Ahmad Khozinudin: Tak Ada Larangan Perilaku L68TI dalam Demokrasi
Tinta Media - Sastrawan politik Ahmad Khozinudin menyatakan tidak ada larangan dalam konsepsi demokrasi terhadap perilaku lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks (L68TI).
“Anda tidak akan menemukan larangan dalam konsepsi demokrasi terhadap perilaku L68TI,” tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (10/5/2022).
Standar demokrasi, menurutnya, adalah sekularisme. Agama tidak boleh mengintervensi apalagi ikut mengatur perilaku manusia. “Sekularisme adalah pandangan yang menjauhkan nilai-nilai agama dari kehidupan,” ujarnya.
Ia pun menerangkan bahwa dalam sekularisme naluri seksual dan kecenderungan manusia dibebaskan.
“Baik disalurkan sesuai aturan agama maupun atas dasar suka sama suka, bahkan jika disalurkan dengan fantasi seksual yang belum pernah dikenal pada peradaban manusia sebelumnya,” terangnya.
Ia menjelaskan di dalam Al-Qur’an dikabarkan perilaku kaum Nabi Luth yang ingkar kepada Allah SWT. Perilaku mereka terkategori gay, yakni laki-laki mendatangi laki-laki. Namun sekarang, manusia berlindung dibalik ide kebebasan telah melampaui kebejatan yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth. “Bukan lelaki mendatangi lelaki tetapi perempuan mendatangi perempuan, berzina lelaki dan perempuan, mengubah kodrat lelaki ke perempuan (atau sebaliknya), bahkan melakukan interseks secara terbuka,” jelasnya.
Ia mengungkapkan bahwa komunitas LGBTI pada tahun 2006 lalu mendapat dukungan dari sebuah badan PBB United Nations Development Programme (UNDP) yang menjalin kemitraan regional dengan Kedutaan Swedia di Bangkok, Thailand dan USAID.
“Dana sebesar US$ 8 juta (sekitar Rp 108 miliar) pun dikucurkan dengan fokus ke empat negara, yakni: Indonesia, China, Filipina, dan Thailand,” ucapnya.
“Dana ini tiap tahun berpotensi naik, seiring naiknya sasaran dan target ekstensifikasi dan intensifikasi kampanye dukungan bagi kaum terlaknat ini,” ungkapnya.
Ia mengatakan bagi PBB dan USAID, dukungannya terhadap program LGBTI adalah salah satu hak (right) yang harus dihormati. “LGBTI adalah bagian dari hak asasi sebagai manifestasi kebebasan berekspresi (berperilaku) yang oleh barat digembor-gemborkan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (Human Right),” katanya.
“Sejumlah NGO barat termasuk badan resmi seperti PBB, USAID hingga UNDP memandang LGBTI sebagai hak yang harus dijamin, dilindungi, dan diberi ruang aktualisasi,” bebernya.
Ia mengkritisi apresiasi yang dilakukan oleh Deddy Corbuzier dalam program podcastnya. “Kaum LGBTI tidak merasa malu bahkan semakin bangga karena diberi ruang aktualisasi hingga diapresiasi oleh Deddy Corbuzier. Benar-benar sebuah musibah yang belum pernah ada pada kaum sebelumnya,” kritiknya.
Tuntas dengan Khilafah
Menurutnya, LGBTI tidak mungkin tuntas jika umat Ialam masih menjadikan sistem politik demokrasi untuk mengatur kehidupan mereka.
“Demokrasi tak akan pernah bisa menerapkan hudud dan ta’jier kepada pelaku LGBTI karena demokrasi memang didesain untuk menumbuhkan LGBTI sebagai bagian dari kebebasan sekularisme,” tuturnya.
Ia mengungkapkan LGBTI hanya selesai saat Khilafah tegak menerapkan hukum Islam. “Saat hukum Islam ditegakkan maka negara memimpin visi pencegahan dan pemberantasan LGBTI dengan menerapkan seluruh hukum Islam,” ungkapnya.
Khilafah akan mendidik setiap warga negara bahwa visi hidup manusia adalah ibadah kepada Allah SWT. “Ibadah diwujudkan dengan ketaatan berupa melaksanakan segala perintah Allah SWT dan meninggalkan segala larangan dari Allah SWT,” ujarnya.
Ia menuturkan, Khilafah akan menjelaskan kepada rakyat melalui program pendidikan, sejumlah hukum hudud dan ta’jier serta segala konsekuensinya.
“Negara akan menghukum pelaku LGBTI secara tegas sesuai petunjuk hukum syariat Islam. Jika setelah dididik dan dicegah masih ada penyimpangan,” tuturnya.
“Demikianlah, semakin urgen bagi umat ini untuk segera menegakkan Khilafah. Khilafah adalah induk solusi dari berbagai problematik kehidupan yang mendera bangsa ini,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
“Anda tidak akan menemukan larangan dalam konsepsi demokrasi terhadap perilaku L68TI,” tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (10/5/2022).
Standar demokrasi, menurutnya, adalah sekularisme. Agama tidak boleh mengintervensi apalagi ikut mengatur perilaku manusia. “Sekularisme adalah pandangan yang menjauhkan nilai-nilai agama dari kehidupan,” ujarnya.
Ia pun menerangkan bahwa dalam sekularisme naluri seksual dan kecenderungan manusia dibebaskan.
“Baik disalurkan sesuai aturan agama maupun atas dasar suka sama suka, bahkan jika disalurkan dengan fantasi seksual yang belum pernah dikenal pada peradaban manusia sebelumnya,” terangnya.
Ia menjelaskan di dalam Al-Qur’an dikabarkan perilaku kaum Nabi Luth yang ingkar kepada Allah SWT. Perilaku mereka terkategori gay, yakni laki-laki mendatangi laki-laki. Namun sekarang, manusia berlindung dibalik ide kebebasan telah melampaui kebejatan yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth. “Bukan lelaki mendatangi lelaki tetapi perempuan mendatangi perempuan, berzina lelaki dan perempuan, mengubah kodrat lelaki ke perempuan (atau sebaliknya), bahkan melakukan interseks secara terbuka,” jelasnya.
Ia mengungkapkan bahwa komunitas LGBTI pada tahun 2006 lalu mendapat dukungan dari sebuah badan PBB United Nations Development Programme (UNDP) yang menjalin kemitraan regional dengan Kedutaan Swedia di Bangkok, Thailand dan USAID.
“Dana sebesar US$ 8 juta (sekitar Rp 108 miliar) pun dikucurkan dengan fokus ke empat negara, yakni: Indonesia, China, Filipina, dan Thailand,” ucapnya.
“Dana ini tiap tahun berpotensi naik, seiring naiknya sasaran dan target ekstensifikasi dan intensifikasi kampanye dukungan bagi kaum terlaknat ini,” ungkapnya.
Ia mengatakan bagi PBB dan USAID, dukungannya terhadap program LGBTI adalah salah satu hak (right) yang harus dihormati. “LGBTI adalah bagian dari hak asasi sebagai manifestasi kebebasan berekspresi (berperilaku) yang oleh barat digembor-gemborkan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (Human Right),” katanya.
“Sejumlah NGO barat termasuk badan resmi seperti PBB, USAID hingga UNDP memandang LGBTI sebagai hak yang harus dijamin, dilindungi, dan diberi ruang aktualisasi,” bebernya.
Ia mengkritisi apresiasi yang dilakukan oleh Deddy Corbuzier dalam program podcastnya. “Kaum LGBTI tidak merasa malu bahkan semakin bangga karena diberi ruang aktualisasi hingga diapresiasi oleh Deddy Corbuzier. Benar-benar sebuah musibah yang belum pernah ada pada kaum sebelumnya,” kritiknya.
Tuntas dengan Khilafah
Menurutnya, LGBTI tidak mungkin tuntas jika umat Ialam masih menjadikan sistem politik demokrasi untuk mengatur kehidupan mereka.
“Demokrasi tak akan pernah bisa menerapkan hudud dan ta’jier kepada pelaku LGBTI karena demokrasi memang didesain untuk menumbuhkan LGBTI sebagai bagian dari kebebasan sekularisme,” tuturnya.
Ia mengungkapkan LGBTI hanya selesai saat Khilafah tegak menerapkan hukum Islam. “Saat hukum Islam ditegakkan maka negara memimpin visi pencegahan dan pemberantasan LGBTI dengan menerapkan seluruh hukum Islam,” ungkapnya.
Khilafah akan mendidik setiap warga negara bahwa visi hidup manusia adalah ibadah kepada Allah SWT. “Ibadah diwujudkan dengan ketaatan berupa melaksanakan segala perintah Allah SWT dan meninggalkan segala larangan dari Allah SWT,” ujarnya.
Ia menuturkan, Khilafah akan menjelaskan kepada rakyat melalui program pendidikan, sejumlah hukum hudud dan ta’jier serta segala konsekuensinya.
“Negara akan menghukum pelaku LGBTI secara tegas sesuai petunjuk hukum syariat Islam. Jika setelah dididik dan dicegah masih ada penyimpangan,” tuturnya.
“Demikianlah, semakin urgen bagi umat ini untuk segera menegakkan Khilafah. Khilafah adalah induk solusi dari berbagai problematik kehidupan yang mendera bangsa ini,” pungkasnya. [] Ageng Kartika