Tinta Media: Kurikulum
Tampilkan postingan dengan label Kurikulum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kurikulum. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Mei 2024

Mewujudkan Generasi Berkualitas dengan Kurikulum Merdeka Belajar, Jauh Panggang dari Api



Tinta Media - Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Pada tahun ini, 2024, pemerintah menetapkan tema “Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar” (nasional.kompas.com, 25/04/2024). Dalam rangka menunjukkan perwujudan kebebasan Merdeka Belajar, Direktorat Jenderal Kebudayaan melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media berkolaborasi dengan Titimangsa dan SMKN 2 Kasihan menggelar konser musikal bertajuk “Memeluk Mimpi-Mimpi: Merdeka Belajar, Merdeka Mencintai” pada Kamis, 25 April 2024 di Jakarta (liputan6.com, 26/04/2024). 

Sayangnya, gegap gempita perayaan Hari Pendidikan Nasional tidak diiringi dengan baiknya kondisi pendidikan yang ada di lapangan. Berbagai masalah di dunia pendidikan terus bermunculan dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, bahkan semakin hari semakin miris dan mengerikan. 

Sebut saja kasus bullying di kalangan pelajar yang hingga saat ini masih terus terjadi (tribunnwes.com, 8/03/2024). 
Dari sisi kualitas akademis, tidak ada prestasi signifikan yang diraih oleh Kurikulum Merdeka Belajar yang tengah diimplementasikan hari ini. 

Menurut Direktur Eksekutif Bajik, Dhita Puti Sarasvati, Kurikulum Merdeka Belajar belum layak menjadi kurikulum nasional karena bagian esensinya belum ada, yakni, kerangka kurikulumnya (detik.com, 26/02/2024).

Alih-alih menjadi solusi bagi dunia pendidikan, dari awal kemunculannya, kurikulum Merdeka Belajar justru semakin mengaburkan arah maupun indikator-indikator keberhasilan pendidikan. 

Praktisi pendidikan di berbagai tingkat mempertanyakan pelaksanaan kurikulum ini. Banyak konsep yang tidak relevan untuk diterapkan di lapang bahkan mempersulit guru dalam menyiapkan perangkat pembelajaran sekaligus menguras habis energi mereka pada hal-hal remeh.  

Belum lagi perubahan materi pelajaran dengan alasan dangkal, bahkan tanpa dasar. Sebut saja konsep materi Khilafah dan Jihad yang awalnya ada di dalam mata pelajaran Fiqih yang kemudian dimasukkan ke dalam mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam tanpa alasan yang jelas. 

Fakta ini menunjukkan betapa buruk dab tidak jelasnya kurikulum ini. Hal ini juga mengesankan bahwa pendidikan kita memang disetir oleh orang-orang tidak berilmu dan penuh kepentingan. 

Fakta yang tak kalah buruk juga terjadi pada pendidikan tinggi. Penerapan Kurikulum Merdeka Belajar di perguruan tinggi mengharuskan mataku kuah berorientasi pada peningkatan kompetensi kerja yang harus dimiliki oleh lulusan mereka tanpa memedulikan kebaikan moral dan mental. 

Mahasiswa terus dimotivasi untuk berkompetisi mendapatkan pekerjaan di perusahaan, berwirausaha untuk mendapatkan keuntungan materi yang banyak, dan seterusnya dan seterusnya. Sebagai akibat, peserta didik hanya berpikir tentang materi, materi, dan materi. Mereka tidak peduli dengan lingkungan sosial, etika, moral, dan hal-hal yang tidak menghasilkan keuntungan berupa materi. 

Lantas, apa yang akan terjadi jika satu-satunya tujuan pendidikan hanyalah sebatas nilai-nilai materi? Berbagai kerusakan dapat dengan gampang kita temukan. Produk pendidikan yang mengukur semua dengan materi juga akan menghargai semua hal dengan materi. 

Maka, terciptalah kehidupan sosial yang memungkinkan bagi seorang guru dengan gaji kecil tidak layak dihormati, meskipun jasa mereka sangat besar dalam mendidik generasi. Sebaliknya, orang-orang kaya akan dijunjung tinggi, dihormati dan dielu-elukan, meskipun mereka mendapatkan harta dengan cara yang tidak benar semacam korupsi, menipu, menguasai harta masyarakat, dan berbagai cara licik lain. 

Selain itu, generasi dengan didikan yang berorientasi materi juga memiliki mental yang sangat lemah dan niretika. Ketika materi tidak berhasil didapatkan dalam hidup, mereka akan sangat mudah merasa tertekan, menganggap diri tak berguna, rendah, dan tidak layak mendapatkan penghargaan dari masyarakat sekitarnya. 

Akibatnya, tindak kriminal terjadi di mana-mana. Para pelaku bullying sering kali adalah mereka yang secara mentalitas tidak terdidik dengan baik. Berbagai kasus perzinaan remaja yang menjual diri mereka untuk mendapatkan materi secara instan, dan berbagai kasus yang hari ini bertebaran di mana-mana. 

Dengan fakta seperti ini, Kurikulum Merdeka jelas menguatkan sekularisme dan kapitalisme dalam kehidupan masyarakat. Generasi semakin terkungkung dengan konsep yang salah tentang tujuan mereka dalam menuntut ilmu, bahkan tujuan hidup mereka. 

Mereka gagal memahami dengan benar hakikat kehidupan. Pertanyaannya, masihkah perlu untuk meneruskan kurikulum yang buruk ini jika tujuan kita mendidik generasi adalah menjadikan kualitas mereka unggul dalam segala aspek? Jawabannya sudah jelas, tentu saja tidak. 

Generasi unggul hanya akan lahir dari kurikulum pendidikan yang valid dan teruji hasilnya. Hingga hari ini, belum pernah ada kurikulum pendidikan mana pun yang mampu menandingi keandalan kurikulum pendidikan yang diterapkan dalam sistem Islam. 

Sistem Pendidikan Islam telah menghasilkan sangat banyak ilmuwan yang tidak hanya unggul dalam sains dan teknologi, tetapi juga saleh dan faqih dalam agama mereka. 

Al Khawarizmi, Ibu Rusyd, Ibnu Sina, Mariam al Asturlabi, Muhammad Al Fatih, Shalahuddin Al Ayubi dan banyak lagi yang lain, siapa yang tidak mengenal nama-nama ini? Mereka adalah generasi unggul hasil sistem pendidikan Islam. 

Sistem pendidikan Islam memastikan terbentuknya generasi berkualitas, beriman, bertakwa, terampil, dan berjiwa pemimpin serta menjadi problem solver bagi umat. 

Kurikulum dalam pendidikan Islam mengarahkan peserta didik memahami hakikat dan tujuan hidup. Jelasnya, bahwasanya tujuan hidup mereka adalah untuk beribadah kepada Allah. Maka, mereka juga akan berbuat yang terbaik untuk mencapai berbagai prestasi demi memuliakan agama Allah dan kaum muslimin. Wallahu a’lam bish-shawab.


Oleh: Fatmawati 
(Aktivis Dakwah)

Selasa, 06 Februari 2024

Mengapa Meneliti dan Menulis ‘Pengembangan Kurikulum dalam Islam’?


Tinta Media - Setiap muslim memiliki kewajiban untuk berdakwah dan memiliki komitmen untuk menyampaikan Islam secara bermakna dan kaafah (komprehensif) melalui berbagai uslub (cara) baik lisan ataupun tulisan. Pada uslub tulisan baik dengan nama sendiri atau nama pena, kita harus mencoba dan membuat berbagai tulisan terkait berita dan opini di berbagai media, walaupun bisa terjadi penolakan. Ini terjadi juga pada penulis. Kemudian, penulis terus berusaha dan sehingga ada beberapa tulisan khusus yang merupakan artikel ilmiah di berbagai prosiding internasional dan salah satunya pernah mendapatkan penghargaan ‘As Best Paper’ untuk artikel ilmiah pada salah satu Internasional Conferences. 

Penulis memiliki target lanjutan yang harus dicapai berupa buku yang lebih komprehensif dalam menjelaskan sebuah ide tertentu. Buku dengan tema yang didalami oleh penulis seperti pendidikan, pengembangan kurikulum, pembelajaran, dan yang terkait ini, tentunya dengan pandangan Islam ideologis. Sebagai lulusan S2 Pengembangan Kurikulum, maka buku tentang ini yang harus pertama kali diselesaikan. 

Namun faktanya, menulis bukan perkara mudah apalagi jika dilakukan dengan penelitian yang serius. Akan tetapi, dengan komitmen, tidak berhenti belajar dan mengingat perkataan Rasulullah Saw: la raihata ba’dal yaum (Tidak ada lagi istirahat setelah hari ini), perkara ini menjadi lebih ringan karena dibandingkan dengan beratnya perjuangan Beliau Saw. Alhamdulillah, pada awal tahun 2024 ini, dengan penelitian bertahun-tahun dan penulisannya, akhirnya buku ini selesai dengan judul: Pengembangan Kurikulum dalam Islam. 

Mengapa meneliti dan menulis Pengembangan Kurikulum dalam Islam ini, berikut alasannya: 

Ketika kekayaan material suatu bangsa hancur, namun jika kekayaan pemikirannya masih ada maka kekayaan material bisa dikembalikan dan dipulihkan kembali. Akan tetapi jika kekayaan pemikiran diabaikan, maka karakteristik, kekuatan, arah hidup dan jati diri mereka itu pun bisa hilang. Seperti hasil penemuan teknologi yang dimiliki akan bisa terulang kembali dalam penemuan selanjutnya, apabila masih memiliki metode berpikirnya atau konsep inovasinya. Sehingga yang harus dijaga pertama kali dari suatu bangsa adalah kekayaan pemikirannya. Dari sini, pendidikan menjadi persoalan penting dalam kehidupan suatu bangsa khususnya umat Islam. 

Pendidikan selalu menjadi tumpuan untuk melestarikan kekayaan pemikiran khususnya ideologi dan budaya (tsaqafah) yang menjadi rahasia kehidupan mereka. Pendidikan merupakan metode (thariqah) untuk menjaga tsaqafah Islam ada di benak umat. Dakwah pun, yang merupakan bagian dari pendidikan atau sebaliknya, menjadi metode (thariqah) dalam menyebarkan Islam ke seluruh dunia. 

Salah satu perubahan yang harus dilakukan dalam aspek pendidikan agar sesuai dengan kebutuhan Islam sekarang adalah kurikulum. Istilah kurikulum ialah istilah umum yang boleh digunakan oleh seorang muslim. Kurikulum merupakan gambaran konsep pendidikan yang diekspresikan dalam perencanaan dan praktik pembelajaran yang akan dilakukan oleh guru. Kurikulum meliputi tujuan, konten, proses, dan refleksi pendidikan. 

Sedangkan makna ‘Pengembangan Kurikulum’ sendiri merupakan kaidah-kaidah yang digunakan dalam membuat kurikulum. Hubungan ‘Kurikulum’ dan ‘Pengembangan Kurikulum’, mudahnya, seperti hubungan fikih dan ushul fikih. Contohnya, pengembangan kurikulum menentukan fondasi dan pilar kurikulum berdasarkan kepada nilai Islam. Pengembangan kurikulum juga yang menentukan aturan dan proses yang diperlukan dalam perancangan dan urutan materi kurikulum agar sesuai dengan tujuan pembelajaran. Karena pentingnya pembahasan ini, sehingga perlu mengetahui rumusan pengembangan kurikulum dalam Islam.

Oleh: Taofik Andi Rachman 
Pengemban Dakwah Ideologis 

Selasa, 12 Desember 2023

Mampukah Kurikulum Baru Mengatasi Stres Guru?


Tinta Media - Keterkejutan Presiden Jokowi terhadap tingkat stres guru disampaikan pada acara peringatan ulang tahun ke-78 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Kelapa Gading, Jakarta, Sabtu (25/11/2023). Presiden mengungkap hasil penelitian lembaga riset internasional, RAND Corporation bahwa stres para guru disebabkan perilaku siswa, perubahan kurikulum, dan perkembangan teknologi. Jika memang karena perilaku siswa, bukankah memang tugas guru mendidik siswa agar berperilaku baik? Mestinya pemerintah membuat kurikulum yang membantu guru agar terwujud siswa berkepribadian Islam dengan memanfaatkan perkembangan teknologi.

Alih-alih membantu, kurikulum yang sering berubah justru menjadi beban guru. Ketika para guru memahami dan menerapkan satu kurikulum, sudah diganti dengan yang baru seiring pergantian menteri pendidikan. Jadi, wajar jika guru stres dengan seringnya perubahan kurikulum.

Untuk mengatasi masalah ini, Mendikbudristek Nadiem membuat kurikulum merdeka yang dianggapnya lebih sederhana dibanding kurikulum sebelumnya. Namun, apakah penyederhanaan semacam ini yang dibutuhkan? Faktanya, banyak guru mengeluh beratnya pembelajaran yang berpusat pada siswa, namun tidak didukung oleh sistem yang baik. Ini membuktikan ketidakmampuan negara menyelesaikan masalah guru.

Perubahan Kurikulum

Menurut Jokowi, kurikulum pendidikan harus berubah seiring perkembangan teknologi, agar guru bisa terus beradaptasi. Harusnya bukan sekadar perubahan kurikulum, tapi peran negara dalam memfasilitasi guru, memanfaatkan perkembangan teknologi dengan pelatihan yang maksimal. Untuk itu, dibutuhkan kurikulum dengan tujuan yang jelas.

Tidak cukup tujuan kurikulum, tapi juga metode pembelajaran yang tegas guna mewujudkan siswa berkepribadian Islam. Butuh dorongan konsistensi pendidik untuk membekali siswa dengan ilmu tsaqafah Islam dan pengetahuan umum maupun keahlian, hingga menghasilkan kecakapan hidup. Jadi, sesering apa pun perubahan kurikulum yang salah, maka tidak akan ada hasilnya.

Penyebab Stres

Jika ditelisik, stres para guru tidak hanya pada sering berubahnya kurikulum, tapi juga berbagai tuntutan. Guru dituntut kreatif dalam mendidik siswa. Di sisi lain, siswa disuguhi berbagai pemikiran sekuler kapitalis yang liberal. Ini berakibat maraknya kasus bullying, kriminalitas siswa, pergaulan bebas, hingga narkoba. Belum lagi wali murid yang menuntut guru yang berusaha mendidik dan mengarahkan siswanya ternyata justru dianggap melanggar HAM. Kondisi ini membuat posisi guru serba sulit hingga stres. Beratnya upaya guru di sekolah dalam mendidik siswa, justru dipudarkan keluarga dan masyarakat. Tenaga dan pikiran guru terkuras untuk memenuhi kebutuhan para kapitalis yang menjadikan pendidikan sebagai penghasil cuan. Maka, guru tidak butuh kurikulum baru yang biasa.

Kurikulum Pendidikan Sahih

Berbagai kurikulum pendidikan dijalankan di Indonesia, namun belum memberi hasil nyata. Guru dan siswa butuh kurikulum sahih yang mampu menjawab berbagai persoalan dengan masifnya perkembangan teknologi. Guru dan siswa akan mampu mengendalikan teknologi untuk kemaslahatan umat, bukan sebagai budaknya.

Inilah urgensi diterapkannya kurikulum pendidikan yang sahih. Kurikulum yang memiliki tujuan, metode pembelajaran, hingga peran negara sahih yang mampu menyelenggarakan pendidikan dengan baik, menjadikan teknologi untuk meringankan guru. Sejatinya Allah berfirman dalam QS. An-Nahl: 125. Dalam ayat tersebut, Allah minta manusia menuju jalan yang benar dengan cara yang baik sesuai tuntunan Islam. Meraih pendidikan dengan benar, bijak, dan pengajaran yang baik untuk mendapat ilmu. Allah lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan siapa yang mendapat petunjuk.

Kurikulum ini hanya kompatibel dengan sistem pemerintahan Islam yang akan mendorong guru berbuat yang terbaik, tanpa keluhan apalagi stres. Guru paham yang dikerjakan adalah tugas mulia membawa kebaikan akhirat. Allahu a’lam bish showab.

 Oleh: R. Raraswati
Aktivis Muslimah Peduli Generasi

Kamis, 01 Desember 2022

Rusaknya Moral Generasi Vs Implementasi Kurikulum Merdeka


Tinta Media - Generasi muda adalah pelopor penting bagi peradaban bangsa. Kehadiran mereka sangat dibutuhkan karena merekalah yang melanjutkan estafet perjuangan. Sayangnya, saat ini generasi muda semakin jauh dari harapan. Kerusakan moral mereka semakin menjadi-jadi. 

Seperti yang baru-baru ini terjadi, viral sebuah video anak SD korban bullying teman sekelas di Ogan Komering Ulu (OKU), Sumsel. Seorang siswa yang bersekolah di SD Negeri 159 OKU menjadi korban perundungan fisik dan psikis sembilan temannya saat wali kelas sedang keluar kelas. 

Korban dianiaya dengan ditendang, dipukul, dan diinjak-injak. Ironisnya, perbuatan ini direkam teman yang lainnya dan diviralkan di medsos. Hingga kini korban masih mengalami trauma dan enggan diajak bicara (TribunSumsel.com, 19/11/2022).

Sementara di tempat lain, kerusakan moral generasi terjadi pada dua pelajar SMP berinisial LX (14) dan MY (15) yang berkelahi karena hal sepele. Keduanya berkelahi di Jalan Baru, Kelurahan Bangun Jaya, Kecamatan BTS Ulu, Kabupaten Musi Rawas, pada Rabu (9/11/22). MY meninggal dunia lantaran LX sempat memukul kepala korban dengan tangan sebanyak dua kali. Perkelahian terjadi karena korban emosi akibat semangkuk makanan miliknya secara diam-diam diberi sambal oleh terduga pelaku (iNewsSumsel.id, 9/11/22).

Koreksi Kurikulum Merdeka

Melihat banyaknya kasus kerusakan moralitas pelajar hari ini, perlu dipertanyakan bagaimana kualitas sistem pendidikan kita dalam mencetak generasi terbaik. Kerusakan generasi memang merupakan permasalahan sistemik yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Namun, salah satunya adalah koreksi sistem pendidikan di negeri ini.

Di Indonesia, penerapan kurikulum pendidikan sering berubah-ubah. Terbaru adalah kurikulum merdeka belajar. Menurut Mendikbudristek, kurikulum merdeka dinilai memiliki beberapa keunggulan, yakni lebih sederhana dan mendalam, lebih merdeka, relevan, serta interaktif. 

Kurikulum merdeka memberikan kebebasan bagi guru untuk menggunakan berbagai perangkat ajar sesuai kebutuhan dan karakteristik peserta didik. Metode pembelajarannya mengacu pada bakat dan minat.

Sungguh amat jauh dari kebutuhan pembangunan karakter generasi. Kurikulum Merdeka dibangun bukan berdasarkan asas akidah Islam. Kurikulum ini sarat akan aroma kapitalistik yang mengedepankan manfaat materi, sehingga output pendidikan yang dihasilkan adalah generasi materi (uang). Terlebih, kebebasan yang memberikan fleksibilitas bagi guru dalam menentukan metode pembelajaran sendiri juga berpeluang memunculkan masalah. Guru harus mampu mengikuti perkembangan belajar siswanya.

Inilah tantangan pendidikan saat ini. Di dalam kehidupan sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, sangat sulit mewujudkan karakter generasi berkepribadian Islam.

Sekularisme mengaburkan tujuan sistem pendidikan, menjauhkan generasi dari predikat penggerak perubahan. Muatan pelajaran agama sangat minim, bahkan yang berislam secara keseluruhan dicurigai radikal atau intoleran.

Kualitas SDM yang dihasilkan dari pendidikan saat ini adalah mereka siap kerja dan bersaing di dunia industri, mencetak manusia pekerja bukan pengubah. Mereka dicetak sebagai orang-orang yang dibutuhkan perusahaan besar saja. Lalu, bagaimana mungkin bisa menciptakan generasi bermoral jika penyusunan kurikulumnya bercorak kapitalis sekuler?

Paradigma Pendidikan Islam

Islam memandang bahwa pendidikan merupakan aset penting bagi pembangunan karakter bangsa. Sistem pendidikan Islam telah mencontohkan dengan sangat gamblang cara menjadikan manusia berakhlak mulia. Penyusunan kurikulum tidak boleh dibiarkan bebas oleh para guru. Kurikulum pendidikan wajib dibangun berdasarkan akidah Islam.

Sebelum murid, guru harus lebih dulu memiliki kepribadian Islam dan akhlak yang baik. Guru adalah panutan murid-muridnya. Maka, guru seharusnya dapat membimbing, bukan sekadar menyampaikan ilmu. Setiap individu dibekali dengan akidah (iman) dan Islam, sehingga mereka mempunyai standar dan filter dalam melakukan perbuatan. Setiap perbuatan akan sejalan dengan hukum halal dan haram.

Tujuan sistem pendidikan Islam selain mencetak generasi yang unggul dalam ilmu terapan (pengetahuan dan teknologi) adalah mencetak generasi berkepribadian Islam. 

Lihatlah, penerapan sistem pendidikan Islam telah mampu mencetak generasi terbaik, seperti menjadi penemu matematika, yaitu Ibnu Al Khawarizmi; Imam Mazhab, yakni Imam Syafi'i; Imam Hanafi; Imam Maliki! Imam Hambali, dan lain-lain. 

Output pendidikan jelas bukan sekadar meraih materi. Ini karena kehadiran generasi sangat dibutuhkan untuk peradaban. Oleh sebab itu, sudah saatnya mengatasi masalah moral generasi dengan menerapkan kurikulum pendidikan Islam. Dengan penerapan sistem pendidikan Islam secara sempurna, manusia akan terbebas dari kerusakan. 

Wallahua'lam bisshawab.

Oleh: Ismawati
Sahabat Tinta Media

Kamis, 20 Oktober 2022

Kurikulum Toleransi dan Antiradikalisme Solusi Masalah Pendidikan?

Tinta Media - Guna memonitoring perkembangan pendidikan sekolah di era digital di Jawa Barat, saat ini Gubernur Ridwan Kamil akan memastikan setiap sekolah SMA, SMK, dan SLB menerapkan kurikulum toleransi dan antiradikalisme. Menurutnya, kurikulum ini mempersiapkan ketahanan ideologi dengan menanamkan nilai-nilai wawasan kebangsaan.  Harapannya akan menjadikan generasi muda jauh dari pertengkaran, tercipta kedamaian, serta memiliki sikap toleran.

Bahkan, pria yang akrab disapa Kang Emil ini menggelar acara bertema "Moderasi Beragama dan Berbangsa yang Menyenangkan" di daerah Arcamanik, Bandung tanggal 4 Agustus 2022 lalu. Acara tersebut merupakan pembekalan kepada ribuan siswa yang merupakan perwakilan dari tiap SMA, SMK, dan SLB se-Bandung Raya.

Pada acara yang dikemas dengan mengombinasikan tausiah dan humor milenial ala Gus Miftah ini diharapkan akan menjadi perpanjangan tangan agar para siswa yang ikut serta bisa meneruskan materi kebangsaan tersebut kepada lingkungan terdekatnya. Hal inilah yang akan menjadi investasi untuk menumbuhkan rasa nasionalisme, patriotisme, dan cinta tanah air, sehingga akan menciptakan kedamaian dan menghargai perbedaan seperti apa yang dicita-citakan.

Lalu, benarkah kurikulum toleransi dan antiradikalisme merupakan solusi dari berbagai masalah yang dialami pelajar saat ini? Benarkah pengaplikasiannya dapat menghindarkan generasi muda dari kerusakan moral, karena yang kita tahu masalah generasi muda kita tak hanya berkutat pada perbedaan yang dapat menimbulkan pertengkaran ataupun perilaku radikal?

Radikalisme dan intoleran selalu dianggap masalah terbesar di negeri ini. Padahal, persoalan besar bangsa yang nyata terasa adalah dampak kenaikan BBM hingga kelangkaannya, pengangguran yang terus meningkat, korupsi yang dilakukan para pemimpin dan pejabat publik semakin menggurita, adanya tebang pilih hukum antara yang kaya dan miskin, kejahatan meningkat setiap harinya disertai kerusakan moral manusia, dll. Terlebih, para pemimpin negeri ini abai dan zalim kepada rakyatnya sendiri.

Masalah perbedaan tidak pernah menimbulkan kerugian apa pun pada negeri ini, karena setiap rakyat memahami bahwa hidup di negeri yang majemuk adalah hal lumrah. Apalagi sebagai negeri dengan mayoritas muslim, masyarakat menganggap perbedaan merupakan anugerah dari Sang Pencipta, Allah Swt. Jadi, mengapa intoleran dan radikalisme selalu menjadi kambing hitam atas permasalahan negeri?

Menganggap problem pemuda karena terpapar paham radikalisme adalah tuduhan tanpa dasar. Masalah pemuda bukan hanya aksi kekerasan, perundungan, ataupun tawuran yang disebabkan sikap intoleran. Bukankah pergaulan dan seks bebas, penyimpangan seksual, miras, dan narkoba merupakan masalah serius yang juga dibutuhkan penanggulannya? Jelas hal itu tidak berhubungan dengan toleransi maupun radikalisme.

Seperti kita tahu, radikalisme dan intoleran selalu disematkan kepada umat Islam yang ingin menerapkan ajarannya secara kaffah. Berbagai cara dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk menjauhkan kaum muslimin dari menerapkan Syariat Islam. Bahkan, kafir Barat melalui para agennya di negeri ini, dengan massif melakukan berbagai upaya agar umat Islam menyimpang dari ajaran Islam yang lurus. Generasi muda yang merupakan tonggak peradaban menjadi sasaran untuk terus melanggengkan tujuan mereka. 

Moderasi agama semakin digaungkan, bahkan diselipkan melalui kurikulum pendidikan. Tentu saja atas dukungan para pemimpin negeri yang menjadi boneka mereka.

Padahal, dengan menjauhkan agama Islam melalui penerapan kurikulum, serta mengajarkan moderasi agama, menunjukkan bahwa negeri kita semakin sekuler. 

Bukankah tujuan pendidikan nasional dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, dan berilmu? Ini artinya, tujuan pendidikan adalah untuk mengubah perilaku manusia. Maka, dengan menanamkan nilai sekuler pada kurikulum, akan melahirkan sosok generasi liberal yang tidak ingin terikat dengan aturan Allah.

Sekulerismelah yang menjadikan generasi muda saat ini rusak dan tak tahu tujuan hidup. Akhirnya, mereka akan mencari jati diri tanpa arahan yang jelas, melakukan berbagai penyimpangan pun tak menjadi masalah, asalkan mereka mendapatkan kepuasan. Inilah sebenarnya biang kerusakan generasi penerus kita, yakni penerapan sistem sekuler liberalisme dengan mengusung demokrasi.

Sehingga, setiap individu manusia bebas bertingkah laku, tanpa mempedulikan halal ataupun haram. Sistem ini lahir dari kesepakatan manusia, pemilik kepentingan. Padahal, manusia hakikatnya memiliki berbagai kelemahan.

Ini bertolak belakang dengan sistem Islam yang lahir dari Allah, pemilik alam semesta. Sistem Islam memiliki segala aturan untuk menyelesaikan segala urusan manusia dengan tuntas.

Salah satunya, Islam mengharuskan umat melahirkan generasi yang berakhlak bersih dan memiliki keimanan yang kuat dengan selalu taat dan patuh kepada perintah Allah. Penerapan kurikulum yang sesuai dengan akidah Islam, akan menjadikan generasi muda selalu terikat dengan hukum syara' serta memiliki adab dan perilaku sopan. Generasi muda akan memiliki cara berpikir intelek dengan keilmuan yang mempuni. Mereka akan mampu melawan hawa nafsu dan tidak akan pernah menyia-nyiakan waktu untuk hal yang tidak bermanfaat, apalagi melakukan tindakan zalim yang merugikan diri atau orang lain. 

Jika ingin mengubah output pendidikan dan generasi, maka bukan hanya dengan menerapkan atau mengubah kurikulumnya saja. Namun, harus dengan mengubah sistem hidup, yaitu dengan ideologi Islam yang shahih. 

Wallahu'alam bishawab.

Oleh: Thaqqiyuna Dewi S.I.Kom
Sahabat Tinta Media 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab