Tinta Media: Keuangan
Tampilkan postingan dengan label Keuangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Keuangan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 23 November 2024

AEPI Ungkap Kekuatan Keuangan Indonesia Pindah ke Oligarki

Tinta Media – Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng mengungkapkan, bahwa  kekuatan keuangan Indonesia telah dipindahkan ke tangan pihak swasta (oligarki) yang merupakan bagian dari jaringan keuangan global. 

“Kekuatan keuangan Indonesia telah dipindahkan ke tangan pihak swasta (oligarki) yang merupakan bagian dari jaringan keuangan global,” tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (17/11/2024).

Menurutnya, pemindahan keuangan tersebut telah dilakukan pada saat amandemen UUD 1945 sehingga secara sah dan legal jaringan kekuasaan keuangan global mengendalikan atau mengontrol keuangan Indonesia. 

“Setiap sen yang dihasilkan dalam jerih payah ekonomi Indonesia mengalir ke kantong-kantong jaringan keuangan global,” bebernya.

Ia menyampaikan bukti, tambahan dalam APBN Indonesia setiap tahun hanya sekitar 300-400 triliun rupiah, sementara pada saat yang sama setiap tahun anggaran APBN harus membayar utang dan bunga utang sebesar 500-600 triliun rupiah.

“Tidak hanya itu, APBN Indonesia mengalami defisit dan harus menambah utang baru senilai 700-800 triliun rupiah setiap tahun,” imbuhnya. 

Artinya, ia menjelaskan, ekonomi Indonesia itu sepenuhnya bekerja sebagai abdi dari jaringan keuangan internasional yang ada di dalam negeri.

“Ekonomi Indonesia tidak akan pernah dapat meningkatkan atau menambah kapasitasnya, namun akan terus menyempit atau mengecil,” simpulnya memungkasi penuturan.[] Muhammad Nur

Jumat, 15 November 2024

Akuntabilitas Keuangan, Mungkinkah Ada dalam Sistem Kapitalisme?



Tinta Media - Pembangunan desa saat ini sedang jor-joran dilakukan pemerintah dengan anggaran fantastis yang telah digelontorkan, yakni Rp609 triliun. Harapannya, akan terwujud kesejahteraan masyarakat desa. Namun faktanya, masyarakat desa belum sepenuhnya merasakan manfaat dari anggaran yang besar itu.

Hal inilah yang menjadi topik pembahasan dalam kegiatan Workshop Evaluasi Pengelolaan Keuangan dan Pembangunan Desa Tahun 2024. Dicky Achmad Sidik sebagai Pejabat sementara (Pjs) Bupati Bandung mengatakan bahwa pengelolaan keuangan yang akuntabel di desa-desa menjadi prasyarat utama untuk mencapai pembangunan yang efektif dan berdampak. Kabupaten Bandung memiliki 270 desa yang tersebar di 31 kecamatan. Setiap desa memegang peranan vital dalam mendukung pembangunan daerah.

Workshop tersebut mengambil tema 'Pengelolaan Keuangan Desa yang Akuntabel Dalam Rangka Percepatan Transformasi Keuangan yang Inklusif dan Berkelanjutan'. Acara yang dihadiri oleh jajaran organisasi perangkat daerah, para camat, dan kepala desa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bandung ini memberikan pembekalan kepada para kades terkait tata kelola keuangan yang baik serta praktik-praktik terbaik dalam melaksanakan pembangunan desa.

Desa adalah tombak pembangunan nasional. Oleh karena itu, pemerintah menggelontorkan anggaran yang tak sedikit. Sejak periode 2015-2024, total anggaran sudah mencapai Rp609 triliun. Sayangnya, angka yang besar tak banyak mengubah kondisi pembangunan di desa. 

Faktanya, masih banyak jalan dan jembatan yang rusak, bangunan sekolah yang jauh dari kata layak, rutilahu pun masih banyak, minim fasilitas kesehatan, banyak kasus gizi buruk, kemiskinan, dan minimnya fasilitas publik lainnya. Tercatat dalam PDTT pada tahun 2023, jumlah desa tertinggal masih 7.154 dan desa sangat tertinggal sebanyak 4.850. Lantas, ke mana anggaran sebesar itu?

Bagaimana mungkin target percepatan pembangunan desa bisa terwujud jika anggarannya tak sepenuhnya digunakan untuk kemaslahatan rakyat? Jangan-jangan, anggaran tersebut masuk ke kantong-kantong pribadi demi memakmurkan diri dan kelompoknya? 
Faktanya, banyak kasus korupsi yang terjadi pada anggaran dana desa, di antaranya:

(1) Mantan Kades di Sukabumi melakukan korupsi dana desa ratusan juta rupiah.
(2) Mantan Kades di Tanggerang diduga melakukan korupsi dana desa untuk hiburan malam.
(3) Kades Tambakrejo Tulungagung Selatan, korupsi Rp721 juta.
(4) Mantan Kades di Tapsel buron dua tahun karena melakukan korupsi dana desa Rp595 juta.
(5) Dll.

Menurut ICW (Indonesian Corruption Wacth), pada tahun 2022 setidaknya ada 155 kasus korupsi di tingkat desa dengan tersangka sebanyak 252 orang. 

Banyaknya kasus korupsi membuktikan betapa sulitnya merealisasikan pengelolaan keuangan yang akuntabel. Harus kita ketahui bahwa penyebab dari persoalan ini adalah imbas dari penerapan sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini berorientasi pada keuntungan dan manfaat duniawi saja dan tidak melibatkan agama untuk mengatur kehidupan dan bernegara. Maka, segala cara akan dilakukan untuk mendapatkan kebahagian dalam bentuk materi. Halal dan haram tidak jadi soal, bahkan tidak peduli banyak orang yang terzalimi karena penerapan sistem ini.

Selain korupsi, tata kelola pembangunan desa patut dievaluasi ulang. Saat ini, pembangunan di desa maupun di kota tak mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Penyebabnya adalah pembangunan ala kapitalisme. Buktinya, pembangunan hanya bertumpu pada investasi, bukan pada kemaslahatan masyarakat di desa. Pembangunan hanya melanggengkan kepentingan kapitalis. 

Salah satu contohnya adalah pembangunan tempat wisata yang seharusnya menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Faktanya, yang meraup keuntungan adalah para pemilik modal yang berinvestasi. Mereka membangun restoran dan resort mewah. Akhirnya, usaha kecil masyarakat setempat tak mampu bersaing dan hanya mendapat sedikit keuntungan saja.

Penyebab lainnya adalah negara abai dalam memberikan fasilitas publik. Penguasa malah menyerahkan urusan fasilitas publik kepada pihak swasta. Akhirnya, pembangunan hanya difokuskan di area-area yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sedangkan fasilitas di desa seperti jalan, dan  jembatan dibiarkan rusak. 

Sistem yang memberikan kebebasan dalam berekonomi ini adalah sistemnya para oligarki, lebih berpihak pada konglomerat dan menindas rakyat bawah. Oleh karena itu, sampai kapan pun dan apa pun upaya yang dilakukan penguasa untuk memakmurkan rakyat, tidak akan pernah berhasil. 

Sebenarnya yang dimakmurkan adalah rakyat kalangan atas, bukan kalangan bawah. Ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin jelas menjadi ciri khas penerapan sistem ekonomi kapitalisme. 

Kalau sudah seperti itu, masihkan kita berharap pada sistem kapitalisme untuk mengelola keuangan secara akuntabel? Sungguh mustahil!

Berbeda halnya saat sistem Islam diterapkan oleh negara khilafah dalam mewujudkan kesejahteraan umat. Khilafah bertanggung jawab penuh atas segala kebutuhan rakyat. Pembangunan pun akan dilakukan secara adil dan sesuai kebutuhan daerah tersebut. Begitu pun kebutuhan sandang, pangan, papan, juga kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Syariat Islam diterapkan sebagai landasan dalam mengatur seluruh aspek kehidupan dan bernegara. Negara fokus pada kemaslahatan rakyat bukan kepentingan korporasi. Seluruh kebijakan dilaksanakan dengan ketentuan syariat, termasuk dalam hal mengelola keuangan.

Prinsip keadilan, kejujuran, transparansi, dan akuntabel adalah pilar berekonomi dalam Islam. Kehidupan ekonomi yang berkeadilan, dan akuntabel menjauhkan manusia dari kepemilikan harta secara zalim.

Pemerintah khilafah bersifat sentralisasi atau terpusat. Setiap kebijakan termasuk pembiayaan pembangunan di daerah harus diketahui dan mendapat persetujuan dari khalifah. Pembiayaan pembangunan desa maupun kota dilakukan secara mandiri, tanpa ada intervensi dari pihak luar, seperti skema investasi ataupun utang luar negeri.

Sistem ekonomi Islam menjadikan negara mampu membiayai seluruh kebutuhan rakyat. Kekuatan baitul mal akan meniscayakan hal tersebut. Khilafah tidak akan berlepas tangan dan berupaya keras agar seluruh rakyat mampu mengakses fasilitas publik dengan mudah dan gratis.

Maka, hanya negara khilafah yang menerapkan sistem Islam, yang bisa mewujudkan pengelolaan keuangan yang akuntabel demi kemaslahatan seluruh rakyat. Wallahu'alam bishawab.



Oleh: Neng Mae
Sahabat Tinta Media 

Selasa, 11 Juli 2023

Pemutihan Perkebunan Sawit Ilegal di Kawasan Hutan Bisa Didakwa Turut Merugikan Keuangan Negara

Tinta Media - Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan ada 3,3 juta hektar lahan sawit berada di dalam kawasan hutan.

Luas lahan ilegal yang sangat besar tersebut pasti sudah berlangsung sangat lama, dan terkesan ada pembiaran dari pemerintah. 

Pemerintah seharusnya segera menindak pengusaha-pengusaha nakal tersebut.

Tetapi, bukannya menindak, pernyataan pemerintah malah sebaliknya, terkesan sangat arogan, bermental tirani seperti di masa kolonial.

Pemerintah mengatakan akan “memutihkan” kebun sawit ilegal yang menyerobot kawasan hutan tersebut.

https://bisnis.tempo.co/amp/1740714/33-juta-hektare-lahan-sawit-di-kawasan-hutan-luhut-pakai-logika-saja-kita-putihkan-terpaksa

Artinya, para kriminal dan penjarah kawasan hutan tersebut bukannya dihukum, tapi malah mau diberi hadiah, dengan melegalkan tindakan kriminalnya yang merugikan keuangan negara, merugikan perekonomian negara, dan merusak lingkungan, asalkan bayar denda administratif dan menyetor pajak. Pemerintah berdalih, sudah sesuai Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja.

Pernyataan dan logika pemerintah ini sangat tidak normal. Bagaimana bisa, sebuah tindak pidana diganjar dengan hadiah?

Pemerintah tidak bisa “memutihkan” perkebunan sawit ilegal di kawasan hutan. Ada beberapa alasan untuk itu.

Pertama, Pasal 110A hanya berlaku bagi mereka yang sudah mempunyai *Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan.* Sedangkan Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan pasti bukan untuk perkebunan sawit. Artinya, perkebunan sawit di dalam kawasan hutan pasti tidak mempunyai Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan, sehingga Pasal 110A tidak berlaku bagi mereka.

Kedua, Penggunaan Kawasan Hutan tidak boleh mengubah fungsi pokok Kawasan Hutan (pasal 38, ayat (2)). Sehingga Pasal 110B UU Cipta Kerja tidak bisa dijadikan alasan untuk memberi Perizinan Berusaha kepada pengusaha sawit, dengan mengubah fungsi pokok kawasan hutan menjadi perkebunan.

Pasal 105, huruf a, UU Cipta Kerja mengatakan, setiap Pejabat yang menerbitkan Perizinan Berusaha di dalam Kawasan Hutan dan/ atau Perizinan Berusaha terkait penggunaan Kawasan Hutan di dalam Kawasan Hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun, serta denda paling sedikit satu miliar rupiah dan paling banyak sepuluh miliar rupiah.

Artinya, pejabat yang memberi Perizinan Berusaha perkebunan sawit di dalam kawasan hutan dapat pidana seperti dimaksud pasal ini.
Ketiga, penggunaan Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha, atau penggunaan Perizinan Berusaha yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan, termasuk kategori Perusakan Hutan (Pasal 1, butir 3).

Artinya, perkebunan sawit di kawasan hutan tanpa ada Perizinan Berusaha, termasuk Perusakan Hutan.

Keempat, setiap orang yang mengerjakan, menggunakan dan/atau menduduki Kawasan Hutan secara tidak sah (Pasal 50 ayat (2), huruf a), dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp7,5 miliar. 

Perkebunan sawit di kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha masuk kategori ini.

Kelima, Pasal 110A dan Pasal 110B tidak bisa menghilangkan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara seperti dimaksud UU tentang Tindak Pidana Korupsi.

Surya Darmadi, bos Duta Palma Group, divonis 15 tahun penjara (ditambah denda), karena terbukti menggunakan kawasan hutan secara ilegal untuk perkebunan sawit. Adapun luas lahan ilegal tersebut *hanya* 37.095 hektar, sangat kecil kalau dibandingkan dengan 3,3 juta hektar lahan ilegal yang mau diputihkan pemerintah.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230223140351-12-916925/surya-darmadi-divonis-15-tahun-penjara-dan-denda-rp1-miliar/amp

Vonis 15 tahun penjara kepada Surya Darmadi malah mendapat kritik dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Menurut Walhi, hukuman tersebut terlalu ringan! Karena waktu untuk memulihkan kerusakan lingkungan akibat perkebunan sawit ilegal di kawasan hutan tersebut akan lebih lama dari vonisnya. 

https://www.jawapos.com/kasuistika/amp/01438491/walhi-anggap-vonis-surya-darmadi-tidak-adil

Selain itu, Surya Darmadi juga didakwa dengan tindak pidana pencucian uang puluhan triliun rupiah.

Artinya, kasus Surya Darmadi sudah menjadi fakta hukum, bahwa penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit secara ilegal merupakan tindak pidana, sehingga tidak bisa diputihkan atau dilegalkan.

Pejabat yang melegalkan perkebunan sawit di kawasan hutan dapat didakwa ikut melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

—- 000 —-

Sabtu, 08 April 2023

Money Laundering, Buah Buruk Tata Kelola keuangan Sistem Demokrasi Kapitalisme

Tinta Media - Cendekiawan muslim Dr. Riyan M.Ag. mengungkapkan bahwa money laundering (pencucian uang) adalah buah buruk tata kelola keuangan dalam sistem Demokrasi Kapitalisme.  

“Dapat diduga kuat ini adalah buah buruk tata kelola keuangan (kemenkeu) dalam sistem Demokrasi Kapitalisme,” ujarnya dalam acara Ngaji Subuh: Ada Apa di Balik Dugaan Money Laundering 349 T dan Mangkraknya RUU Perampasan Aset? Senin (3/4/2023), di kanal Youtube Ngaji Subuh.

Ia menjelaskan, permasalahan ini tidak semata-mata masalah teknis semata, tetapi ini bagian dari sistem. Dalam sistem kapitalisme lahan subur money laundering (pencucian uang) karena dampaknya akan terjadi masyarakat yang rusak, orang-orang tidak takut lagi melakukan kejahatan korupsi, dan penggelapan pajak. 

“Hal ini terjadi karena hasil kejahatan mereka itu tidak bisa diungkap oleh penegak hukum,” tegasnya.

Lanjutnya, kejahatan money laundering terjadi di sektor riil maupun nonriil. Pendapatan para pejabat dan orang-orang pelaku usaha atau pelaku bisnis melakukan cara-cara yang illegal, kemudian mereka mentransformasi pendapatan tersebut agar menjad legal. 

“Sekali lagi bukan masalah halal haram, tetapi dari yang tidak legal menjadi legal,” jelasnya.

Ia juga menjelaskan,peluang untuk melakukan itu sangat besar karena memang sistem Kapitalisme ini menghadirkan berbagai macam sistem perbankan, sistem koperasi, asuransi yang ini kemudian orang bisa memutar uang itu secara ilegal.  

“Perolehan harta dari kejahatan-kejahatan orang-orang di Dirjen Pajak, kemudian mereka berupaya memutihkan pendapatan illegal, agar tidak bisa dideteksi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” ungkapnya.


Praktik kejahatan ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi skala Internasional. Ia mencontohkan masalah yang lebih besar yaitu kasus kriminal kejahatan pajak dalam Pandora dan Panama Paper? Adanya laporan sejumlah wartawan secara internasional tentang penggelapan pajak dari perorangan maupun perusahaan. Modusnya membentuk perusahaan cangkang, Dibuat untuk mengelola dana-dana transaksi ilegal, hingga seolah-olah ini aset perusahaan. 

“Tentunya hasil ini akan dinikmati individu dan perusahaan,” pungkasnya. [] Edy Suyono
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab