Kamis, 24 Oktober 2024
Sabtu, 21 September 2024
FDMPB Ungkap Cara Islam Membasmi Korupsi
Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad
Sastra mengungkap cara Islam membasmi korupsi.
"Diterapkan syariah Islam sebagai satu-satunya sistem
hukum yang semestinya berlaku di negeri ini, karena penerapan syariah Islam
akan sangat efektif untuk membasmi korupsi, baik terkait pencegahan (preventif)
maupun penindakan (kuratif)," ungkapnya.
Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib yang amanah serta
berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau
nepotisme.
"Tentang sikap amanah, Allah SWT telah
berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati
Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian
padahal kalian tahu (TQS al-Anfal [8]: 27)," terangnya.
Ia mengutip hadist al-Bukhari, Pemimpin yang memimpin rakyat
adalah pengurus dan bertanggung jawab atas rakyat yang diurus.
Tujuannya, Ahmad ingin mengilustrasikan antara sekian banyak
amanah, yang paling penting adalah amanah kekuasaan.
Lalu terkait profesionalitas dan integritas, Rasulullah
antara lain pernah bersabda, "Jika urusan diserahkan kepada yang
bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat." (HR Bukhari).
Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh
aparat dan pegawainya.
"Rasulullah mengingatkan Sahabat Muadz bin Jabal ketika
beliau hendak bertugas menjadi âmil (kepala daerah setingkat bupati) di
Yaman," ujarnya .
Ahmad menerangkan TQS Ali Imran [3]: 161, sebagai dasar
argumennya, "Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu
adalah ghulûl (khianat). Siapa saja yang berkhianat, pada Hari Kiamat ia akan
datang membawa apa yang dikhianatkannya itu."
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang
layak kepada aparatnya.
Ia menyampaikan sabda Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan
oleh Ahmad, "Siapa saja yang bekerja untuk kami, tetapi tak punya rumah,
hendaklah dia mengambil rumah. Jika tak punya istri, hendaklah dia menikah.
Jika tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau
kendaraan."
Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para
aparat negara. Ia mengutip dari sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan al-Hakim, "Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan
telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah
itu adalah harta ghulûl."
"Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, hukumnya
haram, dan suap yang diterima hakim merupakan kekufuran, apa pun bentuknya
merupakan harta ghulûl dan hukumnya haram," tuturnya.
Kelima, Islam memerintahkan untuk melakukan perhitungan
kekayaan bagi aparat negara.
Ia mencontohkah, bagaimana Khalifah Umar bin Khaththab ra.
biasa menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.
"Jika Umar ra. mendapati kekayaan seorang wali
atau 'âmil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau
meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan tak wajar
tersebut," ungkapnya.
Lantas ia mengutip dari Ibnu 'Abd Rabbih, Al-'Iqd
al-Farîd, I/46-47, apabila penjelasannya tidak memuaskan, kelebihannya disita
atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitul Mal. Hal ini pernah beliau
lakukan kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan juga Amr bin al-'Ash
Keenam, pengawasan oleh negara dan masyarakat.
"Pemberantasan korupsi tentu akan menjadi lebih sempurna jika disertai
dengan kontrol dari masyarakat, khususnya para ulama," terangnya.
Adapun secara kuratif maka membasmi korupsi dilakukan dengan
cara penerapan sanksi hukum yang tegas dan tanpa tebang pilih.
"Dalam Islam hukuman untuk koruptor masuk
kategori ta'zîr, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh
hakim/penguasa," imbuhnya.
Kemudian mengutip dari Abdurrahman al-Maliki, dalam
kitab Nizhâm al-'Uqûbât, hlm. 78-89, bentuk sanksinya bisa mulai dari yang
paling ringan seperti teguran dari hakim; bisa berupa penjara, pengenaan denda
atau pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhîr); bisa
hukuman cambuk; hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati.
"Berat ringannya hukuman ta'zîr ini
disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan," pungkasnya.
[] Novita Ratnasari
Selasa, 16 April 2024
Tujuh Unsur Penting Pencegahan Korupsi
Tinta Media - Pakar Hukum Aulia Postiera mengatakan sekurang-kurangnya ada
tujuh unsur penting untuk mencegah korupsi.
"Soal pencegahan korupsi sendiri itu sekurang-kurangnya
ada tujuh unsur penting," ujarnya dalam tayangan Korupsi Timah 271 Triliun
Masih Banyak Belum Terungkap di kanal Youtube Novel Baswedan, Senin (8/4/2024).
Pertama, pencegahan korupsi butuh kepemimpinan yang bersih
dan berintegritas. Presiden maupun ketua-ketua lembaga negara di level
tertinggi itu harus punya komitmen yang kuat termasuk DPR, DPRD I dan DPRD II.
Kedua, butuh transparansi dan akuntabilitas. Jadi ada
keterbukaan informasi, ada pertanggungjawaban atas penggunaan kekuasaan dan
sumber daya politik.
Menurutnya, transparansi dan akuntabilitas itu kunci, karena
ketertutupan itu adalah ciri-ciri dari adanya suatu tindak pidana korupsi atau
ciri-ciri adanya suatu tindakan korup.
Ketiga, adanya pengawasan yang dan kontrol yang baik, dengan
adanya pengawasan dan kontrol yang baik sistem yang sudah dibangun itu bisa
terjaga dengan baik.
Keempat, bicara unsur pencegahan itu adalah penegakan hukum
yang tegas. Pencegahan korupsi itu jangan dipisah dengan penegakan hukum.
Saat ini, ujarnya, paradigma yang dibangun dengan
mendikotomi pencegahan dan penindakan itu salah kaprah.
"Sebenarnya ini paradigma seperti itu, paradigma
akal-akalan. Mereka yang korupsi, sudah menjabat terus dia mencegah korupsi,
itu tidak mungkin bisa jalan," ungkapnya.
Kelima, soal pendidikan dan kesadaran masyarakat,
sebenarnya bentuk pendidikan yang buruk kepada masyarakat terkait dengan
namanya pencegahan korupsi ketika tidak dapat memberikan pendidikan yang
baik kepada masyarakat luas korupsi akan tetap terjadi.
Keenam, kebijakan anti korupsi. Bicara kebijakan ini soal
implementasi pembuatan aturan dan implementasi dari peraturan itu sendiri.
Ketujuh, kolaborasi antara penegak hukum, lembaga pemerintah
dengan masyarakat, dengan pihak dunia usaha itu yang memegang peranan kunci
dalam pencegahan korupsi. [] Muhammad Nur