Tinta Media: Ketakwaan
Tampilkan postingan dengan label Ketakwaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ketakwaan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 April 2024

Pinjol dan Makna Ketakwaan


Tinta Media - Sangat bersyukur bagi seorang muslim yang masih diberi kesempatan umur hingga bisa menjalani dan mengisi bulan Ramadan dengan penuh ketaatan kepada Allah Ta'ala. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 183 yang artinya, 

"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." 

Maka puncak dari ibadah yang dijalani selama bulan Ramadan adalah menjadi manusia yang bertakwa, yaitu ketakwaan yang penuh 100%, ketakwaan yang segera dijalankan tanpa menunda, tanpa mengulur waktu. Salah satu bentuk ketaatan kepada Allah adalah meyakini dan mengamalkan firman-Nya dalam surah Al Baqarah ayat 275, yang artinya,

"... Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ..."

Ayat di atas seakan bertentangan dengan fakta masyarakat saat ini, yang menjadikan utang disertai riba sebagai hal yang "lumrah". Bahkan, perkembangan dunia digital menjadikan utang tak hanya dilakukan di dunia nyata, tetapi "dipermudah" lewat dunia maya atas nama pinjol (pinjaman online).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan suku bunga pinjaman online mulai  tanggal 1 Januari 2024 resmi turun dari 0,4% per hari menjadi 0,3% per hari. Bagaimana dengan praktik di lapangan? Di tengah masyarakat juga marak pinjol ilegal yang penetapan bunga per harinya bahkan mencapai 5%.

Namun, beginilah keadaan masyarakat saat ini yang berada dalam kondisi sempit dan butuh pemenuhan kebutuhan, sehingga jalan tercepat adalah melalui pinjol baik yang resmi maupun ilegal. Maka tak heran, siapa pun bisa terjerat pinjol, mulai dari guru, korban PHK, ibu rumah tangga, mahasiswa, hingga pelajar SMA.

Yang membuat miris, gagal bayar tepat waktu utang pinjol melonjak pada Februari atau menjelang Ramadan. Kredit macet atau tingkat wanprestasi lebih dari 90 hari yang biasa disebut TWP 90 pinjol naik dari Rp1,78 triliun pada Januari menjadi Rp1,8 triliun pada Februari. (katadata, 2/4/2024)

Memang tidak dimungkiri bahwa kebutuhan masyarakat jelang Ramadan semakin bertambah. Di sisi lain, harga bahan kebutuhan pokok pun juga meningkat. Sehingga, walaupun gaji pegawai ditambah dan ada THR hari Raya, ternyata belum bisa menutup biaya pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dengan kondisi ini, masyarakat butuh jalan keluar agar tidak lagi terjerat utang pinjol, baik yang berbunga rendah maupun tinggi.

Islam sebagai Solusi

Ramadan telah berakhir, dan hari raya Idul Fitri baru saja dilalui. Maka, sangat penting bagi kaum muslimin, terkhusus di negeri ini agar mengingat lagi tujuan perintah puasa Ramadan, yaitu agar kita menjadi hamba yang bertakwa kepada Allah. Di antaranya yaitu, mau taat pada perintah dan larangan Allah agar tidak melakukan aktivitas yang berkaitan dengan riba. Tentu saja, memutus rantai pinjol mustahil dilakukan seorang diri. Ini membutuhkan kerja sama dari berbagai elemen agar perintah Allah ini bisa dilakukan, mulai dari ketakwaan individu, ketakwaan masyarakat, dan ketakwaan negara.

Dalam panduan ajaran Islam, negara mempunyai peran sebagai pengurus urusan umat. Negara akan membuat kebijakan agar masyarakat terpenuhi kebutuhan dasarnya, mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan yang berkualitas, hingga jaminan keamanan bagi tiap individu masyarakat. 

Dana untuk semua pembiayaan tersebut diambilkan dari pos baitul mal yang salah satu sumbernya adalah pengelolaan SDA menggunakan tata kelola syariah Islam dan hasilnya dikembalikan lagi untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.

Sehingga, di dalam kehidupan Islam, seorang laki-laki yang sudah baligh akan dimudahkan dan dimotivasi untuk giat bekerja. Negara akan membuka lapangan pekerjaan halal yang seluas-luasnya agar tidak ada laki-laki yang menganggur. Di sisi lain, edukasi terkait mengisi Ramadan dengan ketaatan bukan dengan arus konsumerisme akan terus digencarkan oleh negara. Salah satunya lewat media, sehingga kaum muslimin bisa fokus mengisi Ramadan dengan banyak beribadah, bukan banyak berbelanja.

Jika semua pengurusan di atas sudah dilakukan, tetapi masih ada warga yang ingin mengambil pinjaman, maka negara akan memfasilitasi dengan pinjaman tanpa bunga. Sehingga, ketakwaan kepada Allah Ta'ala benar-benar dilaksanakan, yaitu dengan mengamalkan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya tanpa kecuali. 

Inilah makna ketakwaan yang sesungguhnya, yakni terikat dengan syariah Islam secara kaffah. Semoga di bulan kemenangan kali ini kaum muslimin mau bersungguh-sungguh dalam upaya menjadi individu, masyarakat, dan negara yang bertakwa. Wa ma taufiqi illa billah wa ’alaihi tawakkaltu wa ilaihi unib.


Oleh: Dahlia Kumalasari
Pendidik

Kristalisasi Ketakwaan pada Individu, Masyarakat, dan Negara


Tinta Media - Bulan Ramadan telah berlalu. Dulu, Rasulullah dan kaum muslimin berjihad dan melakukan banyak kebaikan di bulan yang penuh berkah, maghfirah, dan keutamaan itu.

Apa yang sudah kita peroleh dari bulan Ramadan? Semakin giatkah kita dalam beramal saleh? Semakin taatkah kita kepada syariat Islam? Atau justru kita malah semakin jauh dan ingkar atas semua syariat Allah? Jika itu terjadi, merugilah kita.

Tujuan yang Allah tetapkan bagi orang beriman dalam melaksanakan puasa di bulan Ramadan adalah menjadi hamba yang bertakwa. 

Sebagaimana firman Allah yang termaktub dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 183, yang artinya:

"Wahai orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa."

Apakah takwa itu? Imam Ar Raghib Al-Asfahani mengatakan bahwa takwa adalah menjaga jiwa dari perbuatan maksiat, dengan meninggalkan apa yang dilarang dan menyempurnakan apa yang diperintahkan. 

Imam Nawawi juga menuturkan bahwa takwa ialah menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, menjaga diri dari kemurkaan dan Azab Allah.

Maka, takwa dalam konteks individu ini menegaskan tentang totalitasnya setiap orang yang beriman kepada Allah, beriman kepada malaikat-Nya, beriman kepada kitabullah, beriman kepada nabi dan Rasul-Nya, beriman kepada qadha dan qadar, beriman kepada hari akhir.

Ketika itu sudah dilaksanakan, akan tampak kepribadian Islamiyah dalam diri pribadi muslim itu sendiri. Jika dia dakwahkan kepada yang lain, maka akan terbentuklah masyarakat Islami.

Ketika syariat Islam ini telah mengkristal dalam diri masyarakat, maka akan mendorong terjadinya muhasabah (koreksi) kepada pemimpin yang keluar atau melenceng dari syariat Islam. Ini dalam rangka amar makruf nahi mungkar.

Ini sejalan dengan perintah Allah Swt. dalam Al-Qur'an surah Ali Imran ayat 104, yang artinya:

"Dan hendaklah di antara kamu ada  golongan umat yang menyeru pada Al khair (Islam) menyuruh berbuat kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung."

Andaikan perkara amar makruf ini dilakukan oleh individu saja tentulah kurang efektif. Ibarat satu lidi membersihkan sampah di halaman, tentunya butuh waktu lama. Namun, jika lidi itu banyak dan diikat dengan satu ikatan, maka akan lebih mudah. Ini seperti masyarakat yang diikat dengan ideologi Islam yang bersama-sama melakukan amar makruf nahi mungkar, tentu akan lebih cepat berhasil.

Persoalannya, sekarang umat ini mengalami problematika yang luar biasa besar. Ketidakadilan, penjajahan, pemerkosaan, pembunuhan, dan lain sebagainya terjadi di hampir semua negeri kaum muslimin.

Ini adalah dampak kemerosotan umat Islam itu sendiri dan majunya peradaban Barat dengan ideologi kapitalisme (ro'sun maliyun ). Dalam asasnya, ideologi ini memisahkan agama dari kehidupan. Inilah biang keladi atas terjadinya runtuhnya Daulah Islam.

Maka, terjadilah tragedi di Xinjiang, penindasan muslim Uighur, dll. mereka dilarang melaksanakan syariat Islam, dibunuh, dan dipenjara. Hal yang sama terjadi di Palestina. Hingga kini, kaum muslimin di sana dibombardir dan mengalami genosida. Hingga kini, telah jatuh korban sebanyak 30.000 lebih jiwa. Tragisnya, 13.000 lebih adalah anak-anak. Juga terjadi kepada Rohingya, Sudan, dan lain sebagainya.

Untuk mengakhiri ini semua, tentu perlu solusi komprehensif sebagai bukti ketakwaan umat Islam saat ini, yaitu dengan cara menegakkan khilafah Islamiah ala manhaj nubuwah. Ini adalah bentuk ittiba' (mengikuti) Rasul yang merupakan manifestasi keimanan kita kepada Rasul-Nya.

Sebagaimana firman Allah dalam surah Al Ahzab  ayat 63, yang artinya:

"Tidaklah pantas laki-laki mukmin dan perempuan mukmin apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada pilihan yang lain bagi mereka tentang urusan mereka."

Sebagai junnah, khilafah akan menjaga ketakwaan setiap individu dan masyarakat agar terus terikat dalam hukum syara'. Daulah khilafah akan menjaga jiwa, menjaga harta, menjaga agama, menjaga akal, dan menjaga kehormatan rakyatnya.

Maka, jelas bahwa kristalisasi ketakwaan dapat dilakukan jika individu, masyarakat, dan negara menegakan, menerapkan, dan mengemban syariat Islam yang merupakan manifestasi keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya.


Oleh: Muhammad Nur
Jurnalis

Senin, 08 Mei 2023

Ustadzah Rif'ah Kholidah: Tiga Poin Pentingnya Menjaga Ketakwaan

Tinta Media - Ustadzah Rif'ah Kholidah dari Muslimah Media Center (MMC) menjelaskan tiga poin terkait pentingnya menjaga ketakwaan.

"Mengapa takwa itu harus dijaga? Setidaknya ada tiga poin tentang urgensitas (pentingnya) menjaga ketakwaan," ujarnya dalam program Tausyiah Jelang Kemenangan: Pentingnya Menjaga Ketakwaan Pasca Ramadhan di kanal YouTube Muslimah Media Center, Ahad (30/4/2023).

Pertama, ketakwaan merupakan perkara asasi yang akan mendorong seorang muslim untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. "Sehingga akan membuat tunduk kepada hukum-hukum Allah," ujarnya. 

Kedua, ketakwaan merupakan api yang akan menyalakan kesadaran untuk memperjuangkan tegaknya hukum-hukum Allah. "Baik dalam kehidupan individu, masyarakat maupun negara," jelasnya.

Ketiga, ketakwaan itu merupakan faktor utama yang akan mendorong umat Islam  untuk mewujudkan persaudaraan dan kesatuan yang hakiki di bawah panji kalimat Lailahaillallah Muhammadur Rasulullah.

"Persaudaraan hakiki inilah yang akan mendorong seorang muslim untuk peduli terhadap urusan-urusan kaum muslimin, sehingga akan membela saudara-saudara sesama muslim dalam kebenaran dan membebaskannya dari semua bentuk penindasan, kezaliman dan penjajahan," pungkasnya. [] Muhar

Kamis, 11 Agustus 2022

Muhasabah Diri Menuju Ketakwaan kepada Allah

Tinta Media - Sobat. Umar bin Alkhaththab pernah  berkata, “ Hisablah  diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang  dan berhiaslah diri kalian untuk menghadapi hari penampakkan yang agung.”

Sobat. Allah SWT berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ  

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” ( QS. Al-Hasyr (59) : 18 )

Sobat. Kepada orang-orang yang beriman diperintahkan agar bertakwa kepada Allah, dengan melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Termasuk melaksanakan perintah Allah ialah memurnikan ketaatan dan menundukkan diri hanya kepada-Nya, tidak ada sedikit pun unsur syirik di dalamnya, melaksanakan ibadah-ibadah yang diwajibkan, dan mengadakan hubungan baik sesama manusia.

Dalam ayat yang lain diterangkan tanda-tanda orang bertakwa:

۞لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۧنَ وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلۡمُوفُونَ بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَٰهَدُواْۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِي ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِۗ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ  

Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah/2: 177)

Dalam Al-Qur'an ungkapan kata takwa mempunyai beberapa arti, di antaranya: Pertama, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan diajarkan Rasulullah saw seperti contoh ayat di atas. Kedua, takut melanggar perintah Allah dan memelihara diri dari perbuatan maksiat.

Orang yang bertakwa kepada Allah hendaklah selalu memperhatikan dan meneliti apa yang akan dikerjakan, apakah ada manfaat untuk dirinya di akhirat nanti atau tidak. Tentu yang akan dikerjakannya semua bermanfaat bagi dirinya di akhirat nanti. Di samping itu, hendaklah seseorang selalu memperhitungkan perbuatannya sendiri, apakah sesuai dengan ajaran agama atau tidak. Jika lebih banyak dikerjakan yang dilarang Allah, hendaklah ia berusaha menutupnya dengan amal-amal saleh. Dengan perkataan lain, ayat ini memerintahkan manusia agar selalu mawas diri, memperhitungkan segala yang akan dan telah diperbuatnya sebelum Allah menghitungnya di akhirat nanti.

Suatu peringatan pada akhir ayat ini agar selalu bertakwa kepada Allah, karena Dia mengetahui semua yang dikerjakan hamba-hamba-Nya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, yang lahir maupun yang batin, tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan-Nya.

Sobat. Ayat 177 Surat Al-Baqarah ini bukan saja ditujukan kepada umat Yahudi dan Nasrani, tetapi mencakup juga semua umat yang menganut agama-agama yang diturunkan dari langit, termasuk umat Islam.
Pada ayat 177 ini Allah menjelaskan kepada semua umat manusia, bahwa kebajikan itu bukanlah sekadar menghadapkan muka kepada suatu arah yang tertentu, baik ke arah timur maupun ke arah barat, tetapi kebajikan yang sebenarnya ialah beriman kepada Allah dengan sesungguhnya, iman yang bersemayam di lubuk hati yang dapat menenteramkan jiwa, yang dapat menunjukkan kebenaran dan mencegah diri dari segala macam dorongan hawa nafsu dan kejahatan. Beriman kepada hari akhirat sebagai tujuan terakhir dari kehidupan dunia yang serba kurang dan fana. Beriman kepada malaikat yang di antara tugasnya menjadi perantara dan pembawa wahyu dari Allah kepada para nabi dan rasul. Beriman kepada semua kitab-kitab yang diturunkan Allah, baik Taurat, Injil maupun Al-Qur'an dan lain-lainnya, jangan seperti Ahli Kitab yang percaya pada sebagian kitab yang diturunkan Allah, tetapi tidak percaya kepada sebagian lainnya, atau percaya kepada sebagian ayat-ayat yang mereka sukai, tetapi tidak percaya kepada ayat-ayat yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Beriman kepada semua nabi tanpa membedakan antara seorang nabi dengan nabi yang lain.

Iman tersebut harus disertai dan ditandai dengan amal perbuatan yang nyata, sebagaimana yang diuraikan dalam ayat ini, yaitu:

1. Memberikan harta yang dicintai :
a. memberikan harta yang dicintai kepada karib kerabat yang membutuhkannya. Anggota keluarga yang mampu hendaklah lebih mengutamakan memberi nafkah kepada keluarga yang lebih dekat.

b. memberikan bantuan harta kepada anak-anak yatim dan orang-orang yang tidak berdaya. Mereka membutuhkan pertolongan dan bantuan untuk menyambung hidup dan meneruskan pendidikannya, sehingga mereka bisa hidup tenteram sebagai manusia yang bermanfaat dalam lingkungan masyarakatnya.

c. memberikan harta kepada musafir yang membutuhkan, sehingga mereka tidak terlantar dalam perjalanan dan terhindar dari pelbagai kesulitan.

d. memberikan harta kepada orang yang terpaksa meminta minta karena tidak ada jalan lain baginya untuk menutupi kebutuhannya.

e. memberikan harta untuk menghapus perbudakan, sehingga ia dapat memperoleh kemerdekaan dan kebebasan dirinya yang sudah hilang.

2. Mendirikan salat, artinya melaksanakannya pada waktunya dengan khusyuk lengkap dengan rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
 
3. Menunaikan zakat kepada yang berhak menerimanya sebagaimana yang tersebut dalam surah at-Taubah ayat 60. Di dalam Al-Qur'an apabila disebutkan perintah: "mendirikan salat", selalu pula diiringi dengan perintah: "menunaikan zakat", karena antara salat dan zakat terjalin hubungan yang sangat erat dalam melaksanakan ibadah dan kebajikan. Sebab salat pembersih jiwa sedang zakat pembersih harta. Mengeluarkan zakat bagi manusia memang sukar, karena zakat suatu pengeluaran harta sendiri yang sangat disayangi. Oleh karena itu apabila ada perintah salat, selalu diiringi dengan perintah zakat, karena kebajikan itu tidak cukup dengan jiwa saja tetapi harus pula disertai dengan harta. Oleh karena itulah, sesudah Nabi Muhammad saw wafat, para sahabat sepakat tentang wajib memerangi orang yang tidak mau menunaikan zakat hartanya.

4. Menepati janji bagi mereka yang telah mengadakan perjanjian. Segala macam janji yang telah dijanjikan wajib ditepati, baik janji kepada Allah seperti sumpah dan nazar dan sebagiannya, maupun janji kepada manusia, terkecuali janji yang bertentangan dengan hukum Allah (syariat Islam) seperti janji berbuat maksiat, maka tidak boleh (haram) dilakukan, hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah saw:

Tanda munafik ada tiga: yaitu apabila ia berkata, maka ia selalu berbohong, apabila ia berjanji, maka ia selalu tidak menepati janjinya, apabila ia dipercayai, maka ia selalu berkhianat. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah r.a.).

5.  Sabar dalam arti tabah, menahan diri dan berjuang dalam mengatasi kesempitan, yakni kesulitan hidup seperti krisis ekonomi; penderitaan, seperti penyakit atau cobaan ; dan dalam peperangan, yaitu ketika perang sedang berkecamuk. 
 
Mereka itulah orang-orang yang benar dalam arti sesuai dengan sikap, ucapan dan perbuatannya dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Abu Laits Assamarqandi  menjelaskan mengenai Tawakkal  terbagi menjadi dua : 1. Tawakkal  tentang rezeki, maka tidak boleh  gelisah, prihatin di dalamnya. 2. Tawakkal tentang pahala amal, harus percaya dan tenang  pada  janji Allah SWT dan khawatir  terhadap amalnya, apakah diterima  atau tidak, engkau belum tahu persis duduk masalahnya.

Yuk Hijrah Total Lakukan saja. Jangan banyak mikir, jangan banyak tapi, jangan banyak nanti dan jangan banyak nunda. Jangan dinanti-nanti keburu mati…Yakinlah sobat!  Bahwa Allah akan tepati janji-Nya. Allah akan tunjukkan jalan. Allah akan hadirkan keajaiban. Allah akan berikan pertolongan.

Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Goreskan Tinta Emas. Dosen Pascasarjana IAI Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab