Tinta Media: Kritik
Tampilkan postingan dengan label Kritik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kritik. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Agustus 2023

IJM: Sungguh Miris! Jika kritik Dianggap Fitnah



Tinta Media - Direktur  Indonesian Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana mengatakan, sungguh miris jika kritik dianggap fitnah.
 
“Sungguh miris, apabila kritik (materi dan visualnya) dianggap sebagai fitnah, hinaan, dan berita bohong,” ungkapnya dalam Program Justice Monitor : Ada Modus Baru Pembungkaman Hak Berpendapat? melalui kanal Youtube Justice Monitor, Senin (7/8/2023).
 
Modus itu muncul, sambungnya,  lantaran penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menjadi pasal karet.
 
“Imbasnya, kebijakan pemerintah yang berkuasa hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan masyarakat luas,” kritiknya.
 
Agung menegaskan, jika ada rakyat yang  kritis atau berseberangan dengan pemerintah seharusnya jangan dianggap sebagai musuh serta menjeratnya dengan undang-undang.
 
“Undang-Undang yang kontroversial itu seolah-olah tujuannya memenjarakan orang yang kritis atau orang yang berlawanan dari rakyat, tapi membuat nyaman penguasa atau pejabat.  Apabila arahnya ke sana tentu tidak boleh terjadi. Negara tidak boleh menempatkan rakyat sebagai musuh, tapi warga negara ada yang peduli, kalau ada yang salah, ada restorative  justice  (pengadilan yang melibatkan pihak terkait),dan begitu seharusnya,” tegasnya.
 
Agung menambahkan, bahwa kritik menjadi hal penting dari ekspresi konstruktif walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan dan tindakan pemerintah atau lembaga negara.
 
“Pada dasarnya kritik merupakan bentuk pengawasan, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Saat ini tumbuh dan berkembang pula kualitas kontrol yang dihasilkan terhadap semua proses dan hasil pembangunan. Itu adalah hal yang wajar. Dengan fungsi itulah selayaknya kritik masyarakat tidak terbelenggu dengan ancaman delik dalam UU ITE maupun KUHP,” pungkasnya. [] Evi

Pamong Institute: Kritik Bagian Penting Mekanisme Kontrol Pemerintahan


 
Tinta Media - Direktur Pamong Institut, Wahyudi Al-Maroky, mengatakan, kritik bagian penting dari mekanisme kontrol pemerintahan.
 
“Kritik adalah bagian penting dari mekanisme kontrol dan keseimbangan dalam pemerintahan. Pejabat publik harus siap untuk menerima kritik sebagai bagian dari tanggung jawab mereka terhadap publik,” tuturnya dalam Program Kabar Petang: ‘Rocky Gerung ‘Dikepung’ Laporan Relawan Jokowi Pakai UU ITE, What? Di kanal Youtube Khilafah News, Ahad (6/8/2023)
 
Ia menjelaskan, kritik kepada pejabat publik seharusnya tidak hanya diterima, tetapi juga diapresiasi. Terutama dalam situasi ketika negara menghadapi tantangan yang kompleks, respons yang konstruktif dari berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil dan relawan, dapat membantu mengarahkan perhatian kepada permasalahan yang lebih penting.
 
“Pejabat publik, termasuk Presiden Jokowi, seharusnya siap menghadapi kritik dan melihatnya sebagai sarana untuk perbaikan. Penerimaan terhadap kritik penting untuk mencegah kesalahan dan menjaga kesesuaiannya dengan kewajiban terhadap publik,” imbaunya.
 
Wahyudi juga menggarisbawahi bahwa ketika pejabat publik menerima kritik, itu merupakan bentuk tanggung jawab mereka terhadap kepentingan negara.
 
Namun, ia juga prihatin terhadap reaksi yang muncul dari pihak yang tidak berhubungan langsung dengan kritik.
 
“Terkadang, bukan pihak yang bersangkutan atau yang merasa dihinakan yang langsung merespons, tetapi justru pihak relawan. Ini kurang tepat dalam konteks respons terhadap kritik,” nilainya.
 
Dalam konteks pelaporan terkait dengan kritik terhadap Presiden Jokowi, ia mengingatkan, bahwa pelaporan semestinya berasal dari pihak yang merasa langsung terdampak atau dirugikan oleh pernyataan yang dikritik.
 
“Penerimaan terhadap kritik adalah tanda dari semangat demokrasi yang kuat. Dalam konteks ini, reaksi yang sifatnya spontan atau terlalu emosional dapat mengindikasikan kurangnya pemahaman terhadap pentingnya dialog, mediasi, dan toleransi terhadap berbagai pandangan,” kritiknya.
 
Menurutnya, dalam menghadapi kritik, pejabat publik seharusnya memilih pendekatan yang lebih terbuka dan mendengarkan aspirasi masyarakat. Dia juga menggarisbawahi bahwa tindakan otoritarian atau penolakan terhadap kritik dapat merusak citra dan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
 
“Para pemimpin hendaknya mengambil pelajaran dari karakter-karakter pemimpin besar dalam sejarah, seperti Khalifah Umar yang sangat mulia, kalaupun sudah di kritik biasa saja, diancam pedangpun malah berbahagia, bahkan mengatakan bersyukur  akan ada yang berani mengoreksi. jadi kalau dikritik jangan dijadikan sebagai musuh, tetapi harus dijadikan sebagai partner atau kawan untuk mencari solusi persoalan negeri ini,” pungkasnya. [] Abi Bahrain. 

Senin, 07 Agustus 2023

Kritik Pedas Rocky karena Kebijakan Negara Banyak Merugikan Rakyat


 
Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM), Agung Wisnu Wardana menilai bahwa kritik pedas yang dilontarkan Rocky Gerung kepada presiden Joko Widodo lebih ditujukan pada kebijakan publik yang tidak pro rakyat.
 
“Kritik yang disampaikan Bung Rocky itu tidak berdiri sendiri. Pernyataan itu lahir dari penjelasan masalah akibat kebijakan negara yang merugikan banyak warga negara,” ungkapnya di kanal You Tube Justice Monitor : Heboh! Rocky, Jum’at (4/08/2023).
 
Agung menilai, kritik pedas seperti itu harus diperbandingkan dengan dampak dari kebijakan. Jika kebijakan turut menghancurkan warga negara maka kebijakan itu sangat tidak memenuhi prinsip dasar terhadap kemanusiaan.
 
“Dalam hal ini Rocky Gerung mengkritisi kebijakan presiden karena dianggap kebijakan tersebut merugikan rakyat. Sebagaimana undang-undang Omnibuslaw yang berdampak pada kehidupan jutaan buruh di Indonesia,” jelasnya.
 
Lebih lanjut Agung mengatakan, mestinya kebijakan itu harus untuk menyelamatkan warga negara, bukan untuk dominasi dan monopoli kaum kapitalis. Jika posisi pemerintah berada di pihak pendukung sistem kapitalisme, rakyat akan dirugikan dan dari aspek kebijakan justru memberikan akses kerugian pada rakyat. “Pemerintah harusnya hadir untuk melahirkan kebijakan yang menyelamatkan rakyat,” katanya.
 
Dalam logika berpikir Bung Rocky, kritikan pedas itu dinilai banyak pihak sebagai hal normal dan wajar. Bukan masalah beretika atau tidak beretika.
 
“Jika disebut tidak beretika apakah yang tidak beretika itu pernyataan Rocky atau kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan publik?” pungkasnya. []Langgeng Hidayat

Sabtu, 05 Agustus 2023

Dua Alasan Kenapa Perpres Jurnalistik Banyak Ditentang


 

Tinta Media - Pengamat Kebijakan Publik Dr. Suswanta mengungkapkan dua  hal yang menjadi point kritik terhadap  Peraturan Presiden (Perpres) jurnalistik.
 
“Nah kalau saya melihat setidaknya ada dua hal yang menjadi kritik pada Perpres ini,” tuturnya dalam acara Kabar Petang dengan: Perpres Jurnalisme Bungkam Rakyat? Kamis (3/8/23) dikanal youtube Khilafah News.
 
Pertama, ucapnya, dari Perpres ini akan muncul sebuah lembaga baru yang punya kewenangan untuk menentukan mana konten yang boleh dan tidak termasuk beriklan atau tidak. “Ini berarti ada pertimbangan sisi ekonomi  bahwa pemerintah ingin mendapatkan keuntungan dari iklim jurnalistik ini,” ujarnya.
 
Yang kedua, lanjutnya, adanya kepentingan politik pemerintah untuk membatasi berita-berita. “ Ini tentu tidak lepas dari pemilu 2024. Jadi harus difilter, yang menguntungkan itu yang boleh, yang tidak menguntungkan  yang tidak boleh,” imbuhnya.
 
Ia juga mengungkapkan bahwa Perpres jurnalistik akan membunuh banyak media dan para kreator. Suwanto memberikan alasan, karena nanti ada lembaga yang akan menentukan mana  konten yang boleh dan tidak. Dan ini bisa pastikan bahwa alasannya demi kepentingan nasional dan tidak memecah belah.
 
“Intinya yang mendukung pemerintah dan memberikan apresiasi positif pada pemerintah akan di dahulukan. Sebaliknya yang kritis tentu tidak akan ditampilkan atau akan dilarang,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi.

Minggu, 30 April 2023

Slogan Elit, Terima Kritik Sulit

Tinta Media - Kebebasan berpendapat adalah slogan khas dari sistem demokrasi. Dalam sistem ini, setiap individu diberi kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi. Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi. 

Namun, ada banyak hal yang nyatanya tidak sesuai dengan fakta. Mereka yang berpendapat ataupun berekspresi malah mendapatkan ancaman. Padahal, kritik yang disampaikan adalah demi kebaikan bersama. 

Salah satunya adalah seperti yang dialami oleh seorang tiktokers muda Bima Yudho Saputro alias @awbimaxreborn. Pada kontennya, ia menyampaikan bahwa kampung halamannya, yakni Lampung, dinilai tidak ada kemajuan. Yang bisa dilihat adalah masalah infrastruktur yang buruk, salah satunya jalan yang amat rusak (CNN Indonesia, April 2023).

Kritik yang disampaikan Bima dilaporkan ke Polda Lampung tentang pelanggaran UU ITE. Ia dituduh menyampaikan informasi hoax. Dian Wahyu K selaku Ketua AJI Bandar Lampung menegaskan bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini, UU ITE dijadikan sebagai celah dan pembenaran bagi para penguasa untuk membungkam orang-orang yang mengkritik kebijakan atau kesalahan-kesalahan para penguasa/pemerintah. 

Jika kita amati fakta sebenarnya dengan mengunjungi daerah Lampung, kondisi jalan memang sangatlah memprihatinkan. Hanya wilayah-wilayah tertentu yang sudah dalam kondisi baik. Namun, sisanya adalah jalan yang dipenuhi lubang-lubang besar dan ini sangatlah berbahaya bagi para pengendara. Terlebih, banyak truk besar yang mengangkut hasil kelapa sawit dsb. Hal ini sangatlah berbahaya, terlebih kondisi jalanan sangat rusak. 

Seharusnya kritik yang disampaikan dijadikan sebagai evaluasi dari kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan, untuk dijadikan sebagai perbaikan, bukan malah diancam atau bahkan dikenakan pasal UU ITE. 

Sekali lagi, bukankah slogan demokrasi itu bebas berpendapat? Jika setiap pribadi yang memberi kritik pada penguasa dibungkam, bagaimana kita bisa mengevaluasi dan melakukan perbaikan untuk menjadi Indonesia yang lebih baik dan maju? Tentu kita akan semakin tertinggal jauh dari Negara-negara lain. Wajar, apabila banyak kecurigaan yang muncul kepada para penguasa, seperti ke mana dana untuk memperbaiki jalan, sedangkan kita selalu bayar pajak? 

Ya, tentu sangat wajar. Apalagi, sering kita lihat berita-berita para penguasa yang korupsi hingga milyaran, bahkan trliyunan, sedangkan utang negara tak terlunaskan.

Ya aneh bukan? Padahal, rakyat tidak minta yang muluk-muluk. Minimal kita bisa merasakan jalan yang aman dan nyaman.

Dalam Islam, para penguasa sejatinya mendapatkan amanah untuk mengurusi rakyat, memenuhi apa yang menjadi hak-hak rakyat. Hal ini karena pemimpin adalah pelayan umat, sedangkan rakyatnya adalah sebagai pengoreksi ketika pemimpin tersebut melakukan kesalahan. 

Tercatat dalam sejarah pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, beliau membuat sebuah kebijakan tentang mahar pernikahan yang harus dibatasi. Namun, salah seorang wanita angkat bicara dan mengkritik Khalifah Umar bahwasanya Allah tidak memberikan batasan apa pun pada mahar. Maka, tidak sepatutnya dibuat kebijakan seperti itu. 

Mendengar kritik dari wanita tersebut, tentu Khalifah Umar tidak mengeksekusi atau membungkam wanita itu, melainkan menjadikannya sebagai evaluasi dan menerima kritik untuk perbaikan kebijakan yang telah ia buat. Dengan demikian, sistem pemerintahan tetap bisa berjalan dengan saling memberikan hak dan kewajiban satu sama lain di antara para penguasa maupun rakyatnya. Dari situ, terciptalah negara yang damai dan sejahtera. 

Maka, jangan hanya sekadar 'slogan elit' tetapi nyatanya 'terima kritik, sulit'. Namun, seharusnya jadikan kritik untuk perbaikan agar Indonesia menjadi lebih baik.

Oleh: Rizuki
Sahabat Tinta Media

Kamis, 10 November 2022

KRITIK TERHADAP KONSEP MODERASI BERAGAMA


Pengantar

Moderasi beragama adalah istilah baru. Tak memiliki akar teologis maupun historisnya dalam Islam. Namun demikian, istilah ini terus dijajakan di tengah-tengah umat Islam. Seolah-olah merupakan sebuah keniscayaan bagi umt Islam saat ini untuk mempraktikan moderasi agama. Apalagi saat bahaya radikalisme agama terus diopinikan. Moderasi beragama dianggap penting dan mendesak.

Benarkah demikian? Apa sesungguhnya yang disebut moderasi beragama? Apakah indikator-indikator moderasi beragama itu? Poin-poin apa yang perlu dikritik dalam konsep beragama ini? Di mana letak bahaya dari konsep moderasi beragama ini? Apa tujuan akhir dari konsep moderasi beragama saat ini? Itulah di antara sejumlah pertanyaan yang hendak dijawab dalam tulisan singkat ini.

Indikator Moderasi Beragama

Moderasi beragama adalah suatu model pemahaman dan praktik menjalankan agama Islam secara moderat, yang ditandai dengan empat indikator sebagai berikut:

Pertama, adanya komitmen kebangsaan, maksudnya menerima prinsip-prinsip kebangsaan dalam UUD 1945 dan berbagai regulasi di bawahnya.

Kedua, adanya toleransi yang diwujudkan dengan menghormati perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapatnya.

Ketiga, bersikap anti kekerasan, yakni menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, dalam mengusung perubahan yang diinginkannya.

Keempat, penerimaan terhadap tradisi. Maksudnya ramah terhadap tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran Islam.

Sering kali para penggagas moderasi beragama menggunakan ayat Ummatan Wasathan (Umat Pertengahan) untuk melegitimasi konsep moderasi beragama, yaitu firman Allah SWT :

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” (Ummatan Wasathan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS Al-Baqarah : 143).

Mengkritisi Penyalahgunaan Ayat Ummatan Wasathan

Para penggagas moderasi beragama seringkali menyitir ayat tentang Ummatan Wasathan dalam Al-Baqarah 143 sebagai landasan moderasi beragama. Firman Allah SWT :

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” (Ummatan Wasathan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS Al-Baqarah : 143).

Ummatan Wasathan tersebut adalah istilah al-Quran yang secara kontekstual sebenarnya tidak ada hubungannya dengan istilah moderasi beragama saat ini, yang sering dikontraskan dengan istilah radikalisme atau ekstremisme.

Untuk membuktikan tidak relevannya ayat tersebut dengan istilah moderasi agama saat ini, kita perlu melihat latar belakang sejarah munculnya istilah moderasi agama itu sendiri. Istilah ini sebenarnya bukan berasal dari sejarah kontemporer lokal Indonesia, seperti pembubaran HTI tahun 2017 dan FPI tahun 2020. Bukan juga berasal dari peristiwa peledakan WTC 9/11 tahun 2001 di New York (AS) yang melariskan istilah “terorisme”.

Bahkan sejarah istilah moderasi agama itu berakar jauh sebelumnya. Istilah moderasi agama dapat dilacak bahkan sejak Revolusi Iran tahun 1979, sebagaimana penjelasan Fereydoon Hoveyda, seorang pemikir dan diplomat Iran. Fereydoon Hoveyda menegaskan hal itu dalam artikelnya yang terbit tahun 2001 dengan judul, “Moderate Islamist? American Policy Interest,” sebuah artikel ilmiah dalam The Journal of National Committee on American Policy.

Menurut Fereydoon Hoveyda, istilah islamic moderation, moderate Muslim, atau moderate Islam mulai banyak digunakan setelah 1979 oleh jurnalis dan akademisi, untuk mendeskripsikan konteks hubungan antara dua hal, yaitu di sisi adalah Muslim, Islam, atau Islamist (aktivis Islam); sedangkan di sisi lain adalah Barat (The West).

Nah, dalam konteks inilah, muncul istilah moderate Islamist (aktivis Islam moderat), yang dianggap pro Barat (the West), khususnya yang pro Amerika Serikat. Sebagai lawan dari moderate Islamist itu akhirnya diberi label hard-line Islamist (aktivis Islam garis keras), yaitu mereka yang menginginkan Islam secara pure (murni) dan menolak ideologi Barat.

Jadi, kemunculan istilah moderasi agama sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan istilah Ummathan Wasathan dalam al-Quran tersebut, walau banyak intelektual Muslim yang memaksakan diri untuk mencari-cari relevansinya.

Adapun makna Ummathan Wasathan dalam QS al-Baqarah ayat 143 adalah umat yang adil (ummat[an] ‘adl[an]). Demikian menurut Imam asy-Syaukani dalam kitabnya, Fath al-Qadir, juga menurut Imam al-Qurthubi dalam kitabnya, Tafsir al-Qurthubi.

Imam asy-Syaukani dan Imam al-Qurthubi menafsirkan demikian atas dasar hadis shahih dari Abu Said al-Khudri RA, bahwa ketika Rasulullah SAW membaca ayat yang berbunyi “wa kadzalika ja’alnakum ummat[an] wasath[an]” (Demikianlah Kami menjadikan kalian umat pertengahan), beliau bersabda, “Maksudnya umat yang adil (‘adl[an]).” (HR at-Tirmidzi).

Umat yang adil ini maksudnya bukanlah umat pertengahan antara umat Yahudi dan umat Nashrani, seperti penafsiran sebagian orang. Bukan pula pertengahan dalam arti posisi tengah antara ifrath (berlebihan) dan tafrith (longgar), melainkan umat yang memiliki sifat adil dalam memberikan kesaksian (syahadah). Pasalnya, umat Islam akan menjadi saksi kelak pada Hari Kiamat, bahwa para nabi sebelum Rasulullah SAW telah menyampaikan wahyu kepada umatnya masing-masing.

Sebagaimana dimaklumi dalam fikih, bahwa orang yang menjadi saksi, misal saksi dalam jual-beli, atau saksi dalam akad nikah, wajib bersifat adil. Nah, makna adil seperti itulah yang dimaksudkan sebagai sifat umat Islam sebagai tafsiran ummatan wasathan dalam QS al-Baqarah ayat 143.

Mengkritisi Indikator Komitmen Kebangsaan dalam Moderasi Beragama

Indikator pertama dalam moderasi beragama adalah komitmen kebangsaan, yang diartikan menerima prinsip-prinsip kebangsaan dalam UUD 1945 dan berbagai regulasi di bawahnya. Persoalannya, indikator ini seringkali hanya diterapkan untuk mengukur komitmen kebangsaan dari rakyat, tapi tidak pernah digunakan untuk mengukur komitmen kebangsaan dari negara itu sendiri. Padahal justru negaralah yang seringkali patut dipertanyakan komitmen kebangsaannya.
Contohnya, negara seringkali tidak jelas komitmen kebangsaannya dalam berbagai regulasi di bawah UUD 1945, misalnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016. Dalam regulasi ini, Pemerintah menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila.

Pertanyaannya, Pancasila yang mana yang lahir pada tanggal 1 Juni 1945 itu? Dalam buku Piagam Jakarta karya Endang Saifuddin Anshari, Pancasila yang lahir 1 Juni 1945 rumusannya tidak seperti lima sila yang kita kenal saat ini, melainkan adalah:
Sila pertama, kebangsaan Indonesia.
Sila kedua, internasionalisme atau perikemanusiaan.
Sila ketiga, mufakat atau demokrasi.
Sila keempat, kesejahteraan sosial, dan
Sila kelima, ketuhanan.

Jika faktanya demikian, maka rumusan Pancasila 1 Juni 1945 tersebut justru akhirnya bertentangan dengan rumusan Pancasila yang kita kenal saat ini, yakni rumusan 18 Agustus 1945 dalam Pembukaan UUD 1945, yang rincinya :

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia.
Sila keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Jadi, kalau indikator moderasi agama itu salah satunya adalah komitmen kebangsaan, maka justru negaralah yang patut diduga sudah melanggar komitmen kebangsaannya sendiri, atau minimal komitmen kebangsaannya simpang-siur alias tidak jelas, karena jelas bahwa Keppres nomor 24 tahun 2016 itu sendiri sudah kontradiktif dengan UUD 1945 yang memuat Pancasila yang versinya adalah versi 18 Agustus 1945, bukan versi 1 Juni 1945.

Mengkritisi Indikator Toleransi dalam Moderasi Beragama

Indikator kedua moderasi beragama adalah bersikap toleran terhadap perbedaan di masyarakat. Masalahnya, ide toleransi yang berkembang saat ini bukanlah ide toleransi menurut prespektif Islam, melainkan menurut paham liberal yang sekularistik. Profesor Muhammad Ahmad Mufti, seorang guru besar ilmu fiqih siyasah di Arab Saudi, telah mengkritik keras ide tolerasi ala liberal itu dalam kitabnya, Naqdu at-Tasamuh al- Libirali (Kritik Terhadap Toleransi Liberal) yang terbit 1431 H atau tahun 2010 M).

Dalam kitabnya itu, beliau menjelaskan bahwa ide toleransi liberal itu didasarkan pada 3 (tiga) gagasan pokok dari Barat:
Pertama, paham sekularisme (al-‘alamaniyyah, al-laadiniyyah).
Kedua, paham relativisme (an-nisbiyyah).
Ketiga, paham pluralisme dan demokrasi (at-ta’addudiyyah wa ad dimuqrathiyyah). (Muhammad Ahmad Mufti, Naqdu at-Tasamuh al- Libirali, hlm. 8)

Jadi, ukuran toleran dan intoleran dalam ide toleransi liberal yang berkembang sekarang rujukannya adalah tiga gagasan dasar tersebut, yaitu gagasan Barat, bukan gagasan Islam. Jika demikian, alangkah malangnya nasib umat Islam, karena ide toleransi liberal itu hakikatnya adalah penjajahan (imperalisme) dalam bidang pemikiran bagi umat Islam. Umat Islam akan dipaksa untuk berpikir dengan standar liberal yang bobrok dan menyesatkan.

Sebagai contoh, LGBT, jika ditinjau menurut paham toleransi liberal, tentu wajib ditoleransi. Sebaliknya, bagi umat Islam, LGBT tidak boleh ditoleransi, karena semuanya dosa dalam agama Islam. Namun, akhirnya umat Islam akan dicap intoleran jika menolak LGBT. Padahal dalam Islam LGBT memang sesuatu yang dosa, bukan sesuatu yang halal apalagi wajib. Jika umat Islam lalu dipaksa berkeyakinan LGBT itu halal, atau baik, dan wajib ditoleransi, bukankah itu namanya penjajahan pemikiran?

Dalam Islam, standar toleransi itu al-Quran dan as-Sunnah. Bukan paham sekularisme, relativisme, pluralisme dan demokrasi, sebagaimana standar toleransi Barat. Apa saja yang ditoleransi oleh al-Quran dan as-Sunnah akan ditoleransi oleh umat Islam. Sebaliknya, apa saja yang tidak ditoleransi oleh al-Quran dan as-Sunnah tidak akan ditoleransi oleh umat Islam.

Berdasarkan standar yang benar ini, LGBT tidak boleh ditoleransi oleh umat Islam. Semua itu diharamkan atas umat Islam berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, misalnya dalam QS asy-Syu’ara ayat 165-166 dan QS al-Isra‘ ayat 32, dsb. Murtad atau keluar dari agama Islam tidak boleh ditoleransi karena memang dilarang oleh al-Quran dalam QS al-Baqarah ayat 217.

Muslimah nikah dengan laki-laki non-Muslim juga tidak boleh ditoleransi dilarang oleh al-Quran dalam QS al-Mumtahanah ayat 10.

Mengkritisi Indikator Anti-Kekerasan dalam Moderasi Beragama

Indikator ketiga dalam moderasi beragama adalah sikap anti kekerasan. Nah, ini juga perlu untuk dikritisi, karena sikap anti kekerasan ini ternyata digeneralisir untuk semua kekerasan secara absolut tanpa ada perkecualian. Akhirnya jihad fi sabilillah sebagai ajaran Islam juga termasuk kekerasan.

Memang bahwa pada dasarnya, kekerasan, seperti pembunuhan, misalnya, dalam Islam itu pada dasarnya diharamkan. Namun, ada perkecualiannya, yaitu pembunuhan “dengan alasan yang benar”, yaitu yang dibenarkan berdasarkan dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah. Demikian menurut QS al-Isra` ayat 33, sesuai firman Allah SWT :

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ

“Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar.” (QS Al-Isra` : 33).

Jadi, pada dasarnya memang membunuh itu haram, tapi ada yang dibolehkan dalam agama Islam, berdasarkan dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Misalnya, membunuh dalam rangka membela diri, atau membunuh dalam rangka menjatuhkan qishash (hukuman mati), sebagaimana menurut QS al-Baqarah ayat 178; atau membunuh dalam rangka berjihad atau berperang, sebagaimana menurut QS al-Baqarah ayat 216.

Ringkasnya, tidak semua kekerasan diharamkan atau dilarang dalam Islam. Ada perkecualiannya dalam al-Quran atau as-Sunnah.

Jika ditinjau secara lebih mendalam, orang Muslim yang membenci jihad fi sabilillah itu sebenarnya hanya mengikuti kebencian kaum Kristiani Eropa terhadap jihad dari periode Abad Pertengahan Akhir hingga tahun 1529. Dalam periode ini, sebagaimana uraian Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Mafahim Siyasiyah, Khilafah Utsmaniyah banyak melakukan futuhat (penaklukan) dengan menaklukkan negeri-negeri Kristen di Eropa seperti Yunani, Romania, Albania, Yugoslavia dan Hungaria.

Futuhat itu akhirnya berhenti tahun 1529 M ketika pasukan jihad dari Khilafah Utsmaniyah tertahan di pintu gerbang Kota Wina dan akhirnya gagal menaklukkan Austria. Nah, karena posisi kaum Kristen menjadi sasaran jihad, sangat wajar kalau kaum Kristen saat itu akhirnya membenci jihad dan membenci Khilafah.

Sayangnya, di suatu saat kelak, di suatu negeri Islam, ada orang-orang Islam yang belajar kepada kaum orientalis Kristen atau Yahudi, lalu bertaklid buta kepada mereka dan mewarisi sikap mental kaum kafir itu yang penuh dengan dendam dan kebencian kepada jihad dan khilafah, lalu merekapun menghapuskan mata pelajaran jihad dan khilafah dari kurikulum pendidikan mereka, yaitu memindahkan pembahasan jihad dan khilafah itu dari mata pelajaran fiqih menjadi mata pelajaran sejarah belaka.
Astaghfirullahal ‘azhiem...

Mengkritisi Indikator Penerimaan Terhadap Tradisi Masyarakat

Indikator keempat dalam moderasi beragama adalah menerima tradisi yang berkembang dalam masyarakat. Indikator ini juga perlu dikritisi, karena tradisi itu sesungguhnya tidak boleh dianggap mutlak benar secara absolut, lalu orang Islam dipaksa dan diwajibkan menerima bulat-bulat tanpa boleh menolak atau mengkritik.

Tradisi apapun yang berkembang di masyarakat, wajib dikembalikan pada standar al-Quran dan as-Sunnah. Jika ada tradisi di masyarakat Muslim yang tidak bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah, boleh-boleh saja umat Islam mengikutinya. Misalnya, penutup kepala khas Jawa yang bernama blangkon. Namun, jika tradisi di masyarakat Muslim bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah, misalnya tradisi minum arak atau ciu (khamr), maka tradisi itu haram diikuti oleh kaum Muslim. Islam telah tegas mengharamkan setiap minuman yang beralkohol (khamr), sebagaimana dinyatakan dalam QS al-Maidah ayat 90.

Tujuan Konsep Moderasi Beragama
Setelah disampaikan kritik-kritik di atas terhadap indikator-indikator moderasi beragama, pertanyaan yang muncul adalah, apa tujuan dari konsep moderasi beragama itu sendiri?

Untuk menjawabnya, tidak cukup kita hanya menganalisis politik dalam negeri di Indonesia, melainkan juga harus kita lihat lihat fenomena ini dari perspektif global.
Moderasi agama sesungguhnya adalah bagian dari strategi politik luar negeri dari negeri-negeri Barat, khususnya Amerika Serikat, yang mempunyai dua tujuan utama;

Pertama, untuk menghalang-halangi kembalinya umat Islam ke dalam agamanya secara murni, dengan mengamalkan syariah Islam kaffah dalam institusi Negara Khilafah.

Kedua, untuk mempertahankan sistem demokrasi-sekular yang ada saat ini di negeri-negeri Islam, dengan cara mempertahankan penguasa yang menjadi proxy mereka, agar Amerika Serikat dan negara-negara penjajah lainnya dapat terus mengeksploitasi dan menghisap kekayaan alam negeri-negeri Islam yang sangat kaya.

Jika tujuan tersebut tercapai, maka umat Islam jelas akan buntung, namun memang ada pihak yang akan diuntungkan dengan kebijakan moderasi beragama ini, utamanya ada dua pihak;

Pertama, Amerika Serikat dan negara-negara imperialis lainnya.

Kedua, para penguasa negeri-negeri Islam yang menjadi proxy Amerika Serikat, dkk.
Selain dua pihak tersebut, tentu ada pihak-pihak yang lain yang mendapat untung, karena hegemoni Amerika Serikat ini tidak akan dapat berjalan, kecuali ada instrumen-instrumen pendukungnya, yaitu: (1) berbagai lembaga keuangan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia; (2) berbagai MNCs (multi national corporations), seperti Freeport McMoran, dsb.

Kekuasaan penguasa yang menjadi proxy AS juga tidak akan dapat berjalan, kecuali ada instrumen-instrumen pendukungnya pula, yaitu: (1) para intelektual (birokrat) didikan Barat yang menjadi penentu kebijakan politik dan ekonomi dan (2) militer.

Jalinan struktur kekuatan hegemonik global dan lokal ini diterangkan dalam beberapa buku yang berkelas, seperti buku Economists with Guns, karya Bradley R. Simpson atau bukunya Prof. Amien Rais berjudul Selamatkan Indonesia! Buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca, karena akan dapat membuka mata dan hidung kita lebih lebar untuk mencium betapa busuknya, betapa rakusnya, dan betapa kejamnya hegemoni kapitalis-sekuler yang ada saat ini.

Penutup

Sebagai penutup, barangkali perlu dijelaskan bagaimana sikap yang seharusnya diambil oleh umat Islam terhadap konsep moderasi beragama ini. Ringkasnya ada 4 (empat) poin yang perlu menjadi sikap umat Islam; yaitu :

Pertama, kita umat Islam harus memberikan kritik yang tajam dan destruktif terhadap konsep moderasi beragama ini.

Kedua, kita harus terus menyadarkan masyarakat, bahwa konsep moderasi beragama ini bukanlah asli kebijakan pemerintah saat ini, melainkan sekadar meneruskan kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

Ketiga, kita harus terus menyadarkan masyarakat bahwa kebijakan moderasi beragama ini mempunyai tujuan tersembunyi yang sangat membahayakan Islam dan umat Islam.

Keempat, kita wajib terus berjuang untuk mengembalikan Islam kaffah dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat dengan menegakkan Negara Khilafah. Wallahu a’lam. []

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fikih Kontemporer 

Referensi: https://al-waie.id/hiwar/kh-shiddiq-al-jawi-moderasi-agama-berbahaya/

Selasa, 12 Juli 2022

DESPIANOR WARDHANI MENGKRITIK DAN MENYAMPAIKAN SOLUSI ISLAM, KENAPA TETAP DI PENJARA?

Tinta Media - "Kritik bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan atau dilakukan dengan cara yang objektif.* Kritik mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan atau kebijakan atau tindakan presiden atau wapres. Kritik juga dapat berupa membuka kesalahan atau kekurangan yang terlihat"

[Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, 6/7]

Pemerintah dikabarkan telah menyerahkan Naskah final Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada DPR pada Rabu 6 Juli 2022. Dalam RKUHP tersebut pemerintah memutuskan tetap memasukkan pasal penghinaan presiden.

Namun, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menyampaikan dalam draf final RKHUP juga  turut diatur terkait kritik kepada presiden dan wakil presiden termasuk penjelasan kritik guna membedakan antara penghinaan dan kritik.

Dalam ketentuan Pasal 218 RKUHP berbunyi :

"(1) setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."

"(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."

Dalam penjelasan pasal ditambahkan mengenai kritik yang dimaksud untuk kepentingan umum adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan dengan hak berekspresi dan berdemokrasi. 

Pemerintah mendefinisikan apa yang dimaksud kritik untuk kepentingan umum itu, berupa penyampaian pendapat berbeda dengan kebijakan presiden atau wakil presiden yang disertai dengan pertimbangan baik buruk kebijakannya.

Kritik bagi pemerintah juga sebisa mungkin konstruktif dan memberikan alternatif solusi, atau kritik itu harus dengan cara objektif. Begitulah, penjelasan pasal yang disampaikan oleh Wamenkumham, pada 6 Juli 2022 di kompleks Parlemem, Senayan.

Hanya saja, itu cuma teorinya. Praktiknya?

Kita tengok, apa yang dialami oleh Aktivis Pejuang Syariah & Khilafah, Despianoor Whardani. Dia dijebloskan ke penjara, hanya karena memposting artikel berisi kritik kepada pemerintah di laman facebooknya.
 
Artikel yang diposting berupa artikel yang diterbitkan buletin al Islam. Artikel itu mengkritik pemerintah dan menolak Papua lepas dari Indonesia, menolak kenaikan BBM, menolak kenaikan Tarif Dasar Listrik, menolak asing kelola SDA Indonesia, tolak LGBT, tolak liberalisasi Migas, solidaritas terhadap muslim Suriah, aksi tolak Komunis, aksi solidaritas muslim Rohingya, tolak negara penjajah Amerika, menolak pemerintah lepas tangan soal kesehatan, sadarkan umat tentang Khilafah, hingga kritik yang menolak Perdagangan yang merugikan Rakyat.

Kritik yang disampaikan Despianor jelas konstruktif dan memberikan alternatif solusi, yakni solusi Islam berupa syariah dan Khilafah. Nyatanya, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 237 K/Pid.sus/2022 tanggal 15 Februari 2022 lalu kembali mengeksekusi Despianor, dengan hukuman selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan serta pidana denda sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.

Sebelumnya, Despianor sempat dibebaskan olah Majelis Hakim tingkat Banding karena artikel yang diunggah dinyatakan bukan kejahatan dan bagian dari kebebasan berpendapat. Putusan Hakim tingkat banding ini membatalkan putusan tingkat pertama, yang sebelumnya mengantarkan Despianor masuk bui.

Memang benar, Despianor tidak dikriminalisasi dengan pasal penghinaan Presiden, melainkan dengan pasal 28 ayat (2) UU ITE. Namun apa jaminannya, pasal penghinaan presiden dalam RKUHP ini tidak dijadikan sarana membungkam suara rakyat ? Belum ada pasal ini saja rakyat sudah dibungkam.[]

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

https://heylink.me/AK_Channel/



Sabtu, 28 Mei 2022

Pandangan Ahmad Khozinudin Terkait Kritik kepada Penguasa


Tinta Media - Menanggapi adanya pendapat yang mengatakan, 'Mau protes apapun kalau pemerintah tetap ngotot bisa apa? Faktanya, semua harga-harga sudah merangkak naik. Apa gunanya mengajukan kritik?' Advokat dan Ketua KPAU Ahmad Khozinudin, S.H. menyampaikan beberapa pandangan.

“Untuk menjawab hal ini, rasanya saya perlu menyampaikan pandangan,” tuturnya kepada Tinta Media, Jumat(27/5/2022).

Pertama, mengajukan kritik atau muhasabah kepada penguasa adalah kewajiban syar'i. “Niat utamanya adalah menjalankan perintah untuk menggugurkan kewajiban, mengharapkan ridho Allah SWT,” jelasnya.

Ia menyampaikan sabda Rasulullah Saw: 
"Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran maka hendaklah dia merubah kemungkaran tersebut dengan tangannya, apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan lisannya, apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan hatinya, yang demikian adalah selemah-lemah keimanan," (H.R. Muslim dan lainnya dari Abi Said Al Khudri).

Menurutnya, mengajukan kritik adalah untuk mengkonfirmasi bahwa kita termasuk orang-orang yang beriman. “Tidak diam melihat kemungkaran, apalagi melegitimasi kezaliman,” tegasnya.

Kedua, tujuan kritik adalah untuk membatalkan rencana zalim pemerintah yang akan menaikkan BBM jenis pertalite, solar, TDL dan gas melon. “Kalau tercapai, Alhamdulillah,” harapnya.

“Namun, ada juga target mengedukasi umat, mendidik umat dengan pemahaman syariat tentang bagaimana mengelola sektor energi dalam Islam. Tujuan ini jelas akan dapat terpenuhi, karena dengan adanya diskusi dan penyampaian pandangan umat menjadi tercerahkan, lanjutnya.

Ketiga, ada pula tujuan untuk membongkar makar penguasa zalim. “Sejatinya mereka tidak pro rakyat melainkan pro oligarki,” ungkapnya.

Ia mengambil contoh saat pemerintah mencari celah untuk menaikkan harga pertalite. “Jokowi, berulangkali mengeluhkan harga pertalite di Indonesia hanya Rp. 7.650 per liter. Kalah jauh dengan Singapura yang sudah Rp 35.000/liter, Jerman Rp 31.000/liter, atau Thailand yang Rp 20.000/liter,” bebernya.

“Padahal, pendapatan per kapita Singapura nyaris US$ 60.000. Sementara Indonesia, hanya US$ 3000-4000. Itu artinya, penghasilan rakyat Singapura nyaris 90 juta per bulan, sehingga enteng beli bensin Rp 35.000/liter. Sementara Indonesia, penghasilannya cuma 5 jutaan per bulan,” bebernya lebih lanjut.

Menurutnya, kalau penghasilan rakyat Indonesia Rp 90 juta perbulan, ga ada masalah harga pertalite disamakan dengan Singapura Rp 35.000/liter. “Kalau penghasilan cuma 5 jutaan, dipaksa 35.000 per liter, ini gila. Membayar Rp 7.650 per liter saja kepayahan,” tuturnya.

Selain itu, ia menyampaikan bahwa Singapura tidak punya tambang minyak. “Beda dengan Indonesia yang memiliki tambang minyak. Aneh dan konyol, kalau harga BBM Indonesia dipaksakan sama atau setidaknya dibanding-bandingkan dengan Singapura,” pungkasnya.[] Raras 

Kamis, 28 April 2022

Akidah Barat yang Rusak Perlu Diluruskan


Tinta Media - Tulisan Seorang tokoh Barat, Jasqueline Ross dalam kamus filsafatnya yang berjudul  'De Philosophie' mengatakan, "... dari sisi moralitas, keyakinan rasional, meski tidak mungkin dibuktikan, iman berkaitan dengan keberadaan Tuhan, keabadian ruh dan kebebasan... Dari sisi keagamaan, iman adalah orientasi spiritual (ruhiyah) menuju kebenaran yang diwahyukan dan dogmatis (bukan argumentatif dan tidak tunduk pada penalaran)" dinilai rusak dan perlu diluruskan.

"Akidah menurut mereka juga berarti penerimaan akal atas suatu kebenaran yang memiliki tabiat superior atau apa yang di balik tabir tanpa bukti dan argumentasi. Karena itu, sebelum menjelaskan tentang kerusakan akidah Barat perlu ada pelurusan kerusakan pandangan pikiran Barat tentang konsepsi akidah itu sendiri," demikian tertulis di dalam Kitab 'Kritik Terhadap Pemikiran Barat Kapitalis: ldeologi, Peradaban, dan Tsaqofah' yang diterbitkan pustaka Thariqul Izzah, Januari 2021.

Kitab ini menjelaskan, akidah dari sisi faktanya pada seluruh manusia adalah pembenaran yang pasti yang membentuk pemikiran mendasar. Pembenaran ini kadang berkaitan dengan agama, yakni berkaitan dengan iman kepada Sang Pencipta dan hari kebangkitan, dan kadang tidak berkaitan.

"Orang komunis meyakini, yakni membenarkan secara pasti tidak adanya Tuhan dan bahwa alam semesta adalah materi. Sedangkan seorang muslim meyakini, yakni membenarkan secara pasti terhadap eksistensi Tuhan dan bahwa alam adalah makhluk ciptaan Sang Pencipta," jelas kitab tersebut.

Karena itu, pembenaran pasti merupakan asas dalam pertimbangan akidah. "Hal itu terlepas dari objek pembenaran itu sendiri, apakah memiliki konten keagamaan atau non-agama," bebernya.

Kitab ini menganggap kepastian itu tidak ada kecuali dengan bukti pada orang yang membenarkan. "Karena itu akidah adalah pembenaran yang pasti berdasarkan dalil (bukti), terlepas tabiat dalil (bukti) yang dijadikan sandaran orang yang membenarkan," pungkasnya.[] Wafi 

Rabu, 27 April 2022

Kebangkitan Barat Adalah Kebangkitan yang Salah



Tinta Media  - Buku 'Kritik Terhadap Pemikiran Barat Kapitalis: ldeologi, peradaban, dan tsaqofah'   menilai kebangkitan Barat  bukanlah kebangkitan yang benar.

"Kebangkitan Barat bukanlah kebangkitan yang benar. Kebangkitan Barat tidak tegak di atas kaedah berpikir yang cemerlang dan asas ruhiyah yang kuat," demikian yang tertulis dalam kitab Kritik Terhadap Pemikiran Barat Kapitalis: ldeologi, peradaban, dan tsaqofah' yang diterbitkan oleh Pustaka Fikrul Mustanir, Januari 2021.

Melainkan, lanjutnya, kebangkitan Barat tegak atas campuran beragam pemikiran, falsafah, kecenderungan, dan konsepsi manusia, yang terbentuk setelah pergolakan berabad-abad, tarik menarik, konflik, perang, pengawasan, dan penyaringan.

"Dari semua itu terbentuklah pandangan peradaban dan tsaqafah tertentu yang tujuannya, menurut klaim pengusungnya, adalah untuk membahagiakan dan membebaskan manusia Barat," paparnya

Namun, menurut kitab tersebut, kebangkitan Barat dalam kenyataannya  berubah menjadi sumber penderitaan dan belenggu yang membelenggu. "Bahkan menjadi sumber penderitaan dunia seluruhnya," pungkasnya.[]Wafi

Selasa, 26 April 2022

Cara Mengkritik Ideologi Kapitalis


Tinta Media- Buku 'Kritik Terhadap Pemikiran Barat Kapitalis: ldeologi, Peradaban, dan Tsaqofah' mengajarkan pada pembacanya bagaimana cara mengkritik idiologi kapitalis, peradaban, dan tsaqafahnya.

"Adapun yang dimaksud dengan mengkritiknya adalah menghancurkan bangunan pemikirannya, membatalkan hukum-hukum dan solusinya, dan membatalkan hujah-hujahnya. Semua itu dengan jalan menjelaskan kebatilannyadan menampakkan kerusakannya sebagai proses berfikir dan hasilnya," demikian yang tertuang dalam buku 'Kritik Terhadap Pemikiran Barat Kapitalis: ldeologi, Peradaban, dan Tsaqofah' yang diterbitkan Pustaka Thariqul Izzah, Januari 2021.

Selain itu, mengkritik Ideologi kapitalis juga dilakukan dengan menjelaskan kebatilan dan kerusakan pengetahuan, _manhaj,_ ideologi, peradaban, dan tsaqafahnya.

"Mengkritik pemikiran Barat adalah dengan mengkritik asa-asas yang menjadi pondasinya, tanpa harus mengkritik semua pemikiran cabang berupa pemikiran-pemikiran atau konsepsi-konsepsi sekundernya," jelas kitab tersebut.

Sebab, ideologi, peradaban, dan tsaqafah kapitalis tegak di atas pilar-pilar, tiang-tiang, dan asas-asas yang khusus berkaitan dengannya.

"Darinya dihasilkan solusi-solusi. Darinya dihasilkan hukum-hukum. Di atasnya dibangun pemikiran-pemikiran cabang dan terbentuk pengetahuan-pengetahuan," tulisnya.[] Wafi

Sabtu, 23 April 2022

Konsep Negara-Bangsa Bukan Solusi untuk Menghindari Perang


Tinta Media - Buku 'Kritik Terhadap Pemikiran Barat Kapitalis: Ideologi, Peradaban, dan Tsaqofah' membantah klaim orang-orang Barat bahwa batas-batas yang tetap dalam konsep negara-bangsa adalah cara terbaik untuk menghindari perang.

"Orang-orang Barat mengatakan bahwa batas-batas yang tetap merupakan metode terbaik untuk menghindari perang. Tetapi konsep ini, selain didasarkan pada manfaat materi sebagai tolak ukur yang mengontrol individu dan negara, juga telah menyebabkan hal yang berlawanan dengan klaim mereka," demikian tertulis dalam kitab 'Kritik Terhadap Pemikiran Barat Kapitalis: Ideologi, Peradaban, dan Tsaqofah' yang diterbitkan oleh Pustaka Fikrul Mustanir, Januari 2021.

Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa konsep negara bangsa justru menyebabkan memuncaknya kebutuhan untuk ekspansi penjajahan. Negara-negara berkembang di Eropa telah mendapati dirinya tidak mampu melakukan ekspansi secara regional, mereka mengarah pada ekspansi kolonial.

"Begitulah, ekspansi kolonial muncul dalam sifatnya sebagai metode ideologi Barat untuk menyebarkan dirinya," tulisnya.

Menurutnya, kecenderungan kolonialisme imperialisme tetap ada selama kebangkitan Barat. Baik secara terbuka ataupun terselubung.

Hal ini terjadi hari ini dengan kekuatan, bahkan mungkin mencapai tingkatan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Yang lebih besar dan lebih dalam dari era sebelumnya dalam sejarah Barat.[] Wafi 

Minggu, 10 April 2022

Direktur Pamong Institute: Mengkritik Penguasa Hukumnya Wajib

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1WuJ_OJNnGzPjPoiaGlPk4YSGyrJeHs5E

Tinta Media - Direktur Pamong Institute Wahyudi Al-Maroky menyatakan bahwa mengkritik penguasa dalam Islam hukumnya wajib. "Dalam Islam, mengkritik (muhasabah) kepada penguasa itu bukan sekedar hak tetapi justru hukumnya wajib," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (6/4/2022).

Menurutnya, mengkritik adalah bagian dari ibadah yang mulia. "Terkategori sebagai ibadah yang mulia. Bahkan jika karena mengkritik/mengoreksi penguasa lalu terbunuh maka ia mati syahid bahkan statusnya sama seperti Hamzah sebagai penghulunya para syuhada," ujarnya.

Kritik atas kebijakan pemerintah yang suka impor, lanjut Wahyudi, perlu segera direalisasikan oleh pemimpin negeri yang sedang memikul amanah dan memiliki segenap kewenangan yang melekat pada dirinya.

Ia menekankan apabila sudah geregetan dan ingin mengkritik pemerintah alangkah baiknya kembali menjadi rakyat biasa. "Jika seorang pemimpin sudah geregetan dan ingin mengkritik pemerintah tapi tak melaksanakan amanah sesuai kewenangannya, maka sebaiknya ia kembali menjadi rakyat biasa saja," jelasnya.

Posisi sebagai rakyat itu, kata Wahyudi, justru punya kewajiban untuk mengkritik pemerintah agar jadi lebih baik. Dalam posisi sebagai rakyat mengkritik itu bisa menjadi ibadah dan amal sholih.

Ia juga menerangkan sosok pemimpin yang baik dan benar dalam pandangan Islam. "Pemimpin yang baik, setiap malam dia merefleksi diri, menghisab diri sendiri tentang apa saja perintah Allah yang tak dikerjakan. Juga menghitung berapa larangan Allah yang justru ia langgar hari itu. Kemudian dia bersujud dan mohon ampunan kepada Allah atas kelalaiannya itu," paparnya.

Terakhir, Wahyudi menegaskan jika seorang pemimpin taat kepada Allah dan menepati janji yang belum terpenuhi maka akan menciptakan sebuah negeri yang penuh keberkahan dan jauh dari musibah.

"Selanjutnya berjanji dengan sungguh-sungguh untuk taat kepada Allah dan menepati semua janji yang belum terpenuhi. Jika pemimpin seperti ini maka akan tercipta negeri yang makmur penuh barokah dan jauh dari musibah," pungkasnya. [] Nur Salamah
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab