Ahli Hukum Sebut BBM Bukan Komoditas yang Patut Dikomersilkan
Tinta Media - Ahli Hukum dari Indonesia Justice Monitor (IJM) Abu Muhammad Asyraf Mikhail Othello mengatakan, BBM bukanlah komoditas yang patut dikomersilkan.
“BBM dalam tinjauan Syariah, sebagaimana dijelaskan Syeikh Allamah Taqiyuddin An Nabhani dalam dua master piece kitab beliau, yaitu Nizahmul Iqthishodiy dan al-Amwal fi Daulah. Dalam penjelasan dua kitab tersebut, BBM pada prinsipnya bukanlah barang komoditas yang patut dikomersialkan,” tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (30/8/2022).
Menurutnya, kebanyakan dari kaum muslim menyangka, BBM dan sejenisnya masuk kategori barang-barang yang dapat dikomersilkan di pasar-pasar konvensional. Padahal, menurutnya, pandangan ini keliru besar.
“Keberadaan BBM seperti minyak tanah, bensin, pertalite, pertamax, gas elpiji dan sejenis itu, dalam perspektif fiqih menurut Sheikh Allamah Taqiyuddin An Nabhani, masuk kategori barang tambang yang jumlahnya sangat banyak dan tidak terbatas. Sehingga, komoditas BBM dan sejenisnya itu, masuk kategori kepemilikan umum (al-milkiyatul Aam). Terlarang bahkan haram untuk menjadikannya sebagai barang komoditas yang diperdagangkan secara bebas layaknya barang komoditas lainnya di tengah masyarakat,” bebernya.
Abu Asyraf kembali menegaskan, BBM merupakan bagian dari kepemilikan umum. Oleh karenanya, syariah melarang keras memperjualbelikan secara komersil. Ia pun menambahkan, BBM adalah milik umat sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Ahamad.
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.”
Dalam konteks hadits tersebut, Abu Asyraf menjelaskan, BBM bisa dianalogikan sebagai api atau energi yang digunakan oleh umat manusia. Komoditas tersebut, menurutnya, hanya digunakan untuk kemaslahatan masyarakat sehingga tidak boleh dikomersilkan. Ia pun menambahkan, BBM juga tidak boleh dikuasai oleh geng oligarki atas nama perusahaan swasta baik domestik maupun asing.
“Negara berkewajiban menjadi fasilitator untuk mendistribusikan BBM kepada seluruh masyarakat sebisa mungkin, baik secara gratis ataupun dengan harga yang murah,” tambahnya.
Menurutnya, konsep kepemilikan ekonomi perspektif ekonomi kapitalisme bertentangan dengan syariat Islam. Abu Asyraf menjelaskan, kapitalisme berpandangan bahwa semua barang yang memiliki nilai keekonomian diserahkan kepada harga pasar. Dengan demikian, menurutnya, setiap individu, konglomerasi dan oligarki bisa menguasainya dengan cara bersaing secara bebas dalam mekanisme pasar.
“Demikian halnya BBM. Dalam pandangan ekonomi kapitalis, ia merupakan komoditas yang mestinya juga dapat dikomersilkan. Sehingga, negara yang bertumpu kepada ekonomi kapitalis meniscayakan sebagai komoditas yang harus didistribusikan kepada rakyat dengan mekanisme jual beli melalui motif untung dan rugi. Konsep ekonomi kapitalistik inilah yang menimbulkan ketidakadilan ekonomi serta kezhaliman di tengah umat,” tegasnya.
Oleh karena itu, menurutnya, perlu diluruskan bahwa keberadaan BBM merupakan milik umum. Pemerintah, tambahnya, dilarang berjual beli BBM dengan rakyatnya. Rencana kenaikan harga BBM, menurutnya, bisa dikatakan bentuk kezaliman pemerintah terhadap rakyat dan harus dicegah.
“Kata kuncinya bahwa rencana menaikkan harga BBM merupakan bentuk pelanggaran syariah yang berimplikasi kezaliman. Harus dicegah dan disuarakan,” tegasnya.
Abu Asyraf khawatir, mendiamkan kezaliman, dampaknya Allah SWT nanti meminta pertanggungjawaban seorang muslim ketika membiarkan kemungkaran. Padahal, Rasulullah saw telah menyampaikan hadist dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu terkait kewajiban menghilangkan kemungkaran dan diriwayatkan oleh Muslim.
“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” pungkasnya.[] Ikhty