Tinta Media: Kolonialisme
Tampilkan postingan dengan label Kolonialisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kolonialisme. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 September 2023

PEPS: Akar Masalah Konflik Rempang, Investasi dan Kolonialisme Gaya Baru

Tinta Media - Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyatakan bahwa akar masalah konflik Rempang adalah investasi dan kolonialisme gaya baru.

"Akar masalah Rempang karena warga setempat mau direlokasi alias diusir dari kampung halamannya, atas nama investasi dan kolonialisme gaya baru," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (15/9/2023).

Menurutnya, hal ini merupakan kolonialisme atas nama dagang. “Jokowi terkesan cuci tangan ketika menyampaikan respons terhadap konflik tersebut dengan menyalahkan konflik Rempang ke Pemda Batam,” ungkapnya.

Anthony mengatakan, solusi Rempang hanya satu yakni batalkan relokasi warga ke daerah lain. “Biarkan mereka ikut dalam pembangunan ekonomi dan menikmati kesejahteraan," ujarnya.

Ia mengungkapkan bahwa seharusnya Pemda dan aparat hukum tidak boleh memfasilitasi pengusiran warga.

"Biarkan swasta dan swasta berunding, kalau perlu proyek tersebut dilelang," pungkasnya.[] Ajira

Jumat, 16 Desember 2022

LBH Pelita Umat: KUHP Ini Cenderung Represi

Tinta Media - Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat Chandra Purna Irawan menilai KUHP yang disahkan DPR pada Selasa (6/12) cenderung represi.

"Kalau dari bunyinya saja, pasal ini sudah menimbulkan persoalan yang cenderung represi, selanjutnya bagaimana proses implementasi dari pasal," ungkapnya dalam program Kabar Petang: KUHP Baru Menjadi Alat Represi? Melalui kanal Youtube Khilafah News, Kamis (8/12/2022). 

Chandra mengatakan, RKUHP yang telah disahkan DPR menjadi KUHP masih mengandung spirit kolonialisme. "Yang menjadi spiritnya adalah bukan sekedar mengganti undang-undang kolonial dengan undang-undang buatan sendiri, tetapi bagaimana undang-undang yang kemudian disusun dan disahkan itu adalah undang-undang yang kemudian tidak menjerat kebebasan sipil," tuturnya.

Menurutnya, di dalam KUHP yang baru, potensi terhadap jeratan sipil begitu besar. "Misalnya terkait hak demonstrasi yang tidak mendapatkan izin maka akan dipidana, pertanyaannya adalah KUHP baru ini memindahkan ranah pemberitahuan menjadi ranah izin, ranah hak menjadi izin. Padahal izin adalah untuk sesuatu yang sudah dilarang, sedangkan demonstrasi itu adalah hak, pastinya tidak perlu izin cukup dengan pemberitahuan," jelasnya.

Chandra mengungkapkan bahwa izin adalah untuk sesuatu yang dilarang, dengan ada izin maka menjadi boleh. Misalnya, seorang laki-laki dan wanita tentu dilarang untuk melakukan hubungan, tapi dengan ada izin berupa menikah maka dia menjadi boleh.

"Sejumlah pihak khawatir dengan polisi yang akan salah tafsir dalam penerapan pasal-pasal baru di RKUHP, kekhawatirannya itu didasari terhadap kinerja POLRI yang dinilainya sering menyimpang dan merekayasa kasus," ungkapnya. 

"Memang penafsir pertama dalam proses penerapan pasal itu adalah polisi, dan biasanya untuk meminta perbandingan, polisi akan memanggil keterangan ahli, potensi represi itu terjadi dalam KUHP karena memindahkan sesuatu yang menjadi hak menjadi ranah perizinan mestinya cukup dengan pemberitahuan, sejumlah aturan baru RKUHP apalagi yang dianggap publik sebagai pasal karet akan menimbulkan multi interpretasi dalam penegakan hukum di kepolisian," tambahnya.

Chandra menjelaskan, beberapa pasal ada yang multi tafsir, misalkan menyebarkan paham yang bertentangan dengan pancasila. "Siapa yang berhak menafsirkan itu? kalau pemerintah, yang menafsirkannya adalah kepolisian. Saya kira salah, karena kalau dalam teori hukum pidana, sesuatu yang tidak ditulis bentuk pelanggarannya, dia tidak dapat dipidana, karena pidana merupakan pasal-pasal dalam KUHP itu. Jadi, kalau tidak disebutkan di situ tidak dapat dipidana," ujarnya.

Solusi terakhir, ujar Chandra, ada di MK, tapi publik menaruh curiga dengan MK. "Khawatir MK tidak berani melakukan pembatalan karena hakim MK sendiri dapat di recall oleh DPR atau pemerintah," pungkasnya. [] Evi

Jumat, 09 Desember 2022

IJM: Pengesahan RKUHP Masih Melanggengkan Kolonialisme

Tinta Media - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang disahkan DPR pada 6 Desember lalu dinilai Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana, masih melanggengkan kolonialisme.
 
“Negeri ini tetap melanggengkan budaya kolonialisme yang dimiliki oleh Belanda dan ternyata warisan itu dilanjutkan dalam bentuk represifitas dan otoritarianisme,” tuturnya Rabu (7/12/2022) melalui kanal YouTube Juctice Monitor.
 
KUHP di masa Belanda itu salah satu alasannya untuk merepresif rakyat bumi putera dan hari ini pasal-pasal terkait dengan represifitas dan otoriter ini masih ada. Ia mencontohkan di pasal 256, setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum menimbulkan keonaran atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori 2.
 
“Kalimat tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, ini sebenarnya absurd. Kenapa? Karena tugas para demonstran (orang yang akan membikin kegiatan publik itu) kan memberitahu. Kewajiban dari aparat keamanan memberikan surat tanda pemberitahuan tersebut. Tapi kenyataan di lapangan seringkali ini tidak terjadi. Aparat keamanan memiliki pandangan sendiri yang cenderung mengikuti pola-pola yang diinginkan rezim penguasa, sehingga banyak demo-demo yang dianggap mengganggu rezim penguasa seringkali tidak mendapatkan surat tanda pemberitahuan,” urainya.
 
Contoh lain, sebutnya, di pasal 218, setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri, presiden dan atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan pidana denda paling banyak kategori 4.
 
 “Kalimat menyerang kehormatan atau harkat martabat diri presiden dan wakil presiden ini bisa menjadi pasal karet. Bagaimana kalau kritik itu disampaikan dan kritik itu kemudian dianggap mengganggu harkat martabat diri dari presiden wakil presiden. Orang yang mengkritik presiden, wakil presiden ini bisa dipenjara karena pasal karet. Dan ini menimbulkan problem di tengah masyarakat,” bebernya.
 
Demikian pun, lanjutnya, di pasal 240, setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori 2.
 
“Kata-kata menghina ini menjadi kata-kata  karet  yang tentu penafsirannya sering kali tergantung pada rezim penguasanya. Inilah yang saya katakan pewarisan dari apa yang telah dilakukan oleh kolonialisme Belanda dan terus diwarisi dalam konteks hari ini,” sesalnya.
 
L68T
 
Agung mengatakan, L68T yang  membikin miris anak bangsa justru dalam KUHP yang baru disahkan tidak memberikan penjelasan clear tentang  L68T.
 
“Misalnya pasal 414 ayat 1, setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya di depan umum atau mungkin secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dipublikasikan dengan muatan pornografi baru itu yang dikenai pidana,” sebutnya.
 
Artinya, lanjut Agung, setiap orang yang melakukan pencabulan sesama jenis asal tidak dilakukan di depan umum, tidak ada kekerasan dan tidak dipublikasikan maka itu masih boleh. “Meski tidak secara langsung mengatakan L68T itu legal tapi menunjukkan bahwa L68T itu tidak dilarang di negeri ini,” jelasnya.
 
Ideologi Negara
 
Catatan kritis lain yang disampaikan Agung terkait tindak pidana terhadap ideologi negara. Di pasal 128, ucap Agung, setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme, marxisme, leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
 
“Komunisme, marxisme, leninisme, oke karena  tidak sesuai dengan konteks mayoritas negeri ini yang Islam. Yang menjadi persoalan, paham lain yang bertentangan dengan Pancasila itu apa? Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila beberapa waktu lalu menyebut khilafahisme, radikalisme,” ungkapnya.
 
Radikalisme, lanjutnya, sering Negeri ini tetap melanggengkan budaya kolonialisme yang dimiliki oleh Belanda dan ternyata warisan itu dilanjutkan dalam bentuk represifitas dan otoritarianisme, kepada Islam. Khilafahisme  sering ditujukan pada mereka yang berjuang untuk menegakkan Khilafah.
 
“Apakah mereka yang memperjuangkan Khilafah, memperjuangkan penegakan syariat Islam kaffah akan dimaknai paham lain yang bertentangan dengan Pancasila?” tanyanya.

Agung juga mempersoalkan pasal 190, setiap orang yang menyatakan keinginannya di muka umum dengan lisan tulisan atau melalui media apapun untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun .
 
“Nanti orang ngomong Khilafah, menyampaikan ide Khilafah dianggap sebagai ingin mengganti Pancasila. Kan repot banget ini nanti,” kesalnya.
 
Menurut Agung, negeri ini butuh konsep untuk menyelesaikan problem-problem keumatan. “Konsep-konsep Islam itu ditawarkan sebagai bagian untuk menata negeri ini menjadi lebih baik, tapi bisa jadi dianggap mempersiapkan permufakatan jahat yang bisa dipidana,” duganya.
 
Agung lalu mengajak agar rakyat negeri ini speak up, jangan sampai negeri ini semakin sekuler, semakin kapitalis, semakin liberal.
 
“Saya membaca  rechtsidee (cita hukum) dari pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang ditetapkan pada 6 Desember kemarin adalah sekularisme, kapitalisme, liberalisme. Ini yang jelas-jelas akan merusak negeri ini menjadi porak-poranda,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 
 
 
 
 
 
 
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab