Tinta Media: Khilafah
Tampilkan postingan dengan label Khilafah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Khilafah. Tampilkan semua postingan

Senin, 27 Mei 2024

Hanya Islam yang Layak Memimpin Dunia (Refleksi 100 Tahun Dunia Tanpa Khilafah, It Is Time to Be One Ummah)

Tinta Media - Hanya Islam yang layak memimpin dunia! Pasalnya, belum seratus tahun memimpin dunia, kapitalisme yang diusung Amerika sudah terlalu banyak mengakibatkan kerusakan di berbagai bidang di seluruh belahan bumi termasuk Indonesia. Komunisme sudah gagal total dan tak bertaji pasca runtuhnya Uni Sovyet pada 1991 lalu, meskipun Cina saat ini mencoba untuk menghidupkannya lagi dengan malu-malu. 

Lantas bagaimana nasib dunia di masa depan? Bila tetap mempertahankan kapitalisme berarti melanggengkan kerusakan. Bila mendukung komunisme berarti setuju dengan kegagalan total. Kok jadi seperti memilih buah simalakama? Sebenarnya tidak, bila manusia menyadari ada satu ideologi lagi yang bisa dijadikan kepemimpinan berpikir (qiyadah fikriyah) untuk mengelola individu, kelompok, negara bahkan dunia, seperti yang disinggung di awal yakni Islam. Bahkan dikatakan “hanya Islam yang layak memimpin dunia!”.

Oleh: Joko Prasetyo
Pengasuh Tintamedia.web.id

Selengkapnya, bisa dibaca di Buku Straight Views: Serangan Pemikiran Langsung pada Sasaran.

Bagi yang mau order, silakan isi data berikut ini dan wapri ke nomor +62 812-5243-596 🙏🏻

Order buku SV:
NAMA:
ALAMAT:
WA:
Jml order: .... eksemplar 
Kontributor/bukan:

Kamis, 23 Mei 2024

Pengamat: Krisis Palestina Bermula dari Runtuhnya Adidaya Islam


Tinta Media - Pengamat politik internasional Budi Mulyana menyampaikan bahwa krisis Palestina Bermula dari runtuhnya adidaya Islam.

"Saya senantiasa menyampaikan bahwa krisis Palestina ini kan bermula dari runtuhnya adidaya Islam, Kekhilafahan Turki Utsmani," tuturnya dalam program Fokus Reguler: Serangan ke Israel, Nyata atau Drama? Ahad (23/4/2024) di kanal YouTube UIY Official.

Menurutnya, ketika (Khilafah Turki Utsmani) kalah di perang dunia kesatu, akhirnya kemudian wilayah-wilayah Turki Utsmani itu diambil alih oleh negara pemenang perang Inggris dan Perancis. "Mereka berbagi wilayah," ucapnya.

Budi menilai, dari situlah kemudian Inggris melalui deklarasi Balfour, kemudian juga melakukan proses migrasi orang-orang Yahudi dan akhirnya kemudian membidani hingga lahirnya "negara Israel" tahun 1948.

"Artinya, krisis Palestina ini tidak terlepas dari hilangnya payung umat Islam, negara adidaya umat Islam saat itu, kekhilafahan Turki Utsmani," jelasnya.

Dan sampai sekarang, ia menambahkan, tak ada solusi. "Solusi dua negara itu kan solusi yang absurd bagaimana negara penjajah itu kemudian harus berbagi dengan negara jajahannya," herannya.

Artinya, apa yang kemudian bisa dijadikan solusi terhadap krisis Palestina ini adalah bagaimana mengembalikan payung umat Islam itu sendiri.

"Artinya, di sini harus terjadi perubahan konstelasi internasional. Umat Islam harus punya negara selevel negara adidaya sehingga bisa mengubah konstelasi internasional dan kemudian di situlah umat Islam itu bisa mengendalikan kewibawaannya dan kemudian mengembalikan hak umat Islam Palestina," terangnya.

Karena, lanjutnya, bisa disaksikan bagaimana Amerika Serikat itu dengan tanpa malu, tanpa punya pertimbangan apa pun Amerika membela sepenuh hati keberadaan Israel.

"Itulah fungsi negara adidaya seluruh dunia. Cuma kan bedanya, kalau Islam punya prinsip, punya aturan dari wahyu Allah SWT. Jadi, ketidakadilan dalam perspektif manusia itu harus kemudian dihilangkan dengan keadilan Islam," tandasnya.

Makanya kemudian,  Budi menerangkan, di sinilah penting umat Islam itu punya negara yang kapabilitas negaranya itu bisa dinaikkan sampai level adidaya, dan sebenarnya potensi itu ada.

"Iran punya potensi, Turki punya potensi, kemudian juga negara-negara Timur Tengah punya potensi, termasuk juga  Indonesia punya potensi. Cuma masalahnya kan, selama kemudian basisnya atau dasarnya bukan karena Islam, karena kepentingan nasional internasional, daya dorong untuk menjadi negara adidaya yang melindungi umat Islam itu tidak ada," sesalnya.[] 'Aziimatul Azka


Jumat, 26 April 2024

Urgensitas Khilafah bagi Kaum Muslim

Tinta Media - Arti penting Khilafah bagi kaum Muslim dapat dilihat dari beberapa perkara berikut ini:

Pertama, Khilafah adalah sistem pemerintahan syar’iy yang berfungsi menerapkan syariat Islam secara kaaffah di dalam negeri dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.  Islam tidak bisa dipisahkan dari Khilafah, dan Khilafah tidak bisa dipisahkan dari Islam.   Imam al-Ghazaliy berkata:

والملك و الدين توأمان فالدين أصل و السلطان حارس, وما لا أصل له فمهدوم و ما لا حارس له فضائع

“Kekuasaan (negara) dan agama merupakan saudara kembar.  Agama adalah asas, sedangkan kekuasaan adalah penjaga.  Kekuasaan tanpa asas akan binasa, sedangkan agama tanpa penjaga akan terlantar”.[Imam al-Ghazaliy, Ihyaa` ‘Uluum al-Diin, Juz 1/17. Maktabah Syamilah]

Imam Abu Zakariya al-Nawawiy, seorang ulama besar dari madzhab Syafi’iy menyatakan:

ومن ثم يأتي خطأ بعض المتكلمين في قولهم لو تكاف الناس عن الظلم لم يجب نصب الامام لان الصحابة رضى الله عنهم اجتمعوا على نصب الامام، والمراد بالامام الرئيس الاعلى للدولة، والامامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة، والمراد بها الرياسة العامة في شئون الدين والدنيا

“Dari sinilah ada kesalahan yang menimpa sebagian ahli kalam dalam pendapat mereka, (yakni) seandainya manusia mampu terhindar dari kezaliman, maka mereka tidak wajib mengangkat seorang Imam.  Pendapat ini salah, sebab, para shahabat ra  bersepakat atas wajibnya mengangkat seorang Imam.  Yang dimaksud dengan al-Imam, tidak lain tidak bukan adalah pemimpin tertinggi negara.  Al-Imamah, al-Khilafah, Imaarat al-Mukminiin adalah mutaraadif (sinonim). Sedangkan yang dimaksud dengan al-Imamah adalah kepemimpinan umum dalam mengatur urusan agama dan dunia”. [Imam An Nawawiy, Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 19/191]

Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah, di dalam Kitab al-Siyaasatu al-Syar’iyyah menyatakan:

يَجِبُ أَنْ يُعْرَفَ أَنَّ ِولاَيَةَ أَمْرِ النَّاسِ مِنْ أَعْظَمِ وَاجِبَاتِ الدِّيْنِ بَلْ لاَ قِيَامَ لِلدِّيْنِ وَلاَ لِلدُّنْيَا إِلاَّ بِهَا. فَإِنَّ بَنِي آدَمَ لاَ تَتِمُّ مَصْلَحَتُهُمْ إِلاَّ بِاْلاِجْتِمَاعِ لِحَاجَةِ بَعْضِهِمْ إِلىَ بَعْضٍ ، وَلاَ بُدَّ لَهُمْ عِنْدَ اْلاِجْتِمَاعِ مِنْ رَأْسٍ حَتَّى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ » . رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ ، مِنْ حَدِيْثِ أَبِي سَعِيْدٍ ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ .

"Wajib untuk diketahui bahwasanya adanya kekuasaan yang mengatur urusan manusia termasuk kewajiban agama yang paling agung, bahkan agama dan dunia tidak akan tegak tanpa adanya (kekuasaan).  Sesungguhnya, Bani Adam, kemashlahatan mereka tidak akan pernah sempurna kecuali dengan adanya interaksi untuk memenuhi kebutuhan satu dengan yang lain.  Dan sudah menjadi sebuah keharusan bagi mereka, ketika mereka berinteraksi, adanya seorang pemimpin; sampai-sampai Nabi saw bersabda, "Jika tiga orang keluar dalam perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah satu di antara mereka sebagai pemimpin".[HR. Imam Abu Dawud, dari haditsnya Abu Sa'id dan Abu Hurairah ra].” [Imam Ibnu Taimiyyah, al-Siyaasatu al-Syar’iyyah, juz 1, hal. 168]

Menerapkan syariat Islam secara kaaffah merupakan kewajiban sekaligus refleksi keimanan seorang Muslim.   Imam Ibnu Mandzur menyatakan;

وحدَّ الزجاجُ الإيمانَ فقال الإيمانُ إظهارُ الخضوع والقبولِ للشَّريعة ولِما أَتَى به النبيُّ صلى الله عليه وسلم واعتقادُه وتصديقُه بالقلب فمن كان على هذه الصِّفة فهو مُؤْمِنٌ مُسْلِم غير مُرْتابٍ ولا شاكٍّ وهو الذي يرى أَن أَداء الفرائض واجبٌ عليه لا يدخله في ذلك ريبٌ

"Az Zujaj berkata,“Iman adalah menampakkan ketundukan dan penerimaan terhadap syari'at  dan semua yang datang dari Nabi SAW, serta meyakini dan membenarkannya dengan hati. Siapa saja yang memiliki sifat ini maka ia adalah seorang Mukmin Muslim tanpa ada keraguan dan kebimbangan sedikit pun.  Dan dia adalah orang yang memandang bahwa melaksanakan kewajiban-kewajiban merupakan kewajiban atas dirinya, tanpa disusupi keraguan dalam hal ini”.[Imam Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, juz 13, hal. 21]

Dengan demikian, arti penting Khilafah bagi kaum Muslim berhubungan erat dengan upaya mewujudkan keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya secara total.   Tanpa Khilafah, keimanan dan ketaatan seorang Muslim kepada Allah dan Rasul-Nya senantiasa terancam.  Kehadiran kembali Khilafah begitu berarti bagi seorang Muslim, untuk menjaga ‘aqidah dan keterikatannya dengan syariat Islam.

Kedua, Khilafah merupakan institusi yang bertanggungjawab melindungi kaum Muslim dari musuh.  Nabi Mohammad SAW bersabda:

وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

“Imam adalah perisai, seseorang berperang dan berlindung di belakangnya”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Imam Suyuthiy menyatakan:

إنما الإمام جنة أي كالساتر لأنه يمنع العدو من أذى المسلمين ويمنع الناس بعضهم من بعض ويحمى بيضة الإسلام ويتقيه الناس ويخافون سطوته. يقاتل من ورائه أي يقاتل معه الكفار والبغاة والخوارج وسائر أهل الفساد ويتقى به أي شر العدو وأهل الفساد والظلم.

“[Innamaa al-imaamu junnah :imam (Khalifah) itu perisai], yakni seperti satir. Sebab, ia mencegah musuh dari menyakiti kaum Muslim, mencegah manusia (berbuat aniaya) satu dengan yang lain; menjaga kesucian Islam, dan manusia berlindung kepadanya, dan gentar dengan kekuasaannya.   [Yuqatalu min waraaihi: berperang di belakangnya], yakni kaum Muslim bersama imam memerangi orang-orang kafir, ahli bughat, khawarij, dan semua orang yang membuat kerusakan. [wa yuttaqa bihi: dan berlindung dengannya]: yakni berlindung dari keburukan musuh, pembuat kerusakan dan kedhaliman”.[Al-Hafidh Suyuthiy, al-Dibaaj ‘Ala Muslim, Juz 4/454. Maktabah Syamilah]

Saat Khilafah, masih tegak berdiri, kehormatan Islam dan kaum Muslim terjaga dengan baik.  Musuh-musuh Islam dan kaum Muslim gentar dengan ketegasan Khilafah.  Pada tahun 223 Hijriyyah/837 Masehi, Khalifah Al-Mu’tashim bi al-Allah menggelar perang melawan tentara Romawi, setelah beliau mendapat laporan pelecehan tentara Romawi terhadap seorang budak wanita Bani Hasyim. Akibatnya, 30.000 ribu tentara Romawi terbunuh, dan 30.000 lainnya ditawan.  Khalifah ‘Abdul Hamid II (1876-1918 Masehi) memberi ultimátum kepada Perancis dan Inggris, ketika beliau mendengar dua negara tersebut hendak memberi ijin pentas drama karya Voltaire yang berjudul Le Fanatisme ou Mahomet le Prophete (Fanatisme kepada Mohammad).  Voltaire tidak hanya menghina Nabi Mohammad SAW, tetapi juga melecehkan simbol dan kesucian Islam dan kaum Muslim.  Bagitu menghadapi ketegasan Khalifah ‘Abdul Hamid II, akhirnya kedua negara itu urung mengijinkan pentas.  

Keadaan berbanding terbalik, saat Khilafah tidak lagi ada di tengah-tengah kaum Muslim.  Musuh-musuh Islam dengan penuh percaya diri tanpa khawatir melecehkan kehormatan Islam dan kaum Muslim.  Mushhaf Al-Quran dibakar, kehormatan Nabi SAW dilecehkan, ajaran Nabi SAW dipinggirkan dan dituduh sebagai biang radikalisme dan terorisme.  Mereka menyadari sepenuhnya, kaum Muslim tidak lagi memiliki junnah, yang mampu melindungi kesucian Islam dan kaum Muslim.  Mereka juga menjarah kekayaan, merampas tanah-tanah, dan mengusir kaum Muslim dari rumah-rumah mereka, seperti yang terjadi di Palestina, Rohingya, India, dan negeri-negeri lain.

Dari sinilah dapat dipahami arti penting Khilafah bagi kaum Muslim, yakni melindungi darah, harta, dan kehormatan mereka dari para musuh.

Ketiga, Khilafah dengan kepemimpinan tunggal seorang khalifah menyatukan seluruh kaum Muslim dari timur hingga barat.  Ketika Khilafah masih berdiri, kaum Muslim bersatu di bawah kepemimpinan seorang Khalifah.  Persoalan-persoalan kaum Muslim di seluruh penjuru dunia mendapatkan perhatian dan solusi dari Khalifah.  Khalifah sanggup menggerakkan kaum Muslim di timur dan barat, untuk saling mendukung dan membantu menyelesaikan persoalan-persoalan mereka,  Persoalan kaum Muslim di Asia, juga menjadi persoalan kaum Muslim yang ada di Timur Tengah.  Seluruh kaum Muslim bersatu dan diikat dengan ikatan bermutu tinggi, yakni bersaudara karena Allah.  Tidak ada lagi batas-batas territorial yang mampu mendinding persaudaraan mereka.  Mereka menjadi umat yang kuat karena bersatu di bawah kepemimpinan seorang Khalifah.

Adapun saat Khilafah tidak lagi ada di tengah-tengah kaum Muslim, mereka dipecah belah oleh orang-orang kafir dalam negara-negara bangsa yang lemah.  Persaudaraan yang dibangun di atas ‘aqidah Islamiyyah, diganti dengan ikatan-ikatan rendah, semacam kebangsaan, kesukuan, dan ikatan-ikatan sektarian lain.  Mereka disibukkan dengan urusan mereka sendiri, dan tidak peduli dengan persoalan saudara Muslimnya di negeri-negeri lain.   Mereka tak berdaya saat saudara-saudaranya di Palestina, Suria, Iraq, India, dan Uighur ditindas orang-orang kafir.   Tidak hanya itu saja, mereka dipimpin oleh penguasa-penguasa sekuler yang menghambakan diri kepada kepentingan negara-negara kafir imperialis. Di tengah-tengah mereka diterapkan hukum-hukum kufur, menggantikan hukum Allah dan Rasul-Nya.  Mereka terus dipecah belah dengan isyu-isyu khilafiyyah, Sunni Syi’ah, dan lain sebagainya, hingga muncul satu pemahaman bahwa kaum Muslim seluruh dunia mustahil disatukan kembali. 

Demikianlah, tanpa Khilafah kaum Muslim terpecah belah dan terpuruk dalam kelemahan.   Akibatnya, negara-negara kafir imperialis leluasa dan mudah menjajah dan menjarah kekayaan negeri-negeri mereka.  Mereka tidak lagi bersatu dan bersaudara sebagaimana di era keemasan Islam.  Dari sini dapat dipahami, betapa pentingnya Khilafah bagi kaum Muslim, khususnya untuk menyatukan dan menyaudarakan kembali kaum Muslim dari timur hingga barat.  Negara-negara bangsa (nation state) yang mengerat-ngerat kaum Muslim hanya bisa dilenyapkan dengan hadirnya kembali Khilafah Islamiyyah. 

Arti Penting Khilafah Bagi Umat Manusia (Muslim maupun Non Muslim) dan Konstelasi Politik Internasional

Penerapan kapitalisme dalam bingkai sistem pemerintahan demokrasi-sekuler, tidak hanya menjerumuskan manusia ke lubang kesengsaraan dan kenistaan; lebih dari itu, ia juga memenjara manusia dalam persoalan yang kunjung berakhir.  Berbagai macam persoalan dunia, mulai dari problem ekonomi, politik, sosial dan budaya, datang silih berganti tanpa mendapatkan solusi dan penanganan yang tuntas.  Jika di sana ada solusi, itu pun bersifat parsial dan sewaktu-waktu meledak kembali menjadi problem yang jauh lebih rumit dan berat. 

Kebobrokan dan kejahatan kapitalisme tampak jelas dari kemampuannya melahirkan krisis-krisis besar ekonomi berkala.   Dalam buku The History of Money From Ancient Time to Present Day disebutkan bahwa di sepanjang abad 20, telah terjadi lebih dari 20 krisis besar yang semuanya melanda negara-negara kapitalis.  Resesi terbesar terjadi pada tahun 1930-an.   Pada tahun 1975-1981, saat harga minyak dunia meroket, Amerika Serikat terkena defisit perdagangan berlipat ganda.  Kepercayaan terhadap dollar merosot.  Nilai tukar dollar turun drastis, hingga mengakibatkan krisis ekonomi para.  Pada tahun 1990-1996, krisis moneter di Thailand menular, hingga menenggelamkan negara-negara Asia, Amerika Latin, dan Eropa ke dalam krisis yang sangat buruk.  Pada galibnya, krisis ekonomi diikuti dengan krisis-krisis lain. 

Jurang kesenjangan antara si kaya dan miskin sangat lebar dan dalam.  Laporan “Time to Care” Oxfam International menyebut ada 2.135 orang kaya di dunia yang mengontrol jumlah uang melebihi uang yang dimiliki 4,6 miliar orang pada miskin pada tahun 2019.   Fakta lain mengungkapkan, 22 pria di dunia memiliki kekayaan akumulasi lebih banyak dibanding kekayaan akumulasi 326 juta perempuan di Afrika.  Upah yang tidak dibayar kepada perempuan berusia 15 tahun US$ 10,8 triliun per tahun.

Angka kriminalitas cenderung naik drastis pada tahun 2020.  Di Amerika Serikat, jumlah kasus pembunuhan naik 30% , dan semua kejahatan kekerasan juga naik, sebagaimana yang dirilis FBI dalam laporan kriminal tahunan pada Senin (27/9/2021).   Di Jepang, seperti yang dilaporkan Kyodo, Kamis (4/2/2021), Badan Kepolisian Nasional Jepang mencatat ada 614.303 kasus kriminal.  Angka pembunuhan mencapai 8394 kasus.   Pada tahun 2002, angka kriminal di Jepang pernah mencapai 2,8 juta kasus.

Negara-negara kapitalis dunia terbukti tidak mampu menangani penyebaran covid-19 sejak dini.   Di hampir seluruh negara kapitalis-sekuler, penanganan pandemi covid-19 terlihat amburadul.  Akibatnya, jumlah korban jiwa sangat besar.   Lebih kurang 279 juta manusia terinfeksi covid-19.  Jumlah meninggal mencapai 5,39 juta jiwa, dan angka tertinggi ditempati Amerika Serikat, yakni 815 ribu jiwa.   Kerugian ekonomi tahun 2020 akibat pandemi covid-19 mencapai angka Rp.1.356 triliun.   Ekonomi dunia diprediksi bakal menanggung kerugian hingga USD 2,5 triliun. 

Lebih dari itu, penanganan pandemi covid-19 ala kapitalis-sekuler –yang dalam banyak hal berparadigma untung dan rugi--  menimbulkan problem-problem pelik lainnya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia mengatakan pandemic Covid-19 mendorong lebih dari setengah milyar orang ke dalam kemiskinan ekstrem.  Pandemi turut memicu bencana ekonomi terburuk sejak decade 1930-an.    Pada 9 Desember 2021, covid-19 menimbulkan dampak hebat terhadap kehidupan anak dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. UNICEF menyebut pandemi sebagai krisis terburuk bagi anak sepanjang 75 tahun berdirinya organisasi.  Menurut studi Bank Dunia, 70 negara mengalami penurunan sistem kualitas pendidikan akibat pandemi covid-19.

Penggunaan dana rakyat untuk penanganan pandemi covid-19 yang tidak transparan, membuka celah terjadinya praktik korupsi dan kolusi.  Di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkapkan, selama pandemi harta kekayaan 70,3% pejabat negara naik.   Tidak hanya itu saja, dengan alasan prokes, ulama dan aktivis Islam yang kritis terhadap penguasa ditangkapi dan dijebloskan dalam penjara.   Alih-alih serius menangani pandemi, para penguasa memanfaatkan kesempatan ini untuk mengeruk keuntungan. Majalah Tempo pernah menurunkan sebuah sigi keterlibatan pejabat dalam bisnis PCR (polymerase chain reaction).  Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kesehatan dan Keadilan menyebutkan, perputaran bisnis PCR mencapai 23 triliun.  Potensi total keuntungan lebih dari 10 triliun.

Ironisnya, saat dunia tenggelam dalam penderitaan dan kesusahan, justru korporasi-korporasi teknologi dan farmasi meraup keuntungan fantastis.  Tahun 2020 hingga 2021 perusahaan-perusahaan raksasa teknologi Alphabet  (perusahaan induk  Google), Amazon, Apple, Facebook, dan Microsoft, menurut laporan Financial Times, pendapatan gabungan dari lima perusahaan ini –yang disebut sebagai The Big Five  atau The Big Tech—meningkat 41%, yakni hingga 322 miliar dollar AS pada kuartal pertama 2021.  

Demikianlah, penerapan kapitalisme memurukkan manusia ke dalam kesengsaraan.  Krisis demi krisis akibat penerapan kapitalisme diperparah dengan keberadaan sistem negara bangsa (nation state), yang dalam banyak hal justru menghambat penyelesaian krisis-krisis global.  Negara bangsa tidak saja gagal menyelesaikan problem-problem domestiknya, tetapi ia juga rentan dengan problem-problem global. Kita baru saja menyaksikan bagaimana pandemi covid-19 yang bermula di kota Wuhan, menyebar begitu cepat ke seluruh dunia akibat akibat arogansi dan lemahnya negara-negara bangsa.   Pandemi covid-19 yang harusnya mudah ditangani justru berkembang menjadi persoalan global dan menimbulkan dampak buruk hampir di seluruh bidang kehidupan.   Seandainya Wuhan dilock down, dan seluruh negara berkomitmen menutup akses masuk penduduk Cina ke negaranya masing-masing (lock down), niscaya pandemi covid tidak akan menyebar ke seluruh dunia.  Sayangnya setiap negara bangsa tidak mengindahkan masalah ini. 

Di samping itu, negara bangsa merupakan sistem kenegaraan tidak manusiawi, high cost, dan dalam banyak hal menghambat terjadinya transfer teknologi, manusia, barang, dan jasa yang menjadi faktor penentu kesejahteraan dan kemakmuran dunia.

Pada tahun 1990-an, di Asia dan Afrika, lebih dari 60% penduduknya tidak mampu memenuhi keperluan kalori minimum yang diperlukan untuk hidup sehat.  Padahal, kekurangan nutrisi ini bisa ditutup hanya dengan 2% dari total produksi padi-padian dunia.  Hal ini bertentangan dengan pendapat umum yang menyatakan bahwa kelaparan dunia disebabkan karena terbatasnya produksi pertanian.  Mengapa ini terjadi, karena masing-masing negara bangsa tidak peduli dan acuh terhadap nasib bangsa lain. 

Berlarut-larutnya persoalan  kemanusiaan di Palestina, Suriah, Kashmir, India, Uighur, dan negeri-negeri lain, salah satu sebabnya, mereka dipisahkan oleh sekat-sekat negara bangsa yang mendinding dan mencegah mereka bersatu untuk saling membantu menyelesaikan persoalan mereka.  Nasionalisme tidak hanya melahirkan konflik, permusuhan, dan persaingan tidak sehat, lebih dari itu, nasionalisme memberikan kontribusi besar atas lahirnya kondisi ‘psikologis’ yang acuh dan tak acuh terhadap persoalan-persoalan negara-negara lain.  Dengan alasan mempertahankan kedaulatan dan kepentingan bangsanya sendiri,  nasionalisme mencabut sifat-sifat kemanusiaan –memperhatikan nasib orang lain-, bahkan menanamkan benih saling menerkam dan menikam.  

Di samping itu, munculnya negara bangsa –sebagai turunan dari nasionalisme— di dunia Islam, sesungguhnya ditujukan untuk memecah belah kaum Muslim, memperlemah kekuatan Khilafah Islamiyyah, dan untuk mempermudah negara-negara kafir imperialis menguasai dan mengeruk kekayaan alam kaum Muslim. 

Fakta-fakta di atas membuktikan bahwa kapitalisme-sekularisme dan negara bangsa tidak layak menjadi penyangga sistem dunia.  Bahkan, masyarakat dunia meyakini bahwa kapitalisme membawa madlarat bagi kehidupan manusia.   Awal-awal tahun 2020, Edelman Trust Barometer melaporkan sebuah jajak pendapat yang menyatakan bahwasanya mayoritas masyarakat seluruh dunia yakin kapitalisme dalam bentuk kekiniannya mendatangkan lebih banyak mudlarat (kerusakan) ketimbang manfaat.  Jejak pendapat ini melibatkan lebih dari 34 ribu orang di 28 negara, dari negara demokrasi liberal seperti AS dan Perancis hingga negara yang didasarkan pada model yang berbeda seperti Cina dan Rusia.  Sebanyak 56% setuju bahwa kapitalisme sebagaimana adanya saat ini lebih mendatangkan mudlarat ketimbang manfaatnya di dunia. Thailand, sebanyak 75%,  India 74% , dan Perancis 69%, menyatakan kapitalisme lebih banyak menimbulkan kerusakan daripada kemanfaatan.

Survei di atas menunjukkan bahwa mayoritas penduduk dunia sudah jenuh dan apatis dengan sistem kapitalisme dengan berbagai macam bentuknya.  Mereka juga tidak percaya bahwa kapitalisme bisa menjamin kehidupan masyarakat dunia yang lebih baik.

Manusia membutuhkan sistem dunia yang mampu  mengentaskan mereka dari kekufuran, penindasan, dan kezaliman.  Kapitalisme-sekularisme, sebuah paham yang berpusat kepada materi, membawa manusia kepada kekufuran dan memisahkan agama dari masyarakat dan negara.  Kapitalisme menyebabkan penumpukan kekayaan pada segelintir orang.  Praktik ribawi dan spekulasi menyebabkan krisis dan ketimpangan ekonomi.  Kegiatan ekonomi yang tidak mengindahkan halal dan haram, menyebabkan kerusakan di tengah-tengah masyarakat.  Maraknya bisnis minuman keras, pornografi, pelacuran, perjudian, dan lain sebagainya, justru menghancurkan kehidupan manusia, dan memerosotkan mereka ke level binatang.

Dunia membutuhkan aturan dan sistem pemerintahan terbaik.   Aturan dan sistem pemerintahan terbaik tentu saja yang bersumber dari Dzat Yang Maha Sempurna, Allah, Dzat Pencipta dan Pengatur alam semesta dan seisinya.  Dia telah menurunkan hukum dan sistem pemerintahan terbaik bagi manusia melalui Nabi Mohammad saw.  Jika manusia menginginkan kehidupan yang baik, ia harus kembali kepada aturan terbaik, yakni syariat dan Khilafah Islamiyyah.  Sistem ini pernah diterapkan dan terbukti membawa manusia ke dalam kesejahteraan dan keadilan.   Di dalam negara Khilafah lalu lintas barang dan jasa berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan.  Mekanisme pasar, transfer teknologi dan pengetahuan, distribusi barang dan jasa, berjalan baik dan tumbuh dengan pesat.  Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, distribusi barang dan jasa yang cepat, serta tersedianya pasar yang sangat luas, dan terbebasnya pasar dari praktek-praktek manipulatif dan riba, menjadikan perekonomian negara Khilafah sangat kuat dan tangguh.  Peradilan Islam terbukti mampu menciptakan keadilan dan rasa aman di tengah-tengah masyarakat.  Tidak ada diskriminasi hukum.  Semua mendapatkan perlakuan setara di hadapan hukum syariat.   Syariat Islam yang menjelaskan aspek ijtima’iy dan akhlaq, berhasil membentuk manusia-manusia yang memiliki personalitas terpuji.  Syariat Islam dalam ekonomi menciptakan perekonomian yang kuat, adil, dan menyejahterakan.  Begitu pula hukum-hukum syariat lain, satu dengan yang lain saling melengkapi hingga menciptakan kehidupan harmonis. 

Politik luar negeri Khilafah yang bertumpu pada penyebaran risalah Islam melalui aktivitas dakwah dan jihad, menciptakan tatanan dunia yang terjauh dari tujuan-tujuan rendah, seperti penjajahan dan eksploitasi ekonomi.  Khilafah membangun suatu tatanan yang memilahkan manusia ke dalam dua kelompok besar, kelompok yang mendukung Islam dan kelompok yang membela kekufuran.   Persaingan antar negara tidak lagi didasarkan pada tendensi-tendensi materi, tetapi berdasarkan tendensi-tendensi yang bersifat ideologis.  Jihad yang dilancarkan negara Khilafah kepada negara-negara kafir, tidak ditujukan untuk menjajah dan mengeksploitasi negara itu, tetapi semata-mata untuk melenyapkan halangan yang menghalangi sampainya dakwah Islam.  Negara Khilafah juga tidak memaksa penduduk negeri yang ditaklukkan untuk masuk ke dalam Islam.  Khilafah tidak menggunakan kekerasan dalam mendakwahkan Islam.  Dakwah Islamiyyah ditegakkan di atas hujjah dan argumentasi, bukan dengan paksaan senjata.

Demikianlah, kehadiran kembali Khilafah benar-benar penting bagi manusia agar mereka terbebas dari penderitaan akibat penerapan kapitalisme-sekularisme dan kepemimpinan demokrasi-sekuler.  Kehadiran kembali Khilafah juga dibutuhkan untuk menciptakan konstelasi politik internasional yang kondusif, dan kosong dari tendensi-tendensi rendah.

Oleh: Gus Syams (Cendekiawan Muslim)

Kamis, 18 April 2024

Politik Industri Negara Khilafah

Soal:

Tinta Media - Apa makna “industri dengan jenis-jenisnya dibangun di atas asas politik perang”? Misal apa yang dinyatakan di dalam Kitab Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fî al-Hukmi wa al-Idârah: “Industri dengan jenis-jenisnya wajib dibangun  di atas asas politik perang.” Adakah contohnya?

Jawab:

Jawabannya ada pada Kitab Ajhizah halaman 108 file word. Demikian juga pada Kitab Muqaddimah ad-Dustûr (I/132) file word. Berikut kutipannya:

Karena Daulah Islamiyah merupakan negara yang mengemban dakwah Islamiyah melalui metode dakwah dan jihad, maka negara harus selalu siap untuk melakukan jihad. Ini menuntut industri di negara, industri berat atau ringan, dibangun di atas asas politik perang. Dengan begitu, jika diperlukan untuk mengubahnya ke industri yang menghasilkan industri perang dengan jenis-jenisnya, maka mudah bagi negara melakukan hal itu kapan saja diinginkan.

Oleh karena itu semua industri di dalam Negara Khilafah wajib dibangun di atas asas politik perang. Semua pabrik, baik yang menghasilkan industri berat atau menghasilkan industri ringan, dibangun di atas asas politik ini. Tujuannya untuk memudahkan pengalihan produksinya ke produksi perang kapan saja negara memerlukan hal itu.

Artinya, semua pabrik di dalam Negara Khilafah harus dibuat ke arah yang sedemikian rupa memungkinkan roda produksinya dapat dengan mudah dialihkan untuk menghasilkan produk-produk yang berkaitan dengan aspek militer yang tidak diproduksi dalam kondisi normal. Misalnya, jika ada pabrik kendaraan sipil maka harus dibangun sedemikian rupa yang memungkinkan dari aspek teknis dan praktis untuk mengalihkan roda produksi di situ untuk membuat kendaraan militer yang digunakan oleh negara dalam perang melawan orang-orang kafir. Misal lain, jika ada pabrik pakaian, maka harus dibuat sedemikian rupa yang memungkinkan produksinya dapat dengan mudah dialihkan menjadi pembuatan pakaian militer. Begitulah. Kebijakan (politik) pembangunan pabrik didasarkan pada politik perang dalam hal roda produksi, bangunan pabrik, dan dalam kemungkinan mencegah pemogokan di dalamnya, juga dalam kemungkinan bekerja di dalamnya di gedung bawah tanah, dll; di antara hal-hal yang ditentukan oleh para ahli dan disupervisi oleh negara.

[Dikutip dari Jawab-Soal Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah tanggal 15 Muharram 1445 H – 02 Agustus 2023 M]

*Sumber:*

https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/90192.html

https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/839403611080343

https://alwaie.net/fikih/politik-industri-negara-khilafah/

Selasa, 16 April 2024

Dua Faktor Penyebab Runtuhnya Kekhilafahan Turki Ustmani

Tinta Media - Influencer Aab El Karimi mengatakan bahwa keruntuhan Kekhilafahan Turki Utsmani disebabkan oleh faktor eksternal dan juga internal.

"Keruntuhan Utsmani yang disebabkan faktor eksternal dan juga internal," ujarnya dalam video The Fall Of The Khilafah di kanal Youtube Justice Monitor, Ahad (14/4/2024).

Penyebab faktor internal, menurutnya, ada hutang yang membesar, kesulitan ekonomi, juga pemerintahan yang otoriter dan tidak kapabel yang menyebabkan Sultan diasingkan. "Lalu yang memegang kendali penuh roda pemerintahan adalah kelompok Turki muda," tuturnya.

"Kelompok Turki Muda ini di dalam dunia Islam yang besar itu membawa semangat keturkian (Kebangsaan Turki) bukan semangat keislaman," ungkapnya.

Dan kelompok Turki muda pula, ujarnya, yang kemudian membawa Turki masuk ke Perang Dunia I (PD I) bersekutu dengan Jerman melawan blok Inggris, Prancis dan juga Rusia.

Nah, karena semangat keturkian Kelompok Turki Muda, bebernya, Utsmani  yang pada awalnya menjadi Ibu dari dunia Islam dan bahkan menjadi Khadimul Haramain (penjaga dua masjid suci) tiba-tiba menjadi tidak disenangi oleh negeri-negeri Arab.

"Amarah warga Arab ini memunculkan Pan Arabisme," tukasnya.

Aab menguraikan bahwa gerakan perjuangan kearaban ini dimanfaatkan, kemudian disulut untuk terus membesar. "Bahkan didanai oleh siapa lagi kalau bukan Inggris, yang lebih menjadi Ironi pada sekitaran 1914 sampai 1917," imbuhnya.

Agen Inggris

Menurut Aab, kemunculan Lawrence of Arabia, seorang agen Inggris berhasil membuat gempar dunia Arab, dia berhasil mengkonsolidasi penguasa lokal Mesir, Arab Saudi, Suriah untuk memberontak pada Utsmani.

"Ia jugalah yang merekomendasikan Inggris untuk menyerang Gaza dan wilayah sekitarnya, yang beberapa waktu kemudian muncul peristiwa Deklarasi Balfour yang membuat Yahudi membentuk Israel hari ini," cetusnya.

Lantas, ia menyebutkan peristiwa-peristiwa besar inilah yang cukup memilukan keterpecahan dunia Islam dari Khilafah menyebabkan agama dengan penganutnya yang menyentuh 2 miliar hari ini ibarat buih besar namun tidak punya kekuatan.

"Sungguh memilukan," pungkasnya.

"Dulu itu ternyata negeri-negeri kaum Muslimin itu berada dalam satu naungan yang namanya khilafah," ujar Aab saat mereview  buku yang berjudul The Fall Of The Khilafah.

Ia menuturkan buku itu ditulis oleh Eugene Rogen, seorang Profesor dari Oxford, dan di buku itu banyak mengcapture peristiwa dahsyat di Perang Dunia Pertama, sebuah peristiwa yang mengubah selamanya wajah Timur Tengah dan meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah.[] Muhammad Nur

Selasa, 02 April 2024

3 Maret

Tinta Media - Telah seabad aku porak poranda
Tanpa pemimpin terbaik di dunia fana ini
Syariat direnggut, asa terburai sia-sia
Tersisa derai air mata yang mendesak angan

Seabad yang lalu begitu gagah bendera hitam melambai
Melindungi segenap jiwa dan peradaban
Namun kini, telah tercerai berai di jajah ideologi kufur
Merampas jiwa-jiwa yang kini menjadi liar

Kini aku begitu hancur tanpa seorang panglima
Tercerai berai bak buih di lautan
Begitu rapuh terombang ambing di samudera
Terkoyak hingga hilang tertelan angkara murka

Entah berapa lama lagi kabarmu akan kembali
Membumikan syariat yang telah dirusak para penghianat
Isak tangis tiada henti meratap hingga banjir air mata dan darah di tanah ribath
Kemenanganmu, ku yakin di suatu saat kelak
Melenyapkan dusta-dusta para pengkhianat syariat

Karya: Guntoro
Sahabat Tinta Media


Minggu, 17 Maret 2024

It’s Time to be One Ummah: Potensi Persatuan Umat dalam Naungan Khilafah



Tinta Media - Sebagai bagian dari masyarakat global yang hidup dalam keragaman budaya, etnis, dan agama, sudah saatnya kita umat Islam bersatu sebagai satu umat. Meskipun perbedaan-perbedaan ini dapat menjadi sumber konflik, kita juga harus mengakui kekuatan dan keindahan yang timbul ketika kita bersatu. Dalam dunia yang penuh dengan perubahan dan tantangan, saatnya untuk meletakkan perbedaan di sisi luar dan bersama-sama menjalani perjalanan ke arah kebaikan bersama. Inilah saatnya untuk menjadi satu umat.

Salah satu nilai utama dalam ajaran Islam adalah persatuan umat. Kita sering kali terpecah belah oleh batasan-batasan yang seharusnya tidak ada. Baik dalam urusan sosial, politik, atau ekonomi, kita harus bersatu untuk menciptakan masyarakat muslim yang adil dan harmonis. Dengan bersatu, kita dapat mengatasi berbagai masalah global seperti kemiskinan, perubahan iklim, dan konflik bersenjata.

Dalam dunia yang terus berkembang ini, rasanya semakin penting untuk kita semua bersatu sebagai satu umat di bawah naungan khilafah. Sudah saatnya kita mewujudkan potensi besar yang ada dalam persatuan umat Islam di bawah sistem pemerintahan khilafah.

Khilafah bukan hanya sekadar sistem pemerintahan, melainkan juga metode penerapan syariah Islam secara kaffah yang penuh makna. Ketika kita bersatu di bawah khilafah, kita memiliki kesempatan untuk menciptakan masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai Islam, seperti keadilan, persaudaraan, dan keberagaman.

Dalam konteks khilafah, kita dapat menghargai perbedaan dan merangkul keberagaman sebagai kekayaan. Khilafah memberikan landasan bagi kita untuk hidup bersama dengan damai tanpa diskriminasi, karena setiap individu dihargai berdasarkan nilai-nilai iman dan amal shaleh.

Selain itu, khilafah juga memberikan peluang untuk membangun keberdayaan umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, ekonomi, dan sosial. Dengan bersatu di bawah naungan khilafah, umat Islam dapat menjadi agen perubahan positif yang memberikan kontribusi signifikan bagi kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan.

Tentu saja, implementasi khilafah bukanlah tanpa tantangan, namun melalui dialog konstruktif dan partisipasi aktif dari seluruh umat Islam, kita dapat mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Dengan memahami nilai-nilai Islam dan mengimplementasikannya secara bijaksana, kita dapat menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera, dan berkeadilan.

Saatnya untuk meninggalkan perpecahan dan membangun jembatan ke arah persatuan. Dengan bersatu sebagai satu umat, kita dapat menciptakan dunia yang lebih baik untuk generasi mendatang. Mari kita tinggalkan perbedaan-perbedaan yang memecah belah dan bergerak maju sebagai satu kekuatan yang mampu mengatasi setiap tantangan. Inilah waktunya untuk menjadi satu umat.

Jadi, mari kita bersama-sama merenungi dan mendukung gagasan bahwa “It’s Time to be One Ummah” dalam naungan khilafah. Dengan persatuan ini, kita dapat membawa dampak positif dalam menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua umat manusia.

Oleh: Achmad Luthfi
Pemerhati Anak Muda

Minggu, 10 Maret 2024

Beras Mahal, Bagaimana Khilafah Mengelola Kebutuhan Pokok Rakyat?


Tinta Media - Masyarakat mengeluh harga beras mahal dan dijawab oleh Presiden Joko Widodo, “disebabkan oleh perubahan iklim dan cuaca yang memicu gagal panen” (Tempo. Co, pada 19 Februari 2024). Intinya menyalahkan perubahan iklim dan cuaca sebagai biang kerok (penyebab) beras mahal.

Kalau hanya bisa menyalahkan perubahan iklim dan cuaca, lalu di mana fungsi dan peran negara? Untuk apa, ada pemerintahan dengan segala jajarannya yang mengelola bidang pertanian? Seperti Menteri Pertanian, Bulog, BUMN yang ditugaskan mendukungnya seperti pabrik pupuk, dan lain sebagainya. Setidaknya itulah yang ada dalam pikiran, sebagian rakyat, ketika mendengar pernyataan Presiden Joko Widodo yang  dimuat media Tempo. Co pada 19 Februari 2024. 

Pertanyaan selanjutnya adalah benarkah naiknya harga beras yang "ugal-ugalan" itu, seperti apa yang dinyatakan oleh presiden, sebagai penyebab utamanya? Apa yang terjadi sesungguhnya? Apakah benar, produksi terganggu karena iklim? Atau apakah stok beras ditimbun oleh pengusaha-pengusaha besar untuk mencari keuntungan, di saat Ramadhan? Atau apakah stok beras di "serobot" oleh para kontestan pilpres dan pileg untuk "menyogok" pemilih, di pemilu yang lalu? Atau negara memang tidak mampu mengelola, mengatur dan mengontrol bahan pokok ini, dikarenakan kuatnya “tangan-tangan” oligarki pengusaha? Dari semua kemungkinan itu, mana jawaban yang paling mungkin sebagai penyebabnya?.

Sebelum kita membicarakan tentang beras ini lebih jauh. Maka alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu, berapa sebenarnya kebutuhan beras Indonesia?. Berdasarkan data BPS, tahun 2023 jumlah penduduk Indonesia adalah 278.700.000 jiwa. Jika keperluan beras per kapita antara 94,9 - 150 kg per tahun (kita ambil rerata 122,5 kg per kapita per tahun), maka keperluan beras adalah 34,1 juta ton per tahun. Dari data dan informasi itu maka kita akan berhitung berapa luas lahan pertanian padi yang diperlukan, untuk menghasil beras sejumlah minimal 34,1 juta ton per tahun tersebut. 

Data luas lahan pertanian padi yang dimiliki Indonesia, berdasarkan data BPS tahun 2022 adalah 10,45 juta ha, dengan produktivitas per ha 5,08 ton GKG (di bawah Vietnam 5,57 ton GKG dan tertinggi adalah Australia 10 ton GKG), dan dengan rendemen 62%. Artinya, Indonesia memiliki kemampuan memproduksi beras dalam 1 kali musim tanam adalah 32,9 juta ton. Sehingga dengan 2 kali masa tanam dalam 1 tahun akan menghasilkan 65.8 juta ton per tahun, lebih dari cukup untuk kebutuhan makan seluruh penduduk Indonesia, yang hanya memerlukan 34,1 juta ton per tahun.

Dari data BPS pula, diketahui bahwa dalam 5 tahun terakhir produksi beras Indonesia, tahun 2019 : 31,31 juta ton, tahun 2020 : 31,33 jota ton, tahun 2021: 31,36 juta ton, tahun 2022 : 31,54 juta ton dan tahun 2023 : 31,10 juta ton (turun 1.4 % dari tahun 2022). Sedangkan total impor beras dalam 6 tahun terakhir adalah tahun 2018 : 2,2 juta ton, tahun 2019 : 444,5 ribu ton, tahun 2020 : 356,2 ribu ton, tahun 2021 : 407,7 ribu ton, tahun 2022 : 429,2 ribu ton, dan tahun 2023 : 3,3 juta ton. (catatan : Angka impor tahun 2018 dan 2023 mencapai jutaan ton dan itu adalah 1 tahun menjelang pilpres).

Kalau memperhatikan data-data di atas seharusnya tidak ada permasalahan terkait dengan stok beras. Jumlah produksi beras dalam negeri ditambah impor sudah sangat aman. Tetapi mengapa selalu saja ribut terkait beras ini terutama menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri, serta pada tahun-tahun politik.

Apa yang dilakukan negara?. Pemerintah telah membuat program untuk mengatasi kekisruhan seputar beras ini, baik melalui penetapan harga, operasi pasar, pendistribusian beras SPHP, hingga pembagian bantuan sosial berupa beras 10 kg per keluarga. Program-program Ini juga dibarengi kontrol dan monitoring harga yang dikerjakan satgas pangan. Namun, kenapa program ini sepertinya terkesan jalan di tempat bahkan bisa disebut “gagal”, terbukti hal ini terus berulang dan berulang.

Jika kita amati lebih dalam, terkait kebijakan pemerintah dalam upaya untuk menyelesaikan problem yang terjadi, maka terkesan penyelesaiannya hanya pada gejolak harga, sedangkan problem sebab sesungguhnya tidak tersentuh. Kebijakan yang dibuat tidak mengakhiri dan menyelesaikan secara tuntas, tetapi sekedar menahan kenaikan harga. Ditambah, banyak yang menduga kebijakan bantuan beras saat ini berkelindan dengan agenda politik praktis pada saat pemilu yang lalu. Sehingga kebijakan dibuat lebih kepada untuk kepentingan segelintir pihak, dan itu yang lebih dominan, daripada untuk menyelesaikan persoalan rakyat.

Indonesia memiliki luas lahan pertanian padi cukup luas 10,45 juta ha, jika produktivitasnya ditingkatkan, maka sudah lebih dari cukup untuk mencukupi keperluan beras di dalam negeri, tetapi kenyataannya belum bisa. Mengapa hal ini bisa terjadi?, karena petani selalu berada dalam keadaan terimpit dan “mungkin” sudah terjepit. Petani selalu mengalami problem sebab sistemik, seperti minimnya (sempit) lahan pertanian, sulitnya mendapatkan saprotan dan harga jual gabah (beras) yang tidak berpihak kepada petani. 

“Bila harga beras mahal, maka petani ikut menikmati keuntungan”, kata seorang pejabat negara. Pernyataan itu sangat tidak realistis dan cenderung “hanya” ingin berkelit dari problem yang sesungguhnya. Karena kenyataannya walaupun harga beras mahal, tetapi petani tidak bisa menikmatinya. Mengapa? Dikarenakan harga saprotan juga terus naik. Dan sepertinya ada kesan, petani sengaja “diciptakan” secara terstruktur oleh sistem ekonomi kapitalisme yang liberal untuk tetap miskin dan terpinggirkan. Jika pemerintah melihat persoalan beras ini hanya dengan sudut pandang dari tataran teknis saja. Tidak menyelesaikan problem dasarnya maka harga beras mahal dan impor beras sebagai solusi akan terus terjadi. Bahkan mungkin kondisinya justru makin hari makin buruk dan terus berulang setiap tahun. 


Dari runyamnya tata niaga (harga) beras ini menunjukkan bukti, gagalnya sistem ekonomi kapitalisme secara politik. Negara bukan bertindak sebagai penanggung jawab dan pengurus rakyat tetapi hanya hadir sebagai fasilitator dan regulator. Justru korporasilah yang mengurus berbagai urusan rakyat, dan korporasi pula yang akhirnya “suka-suka” mengatur dan mengelola ekonomi untuk mencari keuntungan semata.

Lembaga Bulog dan BUMN yang seharusnya melayani dan membantu mengurusi kebutuhan rakyat sebagai kepanjangan tangan negara, ternyata bertindak layaknya korporasi swasta yang bersaing untuk mendapatkan profit pula. Bahkan dalam sebuah dengar pendapat di DPR RI, ternyata Bulog baru mampu menampung 20% hasil panen petani dengan harga yang wajar (harga ketentuan pemerintah), dan ini berarti 80% dikuasai pengusaha. 

Sedangkan kegagalan sistem ekonomi kapitalisme pada aspek ekonomi adalah dengan paham kebebasan dan mekanisme pasar bebas, maka meniscayakan munculnya korporasi-korporasi raksasa, karena mereka memiliki modal yang sangat besar. Yang dengan kekuatan itu akhirnya seluruh aspek rantai usaha pertanian mereka kuasai (lahan, produksi, distribusi, pasar bahkan importasi). 

Maka sistem ekonomi kapitalisme yang penerapannya dibantu sistem demokrasi melahirkan oligarki pengusaha yang mengontrol (“mengendalikan”) pemerintahan yang lemah, abai, dan akhirnya gagal mengurusi rakyat. Sehingga yang mengurusi rakyat bukanlah negara tetapi “diserahkan” kepada korporasi. 

Lalu bagaimana dengan sistem ekonomi Islam dalam mengurusi kebutuhan pokok (dasar) rakyat?. Dalam sistem ekonomi Islam, pada aspek politik dinyatakan dengan tegas, bahwa negara bertanggung jawab penuh menjamin kebutuhan pokok bagi seluruh rakyat. Kepala negara yang dipegang oleh seorang khalifah menjadi penanggung jawab sekaligus pelaksana. Dan khalifah dilarang secara syar’i menyerahkan tanggung jawab dan pelaksanaannya kepada korporasi. 

Sedangkan pada aspek produksi, kebijakan pertanian yang akan dijalankan mencakup dua strategi, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi. Kedua strategi ini diikuti dengan penerapan hukum pertanahan yang akan menjamin lahan pertanian secara optimal berproduksi, tidak ada lahan-lahan pertanian yang nganggur serta dimudahkannya kepemilikan lahan bagi para petani.

Dan pada aspek distribusi, kehadiran negara mengawasi pembeli dan penjual, akan menjamin sistem distribusi dan harga terbentuk secara wajar. Negara melarang dan melakukan penegakan hukum secara tegas dengan sanksi sesuai syari’at Islam terhadap praktik kartel, tengkulak, riba, penimbunan dan sebagainya, yang dapat mengakibatkan distribusi terganggu.

Rasulullah Saw dalam sabdanya menegaskan dengan sangat tegas : “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya”. (HR Muslim dan Ahmad),

Dalam hadits yang lain, yaitu HR Muslim, Rasulullah Saw juga menegaskan, “Khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.”.

Maka tidak ada hal yang lebih baik dan lebih sempurna dalam mengatur urusan umat manusia secara umum dan khususnya terkait kebutuhan pokok (beras) selain sistem Islam. Sehingga kewajiban menerapkan syariah Islam kaffah dalam kehidupan setiap muslim tidak bisa ditawar-tawar. Dan kehidupan seperti itu hanya bisa terlaksana jika umat Islam disatukan dengan sebuah naungan khilafah.

Wallau a’lam bishawab
Kota Raja, 6 Maret 2024


Oleh: A Darlan Bin Juhri
Aktivis Dakwah dan Konsultan Bisnis Syariah

Eksploitasi ART Membutuhkan Solusi Tuntas dari Khilafah


Tinta Media - Kasus penganiayaan asisten rumah tangga (ART) kembali terjadi di negeri ini.  Terdapat  lima orang asisten rumah tangga yang masih di bawah umur menjadi korban penganiayaan oleh majikannya di Kawasan Jatinegara, Jakarta Timur. Mereka nekat melarikan diri dengan mempertaruhnya nyawa karena harus memanjat pagar tinggi yang berkawat duri, Senin 12/2/2024 sekitar pukul 02.30 WIB. 

Seorang tetangga yang menjadi saksi mata Vina (39) mengatakan, kelima ART menangis dan ketakutan saat berusaha kabur dari rumah majikannya. Penganiayaan tersebut diketahui saat kelima korban melarikan diri dari rumah tempat mereka bekerja. 

Vina mengatakan bahwa selama bekerja di rumah majikannya, salah satu tubuh korban ada yang sampai disetrika. Bahkan, di antara mereka ada yang dipaksa harus memukul kepala mereka sendiri apabila dianggap berbuat salah oleh majikan. Tak hanya itu, para korban mengaku dipaksa bekerja tiada henti dan melebihi waktu jam kerja pada umumnya. Mereka pun kerap telat diberi makan oleh majikan. (Megapolitankompas.com, 17/2/2024)

Ironis, kasus yang menimpa ART seakan tidak pernah berakhir. Kasus ini hanya satu dari banyak penyiksaan yang kerap dialami oleh ART di tempat mereka bekerja. Peristiwa ini semakin menunjukkan rusaknya hubungan kerja karena perlakuan yang tidak manusiawi yang dialami oleh pekerja. 

Selain masalah gaji dan hak-hak yang lain, beberapa pihak menjadikan kekerasan dan eksploitasi ART untuk mendorong pemerintah segera mengesahkan P-PRT. Bahkan, global pun memberikan perhatian besar dalam hal PRT.

Semua ini akibat penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan relasi kuasa sebagai alat kezaliman terhadap sesama. Tidak ada penegakan hukum yang mampu mewujudkan keadilan antara pekerja dan pemberi kerja (majikan). Pihak yang memberikan modal dan kuasa selalu diposisikan sebagai pihak yang istimewa sehingga tindak kezaliman seakan-akan disahkan. 

Lemahnya negara dalam melindungi nasib ART telah nampak dengan adanya RUU P-PRT. Meski telah resmi menjadi inisiatif DPR RI dan segera akan dibahas di tingkat Badan Legislatif DPR RI, tetapi UU ini tidak dapat menjamin bahwa nasib perempuan di negeri ini, khususnya pekerja rumah tangga (ART) akan berubah menjadi lebih baik.

Selama ini kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan oleh majikan terhadap ART juga tidak mendapatkan hukuman yang tegas dan menjerakan pelaku. Pelaku penganiayaan yang menyisakan luka fisik dan batin hanya dihukum penjara, bahkan dalam beberapa kasus pembunuhan yang dilakukan terhadap ART hanya divonis puluhan tahun penjara.

Di sisi lain, kemiskinan dan rendahnya pendidikan membuat seseorang tidak memiliki nilai tawar. Hal tersebut menambah potensi kezaliman pekerja oleh pemberi kerja. Faktanya, masih banyak penduduk negeri ini yang hidup dalam kemiskinan. Pendidikan di negeri ini pun sangat rendah.

Maka, kemiskinan yang terjadi di negeri ini adalah karena kesalahan sistem ekonomi yang diterapkan, yakni sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini telah membolehkan pihak swasta atau asing melakukan perampasan SDA di negeri ini. Padahal, jumlah SDA yang begitu besar mampu membuka lapangan pekerjaan  yang sangat luas dan beragam bagi rakyat. 


Selain itu, sistem kapitalis yang diadopsi hampir semua negara di dunia ini sangat eksploitatif terhadap perempuan. Sistem kapitalis telah berhasil memisahkan agama dari kehidupan, maka tak heran pekerjaan sebagai ART dimiliki masyarakat negeri ini. Pasalnya, demi memenuhi kebutuhan hidup, siapa pun rela melakukan pekerjaan apa saja asal bisa menghasilkan uang. 

RUU P-PRT yang digadang-gadang mampu memberikan perlindungan hingga jaminan ketenagakerjaan terhadap ART, selama 20 tahun lebih belum juga disahkan. Kalaupun disahkan, negara dipastikan tidak akan mampu memberikan perlindungan hakiki mengingat pembuatan UU dalam sistem demokrasi hanya formalitas, tidak menyentuh akar masalah.

Umat manusia saat ini membutuhkan aturan yang bisa menjaga dan melindungi masyarakat dari penganiayaan, bahkan eksploitasi, khususnya terhadap ART. Aturan tersebut ialah aturan yang berasal dari Sang Pencipta, yaitu aturan Islam, karena Islam adalah agama yang paling sempurna yang bisa menyelesaikan segala permasalahan yang ada saat ini.

Oleh sebab itu, pelindungan pekerja seperti ART hanya terealisasi dalam penerapan Islam secara kaffah di bawah institusi Islam. Islam memandang transaksi ijarah antara pekerja dan pemberi kerja adalah hubungan yang terikat antara aturan Allah dan Rasul-Nya. Paradigma ini akan membuat ART terhindar dari kezaliman. 

Dalam Islam, upah ditentukan berdasarkan manfaat yang diberikan pekerja kepada para pemberi kerja, baik manfaat itu lebih besar daripada kebutuhan hidup atau lebih rendah.

Penetapan upah merupakan kesepakatan antara pekerja dan pemberi kerja. Bukan hanya besaran upah ketentuan jenis pekerjaan, waktu bekerja dan tempat bekerja sudah jelas dalam kesepakatan awal. Jenis pekerjaan dan lain-lain bukan hanya sesuatu yang samar dan berpotensi memunculkan tindakan zalim. Tak hanya sampai situ, majikan atau perusahaan wajib memberikan upah dan hak-hak buruh sebagaimana akad yang telah disepakati.

Negara pun wajib  menyelesaikan permasalahan yang terjadi antara buruh dengan majikan/perusahaan. Negara tidak boleh berpihak pada salah satu pihak. Akan tetapi, negara harus menimbang dan menyelesaikan permasalahan secara adil sesuai dengan ketentuan syariat Islam.

Negara pun memiliki sanksi yang tegas dan menjerakan bagi para pelaku kezaliman. Khilafah memiliki tanggung jawab untuk menciptakan kesejahteraan seluruh rakyat. 

Perempuan, anak, lansia diposisikan sebagai pihak yang wajib ditanggung nafkahnya oleh walinya. Jaminan kesejahteraan dan perlindungan diberlakukan untuk semua anggota masyarakat dalam khilafah.

Sabda Rasulullah Saw, 

“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia akan bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari).

Lapangan pekerjaan dalam negara Islam akan terbuka sangat luas, sebab penerapan konsep kepemilikan berdasarkan sistem ekonomi Islam telah melarang individu atau swasta menguasai harta milik umat. Sehingga, lapangan kerja akan melimpah ruah dan negara akan memiliki banyak perusahaan milik negara sehingga mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri dalam jumlah yang besar. Wallahu a’lam bis shawwab.


Oleh: Hamsia 
(Pegiat Opini)

Khilafah Islamiyyah Menguasai Dunia


Tinta Media - Ada sebuah kisah pada tahun 2019. Kala itu para penjajah melakukan sebuah rapat besar di New York. Mereka mengatakan beberapa hal, salah satunya mengenai siapa yang akan menguasai dunia di akhir zaman.

Mereka mengatakan bahwa ada 4 opsi yaitu: Amerika, China, elite global, dan khilafah Islamiyyah. 

Para penjajah pun mengatakan bahwa tiga opsi di antaranya Amerika, China, dan elite global sudah tidak layak lagi diharapkan karena sejatinya sudah bobrok dan memang harus dimusnahkan. 

Mereka mengatakan bahwa khilafah Islamiyyah yang akan menguasai dunia setelahnya yaitu pada tahun 2020an. 

Dan belum lama ini pendiri Hamas Syekh Ahmad Ismail Yassin pun mengatakan bahwa Palestina akan merdeka pada tahun 2027 sesuai perhitungan dan hadits yang beliau ketahui.

Menariknya, kita sebagai manusia biasa tidak bisa mengatakan atau meyakini kapan waktunya karena itu kuasa Allah. Manusia hanya mengikuti qada dan qadarnya Allah saja. Tugas kita hanyalah berjuang bukan malah diam begitu saja. 

Kesimpulannya penjajah saja paham siapa yang akan menguasai dunia, masa kita yang dijajah seolah anti terhadap khilafah Islamiyyah? 
Kan ya lucu gitu.

Seharusnya kita itu memperjuangkan tegaknya bukan malah menghalangi memfitnah yang justru itu merugikan diri sendiri. 

Mau menegakkan kebenaran atau tidak semua akan kembali pada yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. 

Lantas ketika diam saja, apakah tidak malu ketika di akhirat dimintai pertanggungjawaban atasnya?

Oleh: Indah Setyorini 
Sahabat Tinta Media

Selasa, 05 Maret 2024

100 Tahun Tanpa Khilafah, LBH Pelita Umat: Umat bagai Anak Ayam Kehilangan Induk dan Tak Punya Rumah



Tinta Media -- Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat Chandra Purnama Irawan, S.H., M.H., mengatakan, 100 tahun dunia tanpa khilafah, umat seperti anak ayam kehilangan induk dan tidak punya rumah pula. 

"Kini telah 100 tahun dunia tanpa khilafah, khalifah itu adalah perisai, pelindung. Maka begitu khalifah itu tidak ada, umat seperti anak ayam kehilangan induk dan tak punya rumah pula," tuturnya dalam Instagram pribadinya @chandrapurnairawan, Senin (4/3/2024). 

Ia menjelaskan, sejak khilafah Islam runtuh tahun 1924 di Turki, wilayah Khilafah Utsmani dibagi-bagi atau dipecah dengan berdirinya negara bangsa (nation state). 

"Pasca runtuh, Inggris dan Prancis membagi wilayah Khilafah Utsmaniyah/Ottoman di wilayah Arab. Prancis mendapat wilayah jajahan Suriah dan Lebanon, sedangkan Inggris memperoleh wilayah jajahan Irak dan Yordania," ungkapnya. 

"Sementara itu, Palestina dijadikan status wilayahnya sebagai wilayah internasional. Dan peristiwa sejarah Deklarasi Balfour pada 1917. Perjanjian ini menjanjikan sebuah negara Yahudi di tanah Palestina," sambungnya. 

Kemudian Ia mengatakan, saat ini Barat senantiasa menciptakan ketidakstabilan di wilayah Timur Tengah di antaranya menciptakan konflik di Suriah, Sudan dan Yaman, melakukan invasi militer di Afghanistan dan Irak serta menanamkan kaki tangan mereka. "Tujuannya adalah agar timur tengah tidak bersatu dan disibukkan oleh urusan domestik dalam negeri," ungkapnya. 

Ia mengungkapkan bahwa berdasarkan laporan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), urusan pengungsi UNHCR yang dirilis tanggal 14/06/2023 jumlah pengungsi di seluruh dunia menembus rekor 110 juta orang. 

"Mayoritas pengungsi tersebut dari negeri-negeri Muslim. Para pengungsi tersebut terancam kehilangan kewarganegaraan yang berdampak kehilangan masa depan dan kehidupan yang tidak pasti. Ada yang terkatung-katung di laut tanpa perbekalan yang memadai bisa menghadapi kematian jika tidak ada tindakan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang putus asa tersebut," paparnya. 

"Kondisi ini tidak pernah terjadi ketika negeri-negeri muslim dipersatukan dalam Khilafah, siapa pun bebas berpindah tempat dari satu wilayah ke wilayah, dari satu daratan ke daratan lain tanpa harus ditanya kebangsaan, paspor dan visa," pungkasnya.[] Alfia Purwanti

Minggu, 03 Maret 2024

Sebuah Puisi di Tanggal 3 Maret

Tinta Media - Bagi banyak manusia
3 Maret adalah hari-hari biasa
Seperti hari-hari lainnya
Padahal itu hari malapetaka dunia
bukan cuma untuk umat Islam saja.

3 Maret 1924 memang telah berlalu lama
Sejak hari itu umat Islam tak lagi punya pemimpin sedunia
Sejak itu mereka tak lagi mampu merahmati alam mayapada
Persatuan umat tinggal fatamorgana
Disekat-sekat nasionalisme negara bangsa.

Tak terbayangkan ada "Jalan al-Khawarizmi" di tengah kita
Karena penemu aljabar itu hidup di Uzbekistan sana
Tak ada juga "Salahuddin al-Ayubi" jadi nama lapangan kita
Karena pengusir tentara Salib itu ada di Mesir sana
Padahal mereka orang-orang hebat nenek moyang kita.

3 Maret 1924 memang gerbang ke tak berdaya
Setelah sekian abad sehasta demi sehasta
Umat Islam mengalami kemunduran jiwa
Ketika mereka mulai takut mati dan makin cinta dunia
Meski jumlahnya bermilyar tapi bagai buih di samudra.

Puluhan juta umat Islam punya tentara bersenjata
Tapi tak mampu membebaskan bumi Palestina
Puluhan juta kilometer persegi negeri kaya sumberdaya
Tapi tak mampu menjadikan umat ini sejahtera
Karena tidak bersatu diatur dalam sistem yang sempurna.

Dunia kini tak memiliki mekanisme yang berhasil guna
Melenyapkan penjajahan dalam segala bentuknya
Mengatasi berbagai krisis yang menghadang di depannya
Menyuruh yang makruf dan mencegah yang munkar di tingkat dunia
Dengan cara-cara berwibawa yang makin dekat kepada-Nya.

Tetapi 3 Maret 1924 bukan akhir segalanya
Allah hadirkan kini orang-orang yang tampak sederhana
Mereka tak pernah bertemu Nabi, tetapi membenarkan kalimatnya
Bahwa khilafah ala minhanjin nubuwwah akan kembali ke dunia
Bahkan meneruskan bisyarah menaklukkan Roma.

Mereka menolak memakai kekerasan apalagi bersenjata
Dan mereka juga tak akan ikut permainan demokrasi utopia
Karena kemunduran jiwa harus diobati dengan pemikiran mulia
Hanya yang sehat isi akalnya akan melakukan perubahan nyata
Dan itulah jalan yang dicontohkan Rasulullah Nabi kita

Wahai umat yang Muhammad lebih dicintainya
Janganlah hidup kita di dunia yang sementara
Berputar-putar dalam kesibukan semu yang sia-sia
Melanjutkan kehidupan Islam adalah persoalan utama
Yang akan menjadi saksi untuk kita di akherat sana.

Oleh: Prof. Fahmi Amhar
Cendekiawan Muslim 

#puisiFahmiAmhar
3 Maret 2015


Ibu, 100 Tahun Tanpamu

Tinta Media - Ibu,
Dulu kami bersama,
Hidup berdampingan dengan bahagia
Dulu kami aman dan nyaman, Bersatu padu di bawah perlindunganmu

Namun, 
Tepat 100 tahun yang lalu
Semua hilang tak bersisa
Semua lenyap ditelan angkara
Sungguh,
Konspirasi jahat telah membuatmu musnah

Di depan mata kami
Mereka menghujamkan pisau bermata dua
Tepat di pusat jantungmu
Melalui tangan penghianat laknatullah
Yang mengaku sebagai saudara

Ibu,
Dialah yang melakukan tipu daya
Hingga kami percaya
Hingga kami turut bersama-sama 
Memperdalam tikaman dengan kejam
Hingga engkau diam tak bergerak

Ibu,
Kami terbelalak
Kami terpanah
Baru sadar, tangan-tangan kami turut berlumuran darah 
Bukan sebagai suhada
Tetapi sebagai orang yang kalah

Ibu,
Di depan mata kami
Jasadmu dikubur paksa
Padahal, masih ada napasmu yang tersisa
Hingga satu-persatu putramu
Meninggalkan dan melupakanmu
Seolah engkau tak pernah ada

Kini,
Tepat 100 tahun tanpamu
Kami lapar
Kami terlantar
Kami teraniaya
Kami dibantai
Kami diperbudak
Kami diberangus

Kapada siapa kami mengadu?
Kepada siapa kami bersedu?

Anjing-anjing itu
Mereka tidak pernah puas
Mereka tidak pernah kenyang
Mereka selalu lapar
Mereka selalu rakus
Memperebutkan kami sebagai makanan

Ibu,
Kini kami sadar
Betapa berartinya dirimu
Betapa kami merindukanmu
Betapa kami membutuhkanmu

Janji ini terpatri dalam sanubari
Menancap kuat tak tergoyahkan
Dengan pertolongan Allah
Kami akan berjuang
Mengganti organ-organ rusak
Yang membuat engkau tertidur panjang
Hingga kembali tegak bak mercusuar

Bangunlah, Ibu!
Tepat di 100 tahun tanpamu 
Saatnya engkau bangkit
Saatnya engkau berdiri tegak
Sebagaimana bisyarah Rasul

ثُمَّ تَكُوْنُ خِلآفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ 

Yang akan menjadi perisai
Bagi anak-anakmu
Di seluruh dunia

Sidoarjo, 3 Maret 2024

Oleh: Ida Royanti
Tim Editor Tinta Media

Sabtu, 03 Februari 2024

Apakah Narasi Khilafah Benar-Benar Ancaman?


Tinta Media - Istilah khilafah diartikan sebagai sistem kepemimpinan umum bagi seluruh umat yang di dalamnya diterapkan hukum-hukum Islam dan menyampaikan dakwah Islam ke seluruh alam. Pemimpinnya disebut khalifah yang bermakna pengganti nabi dalam melanjutkan kepemimpinannya terhadap umat.

Sistem pemerintahan ini bisa dianggap sebagai khilafah ketika di dalamnya menerapkan aturan-aturan Islam selaku ideologi atau cara pandang hidup yang berasaskan Islam dari akar hingga ke daun. Sistem ini meneladani bagaimana cara kepemimpinan Nabi Muhammad beserta Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan roda pemerintahan. 

Meskipun berbeda penguasa, tetapi sistem yang dijalankan tetap berpegang pada prinsip Islam yang menyatukan umat di seluruh belahan dunia, utamanya umat muslim. Namun, tidak menutup kemungkinan, penerapan sistem ini memberikan peluang bercampurnya masyarakat non-Islam.

Ini menjelaskan bahwa kehadirannya bukanlah sebuah problem, apalagi menjadi sebuah ancaman, karena keberadaan sistem Islam bertujuan untuk menyatukan umat, tanpa ada perbedaan serta mampu memberikan solusi problematika hidup yang terjadi di tengah gempuran hidup saat ini. Hal ini karena sistem Islam tidak berasal dari manusia. Nabi Muhammad adalah pelaksana pertama penerapan sistem Islam dalam tatanan kenegaraan.

Nyatanya, sistem Islam jelas terikat pada Allah dan bersumber dari-Nya sehingga menihilkan sangkaan bahwa sistem ini bersifat lemah.

Berbeda memang ketika sistem yang digunakan merupakan sistem yang dibentuk oleh manusia, yang didasari oleh rasa tak pernah puas. Maka, jelaslah bahwa kehidupan yang diatur oleh sistem buatan manusia ini akan berpihak kepada orang-orang yang memiliki kepentingan di dalamnya, sehingga menihilkan harapan keadilan, kesejahteraan, dan juga perdamaian.

Namun, dalam kabar yang disampaikan oleh Beritasatu.com dinyatakan bahwa ada bentuk seruan oleh Muhammad Iqbal Ahnaf dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, yang mengingatkan bahwa pemerintah dan masyarakat harus mewaspadai narasi-narasi kebangkitan khilafah. Narasi ini dianggap memanfaatkan momentum yang  bertepatan dengan 100 tahun runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah.

Ketakutan ini menunjukkan bahwa umat masih diombang-ambingkan oleh narasi-narasi kebencian, fobia dan sangkaan yang berlebihan terhadap sistem Islam, sehingga mereka mengambil kesimpulan sendiri tanpa mendalami historis serta seruan-seruan wajib yang dikabarkan Allah kepada umatnya.

Memang benar, keberadaan sistem Islam bagaikan utopia karena belum pernah dirasakan oleh umat sekarang ini. Namun, fakta keberadaannya di dalam sejarah yang mampu merombak peradaban buruk menjadi gemilang tak akan mungkin dimungkiri. 

Elon Musk berkata, "Ketika Roma runtuh, Islam bangkit. Anda memiliki kekhalifahan yang baik, sedangkan Roma buruk. Itu akhirnya menjadi sumber pelestarian pengetahuan dan banyak kemajuan ilmiah.”

Pernyataan ini menjadi gambaran bahwa keberadaan sistem Islam, yakni khilafah bukanlah ancaman, tetapi berkah. Keberadaannya telah dikabarkan dalam sebuah hadis. 

"Setelah itu akan terulang kembali periode khilafah ‘ala minhaj nubuwwah. Kemudian Nabi Muhammad saw. diam.” (HR Ahmad; Shahih).

Bagaimana bisa, orang yang menyandang sebagai non-Islam saja yakin terkait gambaran kebaikan yang dibawa kekhilafahan, sedangkan kita yang mengaku sebagai muslim malah tidak yakin dan cenderung fobia dengan istilah-istilah keislaman? Wallahua'lam.


Oleh: Erna Nuri Widiastuti S.Pd 
(Aktivis Muslimah)

Senin, 29 Januari 2024

Benarkah Narasi Khilafah Perlu Diwaspadai?


Tinta Media - Sejarah panjang Khilafah Islam penuh dengan kesejahteraan dan keadilan bagi umat manusia. Untuk itu, umat harus berjuang mewujudkan kesejahteraan dan keadilan serta keamanan bagi manusia bersama partai ideologi yang ingin melangsungkan kembali kehidupan Islam melalui tegaknya Khilafah. Melihat jejak rekam lamanya sejarah Khilafah yang telah menguasai dunia selama 13 abad. Yaitu, Khilafah sebagai pemerintahan Islam, yang dipimpin oleh seorang Khalifah wajib adanya. Karena, sistem Khilafah diambil dari Wahyu Allah SWT, dan dalil-dalilnya sudah cukup jelas. 

Allah telah berfirman, Rasulullah bersabda:
"Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian Wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu. (TQS. Al Maidah {5} : 49). 

Rasulullah bersabda: 

"Sesungguhnya Imam/Kholifah itu laksana perisai,  tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya. (HR. Muslim) 

Maka dari itu, saat ini menegakkan Khilafah menjadi mahkota kewajiban bagi kaum Muslim, untuk diperjuangkan. Khilafah tidak boleh dianggap sebagai ancaman, sebab Khilafah sudah membuktikan pada dunia bahwa umat dalam naungan Khilafah kesejahteraan dan keamanannya terjamin. Berbeda dengan hari ini yang justru tampak kerusakan nyata di berbagai bidang dengan penerapan Kapitalisme - Sekularisme.

Pemikiran sesat terus diaruskan oleh musuh Islam ke tengah-tengah masyarakat untuk mencegah kebangkitan Islam, bahkan mereka mewanti-wanti masyarakat dan pemerintah untuk mewaspadai narasi-narasi kebangkitan Khilafah dan ini muncul menjelang 100 tahun runtuhnya kekhilafahan Utsmaniyah, termasuk menyatakan ada ancaman ideologi transnasional, mengingat pada 2024 bertepatan dengan 100 tahun runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. 

Oleh: Reni Tresnawati
Sahabat Tinta Media

Jurnalis: 100 Tahun Dunia Tanpa Khilafah



Tinta media - Jurnalis Joko Prasetyo (Om Joy) mengatakan, sudah 100 tahun dunia tanpa Khilafah. 

“Sudah seratus tahun kita hidup tanpa khilafah, padahal secara 𝑠𝑦𝑎𝑟'𝑖 kaum Muslim tak boleh hidup tanpa ada baiat di pundak khalifah lebih dari tiga hari saja,” ungkapnya kepada Tinta Media, Rabu (24/1/2024). 

Om Joy mempertanyakan, apakah dosa umat Islam kurang banyak sehingga masih abai saja akan fardhu kifayah menegakkan khilafah? 

“Padahal Allah Swt. mewajibkan kita 𝑢𝑑𝑘ℎ𝑢𝑙𝑢 𝑓𝑖𝑠𝑠𝑖𝑙𝑚𝑖 𝑘𝑎𝑎𝑓𝑓𝑎𝑎ℎ (masuklah ke dalam Islam secara totalitas). Apakah kita mengira Islam 𝑟𝑎ℎ𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑙𝑖𝑙 '𝑎𝑙𝑎𝑚𝑖𝑛 akan tercapai bila kita menerapkan syariah Islam setengah-setengah?” Tanyanya retoris. 

Rasulullah saw. menegaskan khalifah adalah 𝑗𝑢𝑛𝑛𝑎ℎ (perisai/pelindung). “Apakah kita kurang sengsara apa diperbudak kafir penjajah melalui sistem kufur demokrasinya?” tandasnya. 

Ia menerangkan, sudah seratus tahun kaum muslimin hidup terpecah belah lebih dari 57 negara bangsa, padahal Islam mewajibkan hanya bernaung di bawah satu khalifah saja untuk Muslimin sedunia. 

Cukup! Seratus tahun tanpa khilafah sudah terlalu lama. “Saatnya kaum Muslim bangkit membuang sistem kufur jebakan penjajah seraya berjuang menegakkan khilafah warisan Rasulillah dan para khalifah rasyidah! 𝐼𝑡 𝑖𝑠 𝑡𝑖𝑚𝑒 𝑡𝑜 𝑏𝑒 𝑜𝑛𝑒 𝑢𝑚𝑚𝑎ℎ, sekaranglah waktunya untuk menjadi umat yang satu di bawah naungan 𝑘ℎ𝑖𝑙𝑎𝑓𝑎ℎ '𝑎𝑙𝑎 𝑚𝑖𝑛ℎ𝑎𝑗𝑖𝑛 𝑛𝑢𝑏𝑢𝑤𝑤𝑎ℎ. Allahu Akbar![] Muhar
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab