Tinta Media: Korban
Tampilkan postingan dengan label Korban. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Korban. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 Maret 2024

Sistem Neoliberal Kapitalistik Bikin Korban Gagal Ginjal Berjuang Sendiri



Tinta Media - Ironis, orang tua berjuang sendirian untuk menghadapi kondisi buah hatinya yang bertahan untuk hidup melawan penyakit mematikan. 

Kembali memanas rangkaian panjang yang ditempuh korban gagal ginjal akut akibat kelalaian pemerintah kini menyeret aktor baru yang diduga terlibat dalam penderitaan sistemik ini. (Bbc.newsindonesia, 8/2/24) 

Bahwasanya KOMNAS HAM menyatakan bahwa terjadi pelanggaran HAM kepada 204 anak meninggal dan 326 korban dalam perawatan. (5/2/23) 

Hal ini disebabkan karena meminum obat sirup yang diproduksi oleh Pt. Afi Firma yang mengandung propilen glikol (PG) zat kimia berbahaya dan beracun, dalam bahan baku ini terdapat kandungan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). 

Bencana ini tidak lepas dari kelalaian BPOM karena obat yang mengandung zat berbahaya bisa lolos sensor sehingga didistribusikan dan sampai dikonsumsi oleh konsumen. 

Perkembangan terbaru, Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Brigjen Nunung Syaifuddin menyatakan bahwa status BPOM naik menjadi tahap penyidikan, BPOM dianggap sebagai regulator kejahatan, dan lalainya sebagai pihak pengawas atas pemberian surat izin edar obat sirop yang menyebabkan gagal ginjal pada anak bahkan kematian. (27/12/23) 

Orang tua korban murka mengenai lepas tangannya pemerintah terhadap malapetaka ini. Salah satunya Desi Permatasari, ibu dari Sheena, anak berusia enam tahun yang menderita gangguan gainjal akut progresif atipikal mengatakan terkait adanya santunan hanya pembodohan publik semata. 

Hal ini disebabkan dirinya menghabiskan ratusan juta untuk pengobatan Sheena murni tanpa campur tangan pihak lain, bahkan sampai menjual rumah nya dan terlilit hutang untuk berobat putrinya yang sampai detik ini setahun berlalu belum ada perkembangan signifikan, masih terbaring di rumah sakit. 

Proses panjang yang di tempuh menunjukkan kerusakan sistemik. Dalang dari kejahatan ini yaitu negara menganut paradigma neoliberal kapitalistik. Cara pandang negara beranggapan pemilik modal ialah pengambil kebijakan dengan asas laba rugi dalam artian standarisasi suatu kebijakan tidak memperhatikan kemanfaatan untuk umat. 

Sehingga menjadi lumrah ketika BPOM menggadaikan etos kerja untuk keuntungan tidak mempertimbangkan dampak setelahnya, sehingga nyawa melayang tiada berharga. Ironisnya penanganan terhadap kasus gagal ginjal akut anak ini sangat lambat, setahun berlalu belum ada keadilan untuk korban bahkan dipaksa mandiri. 

Pasalnya kesehatan di bawah pengelolaan sistem kapitalisme merupakan objek komersialisasi yang bisa diperdagangkan karena dianggap bisnis semata. Dapat disimpulkan poin pentingnya adalah negara abai terhadap kesehatan rakyatnya. 

Bertolak belakang ketika sebuah negara memakai sistem dengan corak Islam. Artinya, seperangkat aturan kehidupan seluruhnya memakai politik Islam (khilafah). Berdasarkan rekam jejak sejarah Islam, khilafah telah diterapkan selama kurang lebih 14 abad menguasai 3/4 benua. Bisa ke gambar bagaimana paripurnanya sistem politik Islam. 

Realitas hari ini, segala problem kehidupan di kembalikan kepada aturan yang sudah berlaku, baik adat istiadat, standar baik condong pada suara mayoritas, bahkan kebijakan yang di buat oleh negara. 

Misalnya pada kasus dijual bebas obat sirop untuk anak-anak dengan label SNI realitasnya beracun bahkan mematikan. Kelalaian seperti ini di dalam politik Islam tidak akan di temukan, karena memang standar kebijakan yang diambil adalah kesejahteraan umat yang berasas manfaat. 

Suatu kebijakan tidak akan di ambil jika mendatangkan murka Allah karena di dalamnya ada aktivitas kriminal, dsb. Di dalam Islam tidak ada label halal maupun haram karena memang hidup dengan aturan Islam dan mayoritas Islam. Jika ada orang kafir yang mau hidup di dalam naungan khilafah (kafir dzimmi) tentu harus tunduk pada syariat Islam. 

Misalnya tidak boleh menjual produk haram di pasar kaum muslimin. Orang kafir dzimmi di sediakan pasar sendiri oleh negara untuk melakukan transaksi jual beli khusus sesama orang kafir. 

Negara hadir di tengah-tengah umat sebagai pengurus urusan rakyat bukan menjadi regulator yang memuluskan bisnis para korporasi termasuk dalam bidang kesehatan. Wajar jika kasus ini penanganannya lamban karena tidak fokus pada akar masalah.


Belajar dari rekam jejak sejarah, tinta emas menulis kan di bidang kesehatan telah mencatat kegemilangan kesehatan di era Khilafah karena memang di dalam Islam kesehatan dipandang sebagai kebutuhan pokok publik untuk semua orang mendapatkan layanan dengan kualitas yang sama.


Terbukti dari banyaknya institusi layanan kesehatan yang didirikan selama masa kekhilafahan agar kebutuhan masyarakat terhadap layanan kesehatan gratis dan bermutu bisa terpenuhi di antaranya Rumah Sakit Al-nuri, yaity Rumah Sakit pertama kali dibangun umat Islam. Didirikan pada tahun 706 Masehi oleh kekhilafahan Umayyah. Rumah sakit ini dilengkapi dengan peralatan paling modern dan tenaga dokter serta perawatnya profesional. 

Rumah Sakit ini yang pertama kali menerapkan rekam medis atau medical record. Tidak cukup dengan itu Khilafah juga membuka sekolah kedokteran di rumah sakit tersebut untuk memajukan sekolah, khalifah menghibahkan perpustakaan pribadinya salah satu lulusannya adalah Ibnu al-nafis yang dikenal sebagai sirkulasi paru-paru bandingkan dengan Eropa saat itu yang masih dalam abad kegelapan karena pada abad itu dalam hal buang kotoran saja mereka masih belum punya ketentuan tempat tersendiri untuk buang air besar.


Khilafah juga melayani orang yang mempunyai kondisi sosial khusus seperti yang tinggal di tempat-tempat yang jauh, para tahanan, orang cacat, dan para musafir untuk itu Khilafah mengadakan rumah sakit keliling tanpa mengurangi kualitas pelayanan rumah sakit keliling ini dilengkapi dengan alat-alat terapi. 

Kedokteran dengan sejumlah dokter di rumah sakit ini menelusuri pelosok - pelosok negeri, sedemikian bagusnya pelayanan kesehatan di masa Khilafah. Sejarah sampai menuliskan betapa orang-orang barat bahkan ada yang pura-pura sakit agar bisa dirawat dalam rumah sakit Khilafah. 

Khilafah tidak akan memungut biaya kesehatan kepada rakyatnya karena itu adalah tanggung jawabnya. Biaya kesehatan yang cukup besar akan dipenuhi Khilafah dari sumber-sumber pemasukan negara dengan penerapan sistem ekonomi Islam di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum. Termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak, gas, dan sebagainya. 

Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat. Pembiayaan kesehatan dalam khilafah diperuntukkan bagi terwujudnya pelayanan kesehatan gratis, berkualitas, unggul bagi semua individu, masyarakat mulai dari penyelenggaraan, pendidikan, kesehatan, dan kedokteran untuk menghasilkan tenaga kesehatan berkualitas dalam jumlah memadai. 

Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dengan segala kelengkapannya industri, peralatan kedokteran, dan obat-obatan. Penyelenggaraan resep geomedik kedokteran hingga seluruh sarana prasarana yang terkait dengan penyelenggaraan, pelayanan kesehatan seperti listrik, air bersih, dan transportasi. 

Demikianlah sebagian kecil saja sejarah indah yang tersimpan dalam peradaban Islam. Tidak ada alasan tetap melanggengkan penerapan sistem kapitalis yang mengomersialkan setiap layanan publik. 

Wallahu'alam Bisowab


Oleh: Novita Ratnasari, S.Ak 
(Sahabat Tinta Media) 

Selasa, 09 Januari 2024

Bukan Rahasia Umum Rakyat ‘Si Korban Jambu’



Tinta Media - Warga Sukaraja dan Waylunik gelar aksi resahkan aktivitas batubara. Dari Lampost.co (22/12/2023) disebutkan bahwa di Kelurahan Waylunik terdapat lebih dari 2.000 kepala keluarga dengan total jumlah penduduk lebih dari 7.000 jiwa. Dalam kelurahan tersebut, ada sedikitnya lima RT yang terdampak dari serpihan debu-debu pengendapan batu bara tersebut. 

Perusahaan stockpile batu bara di kawasan tersebut lebih dari satu perusahaan, di antaranya adalah perusahaan PT GML dan PT SME. Sejak bulan Juni warga sudah mulai terganggu dengan cemaran yang membahayakan kesehatan. Masyarakat mulai merasakan mata perih, pedih, sakit tenggorokan sehingga makin khawatir terkena Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). 

Bahkan, karena banyaknya kotoran yang tidak saja di luar, tetapi masuk ke rumah-rumah sehingga masyarakat sehari bisa mengepel 3 sampai 4 kali. Belum lagi masyarakat yang mata pencahariannya dengan berjualan di rumah makan. Mereka takut bahaya dari debu-debu yang bisa menempel di tempat makan. 

Namun, perusahaan belum menunjukkan tanggung jawabnya atas dampak buruk yang dirasakan warga tersebut.
Warga Waylunik juga mempertanyakan kepada Pemkot Bandar Lampung yang melakukan tindakan dan pemberian sanksi kepada perusahaan stockpile batu bara yang telah menimbulkan dampak negatif pada kesehatan masyarakat sekitar. 

Camat Bumiwaras Budi Ardiyanto mengatakan bahwa pemerintah dan Wali Kota Bandar Lampung telah memerintahkan perusahaan untuk menghentikan sementara aktivitas perusahaan dalam tiga hari ke depan. 

Ternyata, dari perizinan awal perusahaan berdiri banyak masyarakat yang tidak setuju. Namun, sekalipun masyarakat tidak setuju, perusahaan tetap berdiri dan tetap berjalan. Lurah Waylunik menegaskan dari awal agar ketika perusahaan berdiri jangan sampai menimbulkan kerugian pada masyarakat akibat dari dampak debu-debunya. Namun, lurah Waylunik tidak bisa melarang, apalagi menutup usaha tersebut. Menurutnya, perusahaan tetap boleh ada, tetapi  harus memperhatikan lingkungan sekitar sesuai dengan kesepakatan bersama. 

Ini adalah buah dari kebijakan pertambangan negara yang tidak memperhatikan lingkungan, dan tidak tegasnya negara dalam memberikan sanksi pada perusahaan yang terlibat. Bahkan, kadang negara justru berpihak pada perusahaan dan mengabaikan nasib rakyat. Akibatnya, rakyat menjadi korban perampasan ruang hidup yang dulunya asri menjadi tercemar dan terancam kualitas kesehatannya. 

Para pemimpin kebijakan seperti lurah, camat, bupati, ataupun walikota juga terkesan tidak memiliki akses kebijakan untuk menolong rakyat. Seakan hari ini rakyat yang menderita dan tersiksa ini harus hidup mandiri tanpa ada pengayom yang bisa melindungi. 

Hal ini terjadi karena kita hidup di sistem yang banyak menjanjikan keadilan, tetapi tidak pernah terealisasi secara fajta. Nyatanya, banyak kasus lahan dan terganggunya ruang hidup. Misalnya, oksigen yang harusnya bersih menjadi tercemar, kesehatan yang harusnya bisa terjaga malah tiada dan keamanan pun juga direnggut. Ruang-ruang anak untuk tumbuh kembangnya semakin terampas. 

Ketika proyek pertambangan berlangsung, yang diprioritaskan oleh penguasa adalah kepentingan perusahaan, bukan rakyat. Jangan-jangan betul, kita hidup di sistem jambu (janji-janji mambu, ambu-ambu palsu). Wajar, karena kita hidup di sistem demokrasi. Dengan politik kapitalisnya, sistem ini melahirkan hubungan khusus antara penguasa/pemimpin dengan para elit pengusaha sehingga lahirlah undang-undang, kebijakan, aturan-aturan yang semena-mena, rakus dan tega merenggut, menggeser, merusak ruang-ruang hidup masyarakat. 

Kalau kita tahu bahwa demokrasi adalah dari, oleh, untuk rakyat, sekarang kita bisa melihat wajah aslinya, yaitu dari, oleh, untuk perusahaan. Jadi, yang kerja, yang diuntungkan, yang disejahterakan adalah perusahaan. 

Ketika perusahaan ingin memperluas atau menginginkan suatu lahan, baik untuk pertambangan, untuk perusahaan, atau untuk dikelola lahannya, maka lahan tersebut akan diberikan. Karena investasi di negeri ini dilindungi dan dilegalkan oleh UU, di antaranya UU Minerba, UU cipta kerja, dll. 

Dalam undang-undang tersebut disebutkan, walaupun perusahaan berbuat salah, maka akan tetap legal dan dimenangkan oleh pihak berwajib, meskipun kasusnya parah dan dilaporkan ke pihak terkait. 

Inilah akibatnya jika kita hidup di sistem kehidupan berdasarkan kapitalisme. Saat ini, kita bukan lagi salah pilih pemimpin, bukan lagi salah dalam memilih sosok, melainkan salah kaprah dalam memilih sistem bernegara. Hal ini karena negara membuat aturan-aturan yang membahayakan rakyat, tetapi menguntungkan perusahaan.  

Kita bernegara tidak sesuai dengan apa yang Allah mau, tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasulullah, malah memilih aturan bernegara yang berasal dari manusia. Kita mengetahui bahwa manusia terbatas, lemah, dan hukum-hukum yang dibuat tumpang tindih antara kebijakan satu dengan lainnya. Sehingga, patut kita renungkan, apakah kita mau bertahan di sistem yang rusak atau berlama-lama dalam sistem kehidupan yang menyengsarakan orang lain? 

Bukankah seharusnya kita harus berpindah dari sistem kehidupan yang salah menuju sistem kehidupan yang benar, yang berasal dari Allah, Zat yang tak pernah salah, yaitu dengan sistem bernegara yang sesuai dengan Islam. Ini bukan untuk kaum muslim saja, melainkan juga seluruh manusia. 

Ketika kita melihat bahwa saat ini penerapan Islam secara menyeluruh ditiadakan, maka yang berkuasa adalah para penguasa/pemimpin yang kebijakanya selalu dipengaruhi oleh kepentingan elit pengusaha. Hasilnya adalah kesengsaraan dalam kehidupan yang terjadi. 

Berbeda ketika Islam diterapkan menyeluruh selama 1300 tahun. Aturan-aturan Islam yang diterapkan di dalamnya mampu membuat para penduduk hidup dengan sejahtera, aman, dan nyaman. Sebenarnya, yang kita butuhkan adalah penerapan Islam secara menyeluruh, yang hanya bisa diterapkan pada satu naungan yaitu khilafah. 

Bahkan, di dalam Islam, aturannya menjadikan pemimpin negara sebagai pengurus dan pelindung bagi rakyat. Segala aturan dan kebijakan yang ditetapkan negara akan selalu memperhatikan dan mengutamakan kemaslahatan rakyat, termasuk keselamatan rakyat dari proyek pertambangan. Wallahualam bisawaf, wassalamualaikum. wr.wb.

Oleh: Wilda Nusva Lilasari, S.M,
Sahabat Tinta Media 

Sabtu, 23 April 2022

Sungguh Ironis, Korban Begal Sempat Jadi Tersangka


Tinta Media - Akhirnya Murtede alias Amaq Sinta (34) - korban begal yang ditetapkan menjadi tersangka bisa bernapas lega setelah bebas dari segala tuduhan. Dikutip dari suara.com--"Jajaran Satreskrim Polres Lombok Tengah sebelumnya menetapkan Amaq Sinta yang merupakan korban begal, sebagai tersangka dalam dugaan kasus dua begal yang tewas bersimbah darah di jalan raya Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Minggu (10/4) dini hari." (Minggu, 17 April 2022).

Kasus yang menimpa Murtede, bukanlah kejadian pertama di negeri ini. Masih ada sederet kasus lain yang menjadikan korban begal sebagai tersangka karena telah melukai atau menghilangkan nyawa pelaku begal. Di antaranya, pertama, pria asal Pekanbaru, Raju, ditetapkan sebagai tersangka setelah membunuh Roby Dzaki Setiawan pada 10 September 2015 silam. Kedua, Seorang pria asal Medan, Dedi Irwanto, ditetapkan sebagai tersangka setelah membunuh pelaku yang hendak membegal dirinya. Ketiga, Remaja di Malang, ZA, 19 tahun, ditetapkan sebagai tersangka setelah membunuh Misnan, 35 tahun. (Sumber : Tempo.co Jumat, 15 April 2022).

Viral Dulu Baru Diperhatikan

Inilah keanehan penegakan hukum di negeri ini. Seorang korban tindak kriminal justru bisa menjadi tersangka karena menghilangkan nyawa pelaku begal. Apakah ini sama artinya dengan jika masyarakat menjadi korban, maka masyarakat diminta diam saja, tidak melakukan pembelaan? Padahal, para pelaku begal tak segan-segan mengeroyok, melukai bahkan menghilangkan nyawa orang lain.

Bahkan, ahli kriminologi dan kepolisian Adrianus Meliala mempertanyakan langkah polisi yang menetapkan AS sebagai tersangka, tetapi polisi juga yang mengakhirinya. Dia menduga, keputusan itu diambil karena tekanan dari media dan perintah dari atasan.

Di mana esensi profesionalisme?
Profesionalisme adalah sesuatu yang tidak bisa digoyahkan oleh tekanan manapun. Namun, hanya karena tekanan media, profesionalisme ini justru bisa digoyahkan?

Hukum Bisa Berubah dalam Demokrasi

Sistem demokrasi membuka lebar peluang untuk membuat hukum dan mengubahnya sesuai keinginan manusia. Sehingga, dalam kehidupan saat ini, standar benar dan salah sangatlah relatif. Ini tergantung kacamatanya, apakah memakai kacamata keimanan ataukah tidak. Karena itu, sangat wajar jika korban begal dijadikan tersangka karena telah menghilangkan nyawa pelaku begal. Keputusan ini bisa dengan cepat berubah karena "tekanan publik", misalnya. Ini karena kembali lagi, prinsip demokrasi adalah kebebasan dalam melahirkan sebuah kebijakan.

Jaminan Keadilan dalam Islam

Islam sebagai diin yang sempurna telah memberikan panduan ketika terjadi kasus pembegalan.

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa ada seseorang yang menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika ada seseorang yang mendatangiku dan ingin merampas hartaku?"

Beliau bersabda, "Jangan kau beri padanya."

Ia bertanya lagi, "Bagaimana pendapatmu jika ia ingin membunuhku?"

Beliau bersabda, "Bunuhlah dia."

"Bagaimana jika ia malah membunuhku?" ia balik bertanya.

"Engkau dicatat syahid," jawab Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

"Bagaimana jika aku yang membunuhnya?" ia bertanya kembali.

"Ia yang di neraka," jawab Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. Muslim no.140)

Dari hadis di atas, kita mendapat gambaran yang jelas, bahwa seorang muslim wajib dengan sekuat tenaga mempertahankan harta dan kehormatannya saat ada yang ingin merampas. Bahkan, seorang korban begal harus mempertahankan nyawanya saat ancaman itu datang. 

Inilah pemenuhan gharizah baqa' (naluri mempertahankan diri) yang sesuai dengan panduan Islam.

Bahkan, Allah Ta'ala memberikan balasan luar biasa bagi korban begal yang meninggal, yaitu syahid. Sedangkan bagi pelaku pembegalan yang berhasil dibunuh, maka nerakalah balasannya.

Inilah Islam sebagai sistem hidup yang mampu menjamin keadilan bagi seluruh manusia. Tidakkah kita merindukan sistem kehidupan yang sempurna seperti ini? Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah 'alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib.

Oleh: Dahlia Kumalasari
Pendidik

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab