Tinta Media: Koruptor
Tampilkan postingan dengan label Koruptor. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Koruptor. Tampilkan semua postingan

Jumat, 12 Januari 2024

KORUPTOR, TIKUS BERDASI DARI PERGURUAN TINGGI




Tinta Media - Korupsi yang kian menjadi, dan meresahkan di tengah masyarakat. Mirisnya, Sebagian besar pelaku korupsi memiliki title yang tinggi dan berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Namun, perlu juga untuk dipahami bahwa tidak semua lulusan sarjana memiliki intelektualitas di tengah masyarakat, terkadang ijazah sarjana seseorang hanya sebagai simbol akan keahlian seseorang terhadap bidang ilmu tertentu. Seperti yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum Dan Keamanan sekaligus calon wakil presiden 2024, Mahfud MD, dalam acara wisuda Universitas Negeri Padang pada Minggu (17/12/2023) di hadapan ribuan wisudawan, ia mengungkapkan data yang cukup mengejutkan terkait dengan kasus korupsi di Indonesia. Ia menyatakan bahwa 84% koruptor yang ditangkap oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK) merupakan lulusan perguruan tinggi. Berdasarkan data KPK sekitar 1.300 koruptor telah ditangkap dan dipenjara, mayoritas dari mereka adalah berlatar belakang dari perguruan tinggi. 

“Dari total koruptor yang ditangkap KPK, itu 84 persen adalah lulusan perguruan tinggi,” ungkap Mahfud MD. (Sumber dari Tribun Jateng.com) 

Miris, banyaknya koruptor yang berasal dari lulusan perguruan tinggi. Hal ini mencerminkan rendahnya kualitas Pendidikan di perguruan tinggi, dan gagalnya sistem Pendidikan yang diterapkan di negeri ini. Perguruan tinggi gagal mencetak generasi yang memiliki kepribadian mulia, yaitu kepribadian Islam. Pemimpin atau pejabat yang seharusnya amanah dan bertanggung jawab dalam mengurusi urusan rakyat justru hanya meraup keuntungan materi sebesar-besarnya. Hal ini mencerminkan rendahnya Pendidikan di perguruan tinggi, akibat dari asas yang dianut oleh perguruan tinggi yaitu sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, dan kapitalisme yang mengarah hanya pada keuntungan materi sebesar-besarnya semata. Apalagi dengan kurikulumnya senantiasa mengacu pada dunia bisnis, mencetak generasi yang mampu untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah. Maka hal ini nyata dengan adanya program Knowledge Based Economic (KBE). Secara sederhana KBE yaitu sistem ekonomi yang didasarkan pada modal intelektual dan produksi, konsumsi, dan penyebaran pengetahuan, artinya dunia Pendidikan dijadikan sebagai tempat untuk mendapatkan pengetahuan, harus mampu untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi. 

Kurikulum sekularisme kapitalis hanya memperhatikan pembentukan SDM agar memiliki karakter pekerja keras , produktif, terampil dan memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang sejalan dengan kebutuhan Industri saat ini. Pembentukan karakter agar generasi memiliki karakter yang amanah, berakhlak mulia, jujur, dan bertanggung jawab bukanlah menjadi perhatian ataupun fokus dalam sistem Pendidikan kapitalisme sekuler. Sehingga mereka tidak memperhatikan bahwa korupsi merupakan perbuatan yang haram. Allah swt., berfirman dalam Al-Quran surah Al-baqarah ayat 188: 

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta Sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta iitu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan Sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah/2: 188) 

Disisi lain, banyaknya kasus korupsi, hal ini juga menunjukkan lemahnya pemberantasan korupsi di negeri ini. Kursi kekuasaan hanya untuk mereka yang memiliki modal, dan mampu mengeluarkan modal besar untuk bisa mendapatkan kursi kekuasaan. Modal besar yang digunakan untuk melakukan kampanye dan sejenisnya. Sehingga para pejabat yang terpilih menduduki kursi kekuasaan bukanlah karena profesionalitas dan integritasnya namun karena modal besar yang dikeluarkan. Sehingga kekuasaan hanya dijadikan sebagai jalan untuk meraup keuntungan sebanyak mungkin, dan inilah celah korupsi menjadi penyakit yang semakin banyak terjadi dalam pemerintahan saat ini. Hal ini adalah akibat dari penerapan sistem kapitalisme sekuler yang merupakan akar masalah banyaknya  kasus korupsi di negeri ini. 

Berbeda dengan sistem Islam, Islam menjadikan aqidah Islam sebagai dasar kurikulum Pendidikan, begitu pun dalam aspek kehidupan yang lain, yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti sosial, Kesehatan, ekonomi, politik, sanksi, dan lain-lain semuanya berlandaskan pada Aqidah Islam. Pendidikan yang diterapkan pada sistem Islam memiliki tujuan untuk mencetak generasi yang berkepribadian Islam dengan pola pikir dan pola sikap Islam. Selain itu, juga mencetak generasi yang menguasai ilmu agama, sains, teknologi dan sebagainya, serta memiliki jiwa kepimpinan. Dengan demikian, ilmu agama adalah fokus utama dalam sistem Pendidikan Islam. Dengan pemahaman aqidah Islam akan membangun kesadaran akan adanya pengawasan dari Allah swt. Mereka menyadari bahwa semuanya akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah swt. 

Pendidikan Islam tidak akan berfokus pada materi yang membuat generasi sibuk untuk memperkaya dirinya sendiri dengan banyaknya materi, tanpa memperhatikan manfaat ilmu bagi umat dan Islam. Generasi yang di didik dengan sistem Pendidikan Islam akan banyak mengontribusikan ilmunya itu hanya untuk kemaslahatan umat manusia dan memberikan kebaikan bagi dunia sebagai perwujudan dari rahmatan lil Alamin. Tidak hanya itu, sistem politik dalam sistem Islam juga akan menutup celah terjadinya korupsi, apalagi dengan penerapan sistem ekonomi Islam yang menjamin kesejahteraan individu. Islam mensyariatkan bahwa kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban tidak hanya di hadapan manusia di dunia, akan tetapi juga di hadapan Allah swt. Sehingga pemimpin atau yang berada pada kursi kekuasaan adalah orang-orang yang amanah profesional, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya, ia akan berusaha untuk melakukannya dengan maksimal sesuai dengan syariat Islam. 

Selain itu, sistem Islam juga mempunyai sistem sanksi yang tegas yang mampu mencegah korupsi secara tuntas. Penerapan saksi Islam akan memberikan efek jawabir yakni pelaku akan jera dan dosanya telah ditebus, selain itu juga akan memberikan efek zawazir yakni efek mencegah dimasyarakat. (Sumber MMC). 

Demikianlah sistem Islam mampu mencetak generasi yang memiliki kepribadian Islam, memiliki jiwa kepemimpinan dan bertanggung jawab, serta mampu mencegah atau menutup celah terjadinya kasus korupsi. ALLAHU A’LAM BISHAWAB[]


Oleh: Haniah
Sahabat Tinta Media 

Selasa, 11 Juli 2023

Praktik Pungli Senilai 4 M di Rutan KPK; Ada Korupsi di Lembaga Anti-Korupsi?

Tinta Media - Perkembangan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia sangat memprihatinkan. Jumlah kasus ini terus meningkat dari tahun ke tahun hingga tak terhitung jumlah kerugian negara. Korupsi semakin sistematis terjadi di mana-mana, hampir di semua sektor, baik di tingkat bawah ataupun kalangan atas.

Kasus korupsi di Indonesia terjadi tidak hanya di partai politik atau lembaga hukum yang banyak melibatkan para pejabat, politisi, dan elite negeri ini. Bahkan, di lembaga negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK ) yang notabene memiliki visi bersama masyarakat untuk menurunkan tingkat korupsi juga terjadi.

Seperti yang terjadi baru-baru ini, telah ditemukan dugaan pungli di rutan KPK yang nilainya mencapai Rp4 miliar. Dugaan sementara atas pungli tersebut terkait perbuatan suap, gratifikasi, dan pemerasan kepada tahanan KPK untuk mendapatkan keringanan dan penggunaan alat komunikasi. 

Korupsi adalah suatu perbuatan buruk karena melakukan penyelewengan dana, wewenang, dan waktu untuk kepentingan pribadi sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain. 

Selain itu, korupsi merupakan bentuk pencurian melalui penipuan. Berarti, pelakunya telah mengkhianati amanah atau kepercayaan rakyat. Mirisnya, dengan tingkat korupsi yang masih tinggi dan politik lebih menguntungkan pihak pemodal, maka pencapaian keadilan akan jauh dirasakan. Sehingga, kemiskinan akan tetap tinggi. Hal ini dapat menjadi pangkal merebaknya kebodohan di tengah masyarakat.

Faktor utama munculnya korupsi sejatinya ada pada masalah sistem kapitalisme demokrasi hari ini, sebab sistem ekonomi kapitalisme yang selalu memperjuangkan kepentingan-kepentingan pribadi (private) telah melahirkan masyarakat yang materialistis, atau masyarakat yang hanya mengejar materi. Di sisi lain, dominasi hubungan penguasa dengan pengusaha yang sedikit, tetapi menguasai perekonomian, menciptakan ketidakadilan ekonomi hingga menimbulkan kemiskinan sistemik.

Sistem demokrasi yang digadang-gadang membawa kesejahteraan, sejatinya adalah lahan subur bagi korupsi yang tak berkesudahan. Sebab, dalam prosesnya, demokrasi baru akan berjalan setelah disuap. Suap dilakukan oleh para calon pemimpin agar dipilih. Tujuannya adalah untuk memenuhi kepentingan pribadi atau partainya saja 

Dengan membeli suara rakyat miskin, modal yang tidak sedikit itu pun menjadi celah bagi para pemilik modal untuk bisa ikut berpartisipasi menyumbang dana. Maka, tak heran jika sistem politik dengan mudah tersandera oleh kepentingan para pemilik modal.

Selain desain institusi yang amburadul, bekerja secara serabutan, sistem yang ada membuka peluang lebar terjadinya korupsi. Sistem pengawasan pun tidak memadai sehingga persoalan korupsi tidak ditangani secara seksama. Maunya ingin mengatasi, tetapi tidak dilakukan secara sungguh-sungguh

Hal ini terbukti dari hukum yang diterapkan bagi para koruptor di negeri ini tidak mampu memberi efek jera. Sebaliknya, hukum ditaburi berbagai diskon yang memberikan keringanan. Contohnya tentang pembebasan bersyarat napi koruptor. Meski telah melakukan kejahatan luar biasa, para eks-koruptor tetap boleh mendaftar sebagai calon legislatif kembali dengan alasan hak asasi manusia. 

Ini berbeda dengan sistem Islam. Secara tegas Islam mengharamkan umatnya menempuh jalan suap, baik bagi penyuap, penerima suap, maupun perantaranya. Dari suap ini, muncullah berbagai permainan hukum, seperti terjadinya putar balik fakta, sehingga yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi bebas, mengakibatkan banyak orang tidak dapat memperoleh hak-haknya sebagaimana mestinya.

Seperti yang Allah Swt. sampaikan, dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 188 Atau dalam surah An-Nisa ayat 29.

Juga terdapat pada hadis Nabi saw. yang berkenaan dengan larangan suap-menyuap
Dari Abdullah bin 'Amr, dia menceritakan Rasulullah saw. bersabda, "Laknat Allah Swt. kepada pemberi suap dan penerima suap." (HR . Ahmad)

Sementara dari sudut hukuman, Islam menawarkan hukuman tegas seperti potong tangan bagi pelaku pencuri, seperti yang tercantum pada surah Al Maidah: 38

Sehingga, hukuman bagi koruptor tentu harus lebih tegas dan membuat jera para pelaku. Sebab, kejahatan mereka lebih dari luar biasa dan dampaknya menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan semua sistem. Tidak saja merusak tatanan ekonomi, tetapi juga sosial, politik, hukum, dan juga moral.

Namun, akibat dijauhkannya peran agama dari kehidupan (sekulerisme), agama hanya boleh berada di ranah privat, tidak boleh mengatur urusan publik. Dengan demikian, bukan saja membuat hukum kacau balau, tetapi secara tidak langsung sama juga membiarkan manusia menjadi serakah dalam memenuhi hasratnya untuk terus melakukan akumulasi kekayaan (tanpa mempedulikan proses akumulasi kekayaan tersebut). Hal ini termasuk melanggar batas halal dan haram, yaitu dengan menyalahi amanah atau melakukan korupsi, seperti yang dilakukan para pegawai KPK yang tengah dalam sorotan. 

Oleh karena itu, berharap korupsi bisa dibasmi pada sistem saat ini hanyalah ilusi. Sebaliknya, solusi yang paling tepat sekarang hanyalah mencabut akar masalah ini dengan menyingkirkan kapitalisme demokrasi sejauh mungkin, serta menggantinya dengan sistem Islam.

Sebab, sistem Islam yang bersumber pada Al-Qur'an dan sunnah, bukan saja menghasilkan individu yang takut kepada Allah, yang selalu mawas diri serta menjaga diri-nya dari azab Allah, tetapi juga melahirkan individu amanah yang berkepribadian Islam

Namun, tentunya itu semua bisa terlaksana jika dipayungi oleh negara yang serius menjaga akidah umatnya. Negara ini menerapkan hukum-hukum Allah secara menyeluruh, sehingga mampu memberi hukuman setimpal sekaligus memberi efek jera bagi para pelaku korupsi. Dengan demikian, sedikit demi sedikit tingkat korupsi di negeri ini akan berkurang serta akan hilang. Negara menjadi bersih dan bebas korupsi.

Wallahu'alam bissawab

Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis muslimah Semarang 

Sabtu, 08 Juli 2023

Kasus Korupsi di Rutan KPK Menegaskan Kronisnya Masalah Korupsi

Tinta Media - Kasus korupsi yang terjadi di rutan KPK dinilai Narator Muslimah Media Center (MMC) menegaskan kronisnya masalah korupsi di negeri ini.

"Kasus korupsi banyak terjadi bahkan di rutan KPK sendiri, menegaskan kronisnya masalah korupsi di negeri ini," ujarnya dalam program Serba-serbi MMC: KPK Bermasalah, Lembaga Antikorupsi Mustahil Berantas Korupsi dalam Demokrasi. Senin (3/7/2023).

Menurutnya, harus diakui bahwa krisis kepemimpinan memang sedang terjadi tak hanya di lembaga KPK tetapi hampir di seluruh instansi pemerintahan.

Sementara itu ia menambahkan, dugaan adanya upaya pelemahan fungsi KPK melalui pengesahan revisi undang-undang KPK memang sudah tercium bahkan sebelum merevisi undang-undang tersebut disahkan.

"Fungsi KPK sebagai pemberantas korupsi dipandang dimutilasi dan dilucuti wewenangnya," jelasnya.

Adanya revisi undang-undang KPK yang melemahkan fungsi KPK ditambah krisis kepemimpinan seolah menunjukkan bahwa KPK berada di bawah bayang-bayang oligarki kekuasaan. 

"Oleh karena itu persoalan korupsi yang makin marak di negeri ini bukan hanya karena wewenang KPK yang disetir oleh kekuasaan sehingga kasus korupsi tidak banyak terkuak, namun juga karena penerapan sistem demokrasi kapitalis yang menyuburkan aktivitas korupsi," imbuhnya.

Tak khayal dikatakan bahwa lembaga apapun yang dibentuk untuk memberantas korupsi tidak akan mampu memberantas korupsi di negeri ini selama sistem yang diterapkan adalah demokrasi kapitalis, sistem politik berbiaya mahal ini sangat sarat dengan kongkalikong antara penguasa dan pengusaha serta upaya menghalalkan segala cara demi mengembalikan modal pemilu.

"Oleh karena itu korupsi di negeri ini hanya akan musnah jika diterapkan sistem shohih yang berasal dari Al Kholik Al Mudabbir yaitu Islam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) akan menutup rapat semua celah terjadinya korupsi melalui aturan yang komprehensif," tegasnya. 

Dalam sistem Islam motif kerakusan harta di babat dengan penegakan hukum atas kasus korupsi. Syariah Islam memberi batasan yang jelas dan hukum rinci berkaitan dengan harta para pejabat harta yang diperoleh dari luar gaji atau pendapatan mereka dari negara diposisikan sebagai kekayaan gelap (ghulul).

"Individu bertakwa yang lahir dari penerapan sistem pendidikan Islam  akan didukung oleh lingkungan yang kondusif, biasa amar ma'ruf nahi mungkar akan terjadi di tengah masyarakat, masyarakat bisa menjadi penjaga sekaligus pengawas diterapkannya syariat. Dengan begitu jika ada anggota masyarakat yang terindikasi berbuat kriminal atau korupsi mereka mudah melaporkannya pada pihak berwenang," bebernya.

Selain itu Khilafah memiliki sistem kerja lembaga yang tidak rentan korupsi, dalam sistem pemerintahan Islam ada lembaga yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat yaitu Badan Pengawas/Pemeriksa Keuangan. 

Narator menjelaskan, hal itu pernah dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khattab r.a, beliau mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai pengawas keuangan, tugasnya adalah mengawasi kekayaan para pejabat negara yakni menghitung kekayaan pejabat sebelum menjabat dan setelah menjabat.

"Jika terdapat kelebihan harta yang tidak wajar si pejabat harus membuktikan dari mana harta itu didapat jika tidak bisa membuktikannya berarti harta tersebut termasuk harta korupsi. Dalam Islam tidak akan ada jual beli hukum, seluruh lembaga dan perangkat hukumnya hanya menggunakan hukum Islam sebagai perundang-undangan," jelasnya.

Narator menilai pemberantasan korupsi semakin ampuh dengan sanksi hukum Islam, sistem sanksi tegas yang memiliki dua fungsi yaitu sebagai penebus dosa dan efek jera, dengan sanksi yang berefek jera para pelaku, untuk kasus korupsi akan dikenai sanksi takzir dimana khalifah berwenang menetapkannya. 

"Demikianlah strategi sistem Islam Kaffah memangkas dan memberantas korupsi dengan penegakan syariat Islam secara menyeluruh korupsi dapat dibasmi hingga tuntas," pungkasnya.[] Sri Wahyuni

Rabu, 31 Mei 2023

Mantan Penasihat KPK Sebut Tiga Kekuatan Koruptor

Tinta Media - Menanggapi kasus korupsi Menkominfo, Johnny G Plate, Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi, Dr. Abdullah Hemahua, M.M., menyebutkan ada tiga kekuatan koruptor. 

“Koruptor itu kan punya tiga kekuatan. Pertama, punya duit. Kedua punya geng. Ketiga punya senjata. Jadi kalau misalnya, tidak ikut dikasih duit. Kalau tidak mempan, menggunakan geng. Kalau masih tidak ikut juga, menggunakan senjata,” tutur Abdullah pada acara persprektif PKAD: Korupsi Era Jokowi Sistemik atau kasuistik? di Kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data, Kamis (25/5/2023).

Sebelumnya, Abdullah menjelaskan kekuatan uang untuk mewujudkan legislative heavy (kekuasaan legislatif). Untuk menjadi anggota legislatif baik pusat maupun daerah membutuhkan biaya politik yang besar. Oleh karena itu, legislatif akan membuat regulasi yang bisa mempertahankan hegemoni mereka. “Dibuatlah peraturan terkait parliamentary threshold (ambang batas perolehan suara minimal partai politik) dan presidential threshold,” ungkapnya.

Dari peraturan tersebut, untuk menduduki DPR Pusat, suatu partai harus mencapai parliamentary threshold yaitu 4 persen. Jika tidak mencapai ambang batas tersebut, maka tidak bisa menduduki kursi DPR Pusat. Demikian halnya dengan ketentuan presidential threshold (ambang batas pencalonan capres-cawapres). Meskipun, suatu partai mempunyai calon, kader, pimpinan dengan kualifikasi sangat tinggi, tidak bisa mengajukan capres-capres jika tidak mencapai ketentuan presidential threshold.

“Dengan begitu, maka capres-cawapres diajukan oleh partai-partai yang berada pada koalisi yang dikuasai oleh oligarki. Itu problem kita sekarang,” tegas Abdullah.
 
Adapun terkait kekuatan geng dalam kasus korupsi, Abdullah menunjukkan kasus korupsi Menkominfo yang merugikan negara sekitar 8 triliun, telah melibatkan setidaknya lima orang, dan sudah diproses. Abdullah menegaskan, jika kasus pencurian sesuai KUHP Pasal 362 bisa dilakukan oleh seorang diri, misalnya mencuri mobil, mencuri motor, mencuri ayam di kampung. 

“Korupsi tidak bisa dilakukan seorang diri. Harus lebih dari satu orang, apakah dia dengan atasannya, dia ada yang bawaannya, atau dia dengan temannya,” tandasnya.

Abdullah menambahkan, menteri merupakan pemegang kekuasaan di suatu kementerian. Saat menandatangani suatu proyek, seorang menteri akan melalui proses dari bawah. Oleh karena itu, menurutnya, seorang menteri tidak mungkin melakukan korupsi sendirian. 

“Dengan demikian, karena ini (pemerintahan) koalisi, tidak mungkin Partai Nasdem saja. Partai koalisi yang memiliki andil dalam mengajukan presidential threshold untuk Pilpres 2014 atau pilpres 2019, bisa terlibat korupsi,” tambahnya.

Terakhir, terkait kekuatan senjata, mantan Penasihat KPK tersebut memberi contoh kasus yang menimpa Nasrudin Zulkarnaen, Antasari Azhar menggunakan senjata. Dari tiga kekuatan koruptor, menurut Abdullah, korupsi yang terjadi saat ini menggunakan kekuatan geng. 

“Nah, (koruptor) hari ini menggunakan geng,” pungkasnya. [] Ikhty

Kamis, 22 Desember 2022

Peringatan Hakordia, Negara Tak Berdaya di Depan Koruptor

Tinta Media - Alih-alih memiliki komitmen tinggi dalam pemberantasan korupsi di tanah air, negara ini terasa semakin tunduk dan tak berdaya di hadapan para pemakan harta negara dan rakyat. Mulai dari sejumlah kebijakan yang dibuat atau kinerja KPK yang dinilai turut menurun. Semua ini menunjukan bagaimana tidak berdayanya negara melawan para pemakan harta negara ini.

Kinerja KPK Dinilai Menurun

Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2022 memberikan satu catatan penting bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi di tanah air. Hal ini terkait dengan anjloknya kepercayaan publik terhadap institusi ini. Diduga hal ini sangat erat dengan perilaku insan di dalamnya. Berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 19-21 Juli lalu terhadap 502 responden, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga anti korupsi ini mencapai posisi terendah dalam lima tahun terakhir.

Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman berpendapat bahwa ada empat catatan yang membuat anjloknya kepercayaan publik terhadap KPK ini. 

Pertama, KPK dinilai telah kehilangan independensinya sebagai lembaga antikorupsi yang sengaja dibentuk negara guna mendukung upaya pemberantasan korupsi.

Kedua, terkait dengan integritas para petinggi KPK yang dinilai banyak melakukan pelanggaran etik, khususnya para pimpinannya. Misalnya, kasus Ketua KPK Firli Bahuri yang menampilkan gaya hidup mewah, serta mantan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar yang disinyalir menerima gratifikasi dari sejumlah pihak yang berperkara. Selain itu, terdapat sejumlah insan KPK yang diduga terjerat dalam lingkaran suap dalam penanganan perkara, pencurian barang bukti, dan juga berbagai tindak pelanggaran lainnya. Semua kasus ini menunjukan rendahnya integritas KPK. 

Ketiga, dapat dilihat dari minimnya KPK dalam menangani kasus strategis. Yang dinamakan kasus strategis adalah kasus yang menimbulkan kerugian besar negara, menyangkut hajat hidup orang banyak, atau dilakukan oleh pejabat dengan jabatan yang paling tinggi. Pada sisi ini, KPK sudah jarang menemukan kasus strategis dan sebaliknya, hanya terkesan tebang pilih terhadap kasus korupsi yang ditangani. KPK juga dinilai minim ketegasan dalam upaya penindakan perkara korupsi. 

Dalam momen peringatan Hakordia kali ini, Zaenur berharap bahwa ini tidak hanya menjadi momen seremonial saja yang tidak berdampak terhadap upaya pemberantasan korupsi di tanah air. Dia berharap bahwa Hakordia ini harus digunakan sebagai sarana evaluasi dan kontemplasi dalam perjalanan dan kerja-kerja pemberantasan korupsi. (Kompas com/Desember, 9-12-2022)

Ironi memang, lembaga yang diharapkan mampu untuk memberantas tindak korupsi oleh pejabat negara ternyata harus tunduk pada sistem yang ada. Selanjutnya, lembaga ini seakan kehilangan taringnya ketika berhadapan dengan pencuri berdasi ini. Seakan selalu saja ada seribu cara untuk menyelamatkan diri dari jerat penanganan kasus korupsi. 

Islam Tegas Menindak Koruptor 

Islam memiliki aturan yang jelas untuk menindak para pencuri, termasuk pencuri berdasi ini. Mekanisme yang dimiliki Islam berlaku mulai dari tindak preventif untuk menjaga setiap individu muslim agar tidak sampai terlibat dalam tindak korupsi sampai pada tahap kuratif, yaitu menyelesaikan dan menangani jika ada kasus korupsi yang terjadi. 

Pertama, dalam Islam, pembentukan individu yang bertakwa menjadi satu konsentrasi utama. Masyarakat Islam terbentuk dari individu-individu yang memiliki rasa takut jika melakukan kesalahan atau kemaksiatan yang melanggar hukum-hukum Islam. 

Mengenai tindak korupsi, jelas Islam melarang hal ini. Salah satunya seperti yang disebutkan di dalam surat An-Nisa ayat 29, yang berbunyi, 

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesama kamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu."

Dari ayat ini, jelas bagaimana setiap orang diharuskan memperoleh harta dari jalan yang benar, bukan dari jalan yang salah seperti korupsi ini. 

Kedua, berkaitan dengan masyarakat. Masyarakat Islam terdiri dari individu-individu muslim yang bertakwa. Setiap dari mereka akan menjaga muslim yang lainnya agar tidak sampai melakukan kesalahan. Ada kontrol masyarakat yang berjalan efektif guna menjaga keberlangsungan kehidupan sesuai dengan hukum dari Allah Swt.

Ketiga, terkait dengan institusi negara. Islam memiliki sejumlah mekanisme untuk menjaga agar tidak sampai terjadi tindak korupsi. Misalnya dengan memberikan gaji yang tinggi dan layak bagi pegawai negara. Selain itu, juga terkait dengan sanksi hukum yang berat bagi pelaku tindak kemaksiatan, termasuk korupsi ini, yaitu hukuman potong tangan yang nyata-nyata mampu memberikan efek jera bagi pelaku tindak kriminal.

Yang menjadi perhatian utama mengenai masih maraknya kasus korupsi di tanah air adalah sistem yang dijalankan di negeri ini. Sistem demokrasi sekuler membuka peluang yang sangat besar untuk memungkinkan tindak korupsi terjadi. Individu tak lagi memiliki rasa takut kepada Rabbnya jika melakukan kesalahan. Yang dijadikan fokus utama adalah bagaimana memperoleh harta dalam jumlah yang maksimal. 

Ide liberalisme dan hedonisme semakin menambah buruknya sistem demokrasi sekuler ini, membuat individu merasa memiliki kebolehan dan kewajaran jika melakukan kesalahan karena orang lain juga melakukan hal yang sama. Sementara, tujuan kehidupan hanya semata untuk mendapatkan kesenangan dunia. Semua dilakukan walaupun tanpa mengindahkan aturan Sang Pemilik kehidupan. 

Inilah fakta nyata kehidupan saat ini, yaitu ketika hukum demokrasi sekuler ada. Sangat lain faktanya dengan kehidupan berlandas Islam yang sangat menjaga dari pelaku tindak korupsi. Tak salah, jika sebagian muslim pun berharap bahwa hukum Islam ini bisa diterapkan kembali secara menyeluruh. Insyaallah.

Oleh: Rochma
Sahabat Tinta Media

Rabu, 05 Oktober 2022

DEMOKRASI : RUMAH BESAR PARA KORUPTOR

Tinta Media - Terbukti secara nyata bahwa sistem demokrasi telah menjadi rumah besar bagi para koruptor, mulai dari pejabat tertinggi hingga pejabat terendah. Di Indonesia, berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tak kurang sudah 176 kepala daerah tersandung permasalahan hukum.

Terakhir dan saat ini sedang ramai dibincangkan masyarakat adalah Gubernur Papua, Lukas Enembe. Bagaimana tidak, di balik dugaan gratifikasi Rp 1 miliar yang disangka KPK ternyata turut ditemukan adanya aliran dana tak wajar yang mencapai setengah triliun rupiah. Jika kemudian tudingan dan temuan KPK terbukti, maka Lukas bisa dianggap kepala daerah paling korup sepanjang sejarah.

Aliran dana tak wajar Lukas bukan baru-baru ini terdeteksi, melainkan sejak tahun 2017 sebagaimana disampaikan Ketua Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan. Hal itu menandakan selama lima tahun ke belakang praktis peran inspektorat lemah sebagai aparat pengawas internal pemerintah provinsi Papua sekaligus benteng awal preventif praktik korupsi.

Demokrasi telah melahirkan para koruptor dari level presiden, gubernur, menteri, anggota dewan, hakim, jaksa, polisi, bupati, bahkan hingga tingkat ketua RT. Rumah besar para koruptor ini kini terus dipelihara oleh para cecunguk demokrasi agar mereka tetap langgeng mempertahankan kekuasaan sekaligus melanjutkan korupsinya. Bahkan di negeri ini bansos yang menjadi hak rakyat miskinpun dikorupsi oleh meterinya.

 

Maraknya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme tak kunjung usai mewarnai jagad perpolitikan Indonesia. Bahkan fenomena ini oleh sebagain besar masyarakat Indonesia telah disebut sebagai budaya. Budaya artinya perbuatan yang diulang-ulang karena dianggap telah menjadi kebiasaan. Bisa jadi sistem demokrasi yang bersifat antroposentris yang meniadakan peran Tuhan telah melahirkan politik kleptokrasi, dimana mencuri uang rakyat dianggap sebagai budaya politik.

 

Biaya politik demokrasi itu sangat tinggi yang bisa menjadi pemicu lahirnya para koruptor ketika berkuasa dalam rangka mengembalikan modal politik sebelumnya. Misalnya saja, berdasarkan temuan Kementerian Dalam Negeri beberapa tahun lalu, anggaran yang harus disediakan calon kepala daerah bisa puluhan miliar rupiah, bahkan untuk level gubernur mencapai ratusan miliar rupiah. Jika dilihat pendapatan setiap bulan, mustahil pimpinan daerah tersebut dapat mengembalikan modal yang telah dikeluarkan saat masa kampanye. Pada titik ini kemudian praktik korupsi merajalela dan berhasil menyeret ratusan kepala daerah ke proses hukum.

 

Jika dianalogikan, demokrasi itu seperti kolam ikan yang menarik orang untuk mendatanginya, berharap mendapatkan ikan-ikan itu untuk bisa dijadikan makanan. Mereka berduyun-duyun mendatangi kolam, namun sungguh mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya mereka sedang dalam jebakan yang membahayakan mereka sendiri. Ada konspirasi global yang tengah mengancam kehidupan mereka.

 

Sebenarnya demokrasi itu hanya berisi mitos-mitos indah yang menyihir rakyat, namun rakyat tak bisa banyak berbuat, karena kebodohan dan juga karena kelemahan dirinya. Fakta-fakta dunia akibat hegemoni demokrasi kapitalisme sebenarnya sudah begitu sangat gamblang melahirkan social destructive, namun bagi orang yang telah terkena sihir, seperti sapi yang telah dicocok batang hidungnya. Demokrasi itu seperti jebakan lubang biawak.

 

Ada bebarapa mitos demokrasi yang telah berhasil menyihir rakyat, termasuk kaum muslimin. Pertama, mitos bahwa demokrasi adalah sistem politik dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Padahal realitasnya adalah bahwa para kepala negara dan anggota parlemen negara-negara demokrasi (AS, Inggris) sebenarnya bukan mewakili rakyat, melainkan mewakili kehendak kaum kapitalis oligarki (pemilik modal, konglomerat).

 

Oligarki adalah struktur kekuasaan yang terdiri dari beberapa individu elit, keluarga, atau perusahaan yang diizinkan untuk mengontrol suatu negara atau organisasi. Melansir Thoughtco, "Oligarki" berasal dari kata Yunani "oligarkhes", yang berarti "sedikit yang memerintah". Jadi, oligarki adalah struktur kekuasaan yang dikendalikan oleh sejumlah kecil orang, yang dapat terkait dengan kekayaan, ikatan keluarga, bangsawan, kepentingan perusahaan, agama, politik, atau kekuatan militer. Oligarki adalah gembongnya para koruptor.

 

Mitos kedua demokrasi adalah bahwa demokrasi merupakan pemerintahan rakyat.
padahal realitas dan rasionalitasnya adalah tidak mungkin seluruh rakyat yang memerintah, sehingga tetap saja yang menjalankan pemerintahan adalah elit penguasa yang berasal dari pemilik modal kuat atau pengendali kekuatan militer.

 

Mitos ketiga demokrasi adalah bahwa sistem politik ini membuka ruang kebebasan bagi siapa saja. Padahal realitas ternyata kebebasan itu hanya diperbolehkan apabila mendukung sekulerisme (azas demokrasi), namun apabila ternyata mendukung azas syariat Islam maka ia akan dihancurkan. Tidak ada kebebasan bagi perjuangan syariat Islam di negara demokrasi. Yang terjadi justru sebaliknya, perjuangan Islam malah dituduh radikalisme dan bahkan terorisme. Pelarangan jilbab di Perancis juga menunjukkan bahwa kebebasan itu hanyalah mitos belaka.

 

Mitos keempat demokrasi adalah bahwa ideologi transnasional ini akan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Padahal realitasnya dengan propaganda barat agar negara dunia ketiga menerapkan demokrasi untuk kesejahteraan, namun realitasnya hanya memakmurkan negara-negara kapitalis dan agen-agennya (seperti jepang dan singapore). Pada saat Badan Pangan Dunia (FAO) menyatakan 817 juta penduduk dunia kelaparan dan setiap 2 detik satu orang meninggal dunia, maka pada saat yang sama negara-negara maju sibuk melawan kegemukan. Pemenuhan kebutuhan pangan dan sanitasi USD13 miliar = +/- pengeluaran per tahun orang-orang Amerika dan uni eropa untuk membeli parfum mereka.

 

Kesejahteraan kaum kapitalis, bukan karena demokrasi, namun karena eksploitasi mereka terhadap kekayaan negara-negara lain dengan rakus. Kapitalisme tumbuh besar dengan merampok dan memiskinkan dunia ketiga secara sistimatis (seperti melalui krisis moneter, privatisasi, pasar bebas, pemberian hutang, standarisasi mata uang dolar, dsbnya. Demokrasi dimanfaatkan untuk kepentingan penjajahan ekonomi, pertama dicap sebagai pelanggar demokrasi dan HAM, kemudian blokade ekonomi, dan perampokan kekayaan alam. Adalah mitos, sebab tidak ada relevansinya antara demokrasi dengan kesejahteraan.

 

Mitos kelima demokrasi adalah bahwa sistem kufur ini menjanjikan stabilitas.
padahal realitasnya menunjukkan bahwa demokrasi justru menimbulkan banyak konflik di tengah masyarakat. Ketika pintu kebebasan dibuka, justru banyak pihak yang menuntut disintegrasi sebagai wujud kebebasan dan kemerdekaan. Reformasi yang memunculkan konflik Timor timur, Aceh, Maluku dan Papua.

 

Demokrasi juga memunculkan kekisruhan dalam pemilihan kepala daerah juga memunculkan fanatisme nasionalisme atas nama bangsa, suku dan kelompok. Disintegrasi yang berlarut-larut di alam demokrasi mestinya menjadi kesadaran betapa bahayanya sistem politik ini. Topeng demokrasi juga terbukti telah menimbulkan puluhan ribu korban manusia.   

 

Mitos keenam demokrasi adalah bahwa ideologi ini menjanjikan sebuah kemajuan karena kreatifitas, kreatifitas karena kebebasan, kebebasan karena demokrasi 
‘tanpa demokrasi, timur tengah akan menjadi stagnan (jumud)’. Begitulah narasi yang dibangun selama ini. Padahal realitasnya adalah sebaliknya. Persoalannya bukan pada kebebasan atau tidak, namun apakah masyarakat memiliki kebiasaan berfikir produktif atau tidak.

 

Demokrasi kapitalisme adalah ideologi transnasional yang sejatinya merupakan neoimperialisme negara asing aseng kepada negeri-negeri muslim. Negeri-negeri muslim yang pernah bersatu padu dalam satu kepemimpinan khilafah Islam, kini tercabik menjadi lebih dari 57 negara oleh nasionalisme sempit. 

 

Negara yang menerapkan demokrasi kapitalisme sekuler pada hakekatnya adalah negara komprador, yakni negara budak yang tidak akan pernah merdeka. Watak komprador dimulai dari intervensi asing dan aseng dalam pemilu, dimana banyak calon pemimpin yang didukung dana oleh para kapitalis asing dan aseng untuk dijadikan budak setelah menjadi pemimpin.

 

Pemimpin komprador sebenarnya tidak lebih dari sebuah boneka tak bernyawa, sebab hidupnya dibawah belenggu dan kendali penjajah kapitalisme dan materialisme. Secara bahasa kata komprador maknya adalah pengantara bangsa pribumi yang dipakai oleh perusahaan atau perwakilan asing dalam hubungannya dengan orang-orang pribumi.

 

Para pengkhianat yang berkomplot dengan penjajah hanya demi mendapatkan dunia telah terjadi sejak lama. Indonesia dijajah lebih dari 3 abad bukan karena tidak ada para pejuang yang melalawannya, namun karena banyuaknya pengkhianat. Para pengkhianat itu selalu menjadi mata-mata bagi para penjajah untuk memberikan informasi terkait negerinya sendiri. Para pengkhianat juga sering kali mengadu domba rakyat sendiri untuk ditonton oleh para penjajah.

 

Para pengkhianat juga sering kali menebarkan hoax dan fitnah kepada sesama saudara sebangsa demi mendapatkan materi dari penjajah. Para komprador ini ibarat anjing yang rela makan tulang saudaranya sendiri. Demokrasi adalah rumah besar para koruptor karena sejatinya adalah neoimperialisme dan hegemoni oligarki yang disokong oleh para pemimpin boneka. Demokrasi dan korupsi tak mungkin dipisahkan, sebab telah menjadi budaya politiknya.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 01/10/22 : 08.30 WIB)  

Dr. Ahmad Sastra 
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 
 

 

Jumat, 23 September 2022

Gelar Profesor Menyandang Koruptor, Ada Apa?

Tinta Media - Miris dan heran, gelar pendidikan tinggi S1, S2, hingga Profesor, tetapi melakukan tindakan tercela, korupsi. Gencarnya pemberantasan korupsi yang disampaikan banyak pihak, tak membuat ciut nyali pejabat berdasi melakukan korupsi.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri menyoroti para koruptor yang di tangkap, baik oleh instansinya maupun penegak hukum lain. Sebagian besar koruptor tersebut menyandang gelar sarjana sampai profesor.

“Lihat saja para koruptor yang dicokok KPK dan penegak hukum lainnya, sebagian besar dari mereka menyandang gelar sarjana, S1, S2, S3, bahkan Profesor,” kata Firli melalui akun Twitter-nya @firlibahuri (Beritasatu.com, 9/4/2022).

Kita sepakat bahwa manusia yang punya pendidikan tinggi tentu bersikap baik. Ketika jadi pejabat pun seharusnya menjadi pejabat yang baik. Malu, kalau melakukan perbuatan tercela. Namun, hal tersebut tidak terjadi, justru sebaliknya. Mereka memiliki gelar bergengsi, tetapi gemar korupsi. Itu sebabnya, kita patut bertanya terkait dengan sistem pendidikan sekaligus politik yang diterapkan saat ini. Ada apa?

Sistem politik negeri ini menerapkan asas Sekulerisme Demokrasi, melarang agama (lslam) untuk mengatur kehidupan publik. Inilah kesalahan fatal. 

Manusia adalah sosok yang lemah. Saat membuat aturan sendiri, tentu akan terjadi tarik ulur, penuh dengan kepentingan dan perselisihan. Kebenaran dalam sistem ini landasannya adalah voting. Asal didukung suara terbanyak, maka keputusan itu diambil sebagai sebuah aturan. Meski hal tersebut sering melanggar hukum agama, contoh minuman keras tidak dilarang karena dianggap bisa memberikan pemasukan bagi negara. Padahal dari miras muncul banyak kejahatan, pembunuhan, pencurian, terjadinya kecelakaan dan lain-lain.

Terkait sistem pendidikan dalam sistem ini, cabang dari sekulerisme yang kosong ruhiyah membuat manusia-manusia rapuh dalam menghadapi godaan dunia. Sehingga yang di pikirkan bagaimana mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Diperparah adanya UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), membuat pendidikan mahal karena penggelolannya di serahkan pihak sekolah atau kampus, selanjutnya beban di timpakan kepada wali murid atau mahasiswa. Tak heran jika alumnus pendidikan hari ini berorientasi provid, artinya biaya mahal yang di keluarkan harus bisa balik sekaligus keuntungannya. 

Sanksi yang dikenakan dalam hukum ini pun tebang pilih, jika rakyat kecil yang melanggar maka hukuman cepat dijatuhkan. Namun jika pelakunya pejabat atau orang yang dekat dengan penguasa, penanganan kasus lambat, hukumannya pun sering ada potongan dan terkesan hukuman yang dijatuhkan terkesan permainan belaka. Begitulah hukum buatan manusia menguntungkan kalangan atas, namun tidak bagi rakyat bawah.

Berbeda dengan politik lslam yang tegak selama 13 abad. Politik dalam lslam adalah, bagaimana mengurusi kebutuhan rakyat dengan landasan aqidah. Keperluan rakyat baik sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan dan pendidikan wajib di penuhi negara dengan murah hingga bisa gratis.
Para pejabat menjalankan politik dalam rangka menunaikan amanah. Bukan pencitraan, apalagi untuk meraih kursi jabatan lima tahunan. Mereka melaksanakan politik atas dasar aqidah dan meneladani yang dibawa Rasulullah SAW.

"Barang siapa diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya." (HR Muslim).

Hal tersebut menjadikan para pemimpin berhati-hati dalam hal jabatan. Sebagaimana Umar bin Khathab saat menjabat sebagai Khalifah menyita domba gemuk milik anaknya, di sebabkan makan rumput dekat padang gembalaan Baitul Mal negara. Beliau takut anaknya memanfaatkan jabatan ayahnya.

Dalam sistem pendidikan, juga lahir dari aqidah yaitu membentuk syaksiyah lslamiyah (kepribadian lslam). Di tambah dengan ilmu terapan dan ketrampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, tekhnik dan lain-lain. Negara juga memudahkan rakyatnya menguasai ilmu kehidupan agar manusia mencapai kemajuan materia, hal demikian membuat manusia dan khususnya umat lslam berwibawa.

Dengan pengaturan yang dilandaskan syariat lahirlah ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu, hingga hari ini pun apa yang di capai mereka sangat bermanfaat buat kehidupan. Seperti al Khawarizmi penemu angka nol, ibnu Sina bapak kedokteran, ar Razi ahli bedah, Abbas ibnu Firnas penemu cikal bakal pesawat dan masih banyak lagi ilmuwan terkemuka penyumbang kemajuan.

Sanksi hukum yang dikenakan pun tegas terhadap siapa saja pelaku korupsi. Jika kasus pelanggarannya berat, maka bisa dihukum mati sesuai ijtihad khalifah sebagai kepala negara. Sanksi dilaksanakan agar manusia jera dan tidak melakukan tindakan yang sama (Jawazir), serta sebagai penebus (jawabir) hukuman di akhirat yang tentu lebih pedih dan selamanya.

Sungguh manusia, bisa hidup bersih dan bermartabat baik kalangan umum maupun pejabat. Mereka tidak gila harta hingga menipu orang lain demi memperkaya diri. Pejabat memberikan teladan sebagai pemimpin yang layak di cintai dan rakyat puas dengan layanan mereka. Tidak lain semua itu hanya ada dalam sistem lslam yang di terapkan kaffah dalam semua aspek kehidupan. Allahu a’lam.

Oleh: Umi Hanif 
Sahabat Tinta Media

Jumat, 09 September 2022

ANTARA PROFESOR, KORUPTOR DAN KOMPRADOR  

Tinta Media - Demokrasi kapitalisme adalah ideologi transnasional yang sejatinya merupakan neoimperialisme negara asing aseng kepada negeri-negeri muslim. Negara yang menerapkan demokrasi kapitalisme sekuler pada hakekatnya adalah negara komprador, yakni negara budak yang tidak akan pernah merdeka. 

Watak komprador dimulai dari intervensi asing dan aseng dalam pemilu, dimana banyak calon pemimpin yang didukung dana oleh para kapitalis asing dan aseng untuk dijadikan budak setelah menjadi pemimpin. 

Pemimpin komprador sebenarnya tidak lebih dari sebuah boneka tak bernyawa, sebab hidupnya dibawah belenggu dan kendali penjajah kapitalisme dan materialisme. 

Secara bahasa kata komprador maknanya adalah pengantara bangsa pribumi yang dipakai oleh perusahaan atau perwakilan asing dalam hubungannya dengan orang-orang pribumi. 

Para pengkhianat yang berkomplot dengan penjajah hanya demi mendapatkan dunia telah terjadi sejak lama. Indonesia dijajah lebih dari 3 abad bukan karena tidak ada para pejuang yang melawannya, namun karena banyaknya pengkhianat. 

Para pengkhianat itu selalu menjadi mata-mata bagi para penjajah untuk memberikan informasi terkait negerinya sendiri. Para pengkhianat juga sering kali mengadu domba rakyat sendiri untuk ditonton oleh para penjajah. 

Para pengkhianat juga sering kali menebarkan hoax dan fitnah kepada sesama saudara sebangsa demi mendapatkan materi dari penjajah. Para komprador ini ibarat anjing yang rela makan tulang saudaranya sendiri. 

Saking parahnya sistem demokrasi sekuler ini, ada tokoh yang pernah mengatakan andai malaikat masuk sistem, maka akan jadi iblis. Perkataan ini mungkin bisa disamakan dengan, meskipun seorang profesor, jika masuk sistem bisa jadi koruptor. Bisa kan?. 

Memangnya ada seorang profesor yang jadi koruptor, ya lihat aja di penjara-penjara, ada gak? Profesor kok jadi koruptor, tapi begitulah faktanya. (UAS)

Dr. Ahmad Sastra 
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB)
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab