KONSISTEN PADA TIDAK KONSISTEN
Tinta Media - Terkonfirmasi. Karena menganut pemahaman liberal dalam pengelolaan sumber daya alam maka kilang-kilang minyak banyak dikuasai oleh asing. Baik dalam maupun luar negeri. Lihatlah, bendera yang bertengger di setiap kilang-kilang minyak. Bendera Merah Putih hanya segelintir saja. Yang lain banyak bertengger bendera negara asing.
Terkonfirmasi juga. Karena menganut pemahaman liberal dalam distribusi BBM maka pertamina saat ini bukan lagi sebagai pemain tunggal dalam ‘bisnis” eceran BBM. Sekarang sudah banyak SPBU asing tersebar di Indonesia.
Terkonfirmasi juga kekhawatiran pengamat yang dari sejak awal diperbolehkannya asing ikut masuk dalam 'bisnis' eceran BBM maka lambat tapi pasti suatu saat akan terjadi harga BBM pertamina akan sama atau bahkan lebih mahal dari harga BBM SPBU asing. Dan ternyata benar. Saat ini pertalite harganya lebih mahal dari BBM Vivo.
Jelas, bahwa BBM sudah liberal total. Mulai dari hulu hingga hilir. Sudah terliberalisasi secara sempurna. Asing dan swasta sudah masuk dan ikut berkecimpung dalam 'bisnis' BBM dari hulu hingga hilir. Itu menunjukkan bahwa negeri ini menganut secara konsisten paham liberal dalam mengelola BBM.
Yang ini sangat bertolak belakang dengan konsep Islam. Yang mewajibkan hanya negara saja yang mengelola sektor energi. Asing dan swasta haram hukumnya mengelolanya. Apalagi menyerahkan dan memberi peluangnya. Wajar jika harga BBM akan selalu naik dan mahal, karena logika yang di pakai adalah logika dagang. Bukan logika pelayanan sebagaimana yang diwajibkan oleh Islam kepada negara dalam mengurusi rakyatnya.
Dalam Islam, negara wajib mengelola dengan profesional sektor energi untuk kepentingan rakyat. Jika bisa dengan harga gratis kepada rakyatnya. Jikalau ada "harga jual" hanya sebatas harga produksi saja. Yidak berpikir ambil untung. Karena memang adanya negara adalah untuk melayani rakyatnya. Bukan berdagang dengan rakyatnya.
Terkonfirmasi juga. Bahwa hubungan negara dengan rakyatnya dalam distribusi BBM menganut paham liberal. Yakni menggunakan logika dagang. Bukan logika pelayanan. Selalu berpatokan dengan harga pasar dunia, harga negeri kita masih murah disbanding negara-negara yang lain, subsidi menjadi beban negara, dan logika sumir lainnya menunjukkan bahwa itu semua adalah logika “berdagang” dengan rakyatnya. Bukan logika pelayanan.
Terkonfirmasi juga. Ketika perusahaan asing dalam bisnis eceran menjual BBM “lebih murah” dengan harga baru petralite, pemerintah langsung menegur manajemen SPBU asing tersebut agar “menyamakan” harga jualnya dengan harga pertalite. Ini menunjukkan negara memang ‘mau membebani’ rakyatnya. Mau menang sendiri tapi dengan cara yang salah besar.
Inilah konsisten pada tidak konsisten negara. Negara konsisten pada paham liberalnya. Konsisten membebani rakyatnya. Tapi tidak konsisten pada mekanisme pasar liberal. Yang membebaskan setiap orang/perusahaan menjual dagangannya.
Justru menjadi pertanyaan. Jika Vivo dengan menjual lebih murah dari pertalite saja sudah untung, maka logika “subsidi” besar terbantahkan. Secara logika tidak mungkin, perusahaan mau jual rugi barangnya. Mereka akan konsisten dengan prinsip kapitalis. Ambil untung sebesar-besarnya. Tidak mungkin ambil untung sekedarnya saja.
Berkaca pada harga juala Vivo, benarkah subsidi jebol? Harusnya pemerintah jujur, berapa harga modal sebenarnya? Berapa keuntungan yang di ambil dengan harga jual yang ditetapkan. Bukan malah “menekan” manajemen Vivo agar harganya “disamakan” dengan harga pertalite. Adakah ‘rekayasa’? Jadi teringat kasus Sambo. Ternyata banyak ‘rekayasa’ dalam mengurus negara. Apakah ini masuk rekayasa? Yang jelas, pemerintah saat ini seperti konsisten pada tidak konsisten.
Gus Uwik
Peneliti Pusat Kajian Peradaban Islam