Tinta Media: Konflik Agraria
Tampilkan postingan dengan label Konflik Agraria. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Konflik Agraria. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 Januari 2024

Ilusi Demokrasi Menyelesaikan Konflik Agraria



Tinta Media - Penyelesaian urusan sertifikat tanah masyarakat ditargetkan selesai pada tahun 2024 oleh Presiden Joko Widodo. Beliau menyampaikan hal tersebut saat membagikan sertifikat tanah di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur pada hari Rabu 27/12. Menurut Presiden Joko Widodo, sertifikat tanah sangat penting karena berperan sebagai bukti atas kepemilikan lahan yang dengan itu bisa meredam konflik atau sengketa tanah. 

Menurutnya, penyelesaian masalah sertifikat tanah masyarakat bukanlah perkara yang mudah. Terbukti sejak tahun 2015, ada sebanyak 126 juta lahan di seluruh penjuru tanah air yang harus di sertifikatkan. Hanya saja, baru 40 juta lahan yang memiliki sertifikat tanah, karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) per tahun hanya mengeluarkan 500 ribu sertifikat tanah. Itu artinya, 80 juta belum bersertifikat dan itulah salah satu penyebab timbulnya konflik lahan, entah antara saudara dengan saudaranya, sesama tetangga, atau masyarakat dengan perusahaan swasta. 

Benarkah pembagian sertifikat tanah bisa menyelesaikan konflik agraria? Apa sebenarnya penyebab terjadinya konflik Agraria selama ini? 

Lahan atau tanah adalah sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Setiap individu mempunyai hak untuk hidup sejahtera dengan memiliki tempat tinggal serta lahan untuk dikelola guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti pengolahan lahan pertanian dan perkebunan. 

Negara wajib memenuhi kebutuhan dasar manusia, seperti sandang, pangan, dan papan. Masalah sertifikat tanah adalah kewajiban negara untuk memenuhinya sebagai pengakuan hukum tentang kepemilikan tanah tersebut. Namun, faktanya persoalan agraria terkait dengan hak milik atau sertifikat tanah masih belum bisa diselesaikan dengan baik. Akhirnya, masih sering timbul konflik agraria di tengah masyarakat. 

Jika ditelaah lebih dalam, permasalahannya bukan sekadar masalah sertifikat tanah, tetapi lebih kepada hukum tata kelola lahan yang diterapkan oleh sistem hari ini. Konteksnya memang sudah berbeda, karena jika punya sertifikat tanah pun bukan tidak mungkin akan terus terjadi konflik agraria. Sebab, yang banyak terjadi saat ini adalah perampasan hak atas tanah masyarakat, terutama masyarakat pedesaan yang masih awam tentang apa itu sertifikat tanah. Sehingga, muncullah sekelompok orang yang punya modal besar dengan leluasa membeli lahan untuk kepentingannya, atau bahkan bisa jadi mengklaim bahwa tanah itu adalah miliknya. 

Bahkan, orang yang sudah turun-temurun tinggal di suatu daerah sejak lama bisa dengan mudah digusur dengan alasan untuk kemajuan pembangunan. Ini melihat pada kasus Rempang dan kasus-kasus serupa di beberapa daerah. 

Kasus agraria masih mencengkeram negeri dan hingga saat ini belum bisa diselesaikan dengan baik. Masyarakat pun belum mendapatkan keadilan. Keadilan itu nihil didapatkan di sistem yang masih menerapkan demokrasi sekularisme liberal. Paham itulah yang menjadi akar permasalahan sebenarnya. Oleh karena itu, jelas bahwa pemberian sertifikat tanah bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan konflik agraria. 

Sekularisme liberal adalah paham pemisahan agama dari kehidupan yang melahirkan kebebasan berpendapat dan berperilaku. Paham tersebut mengakibatkan para korporasi dengan bebas bisa memiliki lahan seluas-luasnya sesuai kehendaknya selagi ada uang untuk membelinya. Aktivitas tersebut dilegalkan oleh pemerintah saat ini. Rakyat kecil akhirnya semakin terpinggirkan, sedangkan pemerintah atau negara hanya menjadi regulator bagi korporasi, serta menjadi pelayan mereka. Negara justru membantu para elite ketika mereka membutuhkan lahan untuk kepentingannya. 

Begitulah kenyataan yang terjadi jika hukum tentang tata kelola tanah dan kepemilikan tanah tidak memakai hukum yang sesuai syariat, malah mengikuti hukum buatan manusia yang lemah dan terbatas. Dari sanalah akhirnya timbul berbagai konflik agraria kronis seperti saat ini yang terus membelenggu. Ditambah, untuk membuat sertifikat tanah juga butuh biaya lumayan besar yang memberatkan rakyat kecil. Disahkannya UU Cipta Kerja juga menambah derita rakyat, sebaliknya sangat menguntungkan pihak asing atau swasta. 

Jelas sekali bahwa yang harus diubah adalah sistemnya. Karena itu, perlu diterapkan sistem buatan Allah sebagai solusi hakiki problematika kehidupan. Dalam hal ini adalah tentang hak rakyat dalam mengelola dan memiliki tanah. Syariat Islam mengatur tentang harta kepemilikan terkait lahan sebagai harta sesungguhnya, tidak ada kebebasan kepemilikan seperti dalam sistem demokrasi. 

Harta dari sumber daya alam akan diurus sesuai apa yang disyariatkan Allah, yaitu menjadi tiga harta kepemilikan: kepemilikan umum, individu, dan negara. Sumber daya alam tidak boleh dikelola atau dimiliki secara bebas oleh segelintir orang. Dalam sistem ini, tidak akan terjadi perampasan lahan secara halus yang berkedok investasi dan lain sebagainya. 

Sebaliknya, sistem Islam akan melahirkan individu dan pemimpin yang taat, bertakwa, dan takut kepada Allah. Untuk terwujudnya keadilan bagi si miskin yang tersisihkan, maka sistem kufur demokrasi harus dibuang dan menggantinya dengan sistem Islam buatan Allah Swt. yang sudah pasti mampu memberi keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh alam.
Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media 

Kamis, 14 Desember 2023

Konflik Agraria, demi Investor Tabrak Kepentingan Rakyat

Tinta Media - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat dalam kurun waktu sejak 2015 sampai dengan 2022 telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, ada 1.615 rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya. Sebanyak 77 orang menjadi korban penembakan. Bahkan 69 orang harus kehilangan nyawa. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Wartawan Tinta Media Muhammad Nur mewawancarai Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana. Berikut petikannya.

1. Bagaimana tanggapan Anda terkait adanya 2710 kasus konflik agraria?

Konflik agraria yang jumlahnya sampai 2710 ini tentu sangat miris ya. Seharusnya tanah itu untuk kesejahteraan rakyat, tapi malah karena dorongan investasi, karena dorongan untuk pertumbuhan ekonomi, misalnya terjadilah perampasan-perampasan yang difasilitasi oleh negara terhadap tanah-tanah rakyat sehingga menimbulkan konflik. Sehingga ini menimbulkan hubungan negara dengan rakyat semakin tidak kondusif.

2. Tentu, lagi-lagi rakyat yang menjadi korban, berdasarkan data KPA ada 1615 orang ditangkap dan dikriminalisasi bahkan 69 orang meninggal dunia. Sebenarnya, apa akar masalahnya?

Konflik agraria yang menimbulkan korban dalam jumlah yang cukup besar sampai ada yang meninggal dunia dalam jumlah puluhan ini tentu sangat disayangkan. Tentu hal ini terjadi karena rakyat dihadapi dengan aparat keamanan yang bersenjata, apakah dari kalangan kepolisian maupun kalangan tentara.

Dan seharusnya perlakuan terkait dengan masalah ini, harusnya mengedepankan komunikasi penyelesaian yang kolaboratif bukan kemudian menyelesaikan dengan represif karena ujung-ujungnya menimbulkan korban seperti yang terjadi sekarang.

Kalau dibilang apa yang menjadi akar masalah, karena selalu saja atau sering kali posisi aparat keamanan sebagai alat negara membuat kepentingan investor yang membutuhkan tanah rakyat. Yang kadang-kadang rakyat itu tidak paham legalitasnya sementara legalitas itu sudah dibereskan secara top down tanpa proses kolaboratif sehingga di sinilah menimbulkan problem-problem yang semakin besar. Kasus yang sangat nyata kan terbaru itu terkait dengan pulau Rempang.

3. Mengapa hal ini terus berulang? Berganti presiden, tetap terjadi konflik agraria?

Konflik agraria akan terus berulang dan terus akan terjadi, apalagi di tengah proses-proses mempercepat Indonesia menuju negara maju dalam perspektif pemerintah.

Hari ini, Indonesia digolongkan ke dalam kelompok negara yang kalau enggak hati -hati bisa masuk jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap.

Maka kita tahu misalnya Undang-undang Cipta Kerja, Omnibus Law Cipta Kerja itu kan di-setting untuk menjadi karpet merah investasi dengan harapan bisa melepaskan Indonesia dari middle income trap. Tapi apa yang terjadi, salah satu yang bisa kita baca adalah terkait dengan pengadaan lahan untuk investor.

Nah, pengadaan lahan untuk investor ini akhirnya bisa menabrak kepentingan rakyat. Banyak sekali aturan yang memberikan karpet merah pada investor. Misalnya terkait dengan hak guna dan hak kelola yang 90 tahun. Ini melebihi yang pernah terjadi di masa kolonial yang hanya 75 tahun, misalnya.

Terus proses-proses perampasan tanah rakyat, ini juga dilindungi kemudian dengan alasan investasi atau dengan alasan, kalau bahasa legalnya demi kepentingan umum. Cuma persoalannya demi kepentingan umum itu, siapa yang membuat keputusan?

Ya, selama ini keputusan itu selalu top down dan selalu yang menjadi arah adalah keberpihakan kepada investor.

Sehingga di sini lah akhirnya persoalannya terus berulang dan selama Indonesia berpikirnya seperti itu, para pemimpin negara itu berpikirnya seperti itu, maka konflik agraria itu pasti akan terjadi. Pertumbuhan ekonomi yang jauh dari pemerataan ini adalah rezim yang berorientasi pada sistem pembangunan atau ekonomi politik kapitalisme, selama itu terjadi, pasti konflik agraria akan selalu berulang.

4. Apakah yang dilakukan pemerintah ini sudah tepat sasaran atau menyejahterakan rakyat?

Jika kita lihat konflik agraria ini terjadi pada semua sektor. Yang dilakukan pemerintah jelas tidak tepat, jauh dari tepat. Bahkan saya berat mengatakan itu sebuah kesalahan besar yang dilakukan oleh rezim penguasa kepada rakyat. Karena seharusnya tanah itu untuk kesejahteraan rakyat, bukan kemudian tanah itu diserahkan demi kepentingan investor.

Logika yang mengatakan bahwa yang penting pertumbuhan ekonomi nanti kepada rakyat akan track down effect ini adalah logika yang sangat salah. Pertumbuhan ekonomi adalah satu sisi, pemerataan itu satu sisi.

Selama ini pemerataan cenderung dilakukan melalui tangan tersembunyi yang tidak ada sistem yang serius untuk menatanya. Sementara untuk pertumbuhan ekonomi, tanah -tanah yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat ini malah diprioritaskan untuk investor. Jelas ini sebuah kesalahan besar yang seharusnya dihentikan, bukan malah kemudian diterus-teruskan.

5. Pemerintah melalui Perpres 86 tahun 2018, membentuk gugus tugas reformasi agraria pandangan Anda terkait hal ini bagaimana, efektifkah?

Gugus Tugas Reformasi Agraria akhirnya tidak efektif. Kalau efektif kan harusnya problem-problem ini bisa diselesaikan. Tapi gugus tugas ini, kan bentukan dari pemerintah. Sementara orientasi pemerintah itu sendiri seperti yang diungkapkan sebelumnya. Apa pun bentuk gugus tugas itu hanya lip service yang tidak menyelesaikan masalah jauh dari kata efektif.

6. Terkait kedaulatan pangan, Pemerintah punya program akan membuka 1 juta hektar lahan pertanian pada satu sisi. Dan di sisi yang lain, negara membuka kran agar pengusaha mengelola hutan dan tanah di negeri ini. Apakah akan terwujud kedaulatan pangan tersebut?

Keinginan untuk membangun kedaulatan pangan atau ketahanan pangan, ini saya melihat kebijakannya sangat kontradiktif. Di depan publik selalu bilang bahwa akan membuka 1 juta hektar lahan pertanian, tapi sementara legal formalnya ini malah tidak membedakan perlindungan kepada lahan pertanian, tidak memberikan perlindungan pada di dalam pertanian itu ada yang membutuhkan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Istilahnya ketika satu wilayah sawah misalnya sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan, maka tidak boleh seharusnya tidak boleh dialihfungsikan, tapi yang terjadi nyatanya perlindungan terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan itu cenderung dikalahkan untuk kepentingan pembangunan kawasan ekonomi khusus, real estate, tol, bandara, sarana pertambangan, energi, dan juga untuk kepentingan investasi, sehingga relatif alih fungsi lahan pertanian berkelanjutan ini terus terjadi dan terus bertambah.

Ini kan kontradiktif. Satu setiap ingin membuka 1 juta hektar lahan pertanian, sementara lahan pertanian yang sudah jelas bagus, subur, malah dialihfungsikan dengan begitu cepat, demi kepentingan investasi.

Dan kalau kita lihat di Undang-undang Cipta Kerja itu, jelas sekali bahwa syarat-syarat alih fungsi lahan pertanian itu dihapuskan dengan alasan demi proses-proses yang lebih baik, demi kepentingan umum, demi kepentingan pembangunan, alasan-alasan lip service yang sebenarnya adalah karpet merah untuk investasi.

Ini yang terjadi. Kemudian yang sungguh sangat lucu juga, tidak hanya sekedar itu, impor pangan itu bisa menjadi salah satu, penjaga kedaulatan pangan, sangat lucu sekali. Sementara panen raya terjadi, cadangan pangan nasional juga ada, impor tetap menjadi salah satu bagian yang bisa dilakukan tanpa melihat lagi cadangan pangan.

Ini kontradiktif sekali. Jadi banyak sekali kebijakan yang jauh panggang dari api, tapi lip service, yang ke sana sini citra yang dibangun seperti peduli pada pertanian, seperti peduli pada kedaulatan pangan. Kalau seperti ini, konflik agraria pasti akan terus terjadi.

7. Setiap terjadi konflik agraria, aparat kepolisian, TNI dan lainnya berhadapan langsung dengan rakyat. Bagaimana sebenarnya pendekatan yang harus dilakukan negara?

Ya, konflik yang menghadap-hadapkan antara aparat keamanan dalam hal ini kepolisian dan juga TNI dengan rakyat secara langsung, ini kan problem di ujung.

Penyelesaian konflik agraria yang terbaik tentu di hulunya dulu, bagaimana mindset bahwa agraria atau tanah itu untuk kesejahteraan rakyat itu mindset yang harus dibangun dulu tentunya. Terus kemudian yang kedua dibangunlah legal formal yang betul-betul memberikan perlindungan pada tanah-tanah rakyat dan hak rakyat terhadap tanah.

Terus kemudian yang ketiga kalau ada konflik ya harus dibangun dengan pendekatan-pendekatan yang lebih manusiawi, kemudian lebih melakukan pendekatan yang kekeluargaan, terus kemudian kolaboratif. Ini yang sangat penting untuk dilakukan. Tapi kalau dalam situasi seperti sekarang hulunya problem, mindsetnya problem, legal formalnya problem, ya ujung-ujungnya mau pendekatan yang kolaboratif, partisipatif nggak akan selesai. Karena pemerintah yang dikedepankan karpet merah untuk investor, karpet merah untuk para pemegang modal, seperti yang dilakukan Bahlil misalnya di kasus Rempang.

Dia kan ditugaskan Pak Jokowi untuk melakukan pendekatan kekeluargaan, tapi mindset di kepala Bahlil dan juga pemerintah tetap memprioritaskan pemegang modal bagaimana bisa melobby rakyat untuk dipindahkan dari tempat hak ulayat mereka.

Ini yang sangat disayangkan. Sehingga konflik ini akan terus terjadi. Tapi intinya kalau konflik terjadi atau menghindari konflik ya pendekatannya harus kolaboratif dan manusiawi.

8. Jika terjadi konflik agraria ini, bagaimana hukum Islam, perlukah negara menggunakan aparat hukum?

Ya, seperti yang saya katakan tadi. Konflik agraria ini harus kita baca secara utuh. 

Pertama, pendekatan Islam kepemilikan lahan atau kepemilikan itu harus benar-benar disesuaikan dengan konteks Islam, misalnya satu, Islam mengatur kepemilikan umum, kepemilikan individu dan kepemilikan negara, lahan-lahan hutan yang sangat luas luar biasa di Kalimantan, di Pesisir, di Sumatera dan sebagainya, itu hak milik umum.

Banyak sekali yang menjadi hak milik umum, termasuk lahan -lahan pertambangan di banyak tempat, itu hak milik umum yang harusnya dikelola oleh negara dan nanti dikembalikan untuk kemakmuran rakyat. Kedua, masyarakat yang sudah menempati dan menghidupkan tanah di satu lokasi tertentu, itu menjadi milik rakyat, tinggal negara membuat legalitas dalam bentuk sertifikat.

Jangan sampai terjadi seperti di Rempang, masyarakat sudah bertahun-tahun, tapi sertifikat saja tidak pernah ada. Dan seharusnya negara proaktif untuk memberikan sertifikat itu. Untuk memberikan lisensi bahwa mereka telah menghidupkan tanah, di tempat itu memproduktifkan tanah, di tempat itu.

Kemudian dibangunlah legalitas untuk benar-benar memberikan perlindungan terhadap tanah rakyat dan juga memberikan berbagai insentif penting untuk memproduktifkan lahan-lahan tersebut. Sehingga rakyat itu benar-benar bisa berkonsentrasi misalnya tadi kalau ingin membangun produktivitas lahan demi kepentingan pangan, rakyat juga bisa berkonsentrasi ke sana sehingga banyak sekali lahan yang bisa diproduktifkan dan banyak pihak yang tertarik untuk masuk di dunia pertanian.

Nah, kemudian baru di ujung nanti kalau ada konflik, ada hal -hal yang tidak tepat, maka dikembali ke standar hukum Islam dan diselesaikan secara baik. Secara baik, secara kekeluargaan, dan kalau nanti memang ada hukum Islam yang dilanggar, ya harus diselesaikan secara hukum.

Nah, pelanggaran itu tidak selalu rakyat loh, kalau dalam sistem sekarang kan, pelanggaran selalu ada pada rakyat. Pelanggaran bisa terjadi pada pemegang kebijakan. 

Ketiga, pelanggaran dalam pemegang kebijakan, maka hukum pun harus tajam kepada mereka. Jangan sampai seperti sekarang, hukum tajam pada rakyat sementara hukum tumpul kepada pemegang kebijakan atau penguasa.[]


Selasa, 26 September 2023

Konflik Agraria Rempang, FKSU Sampaikan Tuntutan sebagai Bentuk Cinta

Tinta Media - Menyikapi konflik agraria yang terjadi di Pulau Rempang, Agung Wisnuwardana mewakili Forum Kajian Strategis Umat (FKSU) menyampaikan tuntutan sebagai  perwujudan cinta.
 
“Saya minta semuanya genggamkan tangan ke atas, kita suarakan sebagai sebuah perwujudan rasa cinta kita. Kami mencintai tanah ini, kami mencintai negeri ini. Oleh karena itu, pertama, tolak perampasan tanah Rempang dan tanah-tanah lainnya milik rakyat,” pekiknya dalam sebuah video: Menuju Indonesia Bebas Oligarki 2024 Terapkan Sistem Islam, yang disiarkan oleh MNF TV, Sabtu (23/9/2023).
 
Kedua, lanjutnya, wahai penguasa! Hentikan kezaliman sesegera mungkin. Ketiga, wahai rakyat Rempang! Bersabarlah dan terus speak up melawan.
 
“Keempat, perlu kita sadari bahwa Allah dan Rasul-Nya memiliki konsep tentang agraria, tentang politik, tentang geopolitik, dan Islam mampu menjawabnya. Kelima, oleh karena itu, kami suarakan untuk menerapkan sistem Islam dalam naungan Khilafah demi Indonesia yang lebih baik,” ungkapnya.
 
Seruan ini, lanjut Agung, ditujukan kepada rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dari Mianga sampai Pulau Rote. Dan juga kepada pemangku kepentingan negeri ini.
 
“Saat ini kami sadar bahwa konflik agraria di Rempang adalah bentuk perampasan tanah rakyat oleh rezim penguasa untuk kepentingan oligarki dan investasi asing,” jelasnya.
 
Agung melanjutkan, investasi asing pada faktanya tidak berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi, tidak berkorelasi dengan penyerapan tenaga kerja, tidak berdampak kepada kesejahteraan rakyat.

“Dan kami sadar bahwa pengembangan Pulau Rempang yang saat ini sedang  dikerjakan, hanyalah memenangkan oligark dan investor asing. Inilah orientasi pembangunan dengan tata kelola berdasarkan ideologi kapitalisme,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun
 

Kamis, 14 September 2023

"PRAKTIK NEGARAISASI (DOMEIN VERKLARING)" ATAS KONFLIK AGRARIA DI REMPANG BATAM


Tinta Media - Mengutip informasi dari website kantor berita yang memberitakan terkait konflik agraria yang terjadi di Pulau Rempang, provinsi Kepulauan Riau. Berkaitan dengan hal tersebut di atas saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

 

Pertama, Bahwa rencana investasi tidak akan dapat diproses apabila tidak terdapat keputusan dari Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Agraria untuk mengeluarkan SK Pelepasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK) menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), penerbitan Sertifikat (Hak Pengelolaan) HPL kepada Badan Pengusahaan (BP) Batam, Kepulauan Riau;

 

Kedua, Bahwa apabila Surat Keputusan (SK) HPL tersebut dikeluarkan dan diberikan kepada BP Batam, SK tersebut dikhawatirkan akan menghidupkan kembali konsep domein verklaring (negaraisasi tanah). Prinsip ini mengartikan bahwa tanah dianggap sebagai kepemilikan negara, yang pada gilirannya memungkinkan pemerintah atau entitas yang berada di bawah otoritasnya untuk mengambil dan mengusir masyarakat yang dianggap tidak memiliki bukti kepemilikan. Dahulu Domein Verklaring dipraktikkan agrarische besluit oleh Penjajah Belanda yang menyatakan bahwa barang siapa yang tidak memiliki tanah atas hak eigendom, maka tanah tersebut akan menjadi milik negara;

 

Ketiga, Bahwa apabila ketentuan tersebut dipraktikkan kembali akan berpotensi menjadi alat pemerintah untuk menguasai tanah di Indonesia, yang pada akhirnya dapat merugikan masyarakat. Ini juga yang kemudian membuat negara menguasai tanah seluruhnya, termasuk tanah-tanah masyarakat adat yang tidak memiliki sertifikat/bukti kepemilikan atas tanahnya. Hal ini lah yang akan menimbulkan persoalan struktural yang berimplikasi kelirunya penerapan kebijakan atas suatu lahan. Ujungnya sudah dapat diduga, bermunculan konflik agraria yang bersumber dari dominasi negara dan persoalan struktural.

 

Demikian.

IG @chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. (Ketua LBH PELITA UMAT dan Mahasiswa Doktoral)

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab