Tinta Media: Konstitusi
Tampilkan postingan dengan label Konstitusi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Konstitusi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 17 Februari 2024

Tidak Menjalankan Amanat Konstitusi, Negara Mengkhianati Rakyat?



Tinta Media - Negara ini mempunyai amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, untuk masa depan Indonesia yang lebih maju. Telah tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah termasuk tujuan dari dibentuknya negara ini. Seharusnya Pendidikan itu dipermudah oleh negara, kalau bisa ditanggung oleh negara, karena negara bertanggung jawab atas pendidikan rakyatnya. 

Maka dari itu yang bermasalah adalah kebijakan Anda, bukan malah menghawatirkan gagal bayar pinjaman. Tapi memang tidak heran sih kalau Anda mengambil kebijakan itu, karena Anda adalah bagian penyelenggara demokrasi. Yang tidak akan pernah berpihak kepada rakyat. Maka dari itu lebih baik Anda simak tulisan ini, siapa tahu bisa mencontohnya. 

Pendidikan adalah tonggak utama dalam menyiapkan generasi emas. Namun faktanya generasi penerus kita jauh dari harapan. Itu disebabkan karena banyaknya berbagai masalah yang dihadapi oleh para pelajar di dunia pendidikan kita. 

Lihat kasus yang baru-baru ini terjadi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Kasus mahasiswa yang tidak mampu membayar kuliah karena mahalnya biaya pendidikan. Bukannya mendapat bantuan maupun beasiswa, pihak kampus malah membuat kebijakan kerja sama dengan sebuah layanan pinjaman online (pinjol) Danacita untuk mengatasi hal itu. 

Seorang pengamat pendidikan Ubaid Matraji mengatakan bahwa itu merupakan bentuk pemerasan apalagi saat gagal bayar dapat berujung pada praktik intimidasi. Namun Kepala Biro Komunikasi dan Hubungan Masyarakat ITB, Naomi Haswanto, menolak tudingan itu. Selain itu, Naomi menambahkan bahwa sistem tersebut menguntungkan mahasiswa karena mendapat kemudahan dalam membayar uang kuliah sesuai dengan kemampuan. Bukannya mendengarkan kritik untuk berbenah, pihak kampus malah membela diri dengan argumen tersebut. Padahal sebenarnya selain menimbulkan masalah baru apabila kesulitan membayar, itu juga sangat tidak etis mengingat itu adalah institusi pendidikan yang tugasnya untuk mencetak generasi emas dan mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Dan parahnya lagi negara hadir juga bukan untuk membantu memberikan bantuan atau membuat program beasiswa, tapi juga akan memberikan pinjaman yang disebut student loan lewat pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Jika melihat keputusan negara ini bisa kita lihat bahwa negara telah menghianati rakyat, karena tidak menjalankan  amanat konstitusi dengan tidak mau berkorban untuk menyiapkan generasi emas untuk masa depan Indonesia yang lebih maju. Padahal di dalam pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah termasuk tujuan dari dibentuknya negara ini. 

Sesungguhnya, terjadinya semua ini akarnya adalah karena enggannya mereka mengadopsi sistem Islam. Jika saja sistem Islam ditegakkan di negeri ini, pastinya masalah seperti itu tidak akan muncul, apalagi solusi yang menyesatkan seperti pinjol dan student loan yang pada hakikatnya akan memunculkan masalah baru, itu juga merupakan tindakan yang menyalahi syariat Islam. 

Lalu bagaimana kita tahu bahwa sistem Islam tidak akan menimbulkan permasalahan seperti itu? Jawabannya karena dalam Islam negara wajib mengatur segala aspek yang berkaitan dengan pendidikan. Berdasarkan iman dan syariat, negara menyiapkan kurikulum, akreditasi, metode pengajaran, bahan ajar, guru yang profesional, sarana dan prasarana. Semua hal yang digunakan untuk menunjang sistem pendidikan didanai oleh baitul mal. Kas negara dikelola dari harta milik negara dan harta milik umum seperti kekayaan alam, bukan dari pajak juga tanpa membayar mahal. Semua akses pendidikan diberikan kepada semua orang secara mudah dan murah, dan bahkan gratis. 

Lihat saja Madrasah an Nuriah al Qubra di Damaskus yang didirikan oleh Khalifah Nuruddin Muhammad Zanky. Asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi semuanya difasilitasi negara. 

Lalu pada akhirnya, lahirlah generasi emas dari peradaban Islam pada saat itu. Seperti ilmuwan Islam seperti Al Khawarizmi, Ibnu Sina, Ar Razi, dan Ibnu Rusyd ahli dalam multi disiplin ilmu pengetahuan dan bahkan ahli dalam ilmu Islam seperti ushul fiqih. Itu semua adalah hasil dari ketaatan kepada Allah SWT untuk melaksanakan seluruh perintah dan menjauhi larangannya termasuk menegakkan sistem Islam di dalam bernegara. 

Wallahu a'lam 

Oleh: Yahya Ariffudin
Aktivis Muslim

Kamis, 07 Desember 2023

PEPS: PP Nomor 54 Tahun 2023 Terindikasi Melanggar UU dan Konstitusi


 
Tinta Media -- Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan menilai Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2023 terindikasi melanggar UU dan Konstitusi.
 
"Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2023 tentang Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Cukai Untuk Kepentingan Penerimaan Negara, yang ditetapkan 22 November 2023 lalu, merupakan sebuah produk hukum yang bahaya, bersifat tirani, yang terindikasi jelas melanggar UU dan Konstitusi," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (30/11/2023).
 
Menurutnya, PP Nomor 54/2023 tersebut dapat dilihat sebagai intervensi eksekutif terhadap hukum. Karena, meskipun Kejaksaan Agung merupakan bagian dari eksekutif atau pemerintah, tetapi Kejaksaan Agung merupakan lembaga yang mandiri dan merdeka, tidak bisa diintervensi oleh Presiden. "Kejaksaan Agung bahkan bisa menyidik dan menangkap Presiden kalau melanggar hukum," ujarnya.
 
Ia menjelaskan, bahwa di dalam penjelasan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Bab I: Ketentuan Umum, butir 1, dijelaskan: Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu, kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.
 
"Artinya, pemerintah atau Presiden tidak bisa intervensi Kejaksaan Agung dalam melaksanakan penegakan hukum dan memenuhi tugas dan kewajibannya sesuai ketentuan UU lainnya, seperti dimaksud butir 3," jelasnya.
 
Ia melanjutkan, bahwa Penjelasan Bab I, butir 3 berbunyi: Kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 
Dengan demikian, lanjutnya, PP No 54/2023 yang mengatur penghentian penyidikan jelas melanggar kewenangan Kejaksaan Agung yang diberikan oleh berbagai macam UU tersebut di atas.
 
"Oleh karena itu, PP tersebut wajib batal demi hukum, karena hierarki PP di bawah UU. Selain itu, PP No 54/2023 tersebut melanggar konstitusi Pasal 24 tentang kekuasaan kehakiman yang merdeka," terangnya.
 
Ia mengungkapkan PP No. 54/2023 juga dapat dimaknai sebagai upaya Presiden menghalangi penyidikan tindak pidana secara terang-terangan, melalui regulasi dengan menetapkan Peraturan Pemerintah, dengan dalih untuk kepentingan penerimaan negara.
 
"Tentu saja hal ini tidak boleh terjadi. Hukuman pidana tidak boleh dihapus dan dijadikan perdata, atau hukuman pidana dibarter dengan denda," ungkapnya.
 
Ia menambahkan bahwa PP No 54/2023 ini wajib diduga untuk menghalangi penyidikan kasus impor ilegal emas batangan di Ditjen Bea dan Cukai yang sudah masuk proses penyidikan. "Menurut berita burung, kasus impor ilegal emas batangan tersebut melibatkan orang dekat istana. Apakah karena itu, PP tersebut diterbitkan untuk menghentikan kasus pidananya?," bebernya.
 
Ia menyatakan, bahwa tidak heran Ganjar Pranowo sempat memberi angka 5 untuk penegakan hukum pemerintahan Jokowi.
 
“Angka 5 ini menurut saya sudah terlalu tinggi. Saya sendiri menilai, tidak lebih dari 3. Karena penegakan hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Bahkan kasus hukum sering sengaja diambangkan untuk dijadikan alat sandera politik. Lebih parah dari itu, bisa juga terjadi pengkondisian hukum, atau intervensi hukum, termasuk melalui PP No 54/2023 ini," pungkasnya.[] Ajira

Kamis, 30 November 2023

Ada Bendera Zionis di Bitung, Pamong Institute: Jelas Melanggar Konstitusi



Tinta Media - Menyoroti adanya bendera entitas penjajah zionis Yahudi di Bitung, Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky menegaskan bahwa hal tersebut melanggar konstitusi.

“Saya pikir mengibarkan bendera negara lain, apalagi negara itu terindikasi kuat sebagai negara penjajah. Tentu ini jelas melanggar konstitusi kita,” ujarnya dalam acara Kabar Petang dengan tajuk Usut Dalang dan Tangkap Pelaku Kekerasan Di Bitung! Ahad (26/11/2023) di kanal Youtube Khilafah News.

Karena lanjutnya, dalam konstitusi sangat tegas disebutkan bahwa penjajahan di muka bumi harus dihapuskan, karena tidak sesuai peri kemanusiaan dan peri keadilan.

“Karena itu adalah amanat konstitusi, maka kita sebagai warga negara baik itu masyarakat biasa sampai ke level pejabat sampai presiden punya kewajiban yang sama untuk menghapuskan penjajahan yang menjalankan amanah konstitusi ini,” tuturnya.

Kalau sampai ada yang mengibarkan bendera atau membawa bendera penjajah, ungkapnya, dalam konteks Zionis Yahudi itu tidak boleh dibiarkan. “Dan mestinya warga disadarkan bahwa ini ada seruan. Jadi, itu pelanggaran terhadap konstitusi,” ungkapnya.

Menurutnya, ini adalah PR besar bagi masyarakat dan pemerintah untuk menyadarkan masyarakat yang membawa bendera penjajah. “Jadi mereka mungkin tidak tahu, kedua, mungkin tidak paham atau ketiga, bisa tahu dan paham berarti dia mengkhianati konstitusi,” tandasnya. [] Setiyawan Dwi.

Rabu, 29 November 2023

Perpanjangan Izin Usaha (IUPK) Freeport Sampai 2061 Melanggar Hukum dan Konstitusi




Tinta Media - Di tengah kunjungannya ke Amerika Serikat, Jokowi menjamu Chairman dan CEO Freeport-McMoran Inc., Richard Adkerson, di hotel Waldorf Astoria, Washington DC. Entah apa yang dibicarakan. Yang pasti, patut diduga keras, salah satunya terkait perpanjangan izin usaha PT Freeport Indonesia (Freeport), yang masa berlakunya baru akan berakhir pada 30 Desember 2041. Masih 18 tahun lagi. Masih sangat lama.

Tetapi, Jokowi berniat memperpanjang izin usaha Freeport tersebut secepatnya, mungkin dipaksakan pada tahun ini juga, untuk 20 tahun ke depan sampai 2061. Kalau benar terjadi, perpanjangan izin usaha Freeport tersebut melanggar hukum, dan juga melanggar konstitusi. Alasannya sebagai berikut.

Pertama, perpanjangan izin usaha (IUPK) Freeport melanggar Peraturan Pemerintah (PP) No 96 tahun 2021 yang mengatakan, perpanjangan IUPK hanya bisa dilakukan paling cepat 5 (lima) tahun atau paling lambat 1 (satu) tahun sebelum masa berlaku izin usaha berakhir. Sehingga, memperpanjang masa berlaku izin usaha Freeport, yang baru akan berakhir 18 tahun lagi, 30 Desember 2041, jelas melanggar Pasal 109 ayat (4) PP dimaksud.

Kedua, berdasarkan PP tersebut, izin usaha Freeport baru bisa diperpanjang paling cepat 30 Desember 2036, oleh Presiden pada saat itu, yaitu Presiden periode 2034-2039. Oleh karena itu, apabila Jokowi memperpanjang izin usaha Freeport yang seharusnya dilakukan oleh Presiden periode 2034-2039, maka Jokowi melanggar, dan merampas, wewenang Presiden yang akan datang. Artinya, Jokowi melanggar Pasal 7 UUD yang menyatakan “Presiden memegang jabatan selama lima tahun”. Dalam hal ini, Jabatan Jokowi hanya sampai 20 Oktober 2024. Karena itu, tidak boleh merampas wewenang Presiden periode 2034-2039.

Ketiga, perpanjangan izin usaha pertambangan (IUPK) hanya boleh dilakukan 2 (dua) kali, masing-masing 10 (sepuluh) tahun. Sehingga, memperpanjang IUPK sekaligus 20 (dua puluh) tahun, dari 2041 sampai 2061, jelas melanggar Pasal 109 ayat (1) huruf a PP No 96/2021, dan juga Pasal 83 huruf f UU No 3/2020 tentang Minerba.

Pasal 109 ayat (1) huruf a PP No 96/2021 menjelaskan “Jangka waktu kegiatan Operasi Produksi …. dapat diberikan perpanjangan dengan ketentuan untuk Pertambangan Mineral logam sebanyak 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.”

Pasal 83 huruf f UU No 3/2020: Persyaratan luas wilayah dan jangka waktu sesuai dengan kelompok Usaha Pertambangan yang berlaku bagi pemegang IUPK meliputi “jangka waktu kegiatan Operasi Produksi Mineral logam … dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun ….

Keempat, izin usaha Freeport sudah dikonversi dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada 17 Februari 2017, yang akan berakhir pada 30 Desember 2021 (sesuai sisa masa berlaku KK). Freeport kemudian sudah mendapat perpanjangan izin usaha selama 20 tahun, dari 2021 sampai 2041, pada 21 Desember 2018.

Tentu saja, perpanjangan izin usaha Freeport selama 20 tahun ini juga melanggar peraturan dan undang-undang, karena perpanjangan hanya dapat diberikan maksimal 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. Pasal 83 huruf g UU No 23/2009 yang berlaku ketika itu berbunyi, “jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam …. dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.

Setelah mendapat perpanjangan 2 (dua) kali, atau maksimal 20 tahun, IUPK tidak bisa diperpanjang lagi dan wajib dikembalikan kepada pemerintah. Pasal 72 ayat (6) PP No 23/2010 berbunyi “Pemegang IUPK Operasi Produksi yang telah memperoleh perpanjangan IUPK Operasi Produksi sebanyak 2 (dua) kali, wajib mengembalikan WIUPK Operasi Produksi kepada Menteri berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Freeport sudah mendapat perpanjangan izin usaha selama 20 tahun, dari 2021 sam pai 2041. Oleh karena itu, izin usaha Freeport tidak bisa diperpanjang lagi, dan wajib dikembalikan kepada pemerintah. Karena itu, memperpanjang IUPK Freeport sampai 2061 melanggar UU, dan sekaligus merugikan keuangan negara.

https://www.liputan6.com/amp/3854290/dikuasai-indonesia-kontrak-freeport-diperpanjang-hingga-2041

Jokowi berdalih, perpanjangan IUPK Freeport, dibarter dengan penambahan kepemilikan saham pemerintah di Freeport sebesar 10 persen, sehingga total saham pemerintah menjadi 61 persen terhitung 2041, seolah-olah menguntungkan pihak Indonesia. Padahal sebaliknya, sangat merugikan. Karena seluruh daerah pertambangan Freeport pada 2041 seharusnya kembali menjadi milik Indonesia 100 persen. Bukan 61 persen.

Apakah Jokowi tidak mengerti, atau memang berniat berbohong? Bisa saja, perpanjangan IUPK Freeport ini untuk menutupi potensi kerugian pengambilalihan saham freeport pada 2018 menjadi 51 persen, dengan nilai akusisi 3,85 miliar dolar AS.

Selain itu, Jokowi seharusnya juga tidak berwenang memperpanjang izin usaha Freeport sampai 2041 pada 2018 yang lalu. Karena menurut peraturan yang berlaku ketika itu, perpanjangan IUPK hanya boleh dilakukan paling cepat 2 tahun dan paling lambat 6 bulan sebelum masa berlaku IUPK berakhir.

Dalam hal ini, perpanjangan izin usaha Freeport paling cepat dilakukan pada 30 Desembetr 2019. Sedangkan, jabatan Jokowi ketika itu akan berakhir pada 20 Oktober 2019. Kalau Jokowi tidak terpilih lagi pada pilpres 2019, maka wewenang memperpanjang IUPK Freeport yang akan berakhir pada 30 Desember 2021 ada di Presiden berikutnya, periode 2019-2024.

Tetapi, wewenang ini diambil Jokowi dengan menetapkan PP No 1/2017 yang mempercepat perpanjangan IUPK, dari paling cepat 2 tahun dan paling lambat 6 bulan menjadi paling cepat 5 tahun dan paling lambat 1 tahun, sehingga memungkinkan Jokowi bisa memperpanjang izin usaha Freeport pada Desember 2018.

Percepatan perpanjangan izin usaha tersebut pada hakikatnya mengambil wewenang Presiden berikutnya, dan termasuk kebijakan bersifat koruptif karena menguntungkan pihak Freeport. Karena itu, DPR wajib menyelidiki apa motif Jokowi yang sebenarnya terkait penetapan PP No 1/2017, yang pada intinya memaksakan agar Jokowi dapat memperpanjang  izin usaha Freeport, yang sebenarnya bukan wewenangnya sebagai Presiden periode 2014-2019?

--- 000 ---

Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Senin, 29 Mei 2023

MAHKAMAH KONSTITUSI MEROBOHKAN NORMA KONSTITUSI, PUTUSAN PERPANJANGAN MASA JABATAN KPK TELAH MERAMPOK KEWENANGAN DPR RI SEBAGAI LEMBAGA LEGISLATIF

Tinta Media - Mahkamah Konstitusi (MK) lahir dari rahim reformasi, dibentuk untuk tujuan menjadi garda konstitusi. Sejumlah legislasi DPR yang bertentangan dengan UUD 1945 dilakukan review oleh MK agar tetap sejalan dengan maksud dan tujuan bernegara sebagaimana yang dikehendaki konstitusi.

Salah satu tugas dan kewenangan MK adalah mengadili undang-undang terhadap undang-undang dasar. Dalam konteks kewenangan ini, MK setidaknya melakukan 3 (tiga) tugas, yaitu:

*Pertama,* mengadili norma perundangan terhadap UUD yang hasilnya putusan MK menyatakan norma UU tersebut bertentangan dengan UUD sehingga batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

*Kedua,* mengadili norma perundangan terhadap UUD melalui tafsir ulang MK yang hasilnya putusan MK menyatakan norma UU tersebut bertentangan dengan UUD sehingga batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak ditafsitkan sesuai tafsir yang ditunjukan oleh MK dalam putusan.

*Ketiga,* mengadili norma perundangan terhadap UUD yang hasilnya keputusan MK menyatakan norma UU tersebut sejalan dengan UUD sehingga permohonan yang diajukan ditolak, baik karena alasan yang diajukan adalah problema penerapan pasal bukan mengenai konstitusionalitas pasal, atau karena sebab lainnya.

Sayangnya, pada tanggal 25 Mei 2023 lalu MK telah membacakan putusan yang diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. *Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 berisi putusan MK yang melampaui kewenangan MK dan merampas hak legislasi DPR.*

Ada dua materi putusan utama MK yang bermasalah, yaitu:

*Pertama,* menyatakan Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) yang semula berbunyi, “Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”. 

*Kedua,* menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) yang semula berbunyi, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”. 

Isu utama dalam kasus ini sebenarnya ada dua hal, yaitu :

1. Apakah norma Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang berisi tentang pengaturan batasan usia calon pimpinan KPK sejalan atau bertentangan dengan konstitusi?

2. Apakah norma pasal 34 UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang mengatur masa jabatan Pimpinan KPK sejalan atau bertentangan dengan konstitusi?

Kalau kedua norma tersebut sejalan dengan konstitusi, maka MK tidak berwenang mengadili perkara dengan mengabulkan perubahan batasan usia calon pimpinan KPK maupun menambah masa jabatan pimpinan KPK.

Kebijakan batasan usia calon Pimpinan MK apakah minimal 50 tahun atau hingga 65 tahun terkategori 'Open Legal Policy' yang menjadi kewenangan DPR sebagai lembaga legislasi.

Jika ada kehendak untuk mengubah kebijakan batasan usia calon pimpinan KPK, maka kewenangannya ada pada DPR dimana mekanismenya dilakukan melalui perubahan UU KPK yang tunduk pada mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebaimana diubah dengan UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Kebijakan batasan jabatan pimpinan MK apakah 4 tahun atau 5 tahun juga terkategori 'Open Legal Policy' yang menjadi kewenangan DPR sebagai lembaga legislasi. 

Jika ada kehendak untuk mengubah kebijakan masa jabatan pimpinan KPK, maka kewenangannya ada pada DPR dimana mekanismenya dilakukan melalui perubahan UU KPK yang tunduk pada mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebaimana diubah dengan UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Jadi, *sejatinya MK melalui Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 telah merampas kewenangan 'Open Legal Policy' yang semestinya menjadi wewenang lembaga legislatif (DPR), dan membentuk norma baru berupa pengaturan batasan usia calon pimpinan KPK dan masa jabatan Pimpinan KPK, berdalih menafsirkan UU terhadap UUD.*

*Yang paling parah, MK telah mengkongkritkan putusan Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 sehingga dapat diberlakukan pada Firly Bahuri cs, selaku Pimpinan KPK saat ini.* Dengan putusan KPK ini, Firly Bahuri yang semestinya selesai pada 20 Desember 2023 otomatis diperpanjang satu tahun sehingga jabatannya diperpanjang hingga 20 Desember 2024.

Dalam Pertimbangan Paragraf [3.17] halaman 117, dalam putusan bernomor Putusan 112/PUU-XX/2022, MK menyatakan:

_"Dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini berakhir 20 Desember 2023 yang tinggal kuran lebih enam bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara a quo untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan"._

Jelas-jelas pertimbangan ini melabarak dua hal :

*Pertama,* bertentangan dengan asas non retroaktif. Pertimbangan ini dijadikan dasar untuk memperpanjang usia jabatan Firly Bahuri, yang artinya putusan MK bukan saja berlaku mengikat sejak diucapkan, tapi berlaku mundur untuk diterapkan pada kasus Firly Bahuri.

*Kedua,* putusan MK yang semestinya bersifat publik, memiliki karakter 'Erga Omnes' dalam pengertian mengikat publik bagi kasus serupa, menjadi putusan yang bersifat kongkrit, individual dan final (seperti putusan PTUN) untuk diterapkan pada masa jabatan Firly Bahuri cs.

Maka benarlah analisis Deny Indrayana yang menyatakan putusan MK ini adalah bagian dari strategi politik Pemilu 2024. Apalagi, putusan MK ini juga berlaku bagi Dewan Pengawas KPK. Melihat track record kepemimpinan KPK era Firly Bahuri, siapa yang yakin, KPK tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik Pemilu khususnya Pilpres 2024? [].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat

https://heylink.me/AK_Channel/

Rabu, 10 Mei 2023

Advokat: Konstitusi Menjamin Kebebasan Beragama

Tinta Media - Advokat Senior Ahmad Michdan menuturkan kebebasan seseorang untuk memeluk agamanya dilijamin konstitusi.

“Ya, kan ada pasal 29, kebebasan seseorang untuk memeluk agamanya, itu yang dijamin oleh konstitusi. Seseorang beragama dengan keyakinannya,” ujarnya dalam tayangan 
Hukum Islam Layak Ditegakkan, Sabtu (6/5/2023) di kanal Youtube Bincang Perubahan.

Ia mengungkapkan adanya pesan dari Rasulullah agar sebaiknya hari ini adalah hari yang lebih baik dari hari kemarin. "Kalau hari ini sama dengan hari kemarin maka kita dalam kerugian, kalau hari ini lebih buruk dari kemarin maka celaka. Artinya Islam sudah memberikan motivasi di dalam hidup bahwa Islam itu menganjurkan perubahan arah yang lebih baik,” ungkapnya.

Pengacara Senior tersebut juga berpesan kepada ummat Islam bahwa ada guidance (panduannya) untuk memilih pemimpin yang dipercaya dalam konteks perpolitikan menuju perubahan dan ini juga bagian dari ajaran Islam.[] Sofian

Kamis, 08 Desember 2022

KONSTITUSI ILAHI LEBIH SEMPURNA KETIMBANG KONSTITUSI AQLI

Tinta Media - Dalam konstitusi Islam yang digali dari Al Qur'an, As Sunnah, Ijma' dan Qiyas, masalah suksesi kekuasaan (Khalifah) telah diatur secara rinci. Sehingga, dalam sistem ketatanegaraan Islam yakni Khilafah, Negara tidak boleh mengalami kekosongan kekuasaan (Vacuum Of Power) lebih dari tiga hari.

Sejak Khalifah meninggal dunia, maka kaum muslimin harus segera membai'at Khalifah penggantinya tidak boleh lebih dari tiga hari. Saat Khalifah Abu Bakar RA meninggal, keesokan harinya Kaum Muslimin telah mampu membai'at Khalifah Umar RA. Saat Umar RA meninggal, dalam waktu 2 hari tiga malam, setelah melakukan musyawarah dan penjaringan aspirasi, akhirnya Utsman Bin Affan dibaiat menjadi Khalifah. Saat Utsman RA meninggal, kaum muslimin yang direpresentasikan penduduk Madinah bersepakat membai'at Ali RA.

Begitulah, periode Kekhilafahan Islam selalu berlanjut tanpa pernah mengalami kekosongan kekuasaan. Setiap Khalifah meninggal dunia, kaum muslimin segera membaiat Khalifah penggantinya. Hingga Kekhilafahan Islam diruntuhkan di Turki pada tahun 1924, bukan hanya 3 hari, tapi nyaris 100 tahun miladiyah, kaum muslimin mengalami kekosongan kekuasaan.

Kekosongan itu menyebabkan negeri kaum muslimin terpecah belah dan dibentuk negara bangsa yang kecil, baik dalam bentuk kerajaan maupun Republik. Dan di Republik ini, beberapa waktu lalu Yusril Ihza Mahendra menulis tentang potensi kekosongan kekuasaan.

Potensi kekosongan kekuasaan itu mungkin terjadi pada Pemilu/Pilpres 2024, karena sebab:

Pertama, hanya ada calon tunggal melawan kotak kosong, dan yang menang kotak kosong. Ini bermasalah.

Kedua, karena sebab tertentu Pemilu tidak dapat dilaksanakan. Otomatis terjadi kekosongan kekuasaan, karena Presiden terpilih saat ini secara konstitusi hanya berkuasa hingga tahun 2024.

Karena alasan itulah, Yusril mewacanakan amandemen UUD 1945 untuk menambah kewenangan MPR agar dapat menetapkan keputusan untuk mengatasi masalah kekosongan kekuasaan. Termasuk, jika akhirnya kekosongan kekuasaan itu karena penundaan Pemilu.

Konstitusi yang dibangun berdasarkan akal, akan selalu memiliki kekurangan dan keterbatasan karena akal tak mampu menjangkau apa yang belum terjadi. Misalnya, desain UUD 1945 tidak dapat mengantisipasi jika ada calon tunggal dan kalah dengan kotak kosong. Juga jika terjadi penundaan Pemilu.

Konstitusi yang dibangun dengan akal, akan rawan dikutak katik untuk kepentingan politik tertentu. Misalnya, amandemen UUD 1945 yang dalihnya untuk mengantisipasi kekosongan kekuasaan, padahal tujuannya untuk melegitimasi tunda Pemilu dan memperpanjang usia kekuasaan Jokowi.

Karena itu, lebih baik kita berfikir lebih menyeluruh dengan memikirkan bagaimana konstitusi Islam yang digali dari wahyu Ilahi dapat diterapkan dan segera meninggalkan konstitusi yang berdasarkan akal, yang penuh keterbatasan. Menerapkan konstitusi Islami berarti berupaya untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyah, setelah kaum muslimin nyaris 100 tahun mengalami kekosongan kekuasaan. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Rabu, 20 April 2022

UIY: Ayat Suci Harus di Atas Konstitusi Bahkan Jadi Konstitusi


Tinta Media- Cendekiawan Muslim Ustad Ismail Yusanto (UIY) tidak ada pilihan lain bagi seorang Muslim selain menjadikan ayat suci (Al-Qur’an) di atas ayat konstitusi bahkan menjadi konstitusi.

"Sikap seorang Muslim sebenarnya tidak ada pilihan lain, ayat suci itu mestilah di atas ayat konstitusi, atau ayat suci menjadi dasar dalam penyusunan ayat konstitusi atau bahkan menjadi konstitusi,” tuturnya dalam acara Fokus: Haruskah Ayat Suci di Atas Ayat Konstitusi? Senin (18/4/2022) di kanal YouTube UIY Official.

Menurutnya, ketika membicarakan ayat suci dan ayat konstitusi maka ada tiga varian yang muncul. Pertama, menolak sama sekali (memisahkan agama dan negara/ sekularisme). Kedua, menerima tapi sekadar memberikan sumbangan etika (agama hanya memberikan nilai-nilai etis kepada negara). "Ketiga, agama harus menjadi dasar negara,” ujarnya.

Ia menjelaskan, sejatinya seorang Muslim tidak mengambil varian pertama (sekularisme), karena hal ini dipengaruhi sejarah hubungan agama Nasrani dengan negara-negara Eropa, “Di dalamnya mereka memiliki tiga persoalan," ungkapnya.

Pertama, persoalan autentikasi Bible, ada banyak kritik terhadap kandungan Bible yang menyangkut autentitasnya. Salah satu buku yang menarik, The Five Gospel, berisi rangkuman dari seminar yang dihadiri oleh 76 orang ahli teologi Nasrani. Sebanyak 82% ayat dalam Bible tidak sampai kepada Yesus atau tidak autentik sementara Al-Qur’an tidak punya persoalan tentang hal itu karena telah dijamin oleh Allah SWT,” paparnya.

Kedua, persoalan terhadap teologi, “Trinitas baru dicetuskan dalam Konsili Nicea (abad ke-3), jauh setelah nabi Isa meninggal. Orang Nasrani sendiri mengatakan konsep trinitas ini sulit dipahami. Adapun Islam tidak punya masalah teologi karena jelas Allah itu Ahad, satu,” ucapnya.

Ketiga, adanya trauma pada agama hingga muncul peristiwa Bartholomew’s. “Nah, karena itulah khilafah sepanjang sejarah tidak pernah menimbulkan masalah seperti mereka,” bebernya.
Ia menyimpulkan akan sangat aneh kalau Muslim ikut-ikutan menempatkan agama Islam terpisah dari negara, “Islam dengan Al-Qur’an berbicara A-Z,” pungkasnya.[]Khaeriyah Nasruddin

Senin, 21 Maret 2022

Demokrasi Semakin Pincang: Otak-atik Konstitusi demi Melanggengkan Masa Jabatan

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1CuBbD5NieB82iOs2nWs_-WuFKyq7kxxS

Tinta Media - Adanya wacana penundaan pemilu pada 14 Februari 2024 yang dilontarkan tiga ketua umum partai pendukung Jokowi-Ma'ruf, yakni PKB, PAN, dan Golkar, dipicu oleh aspirasi seorang petani kelapa sawit dari Siak Riau, saat berdialog dengan Ketum Golkar. Usulan ini pun didiskusikan dengan anggota DPR, MPR, dan berbagai parpol pendukung rezim maupun parpol kubu petahana, dan mendapatkan 80 persen persetujuan di atas kertas.

Selain itu, Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa banyak dari masyarakat yang mempertanyakan mengapa pemilu yang berdana besar harus dilakukan, padahal pandemi belum usai. Terlebih, iklim politik saat ini sangat tenang dan tidak ingin rusak dengan adanya pemilu, sehingga rakyat tak ingin adanya pergantian kepemimpinan. Mereka hanya berharap perbaikan kondisi ekonomi nasional.

Klaim Luhut tersebut katanya berdasarkan hasil survei Big Data 110 juta warganet yang menginginkan pemilu 2024 ditunda. Akan tetapi, beberapa pengamat medsos mempertanyakan metode apa yang digunakan dalam survei tersebut dan meragukan validitasnya, karena beberapa lembaga survei menyatakan sebaliknya, seperti lembaga survei Litbang Kompas yang bahkan menunjukan hasil survei, bahwa 62.3% setuju pemilu tetap dilaksanakan tahun 2024.

Entah siapa aktor dibalik wacana perpanjangan masa jabatan ini. Yang pasti, untuk memuluskan tujuan tersebut, dibutuhkan dukungan dan kekuatan negara untuk mengubah konstitusi.

Guru Besar Hukum Tata Negara UGM, Zaenal Arifin Muchtar mengatakan tentang konstruksi ketatanegaraan dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahwa masa jabatan mengikuti agenda selama 5 tahun. Jika ingin mengubah dan menunda masa jabatan serta menunda pemilu, maka diperlukan alasan dan kondisi konstitusional yang jelas. Besarnya dukungan publik serta pandemi ataupun krisis ekonomi, tidak bisa dijadikan alasan untuk mengubahnya. Terlebih krisis ekonomi memang sudah terjadi, bahkan sebelum adanya pandemi Covid-19.

Memang benar bahwa anggaran pemilu menyedot dana yang sangat besar. Bahkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengajukan anggaran 86 triliun untuk pemilu 2024, naik 3 kali lipat dari anggaran pemilu sebelumnya.

Wakil ketua DPD, Sultan Najamudin mengatakan bahwa anggaran fantastis ini merupakan jebakan dari sistem Demokrasi Liberal Kapitalisme yang dianut negara kita. Sehingga, dengan digulirkannya wacana penundaan pemilu, akan memperpanjang masa jabatan seluruh anggota di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal ini jelas menguntungkan mereka karena tidak perlu mengeluarkan dana untuk terpilih kembali, tetapi kekuasaan bisa lebih lama. Kemewahan yang didapatkan saat menjabat akan lebih lama dinikmati.

Seorang anggota DPR saja memiliki fasilitas gaji perbulan tak kurang dari 55 juta, belum ditambah berbagai deretan tunjangan lainnya. Jika dikalkulasi pertahun, seorang wakil rakyat ini akan mengantongi sekitar 1 miliar rupiah di luar dana bantuan staf pribadi dan uang perjalanan dinas. Ini adalah harga mahal yang harus dibiayai negara dari hasil memeras peluh rakyat melalui pajak.

Tak heran jika penundaan pemilu akan membuat semua wakil rakyat "happy" di atas kesengsaraan rakyat. Walaupun presiden mengatakan ia menolak wacana ini, tetapi ia pun menyatakan tidak menutup kemungkinan adanya perpanjangan masa jabatan, dan hal ini tidak boleh dilarang karena negara ini negara demokrasi.

Inilah ketika kekuasaan hanya dimaknai dengan kesempatan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya materi dan berbagai fasilitas hidup. Sehingga, setiap orang berlomba untuk menjadi penguasa dan berdalih akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dengan menghalalkan segala macam cara, mereka berupaya untuk mendapatkan kursi kekuasaan.

Maka, Pemilu dijadikan sebagai ajang adu kuat modal politik, yang sumbernya berasal dari para cukong dan oligarki. Jika terpilih sebagai penguasa atau wakil rakyat, mereka yang dibiayai harus membalas budi dengan memberikan kebijakan yang menguntungkan pemberi modal, walaupun harus menindas rakyat.

Pemilu yang diklaim sebagai metode baku pergantian pemimpin negara dan para wakil rakyat, dianggap adil karena melibatkan seluruh rakyat, sehingga mampu menyalurkan aspirasi mereka. Padahal, nyatanya praktik pemilu hanya dijadikan alat industri bisnis oligarki. Melalui pemilu, sistem politik demokrasi dipenuhi dengan transaksi kepentingan mengejar kekuasaan dan mewujudkan perwakilan oligarki, bukan perwakilan rakyat. Para calon yang mendapat titipan uang terbanyak, memiliki peluang terbesar memenangkan pesta demokrasi.

Bahkan, besarnya biaya pemilu membuat para calon sangat berambisi untuk menang hingga seringkali menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuan politiknya, dari berbuat curang dan menyebarkan berita hoax hingga menciptakan konflik SARA. Money politic serta korupsi pun dijadikan core business (kegiatan utama) untuk meraih target kursi kekuasaan.

Besarnya biaya anggaran untuk menghasilkan pemimpin ini tidak sebanding dengan kualitasnya. Terbukti dengan dihasilkannya pemerintahan yang nihil keberhasilan dalam mengentaskan berbagai persoalan rakyat, karena memang jargon dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanyalah teori yang khayali.

Berbeda dengan Islam yang mendudukan kepemimpinan sebagai amanah. Besar dan beratnya amanah seorang pemimpin menjadikan mereka tidak bisa berbuat sesuka hati. Keberadaannya diangkat untuk menjalankan amanah umat dan Allah Swt., yaitu menerapkan dan melaksanakan syariat Islam secara kaffah dalam mengurusi umat. Jadi, ia bertanggung jawab bukan hanya kepada umat, tetapi juga kepada Allah Swt.

Calon pemimpin bukanlah figur yang gila jabatan dan harta, tetapi terdepan dalam ketakwaan, yang hatinya bersih dari niat jahat, termasuk niat curang dan nafsu berkuasa. Dia akan selalu menempatkan sifat adil dalam memimpin, karena tujuan kepemimpinan dalam Islam adalah menjadikan negeri bertakwa sehingga berkah Allah Swt. tercurah dari langit dan bumi. Tidak ada kepentingan pribadi atau segolongan orang yang mendominasi pelaksanaan kepemimpinannya. Semua berdimensi akhirat, untuk mencapai rida Allah Swt.

Oleh karena itu, ketika pun mekanisme pemilu dipilih dalam mencari pemimpin, maka akan jauh dari praktik-praktik kotor, semisal money politic, suap-menyuap, black campagn, obral janji, dan sebagainya, karena takut terhadap murka Allah. Dia tidak butuh biaya kampanye yang besar untuk pencitraan, karena pribadinya telah memiliki syarat kualitas seorang calon pemimpin, yaitu tujuh syarat in'iqod (muslim, lelaki, baligh, berakal/waras, adil, merdeka, mampu). Kampanye diadakan hanyalah untuk menyampaikan visi dan misi kepemimpinan yang dicanangkan, sehingga dukungan dari umat akan didapat, baik melalui perwakilan atau pun rakyat secara langsung dalam memilih calon pemimpin (khalifah). Dari situ, akan didapat satu calon Khalifah yang akan diba'iat hingga sah sebagai khalifah terpilih.

Adanya batasan maksimal kekosongan kepemimpinan dalam Islam adalah 3 hari, hal ini berdasarkan pada Ijma Sahabat yakni:

Umar Bin Khathab berwasiat, "Jika dalam 3 hari belum ada kesepakatan terhadap seorang khalifah, orang yang tidak sepakat agar dibunuh dan Umar mewakilkan kepada lima puluh orang dari kaum muslim untuk melaksanakan hal itu."

Sehingga, batas ini juga yang akan menjadi batas kampanye hingga terpilihnya seorang pemimpin.

Setelah seorang khalifah terpilih, maka dia yang akan memilih para wakilnya dalam membantu pelaksanaan amanah meri'ayah (mengurusi) umat. Di bawah kepemimpinan khalifah, mereka semua akan selalu mengikuti setiap aturan dari hasil ijtihad yang diadopsi oleh sang khalifah dengan menerapkan seluruh hukum-hukum Allah untuk mengatur umat. Karena politik dalam Islam adalah mengurus umat (ri'ayah su'unil ummah), maka rakyat akan selalu mengawasi setiap pemimpin yang menjadi wakilnya untuk senantiasa menerapkan Syariat Islam.

Aktivitas amar ma'ruf nahi mungkar kepada penguasa dilakukan untuk menjaga agar mereka selalu berbuat adil dan tidak otoriter. Dengan begitu, ia bisa menjalankan tugasnya mengurus berbagai urusan umat dengan langgeng dan menjauhkan dari pergantian kepemimpinan.

"Imam atau khalifah adalah ra'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya."(HR. Bukhari)

Wallahu'alam bishawab

Oleh: Thaqqiyuna Dewi, S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab