat (1) Jo Pasal 29 ayat (1) dan (2). Selain itu, berdasarkan prinsip ‘Non-Derogability’ yaitu Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apapun,” pungkasnya.[] Erlina YD

Kamis, 13 Oktober 2022

LBH PELITA UMAT KECAM SIKAP PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP DERITA MUSLIM UYGHUR

Tinta Media - Menanggapi sikap Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI yang menolak usulan penyelenggaraan debat tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) kepada Muslim Uighur di Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ketua LBH PelitaUmat dan President of the IM-LC (International Muslim Lawyers Community) Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. mengecam sikap pemerintah tersebut.

“LBH Pelita Umat mengecam sikap Pemerintah Indonesia yang menyatakan tak ikut campur terhadap masalah dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) etnis Muslim Uighur di Xinjiang, China,” ujarnya kepada Tinta Media, Rabu (12/10/2022).
 
“Kalau Pemerintah Indonesia mengatakan tidak ikut campur yaitu berarti Pemerintah tidak paham terhadap mukadimah Undang-Undang Dasar 1945,” tegasnya menambahkan. 
 
Mestinya menurut Chandra, Pemerintah malu kepada Parlemen Perancis yang telah berani mengeluarkan resolusi pada hari Kamis (20/1/2022). “Yang mengecam genosida oleh pemerintah Cina terhadap penduduk Uyghur, kelompok minoritas Muslim di wilayah Xinjiang,” tuturnya.
 
France's parliament the led motion asking the government to condemn China for "crimes against humanity and genocide" against its Uyghur Muslim minority and to take foreign policy measures to make this stop.
 
Chandra menjelaskan bunyi resolusi tersebut bahwa Majelis Nasional secara resmi mengakui kekerasan yang dilakukan oleh Negara Cina terhadap Uighur sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. “Resolusi ini juga menyerukan kepada Pemerintah Prancis melakukan langkah-langkah yang diperlukan dalam komunitas internasional dan dalam kebijakan luar negerinya untuk menghentikan tindakan Negara Cina,” jelasnya. 
 
Ia mengungkap pernyataan dari aktivis dan pakar hak asasi manusia PBB yang mengatakan setidaknya 1 juta Muslim ditahan di kamp-kamp di wilayah barat terpencil Xinjiang. “Para aktivis menuduh negara Cina menggunakan penyiksaan, kerja paksa, dan sterilisasi,” ungkapnya. 
 
Chandra mendorong OTP (bisa dipadankan sebagai jaksa atau penuntut) dari ICC untuk melanjutkan penyelidikan dan penyidikan. “Dalam konteks Rome Statute of the International Criminal Court (‘Statuta Roma’), proprio motu adalah kewenangan yang diberikan oleh Statuta Roma kepada Office of the Prosecutor (‘OTP’) di International Criminal Court (‘ICC’), untuk memulai investigasi atas kejahatan internasional yang menjadi yurisdiksi ICC, yakni genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Kejahatan kemanusiaan adalah pelanggaran Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma (The Rome Statute of the International Criminal Court),” tegasnya.  
 
“LBH PELITA UMAT melalui jejaring lawyers muslim diberbagai negara berkomitmen membela nasib muslim Uighur, Rohingnya, Palestina, Suriah dll,” tandasnya.[] Raras

Kamis, 15 September 2022

MK Tolak Kasasi Perkara KM 50, LBH Pelita Umat Sampaikan Legal Opini

Tinta Media - Terkait informasi penolakan permohonan Kasasi oleh MA atas putusan Hakim pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memvonis lepas dua polisi penembak laskar FPI, Ketua LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan SH M.H, memberikan pendapat hukumnya.

"Beredar informasi dari kantor berita yang memberitakan, "Majelis Hakim Mahkamah Agung menolak permohonan Kasasi Jaksa terkait putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis lepas dua polisi penembak laskar FPI (Front Pembela Islam) di Tol Cikampek KM 50". Berkaitan dengan hal tersebut diatas, saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut, " tuturnya kepada Tinta Media, Selasa, (13/9/2022).

Pertama, Chandra khawatir putusan Mahkamah Agung tersebut dijadikan legitimasi oleh siapapun tidak terkecuali aparat bersenjata untuk melakukan tindakan pembunuhan dengan alasan "pembelaan darurat yang melampaui batas".

Kedua, bahwa terdapat batasan yang sangat jelas dalam penggunaan dalil “pembelaan darurat yang melampaui batas” atau noodweer exces dapat dilakukan dengan syarat memenuhi unsur yaitu "harus ada serangan dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga". "Sebagai contoh yaitu seorang pembegal tiba-tiba menyerang polisi dengan celurit atau senjata tajam, maka dalam kondisi darurat dapat memungkinkan untuk menembak. Tapi, jika si pembegal telah tertangkap, maka polisi tersebut tidak boleh memukuli, menganiaya, menyiksa dan menembak mati karena pada waktu itu sudah tidak ada serangan mendadak dari pihak pembegal," ujarnya. 

Ketiga, bahwa dalam kasus KM50, kata Chandra, apabila santri pengawal Habib tersebut telah ditangkap dan teriak minta ampun, terlebih lagi misalnya santri pengawal tersebut tidak mengetahui yang mengejar adalah aparat, maka dalam situasi tersebut aparat dilarang melakukan tindakan pembelaan diri yang melampaui batas misalnya sebagai contoh dengan menganiaya dan menembak. 

"Kenapa? Karena unsur atau syarat serangan '...mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga' tidak terpenuhi, sehingga mestinya mengedepankan proses hukum terhadap santri tersebut seharusnya dapat diproses sebagaimana ketentuan pidana yang belaku. Proses hukum tersebut merupakan cerminan dari asas praduga tak bersalah dan memberikan kesempatan bagi pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan secara adil dan berimbang (due process of law)," bebernya. 

Keempat, bahwa ia khawatir vonis tersebut membuat masyarakat tidak percaya (distrust ) terhadap hukum, dan khawatir menimbulkan pembangkangan publik (public disabodiance).

Sebagai penutup, Chandra mengingatkan, bahwa barangsiapa membunuh seseorang, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. "Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia," pungkasnya.[] Arip

Sabtu, 21 Mei 2022

Pendapat Hukum LBH Pelita Umat Terkait Tuduhan Singapura terhadap UAS


Tinta Media - LBH Pelita Umat memberikan pendapat hukum terkait informasi dari kantor berita yang menyatakan bahwa Singapura menuduh Ustaz Abdul Somad (UAS)  berusaha memasuki negaranya dengan berpura-pura untuk kunjungan sosial. “Pemerintah Singapura memandang serius siapa pun yang menganjurkan kekerasan dan/atau mendukung ajaran ekstremis dan segregasi.”

"LBH Pelita Umat  memberikan pendapat hukum sebagai berikut," tutur Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan., S.H.,M.H. dalam Press Conference: Tuduhan Singapura Terhadap UAS, Keji dan Melecehkan Islam, melalui kanal Youtube LBH Pelita Umat, Jumat (20/5/2022).

Pertama, bahwa terdapat dua praduga yaitu pertama, Singapura mengetahui ceramah-ceramah UAS apakah hasil dari pengamatan, memperhatikan atau menyimak secara langsung atau melalui media? Jika iya, maka ini seolah-olah menjadi pesan tersembunyi bahwa negara Singapura mengetahui seluruh kejadian yang ada di alam negara Indonesia atau memberikan pesan kepada Indonesia agar ustaz-alim ulama yang vokal seperti UAS tidak diberikan ruang yang bebas.

"Praduga kedua, Singapura mengetahui apakah mendapat informasi dari oknum pejabat Indonesia? Jika iya, maka tindakan tersebut adalah perbuatan melawan hukum. Selama ini Pemerintah telah membangun narasi pecah belah radikal-radikul, narasi indelingsbelust  yaitu mendefinisikan, pengkotak-kotakan yang semuanya dilakukan oleh dan menurut persepsi pemegang kekuasaan negara," lanjutnya.

Kedua, bahwa tuduhan ekstremis dan segregasi adalah tuduhan yang sangat serius, keji dan tidak dapat dimaafkan. Jika yang menjadi alasan ceramah tentang istilah kafir. Maka tindakan Singapura melampaui batas dan intervensi terhadap dakwah dan juga dapat dinilai melakukan stigmatisasi terhadap Islam terutama istilah kafir. "Istilah kafir adalah ajaran Islam yang terdapat ketentuannya didalam Al-Qur’an dan hadis. UAS hanya melakukan dakwah yang menyampaikan ajaran Islam,” jelasnya.
 
Ketiga, bahwa terkait 'bom bunuh diri' atau 'bom syahid' di Palestina terhadap tentara Israel adalah tindakan yang tidak melanggar hukum karena tindakan tersebut merupakan bentuk perlawanan dan perjuangan melawan penjajah Israel yang telah mengkoptasi (occupation) tanah air Palestina. Masyarakat Palestina bukanlah teroris seperti yang dituduhkan Barat dan penjajah Israel.
 
Pembacaan poin keempat dilanjutkan oleh Sekretaris Jenderal LBH Pelita Umat, Panca Putra Kurniawan.,S.H., M.Si.

"Keempat, bahwa jika Singapura lebih peduli kepada Negara Israel, maka Singapura dapat dinilai mendukung tindakan penjajahan, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang terhadap warga Palestina,” jelas Panca.
 
Kelima, bahwa tuduhan ekstremis dan segregasi adalah tuduhan yang tidak berdasar. Mengingat tidak ada satupun produk peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang menyatakan UAS melakukan segregasi dan ekstremis. Tindakan ini berpotensi melanggar Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (UDHR) (Pasal 19), Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD).

“Keenam, bahwa LBH Pelita Umat  mengecam keras dan mendorong Pemerintah Singapura untuk meminta maaf secara terbuka dan mendesak Pemerintah untuk memperjuangkan hak-hak warga negara nya,” pungkasnya. [] *Irianti Aminatun*
 

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab