Tinta Media: Kisah
Tampilkan postingan dengan label Kisah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Juni 2023

Toleransi Beragama Ala Rasulullah, Bukan Mencampuradukkan Agama

Tinta Media - Sobat. Rasulullah adalah tokoh teladan terbaik dalam mengajarkan sikap toleransi kepada umatnya. Toleransi merupakan sikap untuk mengayomi orang-orang yang berbeda keyakinan dan kedudukan yang tidak menebar permusuhan. Rasulullah tidak hanya sebagai Nabi, beliau juga kepala keluarga, panglima perang, dan kepala negara. Kedudukan dan kekuasaan yang diperolehnya tidak menjadikannya sebagai orang yang bertindak kasar dan keras.

Sobat. Sebagai Nabi, sikap toleransi yang beliau tunjukkan ialah memaafkan dan bahkan mendoakan kaum yang telah berbuat jahat kepada beliau ketika berdakwah. Setelah wafatnya paman beliau, Abu Thalib, Nabi SAW berkunjung ke perkampungan Thaif. Beliau menemui tiga orang dari pemuka suku kaum Tsaqif, yaitu Abdi Yalel, Khubaib, dan Mas'ud. 

Sobat. Nabi mengajak mereka untuk melindungi para sahabatnya agar tidak diganggu oleh suku Quraisy. Namun, kenyataan pedih yang dialami beliau. Nabi diusir dan dilempari batu oleh kaum Tsaqif. Akibatnya, darah pun mengalir dari tubuh beliau. 

Menyaksikan kejadian itu, Malaikat Jibril memohon izin untuk menghancurkan kaum Tsaqif karena telah menyiksa Nabi. Namun, apa jawaban Nabi? “Jangan! Jangan! Aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang akan menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun.” 

Beliau pun berdoa untuk kaum Tsaqif. "Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena mereka belum mengetahui (kebenaran).” (HR Baihaqi).

Sobat. Pada lain kesempatan, sebagai pemimpin negara, Rasulullah SAW juga menunjukkan sikap tolerannya. Ketika terjadi keributan antara kaum Muslim dan kaum Quraisy serta Yahudi, Rasul menawarkan solusi dengan membuat Piagam Madinah untuk mencari kedamaian dan ketenteraman kehidupan di masyarakat. Seperti yang terdapat pada pasal 16 yang tertulis, “Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (kaum mukminin) tidak terzalimi dan ditentang.”

Sobat. Selain Piagam Madinah, pada peristiwa penaklukkan Kota Makkah (Fathu Makkah), Rasulullah SAW juga menunjukkan toleransi yang sangat indah. Penduduk Makkah yang selama ini memusuhi Rasulullah, ketakutan ketika umat Islam berhasil menaklukkan Kota Makkah. Sebab, sebelum penaklukan itu, umat Islam sering ditindas oleh kaum kafir Quraisy Makkah. Tak jarang, mereka juga menghalang-halangi dakwah Rasul, bahkan hingga bermaksud membunuhnya. 

Namun, setelah penaklukan Kota Makkah itu, Rasul memaafkan sikap mereka. Tidak ada balas dendam. Kekuasaan yang dimilikinya, tak menjadikan diri Rasul menjadi sombong atau bertindak sewenang-wenang. Ketika penduduk Quraisy menanti keputusan beliau, Rasul bersabda, “Saya hanya katakan kepada kalian sebagaimana ucapan Nabi Yusuf kepada para saudaranya, 'Tiada celaan atas kalian pada hari ini'. Pergilah! Kalian semua bebas.” (HR Baihaqi).

Itulah di antara contoh toleransi Rasulullah. Pantaslah bila beliau menjadi suri teladan bagi umat Islam dalam berbagai hal. 
Allah SWT Berfirman :
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا  
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. “ (QS al-Ahzab: 21).

Sobat. Pada ayat ini, Allah memperingatkan orang-orang munafik bahwa sebenarnya mereka dapat memperoleh teladan yang baik dari Nabi saw. Rasulullah saw adalah seorang yang kuat imannya, berani, sabar, dan tabah menghadapi segala macam cobaan, percaya sepenuhnya kepada segala ketentuan Allah, dan mempunyai akhlak yang mulia. Jika mereka bercita-cita ingin menjadi manusia yang baik, berbahagia hidup di dunia dan di akhirat, tentulah mereka akan mencontoh dan mengikutinya. Akan tetapi, perbuatan dan tingkah laku mereka menunjukkan bahwa mereka tidak mengharapkan keridaan Allah dan segala macam bentuk kebahagiaan hakiki itu.

Toleransi ala Rasulullah SAW bukan mencampur adukkan agama atau menggadaikan Aqidah namun patokannya jelas sebagaimana dalam surat al-Kafirun.

لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ  
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku".( QS. Al-Kafirun (109) : 6 )

Sobat. Kemudian dalam ayat ini, Allah mengancam orang-orang kafir dengan firman-Nya yaitu, "Bagi kamu balasan atas amal perbuatanmu dan bagiku balasan atas amal perbuatanku." Dalam ayat lain Allah berfirman:
 
Bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu. (al-Baqarah/2: 139). Dalam ayat sebelumnya dengan tegas Rasulullah menyatakan 
لَآ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ  
“ Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.”

SObat. Dalam ayat-ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar menyatakan kepada orang-orang kafir bahwa "Tuhan" yang mereka sembah bukanlah "Tuhan" yang ia sembah, karena mereka menyembah "Tuhan" yang memerlukan pembantu dan mempunyai anak atau menjelma dalam suatu bentuk atau dalam sesuatu rupa atau bentuk-bentuk lain yang mereka dakwakan. Sedang Nabi saw menyembah Tuhan yang tidak ada tandingan-Nya dan tidak ada sekutu bagi-Nya; tidak mempunyai anak dan istri. Akal tidak sanggup menerka bagaimana Dia, tidak ditentukan oleh tempat dan tidak terikat oleh masa, tidak memerlukan perantaraan dan tidak pula memerlukan penghubung.

Maksud pernyataan itu adalah terdapat perbedaan sangat besar antara "Tuhan" yang disembah orang-orang kafir dengan "Tuhan" yang disembah Nabi Muhammad. Mereka menyifati tuhannya dengan sifat-sifat yang tidak layak sama sekali bagi Tuhan yang disembah Nabi.

وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ  
“Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.” 

Sobat. Selanjutnya Allah menambahkan lagi pernyataan yang diperintahkan untuk disampaikan kepada orang-orang kafir dengan menyatakan bahwa mereka tidak menyembah Tuhan yang didakwahkan Nabi Muhammad, karena sifat-sifat-Nya berlainan dengan sifat-sifat "Tuhan" yang mereka sembah dan tidak mungkin dipertemukan antara kedua macam sifat tersebut.

وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٞ مَّا عَبَدتُّمۡ  
“Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,” 

Sobat. Sesudah Allah menyatakan tentang tidak mungkin ada persamaan sifat antara Tuhan yang disembah oleh Nabi saw dengan yang disembah oleh orang-orang kafir, maka dengan sendirinya tidak ada pula persamaan dalam hal ibadah. Tuhan yang disembah Nabi Muhammad adalah Tuhan yang Mahasuci dari sekutu dan tandingan, tidak menjelma pada seseorang atau memihak kepada suatu bangsa atau orang tertentu. Sedangkan "Tuhan" yang mereka sembah itu berbeda dari Tuhan yang tersebut di atas. Lagi pula ibadah nabi hanya untuk Allah saja, sedang ibadah mereka bercampur dengan syirik dan dicampuri dengan kelalaian dari Allah, maka yang demikian itu tidak dinamakan ibadah.

Pengulangan pernyataan yang sama seperti yang terdapat dalam ayat 3 dan 5 adalah untuk memperkuat dan membuat orang yang mengusulkan kepada Nabi saw berputus asa terhadap penolakan Nabi menyembah tuhan mereka selama setahun. Pengulangan seperti ini juga terdapat dalam Surah ar-Rahman/55 dan al-Mursalat/77. Hal ini adalah biasa dalam bahasa Arab.

Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku BIGWIN dan Buku Gizi Spiritual

Minggu, 03 Juli 2022

Ummu Hakim, Shahabiyah yang Bertempur dengan Tiang Pasak Tenda Pernikahannya


Tinta Media - "Ummu Hakim adalah seorang Shahabiyah yang ikut berperang  menggunakan tiang pasak tenda pernikahannya," tutur narator dalam History Insight: Ummu Hakim, Shahabiyah yang Bertempur Menggunakan Tiang Pasak Tenda Pernikahan, Kamis (22/6/2022) di kanal YouTube Muslimah Media Center.

Mulanya, kata narator, Ummu Hakim berada di barisan Quraisy memerangi Rasulullah kemudian masuk dan berjihad menegakkan Islam hingga ikut ke medan peperangan. Ummu Hakim bahkan pernah berada dibarisan Quraisy bersama suaminya dalam Perang Uhud untuk berperang melawan Rasulullah. "Saat Fathul Mekah, Ummu Hakim masuk islam," katanya.

Narator menguraikan, Ummu Hakim, mungkin tidak sepopuler sahabat lain tapi beliau adalah salah satu tokoh shahabiyah yang unik dan patut diteladani.

"Ummu Hakim menikah dengan Khalid bin Sa'id. Pasangan pengantin tersebut berangkat memenuhi panggilan jihad sehingga malam pertama dan pesta pun dilangsungkan di medan perang. Ummu Hakim pun langsung mengikat baju pengantinnya dan ikut terjun ke dalam peperangan dahsyat tersebut. Pada hari itu, Ummu Hakim berhasil membunuh tujuh orang laki-laki Romawi dengan menggunakan tiang pasak tenda yang mereka pakai untuk pesta pernikahannya. Sementara, Khalid Bin Sa'id, suaminya, syahid melawan musuh," urainya.

Narator menjelaskan, padahal Ummu Hakim wanita yang lemah secara fisik namun menjadi kuat karena keimanannya terhadap Rabbnya, dan atas kepahlawanan dan kesungguhannya itu, kaum Muslimin meningkat semangat perangnya.

"Seorang pengantin berperang pada malam pengantinnya sungguh keberanian dan kekuatan yang luar biasa yang telah membuatnya berhasil membunuh padahal dirinya seorang wanita yang lemah secara fisik namun menjadi kuat karena keimanannya terhadap Rabbnya. Kepahlawanan dan kesungguhan Ummu Hakim dalam menegakkan Islam pun meningkatkan semangat pasukan Kaum Muslimin hingga Allah memberikan kemenangan kepada Kaum Muslimin dalam pertempuran ini," sambungnya.

Narator mengungkap, setelah pasukan muslimin kembali ke Madinah, Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu pun mengagumi jihad dan kepahlawanan Ummu Hakim. Tidak lama Umar bin Khattab pun memberikan penghargaan kepada Ummu Hakim dengan menikahinya. "Mereka dikaruniai seorang putri bernama Fatimah binti Umar bin Khattab, tetapi tidak lama setelah itu Umar bin Khattab pun syahid terbunuh dengan demikian Ummu Hakim pun menjadi janda dari tiga orang suhada dikalangan sahabat nabi Shallallahu Alaihi wasallam," paparnya

Peran para Shahabiyah dalam menegakkan Islam, menurut Narator, sebagai teladan dan potret Muslimah yang berperan dalam kehidupan Islam.

"Sungguh luar biasa melihat sosok Ummu Hakim ini dan para Shabhiyah lainnya yang sangat aktif dalam menegakkan Islam mereka membangun peradaban Islam mereka sesuai peran mereka masing-masing. Ada yang dibidang keilmuan seperti Aisyah, ada yang dibidang kesehatan seperti Asy-Syifa dan Ummu Hakim turut berkontribusi dibidang militer, sehingga tidak berdasar apa yang dituduhkan kaum Feminisme yang mengatakan Muslimah hari ini. Mereka menuduh Islam mengekang hak perempuan, tidak membolehkan perempuan untuk aktif diluar rumah sehingga tidak memiliki peran di Masyarakat, justru shahabiyah menunjukkan sebaliknya. Tentu saja peran lainnya seperti istri dan ibu tidak terbengkalai. Sungguh potret Muslimah tersebut bisa kita lihat hanya di kehidupan Islam dalam naungan Khilafah," pungkasnya.[] Arip

Kamis, 23 Juni 2022

Inilah Sosok Budak Wanita yang Jadi Ulama Terpercaya


Tinta Media - "Derajat keilmuan seorang hamba telah berhasil mengantarkan seorang budak wanita menjadi ulama terpercaya. Dia adalah Abidah Al-Madaniyyah," ungkap narator dalam History Insight: Kisah Abidah Al-Madaniyyah, Seorang Budak Wanita yang Menjadi Ulama, Selasa (14/6/2022) melalui kanal Youtube Muslimah Media Center.


Narator menuturkan, ketika masih kecil, Abidah menjadi budak Muhammad bin Yazid di Madinah. Status hamba sahaya tak menghalanginya untuk menuntut ilmu. "Dia aktif belajar dari ulama hadits di Madinah. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah dia pergi ke majelis ilmu. Aktivitas itu terus dilakukan hingga bisa menghafal hampir 10.000 hadist dari guru-gurunya," ujarnya.

"Suatu ketika Muhammad bin Yazid bertemu dengan ulama hadits dari Andalusia bernama Habib Dahhun. Saat menunaikan ibadah haji, Muhammad bin Yazid menceritakan sosok Abidah yang sangat cerdas dan menguasai banyak jalur periwayatan. Habib Dahhun tertarik dan meminta agar Abidah mengikuti majelis ilmu yang digelar Habib Dahhun selama menunaikan ibadah haji. Mengetahui bakat dan kecerdasan budaknya, Muhammad bin Yazid merasa sosok Habib Dahhun tepat menjadi gurunya. Ia pun memerdekakan Abidah," narator menerangkan.

Setelah merdeka, kata narator, Habib Dahhun menikahi Abidah. Sepasang suami istri ahli hadits ini pun kembali ke Andalusia, Spanyol. Abidah meninggalkan tempat kelahirannya untuk mengembangkan ilmu bersama suaminya. Berkat bimbingan Habib Dahhun keilmuan Abidah di bidang hadits semakin diakui.

"Doktor Muhammad Akram Nadwi dalam bukunya Al-Muhaddithat: The Women Colours in Islam, menempatkan sosok Abidah sebagai wanita dari kalangan Atba' Tabi'in keempat yang paling banyak meriwayatkan hadits setelah Rubiyya Mu'awidh, Ummu Darda dan 'Amrah binti Abdurrahman. Dalam kitab Tarikh Baghdad, Imam Khatib al-Baghdadi menyebutkan bahwa Abidah adalah salah satu dari tiga perawi hadits wanita pada era 200-300 Hijriah. Dia adalah sosok perawi yang terpercaya," bebernya.

"Pada masanya, banyak sosok perempuan yang mengukir prestasi sebagai ulama hadits seperti, Abdah bin Bisyir, Ummu Umar atau Khotijah Ummu Muhammad, Abdah binti Abdurrahman dan lainnya. Mereka berasal dari latar belakang yang sangat beragam. Hal ini membuktikan bahwa Ilmu Islam bisa dipelajari siapa saja," lanjut narator.

Narator menerangkan, pada masa keemasan peradaban Islam, perempuan memainkan peran penting sebagai pembawa tongkat ilmu pengetahuan agama, khususnya hadist dari satu generasi ke generasi berikutnya. Apapun profesinya, miskin atau kaya, latar belakang budak sekalipun tak menghalangi untuk menimba ilmu dan mengajarkan kepada masyarakat. Negara turut andil dalam khazanah Islam dan sangat menghargai serta memulyakan para pengajar, ahli hadits dan ulama.

"Berbeda dengan sekarang, harta dan kedudukan menjadi hal yang terpenting dibandingkan ilmu Islam. Kekayaan dan jabatan dianggap menjadikan seseorang berkedudukan mulia dan mampu menaikkan status sosial. Namun, sejatinya bukan materi yang bisa menaikkan derajat seorang hamba akan tetapi ilmu agama lah yang bisa mengubah kedudukan orang menjadi mulia dimata manusia dan dihadapan Allah ta'ala," pungkasnya.[] Yupi UN

Jumat, 03 Juni 2022

JANJI ITU DIKHIANATI


Tinta Media - Sekitar 550 orang berkumpul di dalam Gedung Merdeka, Bandung pada 10 November 1956. Dalam bangunan klasik dua tingkat berlantaikan marmer mengkilap khas kolonial art deco, Presiden Soekarno melantik wakil rakyat hasil pemilu 1955 sebagai anggota Konstituante (lembaga yang membahas perubahan dasar negara dan undang-undang dasar). Pelantikan tersebut menandakan pula dimulainya sidang.

Dalam sidang tersebut, mereka terbelah menjadi dua blok besar yakni Islam (230 kursi, 44,8 persen) dan Pancasila (274 kursi, 53,3 persen) serta satu blok kecil yakni Sosio-Ekonomi (10 kursi, 2 persen).

Dengan rincian, Blok Islam: Masyumi (112 kursi), NU (91), Partai Syarikat Islam Indonesia [PSII] (16), Persatuan Tarbiyah Islamiyah [Perti] (7) dan lainnya (4).

Blok Pancasila: Partai Nasional Indonesia [PNI] (119), Partai Komunis Indonesia [PKI] (60), Republik Proklamasi (20), Partai Kristen Indonesia [Parkindo] (16), Partai Katolik (10), Partai Sosialis Indonesia [PSI] (10), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia [IPKI] (😎 dan lainnya (31).

Blok Sosio-Ekonomi: Partai Buruh (5), Partai Murba (1), Partai Acoma (1) dan lainnya (3).

Dikhianati

Sidang Konstituante adalah sidang yang sangat dinanti para tokoh dan umat Islam, tak terkecuali Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953) Ki Bagoes Hadikoesoemo.

Sebelumnya, pada 22 Juni 1945, panitia sembilan yang dibentuk Badan Persiapan Usaha Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menandatangani rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar negara RI yang belakangan disebut sebagai Piagam Jakarta. Meski telah disahkan namun menyisakan perdebatan antara kelompok Islam di satu sisi dan kelompok sekuler (mengaku beragama Islam tetapi menolak penerapan syariat Islam secara kaffah) dan Kristen di sisi lain terkait tujuh kata dalam Pembukaan UUD 1945.
.
Sedangkan anggota BPUPKI lainnya, Soekarno, berusaha menengahi dengan gaya kompromistis (baca: mencampurkan yang haq dan bathil). Dalam rapat BPUPKI 11 Juli 1945, Soekarno menyatakan, ''Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat ‘dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ sudah diterima panitia ini."
.
Pada rapat 14 Juli, Ki Bagoes mengusulkan agar kata ‘bagi pemeluk-pemeluknya’ dicoret. Jadi bunyinya hanya ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariah Islam.’

Pendapatnya pun ditolak kelompok sekuler. Soekarno lagi-lagi meminta kepada seluruh anggota BPUPKI untuk tetap menyepakati hasil 11 Juli. Akhirnya BPUPK memutuskan tetap mencantumkan kalimat: ‘dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dalam Pembukaan UUD 1945.
.
Namun bukan orang sekuler kalau tidak licik. Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya pada 18 Agustus 1945, tanpa sidang, Soekarno dan Muhammad Hatta menghapus kalimat ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ (tujuh kata).

Tujuh kata tersebut dihapus dengan dalih golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik bila tujuh kata tersebut masih tercantum dalam UUD 1945. Maka Kasman Singodimejo, anggota panitia sembilan, yang terbujuk rayuan Soekarno pun melobi Ki Bagoes agar setuju tujuh kata tersebut diganti dengan ‘Yang Maha Esa.’

Almarhum Hussein Umar (terakhir sebagai Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia) menyatakan masih terngiang ucapan Kasman dalam sebuah perbincangan. Kasman merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Kasman menyampaikan kepada Ki Bagoes untuk sementara menerima usulan dihapusnya tujuh kata itu.

Kasman terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya. “Ini adalah UUD sementara, UUD darurat, undang-undang kilat. Nanti enam bulan lagi MPR terbentuk. Apa yang tuan-tuan dari golongan Islam inginkan silakan perjuangkan di situ,” ujar Kasman menirukan bujukan Soekarno.

Kasman berpikir, yang penting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagoes bersabar menanti enam bulan lagi.

Namun enam bulan kemudian Soekarno tidak menepati janji. Majelis Permusyawaratan Rakyat belum juga terbentuk. Sementara Ki Bagoes yang diminta oleh Kasman meninggal dalam penantian pada 1953.

Menagih Janji

Dalam sidang Konstituante, Kasman mengingatkan kembali peristiwa penghapusan dan janji kepada Ki Bagoes itu.

“Saudara Ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagoes Hadikoesoemo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya, karena telah pulang ke _rahmatullah._ Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai wafatnya. Beliau kini tidak dapat lagi ikut serta dalam Dewan Konstituante ini untuk memasukkan materi Islam, ke dalam Undang-Undang Dasar yang kita hadapi sekarang ini,” ungkap Kasman.
.
Ia kemudian bertanya, “Saudara Ketua, secara kategoris saya ingin tanya, Saudara Ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini, Saudara Ketua, di manakah kami golongan Islam dapat menuntut penunaian ‘janji’ tadi itu? Di mana lagi tempatnya?”
.
Pada 10 Nopember 1957, giliran Pimpinan Persatuan Islam (Persis) KH Isa Anshari menyampaikan pandangannya. Ia juga mempertanyakan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dihapus. “Kalimat yang bunyinya ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,’ memberikan peluang dan ruang kemungkinan bagi umat Islam untuk menegakkan hukum dan syariat Islamiah dalam negara yang akan dibentuk…”

“…Kalimat-kalimat di atas itu berisi janji dan harapan, jaminan dan kepastian bagi segenap umat Islam, bahwa agamanya akan mendapat tempat yang wajar dalam susunan dan bidang hidup kemasyarakatan daan kenegaraan, walaupun rumusan itu belum lengkap menggambarkan ideologi Islam yang sesungguhnaya.”

“Akan tetapi, Saudara Ketua, rupannya jalan sejarah tidak bergerak di atas acuan piagam yang menarik-mengikat itu. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Undangn-Undangan Dasar Negara Indonesia diumumkan tanggal 18 Agustus 1945. Dalam Preambule Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 kalimat _‘Dengan kewajiban menjakankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’_ ditiadakan sama sekali.”

“Apa gerangan sebabnya, bagaimana sesungguhnya proses yang berlaku sampai terjadi yang demikian itu, hingga kini belum ada keterangan mengenai itu?”

“Saudara Ketua, kejadian yang menyolok mata sejarah itu dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang masih diliputi oleh kabut rahasia. Kejadian yang menyolok mata sejarah itu, dirasakan oleh umat Islam Indonesia sebagai permainan politik pat-gulipat terhadap golongannya, akan tetapi mereka diam, tidak mengadakan tantangan dan perlawanan, karena jiwa toleransi mereka…”

“Pada saat negara kita berada dalam krisis, berada pada taraf dan tingkatan yang membahayakan, selalu pemimpin-pemimpin Islam mem-borg-kan (menggadaikan, red) umat Islam yang dipimpinnya untuk menyelamatkan Negara Republik Indonesia, walaupun dalam Republik Indonesia itu belum lagi berlaku ajaran dan hukum Islam,” tegas pimpinan ormas yang berafiliasi ke Partai Masyumi itu.

Pada 14 November 1957 giliran Partai Nahdlatul Ulama yang angkat bicara. Tokoh NU KH Achmad Zaini menyoroti tentang sumber dan pedoman dari ajaran Pancasila. “Kalau Pancasila itu adalah sebagai suatu ajaran, dari manakah sumbernya dan bagaimana pula saluran serta pedoman-pedomannya?” tanya KH Zaini kepada seluruh hadirin.

Dia membandingkan jika dasar negara adalah Islam. Menurutnya, seluruh sila dalam Pancasila telah terkandung dalam ajaran Islam. Islam telah memiliki aturan-aturan terperinci tentang cara hidup bermasyarakat dan cara hidup bernegara.

“Sehingga masing-masing dari kelima sila itu benar akan merupakan suatu pokok rumusan yang mempunyai perincian-perincian dengan dasar yang kokoh serta kuat yang bersumberkan Al- Qur’an dan Al-Hadits, Al-Qias, dan Al-Ijmak,” paparnya.

Berdasarkan pertimbangan filosofis dan teologis tersebut, KH Achmad Zaini tidak ragu lagi bahwa dasar negara yang tepat untuk Indonesia adalah dasar negara Islam.

"Saudara Ketua yang terhormat, jelaslah kiranya saudara Ketua bilamana Nahdlatul Ulama (NU) beserta partai Islam lainnya menuntut hanya dasar Islamlah yang harus dijadikan Dasar Negara kita," pungkasnya.

Dalam kesempatan sidang berikutnya, tokoh Muhammadiyah, Buya Hamka, mengingatkan bahwa semangat melawan penjajahan, keberanian yang timbul hingga mengobarkan semangat berani mati syahid adalah akibat kecintaan pada Allah yang bersemayam di dalam dada, bukan Pancasila.

“Itulah yang kami kenal, jiwa atau yang menjiwai Proklamasi 17 Agustus, bukan Pancasila! Sungguh Saudara Ketua. Pancasila itu belum pernah dan tidak pernah, karena keistimewaan hidupnya di zaman Belanda itu menggentarkan hati dan tidak pernah dikenal, tidak popular dan belum pernah dalam dada ini sekarang.”

“Saudara Ketua, bukanlah Pancasila, tetapi Allahu Akbar! Bahkan sebagian besar dari pembela Pancasila sekarang ini, kecuali orang-orang PKI, yang nyata dalam hati sanubarinya sampai saat sekarang ini pun, pada hakekatnya adalah Allahu Akbar!”

Buya Hamka menegaskan, perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara bukan mengkhianati Indonesia, malah sebaliknya, hanya meneruskan wasiat dari para pejuang dan pendahulu bangsa seperti Sultan Hasanuddin, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Cik Di Tiro, Maulana Hasanuddin Banten, Pangeran Antasari dan lainnya. Menjadikan Islam sebagai dasar negara bukanlah demi kepentingan partai atau fraksi Islam di Konstituante, tetapi untuk anak cucu yang menyambung perjuangan nenek moyang.

Dan pada sampai puncaknya dengan lantang dan blak-blakan Buya Hamka pun mengingatkan. “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka… " tegas ulama yang berafiliasi ke Partai Masyumi itu.

Tentu saja para hadirin dalam sidang Konstituante itu terkejut mendengar pernyataan lelaki yang aktif di ormas Islam Muhammadiyah tersebut. “Tidak saja pihak pendukung Pancasila, juga para pendukung negara Islam sama-sama terkejut,” ujar KH Irfan Hamka menceritakan ketegasan sang ayah seperti tertulis dalam bukunya yang berjudul ‘Kisah-Kisah Abadi Bersama Ayahku Hamka.’

Dikhianati Lagi

Pada akhir sidang tahun 1958, penyusunan konstitusi telah mencapai 90 persen dari seluruh materi UUD. Namun masih saja terjadi perdebatan sengit soal tujuh kata tersebut. Lalu Soekarno meminta Konstituante menentukan tenggat untuk segera menyelesaikan pekerjaannya nanti pada 26 Maret 1960.

Anehnya, meski _deadline_ masih sembilan bulan lagi, tiada angin tiada hujan, pada 5 Juni 1959, Soekarno mengeluarkan dekrit presiden pembubaran Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Sejak itu, dimulailah masa baru yang sangat represif dan kemudian lebih dikenal dengan istilah masa Demokrasi Terpimpin.[]

Joko Prasetyo
Jurnalis

Dimuat pada rubrik KISAH Tabloid Media Umat edisi 208:
BERANGUS DAKWAH, DENDAM POLITIK 212
28 Safar - 11 Rabiul Awal 1439 H/ 17 - 30 November 2017
___

JANJI ITU DIKHIANATI merupakan salah satu dari sepuluh kisah yang dimuat buku digital SURAT DARI SERAMBI MEKAH MEMBUAT KHALIFAH MARAH (10 Kisah Sejarah yang Tidak Ada di Buku Sekolah/Madrasah)

Silakan unduh buku digitalnya pada tautan di bawah ini.

“Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka… " Buya Hamka
http://bit.ly/surat_serambi_mekah
http://bit.ly/surat_serambi_mekah
http://bit.ly/surat_serambi_mekah
+++

Rabu, 20 April 2022

MEMBERI DENGAN HARTA TERBAIK


Tinta Media - MASIH tentang Imam Abdullah Ibnu al-Mubarak rahimahulLaah. Seorang ulama besar dan terkemuka pada zamannya. Bahkan hingga saat ini. Kali ini tentang kedermawanannya. Tentang sedekah terbaik yang biasa beliau lakukan sepanjang hidupnya.

Imam Abdullah bin al-Mubarak, misalnya, biasa berinfak untuk fakir miskin sebanyak 100 ribu dirham (lebih dari Rp 6 miliar saat ini) pertahun. Itu yang rutin beliau lakukan. Di luar itu ia tetap banyak bersedekah.

Pernah datang, misalnya, seorang laki-laki meminta bantuan keuangan untuk membayar utangnya. Imam Ibnu al-Mubarak lalu menulis surat kepada bendaharanya. Tatkala surat tersebut sampai kepada sang bendahara, dia bertanya kepada orang itu, “Berapa sebenarnya jumlah utang yang engkau minta untuk dilunasi?” 

Orang itu menjawab, “Tujuh ratus dirham (lebih dari Rp 42 juta).” 

Ternyata Imam Ibnu al-Mubarak telah menulis kepada bendaharanya itu agar memberi orang tersebut uang sebanyak 7.000 dirham (lebih dari Rp 450 juta). Artinya, beliau memberikan uang 10 kali lipat daripada yang dibutuhkan atau yang diminta oleh orang tersebut. (Lihat: Adz-Dzahabi, Siyar A'lâm an-Nubalâ, 4/256).

Dikisahkan pula, saat datang musim haji, ratusan jamaahnya dari kaum Muslim penduduk Marwa datang menemui beliau. Mereka ingin berhaji bersama--sekaligus dipimpin dan dibimbing oleh oleh--beliau. Mereka lalu memberikan uang untuk biaya ibadah haji tersebut kepada beliau. 

Singkat cerita, tibalah saat mereka berangkat ke Baitullah. Mereka berangkat dari Marwa ke Baghdad. Terus menuju Madinah. Selanjutnya bertolak ke Makkah. Di sepanjang perjalanan ibadah haji, Imam Ibnu al-Mubarak memenuhi segala kebutuhan mereka dengan pelayanan terbaik. 

Setibanya kembali dari ibadah haji. Mereka pulang kembali kampung halaman mereka,  Marwa. Imam Ibnu al-Mubarak lalu merenovasi rumah-rumah mereka. Kemudian tiga hari setelah pelaksanaan haji tersebut, beliau mengundang mereka untuk makan bersama di rumah beliau. Mereka juga diberi pakaian yang bagus-bagus. 

Setelah mereka selesai makan dengan lahap dan merasa senang, Imam Ibnu al-Mubarak mengambil kotak tempat penyimpanan uang untuk biaya haji mereka. Semua uang itu dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing. Artinya, seluruh biaya perjalanan haji mereka selama ini ditanggung sepenuhnya oleh Imam Ibnu al-Mubarak. Tak sepeser pun menggunakan uang mereka (Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl, 16/21).

Demikianlah. Dua fragmen di atas sejatinya cukup menjadi teladan bagi kita dalam memberi/bersedekah, yakni pemberian/sedekah terbaik.

Mengapa Imam Ibnu al-Mubarak begitu ringan dan enteng dalam memberi/bersedekah? Tentu karena beliau memberi/bersedekah secara ikhlas. 

Apa itu ikhlas? Tidak lain beramal semata-mata hanya untuk Allah SWT. Karena semata-mata hanya untuk Allah SWT, Imam Abdullah bin al-Mubarak memberikan persembahan amal terbaik dan istimewa. Bukan yang biasa-biasa saja. Apalagi yang alakadarnya.

Semoga kita bisa meneladani beliau. Aamiin. 

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah 'alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib.[]

080422

Hikmah Ramadhan:

Nabi Muhammad saw. bersabda:

ما نقصَ مال عبدٍ من صدقةٍ 
(رواه الترمذي و أحمد)
"Tidaklah harta seorang hamba berkurang sedikitpun karena sedekah."
(HR  at-Tirmidzi dan Ahmad).

كُلُّ امْرِئٍ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ حَتَّى يُفْصَلَ بَيْنَ النَّاسِ
 (رواه أحمد)
"Setiap orang (pada Hari Kiamat) berada dalam naungan (perlindungan) sedekahnya (saat di dunia) hingga nasibnya Allah SWT putuskan di hadapan manusia."(HR Ahmad). [].

Oleh: Arief B. Iskandar
(Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)

Rabu, 13 April 2022

BELAJAR IKHLAS DARI IMAM IBNU AL-MUBARAK

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1QPcXMo6mbuN0I70J6glhpFjKK5oBWngf

Tinta Media - ABDULLAH Ibnu al-Mubarak rahimahulLaah adalah salah seorang ulama besar yang lahir pada 118 H. Putra dari Al-Mubarak bin Wadhih ini tak hanya amat luas ilmunya, tetapi juga sangat mulia akhlaknya.

Salah satu akhlak beliau yang menonjol adalah keikhlasannya yang luar biasa. Beliau selalu berusaha menyembunyikan amal kebaikannya dari penglihatan manusia (Ibn ‘Asakir, Târîkh Dimasyqi,38/240).

Contohnya, sebagaimana diceritakan oleh Muhammad bin Isa, suatu hari Ibnu al-Mubarak pernah berjumpa dengan seorang pemuda. Beliau lalu menyampaikan hadis kepada pemuda tersebut. Setelah itu beliau pergi.

Setelah beberapa hari, Ibnu al-Mubarak hendak menjumpai pemuda itu untuk kedua kalinya. Namun, beliau sudah tidak melihat anak muda itu lagi. Ibnu al-Mubarak bertanya perihal anak muda tersebut kepada seseorang. Orang itu berkata kepada beliau bahwa pemuda itu terlilit utang sebesar 10 ribu dirham (kira-kira Rp 700 juta).

Lalu Ibnu al-Mubarak meminta dipertemukan dengan orang yang telah memberi pinjaman kepada pemuda tersebut. Setelah bertemu, segera Ibnu al-Mubarak membayarkan utang pemuda tersebut sebesar 10 ribu dirham kepada orang itu. Beliau berpesan agar orang itu tidak perlu bercerita kepada siapapun, termasuk kepada pemuda tersebut, tentang hal ini selama beliau masih hidup.

Setelah beberapa hari Ibnu al-Mubarak menemui anak muda itu dan bertanya kepada dia, “Anak muda, dari mana saja engkau? Beberapa hari ini aku tidak melihatmu.”

Dia menjawab, “Abu Abdurrahman, saya terlilit utang. Lalu saya diadukan oleh pemilik utang itu hingga aku dipenjara. Namun, seseorang telah datang membayarkan utangku hingga aku bebas dari penjara. Aku tidak tahu siapa orang itu.”

Al-Mubarak berkata, ”Alhamdulillah. Segenap pujian hanya milik Allah.”

Diceritakan, anak muda itu baru mengetahui orang yang telah membayar utangnya setelah Ibn al-Mubarak meninggal dunia (Ibn’ Asakir, Târikh Dimasyqi, 38/350).

Demikianlah keagungan akhlak Imam Abdullah ibnu al-Mubarak. Salah satunya adalah keikhlasannya yang luar biasa. Semoga kita bisa meneladani beliau. Aamiin.

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah 'alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib.[]

070422

Hikmah Ramadhan:

‏قال *النووي* رحمه الله: *يُسْتَحَبُّ لِلصَّائِمِ أَنْ يَدْعُوَ فِي حَالِ صَوْمِهِ بِمُهِمَّاتِ الْآخِرَةِ وَالدُّنْيَا لَهُ وَلِمَنْ يُحِبُّ وَلِلْمُسْلِمِين*

(النووي، المجموع، ٦/٣٧٥).
Imam an-Nawawi rahimahulLaah berkata: "Disunnahkan orang yang berpuasa untuk banyak berdoa seputar ragam perkara penting dalam urusan akhirat maupun dunianya; baik untuk dirinya, orang-orang yang dia cintai maupun kaum Muslim." (an-Nawawi, Al-Majmuu', 6/375).[]

Oleh: Arief B. Iskandar
Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor

Selasa, 12 April 2022

TELADAN AMANAH AL-MUBARAK BIN WADHIH

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1kpaJ9tt8zmmQDUaPZo5G2tBv-iV3v8C9

Tinta Media - AL-MUBARAK BIN WADHIH adalah ayahanda dari ulama besar bernama Abdullah bin al-Mubarak, yang lebih dikenal dengan Ibn al-Mubarak.

Al-Mubarak bin Wadhih  dulunya hanyalah seorang mawla (pelayan) dari seorang saudagar besar. Ia lama bekerja di perkebunan saudagar itu.

Pada suatu hari, datanglah saudagar tersebut ke perkebunannya. Ia menyuruh al-Mubarak mengambilkan buah delima yang manis dari kebunnya. Al-Mubarak pun bergegas mencari pohon delima dan memetik buahnya. Ia kemudian menyerahkan buah itu kepada tuannya.

Setelah tuannya membelah dan memakan delima itu, ternyata rasanya kecut. Tuannya kesal sambil berkata, “Aku minta yang manis. Kamu malah ngasih yang kecut. Ambilkan yang manis!”

Al-Mubarak segera bergegas kembali dan memetik delima dari pohon yang lain. Buah delima itu lalu diberikan kepada tuannya. Namun, lagi-lagi buah itu rasanya kecut. Tuannya makin kesal kepada al-Mubarak. Hal itu berlangsung sampai tiga kali.

Akhirnya, tuannya bertanya, “Sekian lama kamu merawat kebun ini, kamu tidak bisa membedakan yang manis dan yang kecut?”

Al-Mubarak menjawab, “Tidak, Tuan.”

Tuannya bertanya lagi, “Mengapa?”

Al-Mubarak menjawab, “Karena saya belum pernah sekalipun mencoba mencicipi buah yang ada di kebun ini.”

Tuannya bertanya lagi, “Mengapa bisa begitu?”

Al-Mubarak menjawab, “Karena selama saya bekerja di sini, Tuan belum pernah mengizinkan saya untuk mencicipi buah di kebun ini.”

Mendengar jawaban itu, tuannya merasa takjub. Ia takjub atas sikap amanah al-Mubarak. Al-Mubarak pun mendapat tempat di hati tuannya. Tuannya lalu menikahkan al-Mubarak dengan putrinya.

Dari pernikahan keduanya lalu lahir seorang bayi laki-laki yang diberi nama Abdullah. Dialah yang kelak kemudian menjadi ulama besar dan terkemuka: Abdullah ibn al-Mubarak. (Lihat: Ibnu Khalikan, Wafayat al-A'yan, 3/32).

Demikianlah. Wajar saja Abdullah bin al-Mubarak menjadi ulama besar. Salah satunya boleh jadi karena beliau lahir dari orangtua yang memiliki akhlak dan kepribadian besar/luhur.

Semoga kita bisa memiliki akhlak dan kepribadian yang luhur. Salah satunya dicirikan dengan selalu memiliki sifat amanah.

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah 'alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib.

[060422]

Hikmah Ramadhan:

‏قال *ابن القيـم* رحمـه الله : *فأفضل الصائمين أكثرهــم ذكراً لله عز وجل في صومهـم*
(إبن القيم، الوابل الصيب، ص ١٥٣).
Ibnu al-Qayyim rahimahulLaah berkata: Orang yang menunaikan shaum yang paling utama adalah yang paling banyak berzikir (mengingat) Allah 'Azza wa Jalla dalam shaum-shaum mereka."(Ibnu al-Qayyim, Al-Waabil ash-Shayb, hlm. 153).

Oleh: Arief B. Iskandar
Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor

Sabtu, 09 April 2022

TELADAN IMAM SYAFI'I DALAM MEMBACA AL-QUR’AN

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1Fd3lZe-VpPxHK213C-tKXhMNHkRo7ca5

Tinta Media - IMAM SYAFI'I rahimahulLaah adalah ulama besar. Mujtahid mutlak. Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah terkemuka. Cukuplah kebesaran sosok Imam Syafi'i terwakili oleh komentar Imam Ahmad bin Hanbal, salah seorang murid terkemuka beliau. Kata Imam Ahmad, “Imam Syafi’i itu seperti matahari bagi dunia dan seperti keselamatan bagi manusia.” (Adz-Dzahabi, Târikh al-Islâm, XIV/312)

Kebesaran Imam Syafii bukan saja karena keilmuannya, tetapi juga karena kepribadiannya yang luhur. Tentang ini, Thasy Kubri bertutur di dalam Kitab Miftâh as-Sa’âdah, “Para ulama ahli fikih, ushul, hadis, bahasa, nahwu dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Imam Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adalah (memiliki kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, perilakunya baik dan derajatnya tinggi.”

Imam Syafi’i juga seorang ulama ahli ibadah. Beliau biasa membagi waktu malamnya menjadi tiga: sepertiga untuk ilmu dan menulis; sepertiga untuk shalat malam; dan sepertiganya untuk istirahat.

Selain menunaikan shalat malam setiap malam, beliau juga sangat rajin membaca al-Qur’an. Beliau biasa mengkhatamkan bacaan al-Qur’an setiap hari. Artinya, dalam sebulan bisa 29-30 kali khatam al-Qur’an. Apalagi selama Ramadhan. Sebagaimana disebutkan oleh muridnya, Rabi’ bin Sulaiman, “Imam Syafi’i biasa mengkhatamkan al-Qur’an selama Ramadhan sebanyak kira-kira 60 kali (artinya sehari rata-rata 2 kali khatam).” Menurut Ibnu Abi Hatim, khataman al-Quran tersebut biasa sering beliau lakukan di dalam shalat-shalat beliau (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalaa’, 10/36).

Meski dikenal keilmuan, ketakwaan, kewaraan dan kezuhudannya, juga ibadah dan kedermawanannya, Imam Syafi’i tetap merasa rendah dan hina di hadapan Allah SWT. Karena itu beliau sering mengkhawatirkan nasibnya di akhirat kelak. Karena itu pula beliau pun senantiasa banyak bertobat dan memohon ampunan kepada Allah SWT (Lihat: Ibnu al-Jauzi, Shifât ash-Shafwah, III/146).

Semoga kita bisa meneladani Imam Syafi'i rahimahulLaah. Aamiin.
Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh.

[050422]

Hikmah Ramadhan:

قلى إبن رجب:
*من لم يربح في هذا الشهر (رمضان) ففي أي وقت يربح؟*

(إبن رجب، لطائف المعارف، 281)

Ibnu Rajab rahimahulLaah berkata: "Siapa saja yang tidak berusaha keras meraih keberuntungan (dengan meraih sebanyak-banyaknya pahala, pen.) pada bulan (Ramadhan) ini, lalu kapan lagi dia punya waktu (kesempatan) untuk mendapatkan keberuntungan?
(Ibnu Rajab, Lathaa'if al-Ma'aarif, hlm. 281).[]

Oleh: Arief B. Iskandar
Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor

Jumat, 08 April 2022

CARA IMAM MALIK MEMULIAKAN ILMU

https://drive.google.com/uc?export=view&id=15xIuWZ77O8amYuDh0YRF1G34kge0-T0M

Tinta Media - IMAM Malik RahimahulLaah adalah salah seorang ulama yang sangat memuliakan ilmu. Diriwayatkan, dalam sebuah kunjungan ke Kota Madinah untuk menziarahi Makam Rasulullah saw., Khalifah Bani Abbasiyyah saat itu, Harun ar-Rasyid, tertarik untuk mengikuti kajian Kitab Al-Muwaththa’
karya Imam Malik.

Untuk itu Khalifah mengutus Yahya bin Khalid al-Barmaki untuk memanggil Imam Malik. Namun, Imam Malik menolak untuk mendatangi Khalifah seraya berkata kepada utusan Khalifah itu,
“Al-‘Ilmu yuzâr wa lâ yazûr, yu’tâ wa lâ ya’tî
(Ilmu itu dikunjungi, bukan mengunjungi. Ilmu itu didatangi, bukan mendatangi).”

Sikap Imam Malik demikian tentu bukan karena beliau sombong. Itu adalah cara beliau supaya siapa saja memuliakan ilmu. Termasuk Khalifah sekalipun.

Akhirnya, terpaksa Khalifah Harun ar-Rasyid mengalah. Ia lalu mendatangi Imam Malik dan duduk di majelisnya. Sedianya Khalifah ingin agar jamaah yang lain meninggalkan majelis tersebut. Namun, permintaan itu ditolak oleh Imam Malik. “Saya tidak bisa mengorbankan kepentingan orang banyak hanya demi kepentingan Anda seorang.”

Sang Khalifah pun akhirnya mengikuti kajian Imam Malik dan duduk berdampingan dengan rakyat kebanyakan (Lihat: Al-‘Ashami, Samth an-Nujûm al-‘Awâlî fî Anbâ’ al-Awâ’il at-Tawâlî, II/2014).

Demikianlah sikap Imam Malik. Di tangan beliau, ilmu benar-benar ditempatkan pada kedudukan mulia dan terhormat. Tak mudah direndahkan dan disepelekan. Bahkan oleh seorang penguasa besar, seperti Khalifah Harun ar-Rasyid sekalipun.

Inilah yang juga dilakukan oleh Imam Malik. Dalam rangka mencari ilmu sekaligus mengumpulkan hadis, beliau rela mendatangi tidak kurang dari 900 ulama di majelis-majelis mereka. Tak jarang untuk itu beliau menempuh perjalanan yang sangat jauh.

Semoga kita dan putra-putri kita bisa meneladani Imam Malik RahimahulLaah dalam memuliakan ilmu. Di antaranya dengan rajin mengunjungi majelis para ulama untuk mereguk ilmu-ilmu mereka.

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah 'alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib.[]

Hikmah Ramadhan:

‏كان *الزهري* رحمه الله، إذا دخل رمضان، يقول : *إنما هو تلاوة
القرآن وإطعام الطعام* (التمهيد، لابن عبد البر
(٦ /١١١)

Imam az-Zuhri RahimahulLaah, jika masuk Bulan Ramadhan, beliau berkata: "Ramadhan adalah bulan untuk banyak membaca al-Quran dan banyak memberi makan orang-orang (yang berpuasa saat mereka berbuka, pen.)."
(Ibnu Abdil Barr, At-Tamhiid, 6/111).

Oleh: Arief B. Iskandar
Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor

Kamis, 07 April 2022

TELADAN WARA' IMAM ABU HANIFAH


https://drive.google.com/uc?export=view&id=1XJHJc-8CEgL6LItywYUWquyW-EsOYmLE

Tinta Media - DIKISAHKAN, Imam Abu Hanifah rahimahulLaah pernah menahan diri tidak memakan daging kambing. Hal itu beliau lakukan setelah mendengar bahwa ada seekor kambing milik tetangganya dicuri. Beliau melakukan itu selama beberapa tahun sesuai dengan usia kehidupan kambing pada umumnya hingga diperkirakan kambing itu telah mati (Syu'aib bin Saad al-Harifis, Ar-Rawdh al-Faiq, hlm. 215).

Boleh jadi Imam Abu Hanifah rahimahulLaah bertindak demikian karena beliau khawatir--tanpa sepengetahuannya--kambing itu diperjualbelikan di tengah-tengah masyarakat. Lalu ia tidak sengaja memakan daging sembelihan kambing curian tersebut.

Begitulah Imam Abu Hanifah rahimahulLaah. Beliau memiliki sikap wara' (kehati-hatian terjatuh ke dalam dosa) yang luar biasa.

Sikap wara' tentu muncul dari besarnya rasa takut kepada Allah SWT.

Rasa takut kepada Allah SWT akan melahirkan sikap wara' (hati-hati), tidak saja terhadap perkara-perkara yang haram, tetapi juga terhadap perkara-perkara yang syubhat.

Semoga puasa Ramadhan kita makin menumbuhkan sikap wara' (hati-hati) kita terhadap semua yang haram maupun yang syubhat.

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah' alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib.[]

030422

Hikmah Ramadhan:

Ibnu Rajab rahimahulLaah berkata:
*وأفضلُ الأعمالِ خشيةُ الله في السرِّ والعلن* - فتح الباري
(٦٣/٤)*

Amal yang paling utama adalah senantiasa memiliki rasa takut kepada Allah baik dalam kesunyian (kesendirian) maupun dalam keramaian.
(Fath al-Bari, 4/36).[]
Oleh: Arief B. Iskandar
Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor

Rabu, 06 April 2022

TELADAN TAKWA IMAM JA'FAR ASH-SHADIQ

https://drive.google.com/uc?export=view&id=15GEIY-SZFemw8yQvF0LPzkGAX3AdWbxP

Tinta Media - SUATU saat Imam Ja’far ash-Shadiq sedang bersama budaknya yang sedang menuangkan air. Tanpa sengaja, air tumpah dan mengenai pakaian Imam Ja’far. Beliau lalu memandang budaknya dengan pandangan kurang suka (tanda marah). Namun, sang budak buru-buru menyitir potongan QS Ali Imran ayat 134 tentang ciri-ciri orang yang bertakwa, “Wa al-kâzhîmîn al-ghayzh ([Orang-orang yang bertakwa itu] adalah mereka yang biasa menahan amarah).”

Imam Ja’far berkata, “Kalau begitu, aku telah menahan amarahku kepada kamu.”

Sang budak melanjutkan, “Wa al-âfîna ‘an an-nâs ([Orang-orang yang bertakwa itu] adalah mereka yang biasa memaafkan manusia).”

Imam Ja’far berkata, “Aku pun telah memaafkan kamu.”

Sang budak melanjutkan lagi, “Wa AlLâhu yuhibb al-muhsinîn (Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan).”

Imam Ja’far kembali berkata, “Kalau begitu, pergilah. Engkau sekarang merdeka karena Allah, dan untuk kamu, aku beri hartaku sebesar seribu dinar.” (Ibnu al-Jauzi, Bahr ad-Dumû’, hlm. 175).

Begitulah keagungan Imam Ja’far. Seorang ulama yang amat bertakwa. Beliau langsung mengamalkan seluruh isi kandungan ayat tersebut tanpa ditunda-tunda meski itu disampaikan hanya oleh budaknya.

Yang lebih menakjubkan, hanya untuk menebus ‘kesalahan’-nya—yakni sekadar memandang budaknya dengan perasaan tidak suka—ia rela memerdekan budaknya itu plus memberi budak itu sedekah seribu dinar (lebih dari Rp 3 miliar)!

Semoga kita bisa meneladani ketakwaan beliau. Aamiin.

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah'alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib.[]

020422

Catatan:

Teks lengkap QS Ali Imran ayat 133-134:

وَسَارِعُوٓا إِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (١٣٣) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِى السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالْكٰظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ
(الْمُحْسِنِينَ(١٣٤

Bersegeralah kalian meraih ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Itulah orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang menahan amarahnya dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan(QS Ali 'Imran [3]: 133 134).[]

Oleh: Arief B. Iskandar
Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor

Jumat, 25 Maret 2022

Menjemput Ajal dengan Memikirkan Masalah Fikih

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1V1V0Jbjl6GOUFhJBkmvvmglIzPffArPA

Tinta Media - Mudir Ma’had Wakaf Syaraful Haramain, KH. Hafidz Abdurrahman, M.A. menuturkan kisah Imam Abu Yusuf dan muridnya, Muhammad al-Hasan as-Syaibani dalam menjemput ajalnya dengan memikirkan masalah fikih.

“Salah satu kisah yang menarik adalah bagaimana Imam Abu Yusuf, pengarang kitab al-Kharaj, dan muridnya, Muhammad al-Hasan as-Syaibani, menjemput ajalnya dengan memikirkan masalah fikih hingga tak terasa melalui sakitnya ruh keluar dari raga,” tuturnya kepada Tinta Media, Jumat (25/3/2022).

“Saat itu Muhammad al-Hasan as-Syaibani dan temannya menjenguk beliau (Imam Abu Yusuf) yang nafasnya tinggal satu dua. Hebatnya, beliau terus melakukan ijtihad, ‘Apakah orang yang melempar jumrah lebih baik jalan atau naik tunganggan?’ Tak ada jawaban yang keluar dari lisan muridnya, akhirnya beliau jawab sendiri. Jawaban itu diabadikan Ibn Abidin dalam kitabnya, Radd al-Mukhtar,” kisah Kyai Hafidz.

Ketika Muhammad al-Hasan as-Syaibani wafat,  lanjutnya, beliau juga sama, sampai sakaratul maut, beliau masih disibukkan dengan masalah budak mukatab. Pembahasan ini dibahas panjang lebar oleh beliau dalam kitabnya yang sangat dahsyat, al-Ashl (al-Mabsuth), yang terdiri dari 12 jilid.

“Imam Syafii, muridnya, sebelum menulis kitab al-Umm, beliau hafalkan kitab ini. Imam Ahmad, murid Imam Syafii juga menghapal kitab yang sama, sehingga bisa mengeluarkan fatwa yang hebat. Ketika ditanya, bagaimana Anda bisa memberikan fatwa yang begitu hebat? Jawabannya, dari kitab al-Ashl karya Muhammad al-Hasan,” imbuhnya.

Menurut Kyai Hafidz, inilah tradisi ulama dulu. “Kisah ini al-Faqir sampaikan untuk memotivasi santri agar mereka terus dan terus menghafal sebagai bekal menjadi ulama yang hebat dan kridibel di masa yang akan datang,” jelasnya.

“Hanya dengan bersandar kepada Allah, semuanya itu akan menemukan jalannya,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab