Tinta Media: Kunjungan
Tampilkan postingan dengan label Kunjungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kunjungan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 25 September 2024

Sinkretisme dalam Kunjungan Apostolik Paus Fransiskus



Tinta Media - Glorifikasi atas kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia menyisakan misteri. Kalau umat Katolik bersemangat menyambut Paus tentu tidak masalah. Namun, bagaimana mungkin umat Islam turut menyambut pemimpin Katolik sedunia dengan penuh euforia? 

Iringan rebana tampak semarak menyambut rombongan Paus memasuki terowongan silaturahmi yang menghubungkan Gereja Katedral dengan Masjid Istiqlal. Acara yang dihadiri oleh tokoh lintas agama tersebut diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an dan injil Lukas. 

Ada satu momen yang mengejutkan, yaitu ketika Nasaruddin Umar mengecup kening Paus. Sebagian publik merasa terharu dengan aksi tersebut dan menganggap sebagai simbol persahabatan. Namun, haruskah umat Islam memberi penghormatan begitu tinggi kepada Paus, mengingat status Imam Besar Masjid Istiqlal yang melekat pada Nasaruddin merupakan representasi umat Islam? Kira-kira, apa yang sudah dilakukan Paus kepada umat Islam hingga harus memuliakannya sedemikian rupa?

Kunjungan Apostolik

Kunjungan Paus Fransiskus di Indonesai merupakan rangkaian perjalanan apostolik. Paus mengunjungi Indonesia kemudian Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura selama 12 hari. Perlu dipahami bahwa kunjungan apostolik merupakan kunjungan resmi Paus sebagai pemimpin spiritual umat Katolik ke berbagai komunitas gereja Katolik yang tersebar di seluruh dunia. Biasanya, kunjungan tersebut dijadwalkan dengan serangkaian agenda memimpin misa, bertemu para pemimpin gereja, serta melakukan dialog lintas agama. 

Di samping sebagai Kepala Entitas Berdaulat Internasional (Tahta Suci), paus juga merupakan Kepala Negara Vatikan. Mengutip laman detik.com, Vatikan merupakan negara terkecil di dunia dengan luas 0,44 kilometer persegi. Hanya butuh waktu 1 jam untuk berjalan kaki mengelilingi kota ini. Penduduk Vatikan sebanyak 825 jiwa dan seluruhnya beragama Katolik. Keamanan Paus akan dijaga oleh 153 tentara Vatikan.

Negara Vatikan terletak di tengah Kota Roma, Italia dan dikelilingi tembok. Penduduknya mengonsumsi wine dua kali lipat dibanding Italia dan Prancis. Angka kriminalitas di Vatikan pun cukup tinggi. Akan tetapi, tidak ada penjara di sana. Jika terjadi suatu kejahatan, tersangka akan ditahan dalam tahanan sementara. Jika terbukti bersalah, terdakwa akan dibawa ke penjara Italia dengan biaya ditanggung oleh Vatikan (5/9/2024). 

Sinkretisme Tampak Nyata

Sebagai Kepala Negara Vatikan, kedatangan Paus Fransiskus merupakan kunjungan kenegaraan hingga diatur oleh protokol diplomatik. Seharusnya, cukup dilakukan upacara penyambutan di Istana Kepresidenan. Nyatanya, penyambutan juga dilakukan di Masjid Istiqlal yang tak kalah meriah dibanding upacara penyambutan di Istana Merdeka. 

Seperti halnya kepala negara lain, kunjungan kenegaraan Paus Fransiskus tentu memiliki misi politik. Sejak kedatangannya, Paus mendapat begitu banyak pujian karena diyakini membawa misi moral, kemanusiaan, perdamaian, serta toleransi. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang seorang muslim, ketiga misi tersebut bisa dipatahkan. 

Pertama, misi moral. Pengamat hukum dan politik Pieter C. Zulkifli menilai bahwa kunjungan paus ke tanah air membawa pesan moral dan memberi contoh positif tentang hidup sederhana. Menurutnya, Paus bisa saja memilih menggunakan pesawat jet pribadi, kamar suite termewah, hingga limusin antipeluru. Akan tetapi, paus memilih melakukan perjalanan dengan pesawat komersial, menginap di Kedutaan Vatikan, serta menggunakan mobil Kijang Zenith tanpa kaca anti peluru (okezone.com, 4/9/2024). 

Kesederhanaan yang ditunjukkan Paus Fransiskus kontras dengan gaya hidup hedon kalangan pejabat negara Indonesia. Hal ini yang membuat sebagian masyarakat tersentuh. Mungkin masyarakat lupa bahwa melalui deklarasi Fiducia Supplicans yang diterbitkan melalui Watican News pada Senin, 18/12/2023, Paus Fransiskus menyetujui agar dilakukan pemberkatan terhadap pasangan sesama jenis. Secara faktual, keberadaan pasangan sesama jenis semakin meresahkan dan menunjukkan kebobrokan moral yang nyata. 

Kedua, misi kemanusiaan dan perdamaian. Jika benar membawa misi kemanusiaan dan perdamaian, Paus Fransiskus akan berupaya sungguh-sungguh menghentikan peperangan di seluruh dunia, termasuk peperangan di Palestina yang berlangsung hampir satu tahun. 

Mungkin Paus pernah mengecam kejahatan kaum Zionis dan memberi bantuan kemanusiaan ke Gaza seperti yang dilakukan kepala negara lain. Namun, apalah arti perdamaian jika membiarkan penjahat perang yaitu para Zionis tetap eksis? Isu perdamaian dunia hanya akan menjadi omong kosong. 

Secara faktual, perdamaian dunia tak cukup dengan kata-kata. Untuk masalah Palestina, mereka lebih butuh bantuan militer agar terbebas dari penjajahan kaum Zionis. Paus Fransiskus tidak akan mampu melakukan itu, mengingat Vatikan merupakan negara kecil yang berdiri di bawah kendali negara kapitalis Barat. Seperti diketahui, mayoritas negara Barat mendukung eksistensi Zionis Yahudi di tanah Palestina. Kalaupun membahas perdamaian, solusi yang ditawarkan Barat adalah berdirinya dua negara, yaitu Palestina-Yahudi yang saling berdampingan. 

Ketiga, misi toleransi. Masyarakat Indonesia yang majemuk dianggap paling relevan dengan misi Paus Fransiskus, yaitu toleransi. Sayangnya, isu toleransi di Indonesia kerap memaksa muslim untuk mengalah. Demi tayangan live Misa Agung Paus Fransiskus di Stadion Gelora Bung Karno, Azan Magrib di televisi diganti dengan running teks. Kalau benar mengutamakan toleransi, kenapa tak membiarkan azan yang hanya lima menit tetap berlangsung?

Toleransi pun menjadi ambigu saat natal tiba. Karyawan muslim kerap diminta memakai atribut natal seperti topi santa, tanduk rusa, dan atribut lainnya. Padahal, muslim dilarang menyerupai umat agama lain. Ucapan selamat natal yang seharusnya dilarang pun kini sudah membudaya. Sampai-sampai, muslim yang tak mengucapkan selamat natal ataupun tak memakai atribut natal dianggap intoleran. Muslim diminta mengabaikan syariatnya sendiri demi toleransi kepada umat agama lain.

Di tengah kencangnya gaung toleransi, muslim Indonesia justru kerap menjadi korban diskriminasi. Seperti polemik lepas hijab 18 Paskibraka putri saat pengukuhan di Istana Negara Ibu Kota Nusantara (IKN). Dengan dalih keseragaman, aturan kebolehan memakai ciput bagi Paskibraka putri dihilangkan. Padahal, hanya sebuah ciput. Bagaimana jika Paskibraka putri memakai hijab syari berupa gamis dan kerudung yang menutupi dada? 

Masih terkait pakaian muslimah, heboh berita dokter dan perawat di RS Medistra dilarang memakai jilbab (kerudung). Miris bukan? Indonesia dengan penduduk mayoritas muslim, justru kerap diminta mengalah, mengabaikan dan meninggalkan syariat Islam demi toleransi terhadap pemeluk agama lain. Lalu, bagaimana dengan muslim minoritas di Barat? Sejak kejadian 9/11, Islamofobia dan diskriminasi terhadap muslim terus meningkat. Seharunya, isu toleransi lebih dikencangkan gaungnya di Barat. 

Tak sedikit kasus intoleransi yang korbannya adalah muslim. Akan tetapi, justru muslimlah yang selama ini dianggap kurang toleran. Seperti isu moderasi beragama yang kerap menuntut muslim mereduksi ajaran Islam. Dalam perkembangannya, isu toleransi lebih parah lagi. Dulu, toleransi dimaknai dengan saling menghormati, menghargai, membiarkan, dan tidak mengganggu umat agama lain. Kini, toleransi cenderung bermakna mencampuradukkan ajaran Islam dengan ajaran agama lain yang mengarah pada sinkretisme.  

Sinkretisme merupakan paham yang memadukan sejumlah ajaran yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan, atau pun titik temu. Sinkretisme mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, yaitu sama-sama mengajarkan kebaikan dan sama-sama menuju Tuhan yang satu. Jadi, tidak boleh menganggap satu ajaran paling benar dibanding ajaran agama lain. 

Istilah sinkretisme memang masih terdengar asing. Akan tetapi, praktik dalam kehidupan umat beragama sudah sering terjadi beberapa tahun terakhir.

Pada tahun 2017, viral 150 siswa dan 10 guru SD Muhammadiyah Kota Probolinggo mengunjungi Gereja Katolik Maria Bunda Karmel untuk belajar toleransi. Kolaborasi grup rebana dan paduan suara pada acara ibadah umat Kristen, terutama pada hari natal sebenarnya juga sering terjadi. Pada momen kunjungan Paus Fransiskus di Masjid Istiqlal, sinkretisme tempat ibadah dan sinkretisme beragama ditunjukkan secara terang-terangan.

Masjid merupakan tempat ibadah umat Islam. Namun, umat Katolik turut memanfaatkan masjid untuk mendakwahkan ajaran mereka melalui pembacaan injil Lukas 10 ayat 25-37 oleh Pastor Mikail Endro Susanto. Pembacaan injil begitu detail menggunakan bahasa Indonesia sementara ayat Al-Qur’an dibacakan tanpa tafsir dan belum tentu dipahami oleh tamu undangan. Akhirnya, dialog pemuka lintas agama tersebut tidak tampak mencari kebenaran melainkan mencari kesamaan sejumlah agama. 

Roma Menanti Kita

Di tengah hubungan antar ormas Islam yang penuh kecurigaan, tokoh muslim lintas agama merangkul pemeluk agama lain dengan penuh kehangantan. Penandatanganan Deklarasi Istiqlal oleh Paus Fransiskus dan tokoh lintas agama seolah-olah ingin menunjukkan pentingnya kerukunan umat beragama. Namun sayang, yang tampak justru menyejajarkan Islam dengan agama lainnya. 

Seharusnya, muslim paham akan misi di balik kunjungan Paus Fransiskus. Makna apostolik adalah utusan, rasul, atau yang diutus Yesus Kristus. Perjalanan apostolik bisa diartikan sebagai perjalanan dakwah ala umat Katolik. Patut dipertanyakan, kenapa Indonesia dengan 2,9 persen Katolik dipilih menjadi tempat berkunjung? 

Umat terhipnotis dengan sosok Paus, sampai-sampai tak menyadari ada misi berbahaya dalam kunjungan tersebut. Dipilihnya Indonesia sebagai negara pertama dalam lawatan Paus bisa dikatakan untuk mengokohkan bahwa Indonesia merupakan negara sekuler. Negara yang berasaskan sekularisme menjadi lahan subur sinkretisme. Terbukti, organisasi pemuda lintas agama tanggap cepat dan tengah mempersiapkan tur perdamaian lintas agama se-Asia Pasifik usai bertemu Paus. 

Mungkin muslim yang meyakini bahwa sinkretisme masih mempertahankan agamanya sampai saat ini. Namun, siapa yang menjamin beberapa tahun ke depan mereka tetap dalam keislamannya? Sinkretisme akan melunturkan keyakinan umat Islam akan ajaran agamanya sendiri. Saat ini saja, mereka tidak lagi yakin akan ayat:

Ø¥ِÙ†َّ الدِّينَ عِÙ†ْدَ اللَّÙ‡ِ الْØ¥ِسْÙ„َامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19)

Bagaimana seorang muslim bisa sempurna menjalankan syariatnya sementara ia sendiri tak yakin akan keberanan agamanya? Padahal, dengan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang paling benar, seorang muslim akan lebih teguh menjalankan syariat Islam. Dari keyakinan ini pula akan terhubung dengan ayat lainnya tentang kewajiban dakwah. Hanya melalui jalan dakwah, Islam bisa menyebar ke seluruh dunia. 

Pemimpin Negara Vatikan di Roma, Italia sudah tiga kali mengunjungi Indonesia yang merupakan negara mayoritas muslim. Sebelumnya, Paus Paulus VI berkunjung ke Indonesia tahun 1970. Paus Yohanes Paulus II turut mengunjungi Indonesia tahun 1989. Saat ini, saudara kita di Italia sementara diuji. Muslim di Molvacone, Italia dilarang melakukan Salat Jumat oleh wali kota setempat. Mungkin, sudah saatnya muslim membalas kunjungan tersebut dengan menebarkan Islam kaffah di Roma. 

Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata,

“Bahwa ketika kami duduk di sekeliling Rasulullah saw. untuk menulis, tiba-tiba beliau saw. ditanya tentang kota manakah yang akan difutuhat (dibebaskan) terlebih dahulu, Konstantinopel atau Rumiyah”. Rasulullah saw. menjawab, “Kota Heraklius terlebih dahulu (maksudnya Konstantinopel).” (HR Ahmad)

Hadis di atas mengabarkan bahwa ada dua kota, yaitu Konstantinopel dan Rûmiyah yang akan ditaklukkan. Kota Rûmiyah seperti yang dijelaskan dalam Mu’jam Al-Buldân adalah Kota Roma, sekarang adalah ibu kota Italia. Kota Konstantinopel sudah ditaklukkan oleh Muhammad Al Fatih pada tahun 1453. Kota kedua, yaitu Kota Roma menanti kita untuk ditaklukkan. Wallahu’alam bish shawab.





Oleh: Ikhtiyatoh, S.Sos
(Penulis, Pemerhati Sosial dan Politik) 

Kamis, 12 September 2024

Rezim Sekuler Menyambut Serius Kunjungan Paus Fransiskus



Tinta Media - Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Paus Fransiskus melakukan kunjungan ke Indonesia pada tanggal 3-6 September 2024. Selama di Indonesia, Paus Fransiskus terjadwal menghadiri beberapa agenda, di antaranya melakukan pertemuan dengan Presiden Indonesia Joko Widodo, berkunjung ke Gereja Katedral, Masjid Istiqlal, hingga melakukan Misa Akbar di Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Dalam menyambut kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia ini, sebanyak 33 tokoh muslim Indonesia meluncurkan buku berjudul “Salve, Peregrinans Spei”, yang memiliki arti “Salam Bagimu Sang Peziarah Harapan”. Bukan hanya sekadar sambutan semata, tetapi buku ini  juga menggambarkan semangat keberagaman dan pluralisme yang hidup di Indonesia. Selain itu, buku ini juga diharapkan dapat menjadi simbol komitmen Indonesia terhadap toleransi dan keadilan sosial.

Dalam pertemuannya dengan Presiden RI, Paus Fransiskus memberikan sebuah pidato sambutan yang berisi beberapa hal. Di antara poin dari sambutan tersebut yaitu, memuji semboyan negara Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”, membicarakan sumber daya alam Indonesia, mengajak untuk memperjuangkan kerukunan, keadilan sosial, serta menyerukan perdamaian.

Apabila kita kaji lebih dalam, tentu kunjungan pemimpin tertinggi Katolik ini ke Indonesia memiliki maksud dan target yang besar. Begitu juga dengan pemilihan negara yang dikunjungi, bukanlah tanpa pertimbangan matang.  Kunjungan Paus kali ini sebetulnya dengan membawa misi, yakni tekanan global soal toleransi ala moderasi, juga misi liberalism & pluralism. Hal tersebut dapat diketahui dari berbagai statement yang dipaparkan oleh Paus tersebut.

Ironinya, kedatangan Paus ini direspon positif oleh para pemimpin dan masyarakat muslim. Dari awal kedatangan di Masjid Istiqlal, Paus telah disambut dengan pembacaan ayat Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 62 yang dianggap berisi ajaran toleransi, dilanjut dengan mencium kening Paus Fransiskus yang dilakukan oleh Imam Besar Masjid Istiqlal. Paus Fransiskus bahkan dipuja-puji demikian luar biasa seolah-olah orang suci. Paus juga diposisikan sebagai orang yang harus diteladan gaya hidupnya.

Apalagi, acara Misa Akbar disiarkan secara langsung di seluruh stasiun televisi nasional di negara mayoritas muslim. Parahnya, acara tersebut menabrak waktu Maghrib sehingga harus menggeser tayangan azan menjadi hanya sekadar pemberitahuan lewat running text saja. Ternyata hal seperti ini pun dianggap wajar oleh masyarakat, tokoh-tokoh, juga mahasiswa muslim.

Sebagai umat Islam, seyogyanya kita dapat lebih kritis dan waspada. Sebagaimana umat Islam berdakwah, orang kafir pun demikian. Di antara modus dakwah kafir yaitu bisa melalui ekonomi, pendidikan, politik, budaya, dan kota mandiri.

Penyambutan terhadap Paus Fransiskus oleh negara yang begitu semarak merupakan sikap toleransi yang kelewat batas dan tidak dibenarkan dalam Islam. Islam memiliki konsep toleransi yang khas berdasarkan akidah Islam. Konsep toleransi inilah yang harus kita gunakan. Allah Swt. melarang untuk mencampuradukkan perkara aqidah dan ibadah. 

Sikap toleransi dalam Islam adalah sebatas menghormati, menghargai, dan membiarkan umat agama lain meyakini dan beribadah menurut agamanya. Membiarkan nonmuslim beribadah dengan tenang dan damai merupakan bentuk toleransi tertinggi, bukan dengan bekerja sama (kolaborasi), menghadiri (berpartisipasi), atau bahkan penyatuan (unifikasi) dengan keyakinan dan ibadah mereka. 

Dialog antaragama merupakan suatu hal yang dilarang dalam Islam. Sebab, di dalamnya meyakini bahwa semua agama sama. Padahal, Allah Swt. berfirman,

“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam.” (QS Ali Imran [3]: 19)

Oleh karena itu, umat harus sadar bahwa saat ini kondisinya masih terjajah oleh orang-orang kafir. Jangan sampai terjebak oleh narasi yang dibangun Barat, seperti toleransi dan moderasi yang selalu digaungkan. 

Dengan demikian, penting adanya sebuah Institusi yang mampu menjaga izzah atau kemuliaan dan kehormatan Islam. Institusi inilah yang akan menjadi pembebas umat Islam dari penjajahan dan kezaliman orang-orang kafir, yaitu khilafah ala minhajin nubuwah. Allahu A'lam Bishawwab.



Oleh: Nabilah Ummu Yazeed
Sahabat Tinta Media

Selasa, 12 Juli 2022

Mengevaluasi Misi Jokowi Damaikan Ukraina-Rusia



Tinta Media - Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Ustaz Farid Wadjdi mempertanyakan misi dari kunjungan presiden Jokowi ke Ukraina.

"Apa misi dari kunjungan presiden Jokowi ini?" tuturnya dalam acara Menjadi Politisi Islam: Kunjungan Jokowi ke Ukraina, Ada Apa? Senin (27/6/2022) di kanal Youtube Peradaban Islam ID.

Menurutnya, kunjungan ini tidak bisa dilepaskan dari kapasitas Indonesia sebagai pemegang Presidensi G-20 atau sebagai tuan rumah. "Presiden Jokowi berencana mendorong negara-negara G-7 untuk mengampanyekan perdamaian di Ukraina. Pesan yang akan dibawa oleh Presiden Jokowi adalah pesan perdamaian untuk menghentikan perang (krisis di Ukraina)," ungkapnya.

"Pertanyaan mendasarnya itu adalah sejauh mana kapasitas kemampuan Indonesia atau Presiden Jokowi untuk menghentikan krisis di Ukraina ini atau membawa perdamaian bagi krisis Ukraina?" tanyanya.

Kapasitas dan Kapabilitas

Ustaz Farid mengatakan, kemampuan negara untuk mempengaruhi negara lain atau mempengaruhi konstelasi politik internasional, termasuk menyerukan perang atau menghentikan perang atau menyerukan perdamaian, itu tidak bisa dilepaskan dari kapasitas dan kemampuan negara untuk mempengaruhi negara lain dan mempengaruhi konstelasi politik internasional.

"Jadi, kalau negara itu tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mempengaruhi negara lain dan mempengaruhi konstelasi politik International, tentu negara itu akan sulit untuk menghentikan perang atau mengajak perdamaian. Ini tentu sangat sulit," terangnya.

Menurutnya, kemampuan negara untuk mempengaruhi konstelasi politik internasional sangat tergantung kepada profil negara itu. "Apakah negara itu memenuhi apa yang disebut negara utama atau daulatul ula? Jadi, karena negara utama inilah yang secara signifikan bisa mempengaruhi negara lain, bisa mempengaruhi konstelasi politik internasional," ungkapnya.

"Negara utama ini misalkan, saat ini adalah negara Amerika Serikat secara global di dunia," ujarnya.

Ustaz Farid menilai, Amerika Serikat bisa menentukan konstelasi politik International. Menurutnya, hampir semua krisis politik dunia  yang penting tidak bisa dilepaskan dari peran Amerika dan pengaruh Amerika di dalamnya.

"Krisis di Timur Tengah misalkan, pasti ada kepentingan, pengaruh, dan peran Amerika," ujarnya.

Krisis di Pasifik misalkan. Asia Pacifik itu juga tidak bisa dilepaskan dari peran dan pengaruh Amerika, karena Amerikalah yang saat ini sebagai negara utama atau ad daulah al ula.

Ia menilai, negara itu menjadi negara utama tidak bisa dilepaskan dari kapabilitas di dalam negerinya.

"Pertama, bahwa negara itu biasanya negara yang mengusung ideologi yang menyebarluaskan ideologinya ke seluruh penjuru dunia. Jadi, ideologi ini sangat penting untuk membuat negara-negara lain tunduk, terikat, ataupun terpengaruh," terangnya.

Maka, kata Ustaz Farid, tidak mengherankan politik luar negeri Amerika secara umum adalah bagaimana menyebarluaskan ideologi kapitalisme di seluruh penjuru dunia dan memastikan negara-negara di dunia ini tunduk pada ideologi kapitalisme. Karena, semakin banyak negara-negara lain yang tunduk pada ideologi kapitalisme, berarti negara itu berada di bawah pengaruh Amerika, sebagai negara pengusung utamanya.

"Karena itu, syarat menjadi negara utama adalah biasanya dia mengusung ideologi yang sifatnya global, ideologi yang sifatnya mendunia" jelasnya.

Ia menegaskan, negara-negara yang tidak mengusung ideologi yang sifatnya global atau mendunia, sulit untuk menjadi negara utama di dunia.

"Soviet, misalkan, kenapa pernah menjadi negara utama di dunia? Karena dia mengusung ideologi komunisme yang sifatnya global. Membuat negara-negara lain berada dalam pengaruhnya, karena mengusung ideologi yang sama," terangnya.

Ustaz Farid menilai, sama halnya dengan umat Islam. Umat Islam pernah mempengaruhi dunia, karena memiliki negara adidaya, al-Khilafah (al-Khilafah al-Islamiyah 'ala minhaji an-nubuwwah). Negara adidaya yang menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia. Mulai dari satu negara utama di Madinah, kemudian menyebar ke seluruh jazirah Arab , kemudian menyebar ke seluruh Afrika.

"Hingga bisa disebut setengah dunia itu, tidak bisa dilepaskan karena ada negara yang mengusung, menyebarluaskan ideologi Islam," ungkapnya.

Kekuatan Ekonomi

Namun, ujar Ustaz Farid, ideologi bukan satu-satunya yang membuat negara itu menjadi negara utama. Kemampuan ekonomi misalkan, juga sangat menentukan.

Menurutnya, kemampuan ekonomi sangat dipengaruhi oleh sumber daya alam yang dimiliki ataupun kontrolnya terhadap sumber alam dunia.

"Jadi, mungkin dia tidak memiliki secara langsung sumber alam tersebut, tapi dia memiliki pengaruh dan kendali atau kontrol terhadap sumber alam di dunia. Maka, dia juga akan bisa memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab