Tinta Media - Arti penting Khilafah bagi kaum Muslim dapat dilihat dari beberapa perkara berikut ini:
Pertama, Khilafah adalah sistem pemerintahan syar’iy yang berfungsi menerapkan syariat Islam secara kaaffah di dalam negeri dan mengemban
dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Islam tidak bisa dipisahkan dari Khilafah, dan Khilafah tidak bisa
dipisahkan dari Islam. Imam al-Ghazaliy
berkata:
والملك
و الدين توأمان فالدين أصل و السلطان
حارس, وما لا أصل له فمهدوم و ما لا حارس له فضائع
“Kekuasaan (negara) dan agama merupakan saudara kembar. Agama adalah asas, sedangkan kekuasaan adalah
penjaga. Kekuasaan tanpa asas akan
binasa, sedangkan agama tanpa penjaga akan terlantar”.[Imam al-Ghazaliy, Ihyaa`
‘Uluum al-Diin, Juz 1/17. Maktabah Syamilah]
Imam Abu Zakariya al-Nawawiy, seorang ulama besar dari
madzhab Syafi’iy menyatakan:
ومن
ثم يأتي خطأ بعض المتكلمين
في قولهم لو تكاف الناس عن الظلم لم يجب نصب الامام لان الصحابة
رضى الله عنهم اجتمعوا
على نصب الامام،
والمراد
بالامام
الرئيس الاعلى للدولة،
والامامة
والخلافة
وإمارة المؤمنين
مترادفة،
والمراد
بها الرياسة
العامة في شئون الدين والدنيا
“Dari sinilah ada kesalahan yang menimpa sebagian ahli kalam
dalam pendapat mereka, (yakni) seandainya manusia mampu terhindar dari kezaliman,
maka mereka tidak wajib mengangkat seorang Imam. Pendapat ini salah, sebab, para shahabat
ra bersepakat atas wajibnya mengangkat
seorang Imam. Yang dimaksud dengan
al-Imam, tidak lain tidak bukan adalah pemimpin tertinggi negara. Al-Imamah, al-Khilafah, Imaarat al-Mukminiin
adalah mutaraadif (sinonim). Sedangkan yang dimaksud dengan al-Imamah adalah
kepemimpinan umum dalam mengatur urusan agama dan dunia”. [Imam An Nawawiy,
Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 19/191]
Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah, di dalam Kitab
al-Siyaasatu al-Syar’iyyah menyatakan:
يَجِبُ
أَنْ يُعْرَفَ
أَنَّ ِولاَيَةَ
أَمْرِ النَّاسِ
مِنْ أَعْظَمِ
وَاجِبَاتِ
الدِّيْنِ
بَلْ لاَ قِيَامَ
لِلدِّيْنِ
وَلاَ لِلدُّنْيَا
إِلاَّ بِهَا. فَإِنَّ
بَنِي آدَمَ لاَ تَتِمُّ
مَصْلَحَتُهُمْ
إِلاَّ بِاْلاِجْتِمَاعِ
لِحَاجَةِ
بَعْضِهِمْ
إِلىَ بَعْضٍ ، وَلاَ بُدَّ لَهُمْ عِنْدَ اْلاِجْتِمَاعِ
مِنْ رَأْسٍ حَتَّى قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
: « إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ
فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا
أَحَدَهُمْ
» . رَوَاهُ
أَبُوْ دَاوُدَ
، مِنْ حَدِيْثِ
أَبِي سَعِيْدٍ
، وَأَبِي
هُرَيْرَةَ
.
"Wajib untuk diketahui bahwasanya adanya kekuasaan yang
mengatur urusan manusia termasuk kewajiban agama yang paling agung, bahkan
agama dan dunia tidak akan tegak tanpa adanya (kekuasaan). Sesungguhnya, Bani Adam, kemashlahatan mereka
tidak akan pernah sempurna kecuali dengan adanya interaksi untuk memenuhi
kebutuhan satu dengan yang lain. Dan
sudah menjadi sebuah keharusan bagi mereka, ketika mereka berinteraksi, adanya
seorang pemimpin; sampai-sampai Nabi saw bersabda, "Jika tiga orang keluar
dalam perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah satu di antara mereka
sebagai pemimpin".[HR. Imam Abu Dawud, dari haditsnya Abu Sa'id dan Abu
Hurairah ra].” [Imam Ibnu Taimiyyah, al-Siyaasatu al-Syar’iyyah, juz 1, hal.
168]
Menerapkan syariat Islam secara kaaffah merupakan kewajiban
sekaligus refleksi keimanan seorang Muslim.
Imam Ibnu Mandzur menyatakan;
وحدَّ
الزجاجُ
الإيمانَ
فقال الإيمانُ
إظهارُ الخضوع والقبولِ
للشَّريعة
ولِما أَتَى به النبيُّ
صلى الله عليه وسلم واعتقادُه
وتصديقُه
بالقلب فمن كان على هذه الصِّفة
فهو مُؤْمِنٌ
مُسْلِم
غير مُرْتابٍ
ولا شاكٍّ وهو الذي يرى أَن أَداء الفرائض
واجبٌ عليه لا يدخله في ذلك ريبٌ
"Az Zujaj berkata,“Iman adalah menampakkan ketundukan
dan penerimaan terhadap syari'at dan
semua yang datang dari Nabi SAW, serta meyakini dan membenarkannya dengan hati.
Siapa saja yang memiliki sifat ini maka ia adalah seorang Mukmin Muslim tanpa
ada keraguan dan kebimbangan sedikit pun.
Dan dia adalah orang yang memandang bahwa melaksanakan
kewajiban-kewajiban merupakan kewajiban atas dirinya, tanpa disusupi keraguan
dalam hal ini”.[Imam Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, juz 13, hal. 21]
Dengan demikian, arti penting Khilafah bagi kaum Muslim
berhubungan erat dengan upaya mewujudkan keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT
dan Rasul-Nya secara total. Tanpa
Khilafah, keimanan dan ketaatan seorang Muslim kepada Allah dan Rasul-Nya
senantiasa terancam. Kehadiran kembali
Khilafah begitu berarti bagi seorang Muslim, untuk menjaga ‘aqidah dan
keterikatannya dengan syariat Islam.
Kedua, Khilafah merupakan institusi yang bertanggungjawab
melindungi kaum Muslim dari musuh. Nabi
Mohammad SAW bersabda:
وَإِنَّمَا
الْإِمَامُ
جُنَّةٌ
يُقَاتَلُ
مِنْ وَرَائِهِ
وَيُتَّقَى
بِهِ
“Imam adalah perisai, seseorang berperang dan berlindung di
belakangnya”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Imam Suyuthiy menyatakan:
إنما
الإمام جنة أي كالساتر
لأنه يمنع العدو من أذى المسلمين
ويمنع الناس بعضهم من بعض ويحمى بيضة الإسلام
ويتقيه الناس ويخافون
سطوته. يقاتل من ورائه أي يقاتل معه الكفار والبغاة
والخوارج
وسائر أهل الفساد ويتقى به أي شر العدو وأهل الفساد والظلم.
“[Innamaa al-imaamu junnah :imam (Khalifah) itu perisai],
yakni seperti satir. Sebab, ia mencegah musuh dari menyakiti kaum Muslim,
mencegah manusia (berbuat aniaya) satu dengan yang lain; menjaga kesucian
Islam, dan manusia berlindung kepadanya, dan gentar dengan kekuasaannya. [Yuqatalu min waraaihi: berperang di
belakangnya], yakni kaum Muslim bersama imam memerangi orang-orang kafir, ahli
bughat, khawarij, dan semua orang yang membuat kerusakan. [wa yuttaqa bihi: dan
berlindung dengannya]: yakni berlindung dari keburukan musuh, pembuat kerusakan
dan kedhaliman”.[Al-Hafidh Suyuthiy, al-Dibaaj ‘Ala Muslim, Juz 4/454. Maktabah
Syamilah]
Saat Khilafah, masih tegak berdiri, kehormatan Islam dan
kaum Muslim terjaga dengan baik.
Musuh-musuh Islam dan kaum Muslim gentar dengan ketegasan Khilafah. Pada tahun 223 Hijriyyah/837 Masehi, Khalifah
Al-Mu’tashim bi al-Allah menggelar perang melawan tentara Romawi, setelah
beliau mendapat laporan pelecehan tentara Romawi terhadap seorang budak wanita
Bani Hasyim. Akibatnya, 30.000 ribu tentara Romawi terbunuh, dan 30.000 lainnya
ditawan. Khalifah ‘Abdul Hamid II
(1876-1918 Masehi) memberi ultimátum kepada Perancis dan Inggris, ketika beliau
mendengar dua negara tersebut hendak memberi ijin pentas drama karya Voltaire
yang berjudul Le Fanatisme ou Mahomet le Prophete (Fanatisme kepada
Mohammad). Voltaire tidak hanya menghina
Nabi Mohammad SAW, tetapi juga melecehkan simbol dan kesucian Islam dan kaum
Muslim. Bagitu menghadapi ketegasan
Khalifah ‘Abdul Hamid II, akhirnya kedua negara itu urung mengijinkan
pentas.
Keadaan berbanding terbalik, saat Khilafah tidak lagi ada di
tengah-tengah kaum Muslim. Musuh-musuh
Islam dengan penuh percaya diri tanpa khawatir melecehkan kehormatan Islam dan
kaum Muslim. Mushhaf Al-Quran dibakar,
kehormatan Nabi SAW dilecehkan, ajaran Nabi SAW dipinggirkan dan dituduh
sebagai biang radikalisme dan terorisme.
Mereka menyadari sepenuhnya, kaum Muslim tidak lagi memiliki junnah,
yang mampu melindungi kesucian Islam dan kaum Muslim. Mereka juga menjarah kekayaan, merampas
tanah-tanah, dan mengusir kaum Muslim dari rumah-rumah mereka, seperti yang
terjadi di Palestina, Rohingya, India, dan negeri-negeri lain.
Dari sinilah dapat dipahami arti penting Khilafah bagi kaum
Muslim, yakni melindungi darah, harta, dan kehormatan mereka dari para musuh.
Ketiga, Khilafah dengan kepemimpinan tunggal seorang
khalifah menyatukan seluruh kaum Muslim dari timur hingga barat. Ketika Khilafah masih berdiri, kaum Muslim
bersatu di bawah kepemimpinan seorang Khalifah.
Persoalan-persoalan kaum Muslim di seluruh penjuru dunia mendapatkan
perhatian dan solusi dari Khalifah.
Khalifah sanggup menggerakkan kaum Muslim di timur dan barat, untuk saling
mendukung dan membantu menyelesaikan persoalan-persoalan mereka, Persoalan kaum Muslim di Asia, juga menjadi
persoalan kaum Muslim yang ada di Timur Tengah.
Seluruh kaum Muslim bersatu dan diikat dengan ikatan bermutu tinggi,
yakni bersaudara karena Allah. Tidak ada
lagi batas-batas territorial yang mampu mendinding persaudaraan mereka. Mereka menjadi umat yang kuat karena bersatu
di bawah kepemimpinan seorang Khalifah.
Adapun saat Khilafah tidak lagi ada di tengah-tengah kaum
Muslim, mereka dipecah belah oleh orang-orang kafir dalam negara-negara bangsa
yang lemah. Persaudaraan yang dibangun
di atas ‘aqidah Islamiyyah, diganti dengan ikatan-ikatan rendah, semacam
kebangsaan, kesukuan, dan ikatan-ikatan sektarian lain. Mereka disibukkan dengan urusan mereka
sendiri, dan tidak peduli dengan persoalan saudara Muslimnya di negeri-negeri
lain. Mereka tak berdaya saat
saudara-saudaranya di Palestina, Suria, Iraq, India, dan Uighur ditindas
orang-orang kafir. Tidak hanya itu
saja, mereka dipimpin oleh penguasa-penguasa sekuler yang menghambakan diri
kepada kepentingan negara-negara kafir imperialis. Di tengah-tengah mereka
diterapkan hukum-hukum kufur, menggantikan hukum Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus dipecah belah dengan isyu-isyu
khilafiyyah, Sunni Syi’ah, dan lain sebagainya, hingga muncul satu pemahaman
bahwa kaum Muslim seluruh dunia mustahil disatukan kembali.
Demikianlah, tanpa Khilafah kaum Muslim terpecah belah dan
terpuruk dalam kelemahan. Akibatnya,
negara-negara kafir imperialis leluasa dan mudah menjajah dan menjarah kekayaan
negeri-negeri mereka. Mereka tidak lagi
bersatu dan bersaudara sebagaimana di era keemasan Islam. Dari sini dapat dipahami, betapa pentingnya
Khilafah bagi kaum Muslim, khususnya untuk menyatukan dan menyaudarakan kembali
kaum Muslim dari timur hingga barat.
Negara-negara bangsa (nation state) yang mengerat-ngerat kaum Muslim hanya
bisa dilenyapkan dengan hadirnya kembali Khilafah Islamiyyah.
Arti Penting Khilafah Bagi Umat Manusia (Muslim maupun Non
Muslim) dan Konstelasi Politik Internasional
Penerapan kapitalisme dalam bingkai sistem pemerintahan
demokrasi-sekuler, tidak hanya menjerumuskan manusia ke lubang kesengsaraan dan
kenistaan; lebih dari itu, ia juga memenjara manusia dalam persoalan yang
kunjung berakhir. Berbagai macam
persoalan dunia, mulai dari problem ekonomi, politik, sosial dan budaya, datang
silih berganti tanpa mendapatkan solusi dan penanganan yang tuntas. Jika di sana ada solusi, itu pun bersifat
parsial dan sewaktu-waktu meledak kembali menjadi problem yang jauh lebih rumit
dan berat.
Kebobrokan dan kejahatan kapitalisme tampak jelas dari
kemampuannya melahirkan krisis-krisis besar ekonomi berkala. Dalam buku The History of Money From Ancient
Time to Present Day disebutkan bahwa di sepanjang abad 20, telah terjadi lebih
dari 20 krisis besar yang semuanya melanda negara-negara kapitalis. Resesi terbesar terjadi pada tahun
1930-an. Pada tahun 1975-1981, saat
harga minyak dunia meroket, Amerika Serikat terkena defisit perdagangan
berlipat ganda. Kepercayaan terhadap
dollar merosot. Nilai tukar dollar turun
drastis, hingga mengakibatkan krisis ekonomi para. Pada tahun 1990-1996, krisis moneter di
Thailand menular, hingga menenggelamkan negara-negara Asia, Amerika Latin, dan
Eropa ke dalam krisis yang sangat buruk.
Pada galibnya, krisis ekonomi diikuti dengan krisis-krisis lain.
Jurang kesenjangan antara si kaya dan miskin sangat lebar
dan dalam. Laporan “Time to Care” Oxfam
International menyebut ada 2.135 orang kaya di dunia yang mengontrol jumlah
uang melebihi uang yang dimiliki 4,6 miliar orang pada miskin pada tahun
2019. Fakta lain mengungkapkan, 22 pria
di dunia memiliki kekayaan akumulasi lebih banyak dibanding kekayaan akumulasi
326 juta perempuan di Afrika. Upah yang
tidak dibayar kepada perempuan berusia 15 tahun US$ 10,8 triliun per tahun.
Angka kriminalitas cenderung naik drastis pada tahun
2020. Di Amerika Serikat, jumlah kasus
pembunuhan naik 30% , dan semua kejahatan kekerasan juga naik, sebagaimana yang
dirilis FBI dalam laporan kriminal tahunan pada Senin (27/9/2021). Di Jepang, seperti yang dilaporkan Kyodo,
Kamis (4/2/2021), Badan Kepolisian Nasional Jepang mencatat ada 614.303 kasus
kriminal. Angka pembunuhan mencapai 8394
kasus. Pada tahun 2002, angka kriminal
di Jepang pernah mencapai 2,8 juta kasus.
Negara-negara kapitalis dunia terbukti tidak mampu menangani
penyebaran covid-19 sejak dini. Di
hampir seluruh negara kapitalis-sekuler, penanganan pandemi covid-19 terlihat
amburadul. Akibatnya, jumlah korban jiwa
sangat besar. Lebih kurang 279 juta
manusia terinfeksi covid-19. Jumlah
meninggal mencapai 5,39 juta jiwa, dan angka tertinggi ditempati Amerika
Serikat, yakni 815 ribu jiwa. Kerugian
ekonomi tahun 2020 akibat pandemi covid-19 mencapai angka Rp.1.356 triliun. Ekonomi dunia diprediksi bakal menanggung
kerugian hingga USD 2,5 triliun.
Lebih dari itu, penanganan pandemi covid-19 ala
kapitalis-sekuler –yang dalam banyak hal berparadigma untung dan rugi-- menimbulkan problem-problem pelik lainnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia mengatakan pandemic Covid-19
mendorong lebih dari setengah milyar orang ke dalam kemiskinan ekstrem. Pandemi turut memicu bencana ekonomi terburuk
sejak decade 1930-an. Pada 9 Desember
2021, covid-19 menimbulkan dampak hebat terhadap kehidupan anak dalam skala
yang belum pernah terjadi sebelumnya. UNICEF menyebut pandemi sebagai krisis
terburuk bagi anak sepanjang 75 tahun berdirinya organisasi. Menurut studi Bank Dunia, 70 negara mengalami
penurunan sistem kualitas pendidikan akibat pandemi covid-19.
Penggunaan dana rakyat untuk penanganan pandemi covid-19
yang tidak transparan, membuka celah terjadinya praktik korupsi dan
kolusi. Di Indonesia, Komisi
Pemberantasan Korupsi mengungkapkan, selama pandemi harta kekayaan 70,3%
pejabat negara naik. Tidak hanya itu
saja, dengan alasan prokes, ulama dan aktivis Islam yang kritis terhadap
penguasa ditangkapi dan dijebloskan dalam penjara. Alih-alih serius menangani pandemi, para
penguasa memanfaatkan kesempatan ini untuk mengeruk keuntungan. Majalah Tempo
pernah menurunkan sebuah sigi keterlibatan pejabat dalam bisnis PCR (polymerase
chain reaction). Koalisi Masyarakat
Sipil Untuk Kesehatan dan Keadilan menyebutkan, perputaran bisnis PCR mencapai
23 triliun. Potensi total keuntungan
lebih dari 10 triliun.
Ironisnya, saat dunia tenggelam dalam penderitaan dan
kesusahan, justru korporasi-korporasi teknologi dan farmasi meraup keuntungan
fantastis. Tahun 2020 hingga 2021
perusahaan-perusahaan raksasa teknologi Alphabet (perusahaan induk Google), Amazon, Apple, Facebook, dan
Microsoft, menurut laporan Financial Times, pendapatan gabungan dari lima
perusahaan ini –yang disebut sebagai The Big Five atau The Big Tech—meningkat 41%, yakni hingga
322 miliar dollar AS pada kuartal pertama 2021.
Demikianlah, penerapan kapitalisme memurukkan manusia ke
dalam kesengsaraan. Krisis demi krisis
akibat penerapan kapitalisme diperparah dengan keberadaan sistem negara bangsa
(nation state), yang dalam banyak hal justru menghambat penyelesaian
krisis-krisis global. Negara bangsa
tidak saja gagal menyelesaikan problem-problem domestiknya, tetapi ia juga
rentan dengan problem-problem global. Kita baru saja menyaksikan bagaimana pandemi
covid-19 yang bermula di kota Wuhan, menyebar begitu cepat ke seluruh dunia
akibat akibat arogansi dan lemahnya negara-negara bangsa. Pandemi covid-19 yang harusnya mudah
ditangani justru berkembang menjadi persoalan global dan menimbulkan dampak
buruk hampir di seluruh bidang kehidupan.
Seandainya Wuhan dilock down, dan seluruh negara berkomitmen menutup
akses masuk penduduk Cina ke negaranya masing-masing (lock down), niscaya
pandemi covid tidak akan menyebar ke seluruh dunia. Sayangnya setiap negara bangsa tidak
mengindahkan masalah ini.
Di samping itu, negara bangsa merupakan sistem kenegaraan
tidak manusiawi, high cost, dan dalam banyak hal menghambat terjadinya transfer
teknologi, manusia, barang, dan jasa yang menjadi faktor penentu kesejahteraan
dan kemakmuran dunia.
Pada tahun 1990-an, di Asia dan Afrika, lebih dari 60%
penduduknya tidak mampu memenuhi keperluan kalori minimum yang diperlukan untuk
hidup sehat. Padahal, kekurangan nutrisi
ini bisa ditutup hanya dengan 2% dari total produksi padi-padian dunia. Hal ini bertentangan dengan pendapat umum
yang menyatakan bahwa kelaparan dunia disebabkan karena terbatasnya produksi
pertanian. Mengapa ini terjadi, karena
masing-masing negara bangsa tidak peduli dan acuh terhadap nasib bangsa lain.
Berlarut-larutnya persoalan
kemanusiaan di Palestina, Suriah, Kashmir, India, Uighur, dan
negeri-negeri lain, salah satu sebabnya, mereka dipisahkan oleh sekat-sekat
negara bangsa yang mendinding dan mencegah mereka bersatu untuk saling membantu
menyelesaikan persoalan mereka.
Nasionalisme tidak hanya melahirkan konflik, permusuhan, dan persaingan
tidak sehat, lebih dari itu, nasionalisme memberikan kontribusi besar atas
lahirnya kondisi ‘psikologis’ yang acuh dan tak acuh terhadap
persoalan-persoalan negara-negara lain.
Dengan alasan mempertahankan kedaulatan dan kepentingan bangsanya
sendiri, nasionalisme mencabut
sifat-sifat kemanusiaan –memperhatikan nasib orang lain-, bahkan menanamkan
benih saling menerkam dan menikam.
Di samping itu, munculnya negara bangsa –sebagai turunan
dari nasionalisme— di dunia Islam, sesungguhnya ditujukan untuk memecah belah
kaum Muslim, memperlemah kekuatan Khilafah Islamiyyah, dan untuk mempermudah
negara-negara kafir imperialis menguasai dan mengeruk kekayaan alam kaum
Muslim.
Fakta-fakta di atas membuktikan bahwa kapitalisme-sekularisme
dan negara bangsa tidak layak menjadi penyangga sistem dunia. Bahkan, masyarakat dunia meyakini bahwa
kapitalisme membawa madlarat bagi kehidupan manusia. Awal-awal tahun 2020, Edelman Trust
Barometer melaporkan sebuah jajak pendapat yang menyatakan bahwasanya mayoritas
masyarakat seluruh dunia yakin kapitalisme dalam bentuk kekiniannya
mendatangkan lebih banyak mudlarat (kerusakan) ketimbang manfaat. Jejak pendapat ini melibatkan lebih dari 34
ribu orang di 28 negara, dari negara demokrasi liberal seperti AS dan Perancis
hingga negara yang didasarkan pada model yang berbeda seperti Cina dan Rusia. Sebanyak 56% setuju bahwa kapitalisme
sebagaimana adanya saat ini lebih mendatangkan mudlarat ketimbang manfaatnya di
dunia. Thailand, sebanyak 75%, India 74%
, dan Perancis 69%, menyatakan kapitalisme lebih banyak menimbulkan kerusakan
daripada kemanfaatan.
Survei di atas menunjukkan bahwa mayoritas penduduk dunia
sudah jenuh dan apatis dengan sistem kapitalisme dengan berbagai macam
bentuknya. Mereka juga tidak percaya
bahwa kapitalisme bisa menjamin kehidupan masyarakat dunia yang lebih baik.
Manusia membutuhkan sistem dunia yang mampu mengentaskan mereka dari kekufuran,
penindasan, dan kezaliman. Kapitalisme-sekularisme,
sebuah paham yang berpusat kepada materi, membawa manusia kepada kekufuran dan
memisahkan agama dari masyarakat dan negara.
Kapitalisme menyebabkan penumpukan kekayaan pada segelintir orang. Praktik ribawi dan spekulasi menyebabkan
krisis dan ketimpangan ekonomi. Kegiatan
ekonomi yang tidak mengindahkan halal dan haram, menyebabkan kerusakan di
tengah-tengah masyarakat. Maraknya
bisnis minuman keras, pornografi, pelacuran, perjudian, dan lain sebagainya,
justru menghancurkan kehidupan manusia, dan memerosotkan mereka ke level
binatang.
Dunia membutuhkan aturan dan sistem pemerintahan
terbaik. Aturan dan sistem pemerintahan
terbaik tentu saja yang bersumber dari Dzat Yang Maha Sempurna, Allah, Dzat
Pencipta dan Pengatur alam semesta dan seisinya. Dia telah menurunkan hukum dan sistem
pemerintahan terbaik bagi manusia melalui Nabi Mohammad saw. Jika manusia menginginkan kehidupan yang
baik, ia harus kembali kepada aturan terbaik, yakni syariat dan Khilafah
Islamiyyah. Sistem ini pernah diterapkan
dan terbukti membawa manusia ke dalam kesejahteraan dan keadilan. Di dalam negara Khilafah lalu lintas barang
dan jasa berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan. Mekanisme pasar, transfer teknologi dan
pengetahuan, distribusi barang dan jasa, berjalan baik dan tumbuh dengan
pesat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
distribusi barang dan jasa yang cepat, serta tersedianya pasar yang sangat
luas, dan terbebasnya pasar dari praktek-praktek manipulatif dan riba,
menjadikan perekonomian negara Khilafah sangat kuat dan tangguh. Peradilan Islam terbukti mampu menciptakan
keadilan dan rasa aman di tengah-tengah masyarakat. Tidak ada diskriminasi hukum. Semua mendapatkan perlakuan setara di hadapan
hukum syariat. Syariat Islam yang
menjelaskan aspek ijtima’iy dan akhlaq, berhasil membentuk manusia-manusia yang
memiliki personalitas terpuji. Syariat
Islam dalam ekonomi menciptakan perekonomian yang kuat, adil, dan
menyejahterakan. Begitu pula hukum-hukum
syariat lain, satu dengan yang lain saling melengkapi hingga menciptakan
kehidupan harmonis.
Politik luar negeri Khilafah yang bertumpu pada penyebaran
risalah Islam melalui aktivitas dakwah dan jihad, menciptakan tatanan dunia
yang terjauh dari tujuan-tujuan rendah, seperti penjajahan dan eksploitasi
ekonomi. Khilafah membangun suatu
tatanan yang memilahkan manusia ke dalam dua kelompok besar, kelompok yang
mendukung Islam dan kelompok yang membela kekufuran. Persaingan antar negara tidak lagi
didasarkan pada tendensi-tendensi materi, tetapi berdasarkan tendensi-tendensi
yang bersifat ideologis. Jihad yang
dilancarkan negara Khilafah kepada negara-negara kafir, tidak ditujukan untuk
menjajah dan mengeksploitasi negara itu, tetapi semata-mata untuk melenyapkan
halangan yang menghalangi sampainya dakwah Islam. Negara Khilafah juga tidak memaksa penduduk
negeri yang ditaklukkan untuk masuk ke dalam Islam. Khilafah tidak menggunakan kekerasan dalam
mendakwahkan Islam. Dakwah Islamiyyah
ditegakkan di atas hujjah dan argumentasi, bukan dengan paksaan senjata.
Demikianlah, kehadiran kembali Khilafah benar-benar penting
bagi manusia agar mereka terbebas dari penderitaan akibat penerapan
kapitalisme-sekularisme dan kepemimpinan demokrasi-sekuler. Kehadiran kembali Khilafah juga dibutuhkan
untuk menciptakan konstelasi politik internasional yang kondusif, dan kosong
dari tendensi-tendensi rendah.
Oleh: Gus Syams (Cendekiawan Muslim)