Tinta Media: Klenik
Tampilkan postingan dengan label Klenik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Klenik. Tampilkan semua postingan

Selasa, 05 April 2022

Syirik Berbalut Budaya

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1-UITssb8gxpKzzfYBibb7lhSDKX4wAI-

Tinta Media - Indonesia menjadi tempat perhelatan Internasional, MotoGP 2022 yang merupakan event yang menarik perhatian seluruh masyarakat Indonesia maupun dunia. Yang membedakan dari penyelenggaraan MotoGP di Mandalika kali ini, yaitu adanya pawang hujan sebagai seseorang yang dianggap bisa menghalangi atau memberhentikan hujan yang terjadi saat acara berlangsung. Rara Istiani Wulandari atau Mbak Rara di ajang MotoGP 2022 Mandalika dianggap sebagai sesuaitu yang “unik” dari Indonesia dan hal ini diliput oleh banyak jurnalis Internasional. Bahkan Rara mengatakan, pekerjaannya untuk event besar ini digaji dengan harga yang fantastis, mencapai 3 digit untuk waktu sekitar 21 hari. 
Ternyata, fenomena ini menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat Indonesia khususnya. Ada yang mengatakan inimerupakan perbuatan musyrik, bertentangan dengan agama Islam. Namun, ada juga yang menganggap ini bagian budaya Indonesia dan bukan perbuatan syirik. Dikutip dari wartaekonomi.co.id, KH Ahmad Muwafiq atau Gus Muwafiq justru menyebut hal yang dilakukan Mbak Rara itu bukan musyrik. “Musyrik tidak seperti itu. Bahwa manusia memiliki usaha. Misalnya berlindung dari harimau, manusia membuat senapan. Berlindung dari gempa membuat fondasi, berlindung dari hujan ya membuat ilmu pawang,” ujar Gus Muwafiq. 
Di samping itu sebagian masyarakat Indonesia bertumpu pada penjelasan dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto mengatakan hujan berhenti pada gelaran MotoGP Mandalika di Sirkuit Mandalika, Lombok, Minggu (20/3) lalu, bukan karena pawang hujan. Meskipun ada momen hujan berhenti saat pawang hujan bekerja di dalam lintasan Sirkuit Mandalika, Guswanto mengatakan itu merupakan kebetulan. Dia mengatakan hujan berhenti karena faktor durasi hujan yang sudah selesai (cnnindonesia.com)
Budaya “klenik” seperti ini bukan hal yang baru lagi di Indonesia. Terdapat aksi klenik pria semarang doakan pandemi lekas berakhir, Mbah Bejo berdoa membawa dupa sambil mengelilingi Tugu Muda yang merupakan ikonik dari Kota Semarang. Aksi tunggal Mbah Bejo tak lepas dari kondisi bangsa dan negara yang masih dalam suasana pandemi Covid-19 dengan protokol kesehatan harus dijalankan.
Selain itu dikutip dari radarkaur.co.id, publik ramai membicarakan ritual “Kendi Nusantara” berupa pengambilan air dan tanah “suci” yang berasal dari 33 provinsi di Indonesia yang dibawa oleh para gubernur saat kemah peresmian titik nol Ibu Kota Nusantara di Penajam Paser Utara Kalimantan Timur. Air dan tanah yang dibawa 33 gubernur se-Indonesia tersebut akan disatukan dalam kendi nusantara. Beberapa kasus tersebut membuktikan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masih kalah dengan budaya “klenik” di Indonesia. Lebih mengherankan lagi mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam masih tidak terusik dengan keberadaan budaya klenik ini, padahal jelas dalam Islam mempercayai apa pun selain daripada Allah adalah perbuatan syirik. 
Sungguh aneh memang, dunia yang saat ini berpacu pada perkembangan industri, ilmu pengetahuan dan teknologi tapi perihal hujan, pandemi bahkan pembangunan ibu kota masih mengharapkan pada hal-hal berbau mistis. Inilah yang terjadi jika agama tidak menjadi tumpuan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Salah satu prinsip demokrasi adalah kebebasan beragama, dan “klenik” merupakan bagian dari kepercayaan sebagian orang sehingga budaya ini dianggap biasa dan dijadikan icon Indonesia.
Mereka yang pro terhadap perilaku-perilaku syirik ini berdalih bahwa kita harus menghargai adat istiadat serta kebudayaan orang lain sekali pun bertentangan dengan agama kita. Padahal Islam mengatur kehidupan manusia dengan aturan yang begitu sempurna, baik untuk Muslim maupun non-Muslim. Adat istiadat tidak diperkenankan mengangkangi syari’at Islam, sekali pun adat istiadat tersebut tidak bertentangan dengan syari’at Islam. 
Apa pun kondisinya, syari’at Islam tetap menjadi landasan pertama dalam mengatur kehidupan. Jika kebudayaan masyarakat bertentangan dengan syari’at maka budaya tersebut wajib untuk dihapuskan dan ditinggalkan oleh umat. Demikian pun jika kebudayaan tersebut tidak bertentangan dengan syari’at, maka yang perlu diikuti dan diutamakan adalah syari’atnya bukan kebudayaannya. 
Sayangnya sistem kapitalis-sekuler ini  jadi ajang “menerobos” syari’at Islam, mengesampingkan aturan agama, dan membanggakan kebudayaan karena dianggap bagian dari kebebasan individu. Inkonsistennya sistem kapitalisme terbukti dengan fenomena saat ini. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masih kalah dengan hal-hal mistis yang dianggap sebagai culture padahal bagian dari perbuatan syirik. Ritual syirik dipaksa tampak ilmiah, seolah-olah bisa dibuktikan dengan ilmu pengetahuan padahal hal ini sungguh jauh di luar nalar. 
Agama atau kepercayaan lain tidak bisa disetarakan dengan Islam. Islam bukan sekadar agama spiritual saja, yang mengatur hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-nya. Namun, Islam merupakan ideologi dengan segala aspek kehidupan dari tatanan akidah sampai dengan tatanan negara diatur di dalamnya. Sistem Islam jelas akan menjaga umat dari budaya yang merusak akidah, khususnya adalah perilaku syirik yang berkembang di sistem kapitalisme saat ini. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS an-Nisa: 48).
Dan Rasulullah SAW bersabda:“Barang siapa mendatangi dukun lalu mempercayai apa yang dikatakannya, maka dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad (Al-Qur'an)” (HR at-Tirmidzi).
Sebenarnya membiarkan perilaku syirik sama saja mengundang murka Allah. Bukti penguasa di negeri yang menggunakan akidah sekularime sekali pun dia beragama Islam tidak akan bisa menjaga umat dari budaya perusak  akidah. Akan sangat berbeda dengan penerapan sistem Islam, khalifah sebagai pemimpin umat akan menjadi peran utama didaulah dalam mengurusi urusan umat (riayah syuunil ummah), karena sejatinya tanggung jawab penguasa mengatur seluruh urusan umat termasuk akidah umat. 
Akidah adalah hal yang paling mendasar bagi kehidupan umat Islam. Umat yang bertakwa lahir dari sistem tatanan kehidupan yang mengantarkan mereka pada ketaatan. Itulah mengapa khilafah berperan sebagai perisan atau “junnah” bagi umat, karena dapat menjaga dari hal-hal yang bertolak belakang dengan Islam. 
Peran intelektual muda di sini juga sangat dibutuhkan, khususnya mahasiswa. Mereka yang mengedepankan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan seharusnya terusik dengan hal yang tidak bisa dibuktikan dengan akal sehat. Mahasiswa sebagai ujung tombak sebuah peradaban sudah seharusnya bersuara tentang “konyol” nya sistem ini menjadikan klenik dan budaya syirik lainnya sebagai penopang perkembangan pembangunan negara. 
Mahasiswa Muslim saat ini perlu pendalaman lagi mengenai cara pandang dalam menganalisis masalah negara agar tidak menjadi generasi yang pragmatis apalagi apatis. Perubahan secara ideologis sudah sangat dibutuhkan untuk memperbaiki tatanan kehidupan saat ini, bukan lagi pergantian kepala negara tapi sudah harus ke tatanan sistem yang ada. Perang ideologi sudah semakin tampak. Di sinilah mahasiswa Muslim harus menunjukkan sisi ideologisnya untuk membuktikan bahwa Islam adalah solusi satu-satunya dalam memperbaiki tatanan kehidupan masyarakat.[]

Oleh: Albayyinah Putri, S.T.
Alumnus Politeknik Negeri Jakarta
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab