Tinta Media: Kesehatan
Tampilkan postingan dengan label Kesehatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kesehatan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 Juni 2023

RUU KESEHATAN: TERJADI PERUBAHAN PARADIGMA DARI HEALTH CARE MENJADI HEALTH INDUSTRY?

Tinta Media - Merujuk konsideran atau dasar pertimbangan didalam RUU Kesehatan terdapat penegasan secara jelas tanpa keraguan yaitu

Bahwa pembangunan kesehatan masyarakat semakin terbuka sehingga menciptakan kemandirian dan mendorong perkembangan industri kesehatan nasional pada tingkat regional dan global serta mendorong peningkatan layanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan kemakmuran yang berkelanjutan;

Di dalam pertimbangan tersebut terdapat 2 (dua) frasa yang dinilai mendorong liberalisasi kesehatan yaitu MENCIPTAKAN KEMANDIRIAN dan MENDORONG INDUSTRI KESEHATAN.

Mengutip pendapat Shaffer dalam bukunya yang berjudul Child Development, menyatakan kemandirian adalah kemandirian sebagai kemampuan untuk membuat keputusan dan menjadikan dirinya sumber kekuatan diri sehingga tidak bergantung kepada orang lain atau ”the capacity to make decisions independently, to serve as one`s own source of strength, and to otherwise manage one`s life tasks without depending on others for assistance”.

Jika berdasarkan definisi di atas, yang menjadi pertanyaan adalah apakah Pemerintah bermaksud mendorong agar rakyatnya tidak bergantung kepada Pemerintah dalam hal kesehatan? Mendorong agar rakyatnya untuk berupaya sendiri untuk memperoleh fasilitas kesehatan?

Jika itu yang dimaksud, apakah Negara tidak masuk kategori berlepas diri dari urusan rakyatnya? Menjauhkan peran negara dalam urusan pelayanan kesehatan dan cenderung menyerahkan pada mekanisme pasar. 

Padahal, kewajiban negara adalah menjamin kesehatan bagi setiap warga negara, seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 28 H ayat 1, UUD 1945 pasal 34 ayat 3, UU No. 26 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Sedangkan BPJS tidak murni tanggung jawab negara karena masyarakat turut serta menanggung biaya kesehatan dengan cara iuran, masyarakat saling bahu-membahu atau gotong royong dengan mengumpulkan iuran bulanan termasuk rakyat miskin pun mesti iuran BPJS jika ingin mendapatkan fasilitas kesehatan.

Sedangkan terkait Industri Kesehatan, apabila dimaknai perlu dikembangkan oleh negara tanpa swastanisasi/privatisasi untuk mengurangi ketergantungan pada obat dan alat kesehatan impor, maka ini sangat baik.

Namun jika dimaknai sebagai privatisasi/swastanisasi maka akan menjadi persoalan karena dikhawatirkan akan menyerahkan kepada mekanisme pasar.

Masyarakat seolah-olah berhadapan dengan pasar yang diasumsikan mempunyai tangan tak terlihat (invisible hands) dan akan menghasilkan keadaan yang tidak menguntungkan bagi semua pihak. 

Dengan kata lain, privatisasi yang bertujuan untuk efisiensi anggaran negara dapat berdampak negatif pada warga bahkan menghasilkan perubahan sosial negatif yakni terfragmentasinya masyarakat oleh pasar sehingga membuat mereka semakin tidak berdaya.

Potensi perubahan paradigma dari health care menjadi health industry dapat menghilangkan substansi utama dari pelayanan kesehatan.

Semoga yang demikian tidak terjadi.

Demikian.
IG @chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH Pelita Umat dan Mahasiswa Doktoral

Kamis, 15 Juni 2023

Help Shariah: RUU Kesehatan Berpotensi Kriminalisasi Nakes

Tinta Media - Ancaman mogok kerja nasional atau cuti kerja tenaga kesehatan (nakes) sebagai akibat dari UU (Undang Undang) Omnibus Law Kesehatan yang tidak transparan, dinilai berpotensi mengkriminalisasi dokter dan tenaga kesehatan. 

"Tidak transparannya RUU Kesehatan ini berpotensi mengkriminalisasi dokter dan para tenaga kesehatan (nakes),” tutur Anggota Help Shariah dr. Mustaqim dalam Program Kabar Petang: Nakes Melawan di kanal Youtube Khilafah Channel, Kamis (8/6/2023)

Ia memaparkan, potensi kriminalisasi tenaga kesehatan adalah salah satu poin dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) maupun ikatan profesi lainnya tidak setuju jika pembuatan UU Kesehatan dilanjutkan.

“Sebenarnya akad (ijarah) dari dokter dengan pasien adalah akad pengobatan, akad pemeriksaan, kemudian pengarahan kepada pengobatan, bukan akad untuk kesembuhan. Di RUU ini berpotensi bahwa akad yang diminta pasien adalah kesembuhan. Maka seandainya seorang dokter tidak bisa menyembuhkan, itu bisa berpotensi dijadikan lalai sehingga bisa dipidanakan,” paparnya.

Selama ini, dr. Mustaqim menyebutkan tidak bisa memidanakan dokter yang bekerja sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP), lalu hasilnya di luar dugaan. Ketika kemudian dokter melakukan sesuatu yang tidak disengaja atau ada efek samping, seperti Johnson Syndrom, yakni suatu darurat medis, merupakan reaksi terhadap obat atau infeksi. Itu tidak bisa dipenjara atau dipidanakan.

“Tetapi dengan adanya rancangan undang-undang saat ini, itu bisa-bisa untuk dituntut. Itulah kemudian berpotensi untuk mengkriminalkan dokter maupun tenaga kesehatan,” ujarnya.

Simalakama

Ia berpendapat mogok kerja atau cuti kerja bagi nakes itu simalakama. “Sebab sektor kesehatan masyarakat akan mengalami kendala, tetapi sudah disiasati oleh panitia bahwa yang akan dicutikan itu pelayanan-pelayanan non emergency sedangkan unit emergency serta obat atau ICU dan sebagainya tetap melakukan tugasnya sehari-hari,” ucapnya.

Simalakamanya, menurut dr. Mustaqim, para nakes ini mempertaruhkan nama baiknya, tetapi cuti kerja ini tetap harus dilakukan.

“Apabila tidak dilakukan akan ada kegiatan atau ada sesuatu yang buruk, yang lebih besar akan terjadi. Sehingga para tenaga kesehatan ini melakukan aksi nasional, ini sudah kedua kalinya. Jika tetap dilanjutkan untuk dilakukan pembahasan , maka cuti kerja nasional kembali dilakukan,” tuturnya.

Ia mengakhirinya dengan mengatakan bahwa sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim termasuk tenaga kesehatan ini adalah mengoreksi kebijakan pemerintah yang salah.

“Mengoreksi kebijakan pemerintah yang salah dari kacamata ilmiah, kacamata kesehatan, kacamata masyarakat, dan tentu saja salah dalam kacamata Islam,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Minggu, 11 Juni 2023

IJM: RUU Kesehatan Seharusnya Fokus pada Pelayanan Kesehatan

Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana membeberkan bahwa  Rancangan Undang-Undang (RUU ) kesehatan Omnibus Law harus fokus terhadap pelayanan kesehatan. 

"RUU kesehatan seharusnya berfokus pada penuntasan problem serius saat ini yakni kelalaian negara dalam menjamin kebutuhan tiap individu publik terhadap pelayanan kesehatan," ujarnya dalam program Aspirasi: Ribuan Dokter dan Perawat Turun Ke Jalan! Jalan Gatot Subroto Lumpuh, Senin (5/6/2023) di kanal Youtube Justice Monitor. 

Ia mengatakan pemerintah sering membuat aturan yang tidak menjawab kebutuhan masyarakat. Permasalahan yang sudah ada hanya akan ditumpuk dengan masalah lain melalui solusi yang tidak tuntas yang ditawarkan oleh pemerintah. 

"Pasalnya yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah jaminan mendapatkan pelayanan kesehatan yang gratis profesional dan tidak diskriminatif," tegasnya. 

Ia mengungkapkan harga pelayanan kesehatan semakin mahal, di samping itu seiring meluasnya cakupan pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( BPJS ) Kesehatan, kualitas pelayanan makin mengirit dan makin jauh dari harapan. diskriminasi pelayanan kesehatan pun Kian kronis dan meluas tidak sekali dua kali. 

"Inilah pil pahit kelalaian negara yang harus ditanggung oleh masyarakat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya konsekuensi logis akibat penerapan peraturan perundang-undangan sekuler kapitalisme di bidang kesehatan," bebernya. 

Ia menyatakan akar persoalan kelalaian itu berlangsung sejalan dengan dilegalkannya industrialisasi sistem kesehatan yang berujung pada kesengsaraan publik dan tergadainya idealisme insan kesehatan," ungkapnya. 

"Peristiwa getir masyarakat ketika berupaya mendapat pelayanan kesehatan bagi kesembuhan dan keselamatan jiwa mereka sebut saja kematian pasien miskin rumah sakit umum daerah ( RSUD ) bulukumba di kantor pendudukan catatan sipil (Dukcapil) saat mengurus kartu tanda penduduk (KTP)," imbuhnya. 

Ia mengatakan karakter sistem kesehatan kapitalisme berupa pelayanan BPJS Kesehatan misalnya, merupakan sistem rujukan kapitalistik dan konsep pembayaran untuk kepentingan bisnis BPJS Kesehatan belaka. "Bukan untuk kesembuhan dan keselamatan jiwa pasien," imbuhnya. 

Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3 tahun 2018 tentang penjaminan pelayanan persalinan dengan bayi lahir sehat dinilainya sebagai diskriminatif. "Dan berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan jiwa bayi dari sisi masyarakat khususnya pasien dan dari sisi keberadaan dokter dan insan kesehatan," ujarnya. 

Agung menuturkan kelalaian negara melalui pelegalan industrialisasi sistem kesehatan tidak kalah serius bahayanya. Idealisme dan dedikasi insan kesehatan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan dibajak oleh berbagai bisnis korporasi. 

"Mulai dari bisnis institusi pendidikan tenaga kesehatan khususnya kedokteran, industri farmasi, lembaga keuangan kapitalis BPJS Kesehatan bagi pembiaya hingga ke rumah sakitnya," pungkasnya.[] Muhammad Nur

Selasa, 11 April 2023

Negara Bertanggung Jawab atas Rendahnya Kesehatan Mental Rakyat


Tinta Media - Akhir-akhir ini Indonesia sedang digemparkan dengan berbagai kasus bunuh diri. Misal saja pada januri 2023, terdapat lima kasus bunuh diri yang dilakukan oleh remaja di Toraja. Ada juga seorang pria yang merupakan karyawan berusia 24 tahun tewas gantung diri di Ambon. Gantung diri juga dilakukan oleh seorang anak berusia 11 tahun di Banyuwangi. Tak lama, kasus gantung diri kembali terjadi dan dilakukan oleh gadis berusia 14 tahun di Jembrana, Bali, disusul kabar yang saat ini masih hangat diperbincangkan yaitu ditemukannya seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI) inisial MPD yang tewas, diduga melompat dari lantai 18 apartemen di Jakarta Selatan.

Terakhir, warga Dusun Wirokerten RT 02 Kelurahan Wirokerten Kapanewon Banguntapan, Bantul menemukan NS, seorang lelaki berumur 38 tahun ditemukan gantung diri di dapur rumahnya sekitar pukul 17.00 WIB. Dia ditemukan oleh ibunya, S (58) yang kebetulan mencari anaknya tersebut karena tidak kelihatan  (SINDOnews.com, 9/3/2023). Menurut keterangan keluarga, NS baru satu minggu yang lalu pulang dari bekerja sebagai tukang bangunan di Bogor Jawa Barat. Informasi dari tetangga, NS terlihat ada gangguan psikis.

Menurut penelitian terbaru, insiden serupa bisa jadi jauh lebih tinggi dari jumlah korban yang terdata secara resmi. Penyebab utamanya diyakini terkait dengan masalah kesehatan mental dan kelemahan dalam sistem pendataan. 

Sebuah studi tahun 2022 menyatakan bahwa angka bunuh diri di Indonesia bisa jadi empat kali lebih tinggi dari data resmi. Menurut WHO, bunuh diri menjadi penyebab utama kematian ke-empat di antara usia 15-29 tahun secara global pada tahun 2019. (BBC News Indonesia, 25/01/2023)

Sungguh ironisnya negeri ini. Mengapa tidak? Banyak sekali kasus bunuh diri yang nampaknya tak hanya popular di kalangan dewasa saja, tetapi kini marak dilakukan oleh para remaja dan generasi pada usia produktif. Di usia yang seharusnya seseorang mampu untuk terus belajar menggapai impian dengan mengembangkan segala potensi unik yang dimiliki sehingga dia mampu menemukan cara mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya dalam hidup, nyatanya harus diakhiri dengan cara tragis dan mengenaskan, sehingga terenggutlah jiwa dan raganya. 

Melihat betapa banyak kasus bunuh diri yang terjadi saat ini, mengindikasikan bahwa mayarakat sedang mengalami gangguan kesehatan mental. hal ini tak terhindarkan karena disebabkan oleh beberapa faktor yakni: 

Pertama, saat ini sudah menjadi hal biasa seorang anak tumbuh tanpa penanaman akidah dalam keluarganya. Mereka terlalu sibuk mengejar dunia hingga lupa akan kewajiban sebagai orang tua. Alhasil, ketika mengalami berbagai tekanan, anak akan mudah rapuh dan tidak mampu menyelesaikan masalah dengan baik, sehingga jalan instan yang dipilih adalah dengan melakukan bunuh diri sebagaimana peristiwa yang saat ini banyak terjadi. Harapannya, semua masalah dapat terselesaikan ketika dirinya sudah tiada, meskipun dia mungkin tahu bahwa kematian bukanlah akhir segalanya. 

Kedua, lingkungan sebagai wadah pembentukan diri. Aspek ini menjadi pengaruh yang sangat dominan terhadap pembentukan pola pikir dan perilaku seorang anak. Lingkungan yang buruk hanya mengantarkan para pemuda ke suatu keadaan yang salah arah, pun sebaliknya.

Ketiga, negara dengan sistem yang ada saat ini ternyata tidaklah mampu menyelesaikan permasalahan generasi hari ini, meskipun keberadaannya diakui oleh dunia. Bukan hanya itu, sistem ini dapat dikatakan tidak layak, sebab pada faktanya tidak dapat memberikan pendidikan secara utuh sebagaimana mestinya negara memfasilitasi generasi muda agar dia mampu berdaya untuk negara dan tentunya tidak berlepas diri dari ajaran agama. 

Tidak ada kurikulum yang mampu membina para generasi menjadi seorang pemuda yang cerdas dan kuat. Yang ada hanyalah sebuah sistem sekuler dengan kurikulum yang menekan tanpa memberi ruang bagi mereka untuk mengembangkan kreativitas sebagaimana mestinya. 

Kurangnya pendidikan agama semakin membuat para generasi tak memiliki pegangan ketika sedang terombang-ambing tanpa tujuan. Tidak heran bila saat ini masyarakat sedang mengalami gangguan kesehatan mental yang sangat meresahkan. Lalu, bila sudah begini, siapa yang mau disalah kan?

Perilaku ini sebenarnya sangat rendah. Bagaimanapun, hasilnya tetap saja merefleksikan sesuatu yang rendah. Masalah ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam hidup. Tentu saja, yang demikian itu merupakan hasil dari sistem kehidupan yang dipercaya masyarakat di semua aspeknya. 

Nyatanya, aspek tersebut gagal mengangkat martabat manusia dengan taraf pikir yang tinggi. Semua mengerucut pada buruknya sistem dan penguasa yang abai atas masyarakat. Negara tampaknya telah gagal menghasilkan individu-individu yang terampil. Padahal, seorang muslim tahu dan tidak akan melakukan apa pun yang dapat membahayakan diri, bahkan sampai mengancam jiwanya. Cukuplah Allah Swt. bagi dia dengan menjadikan rida-Nya sebagai standar benar-salah, boleh-tidaknya dalam melakukan segala hal dalam hidupnya. 

Pemisahan agama dengan kehidupann merupakan hasil dari sistem sekuler yang melahirkan segala aturan buatan manusia tanpa melibatkan Sang Pencipta dalam pembuatannya, sehingga jangan berharap sakinah akan hadir dalam jiwanya. 

Kekayaan, ketenaran, pendidikan, dan standar kebahagiaan menurut mereka nyatanya didasarkan pada pencapaian materi, tanpa memperhitungkan aspek kejiwaan. Alhasil, keringlah jiwa manusia yang diikuti dengan rapuhnya nilai ruhiyah mereka, kemudian menggerogoti masyarakat. Materi selalu menjadi sesuatu yang memaksa manusia untuk berkompetisi agar bisa mendapatkan dengan menghalalkan berbagai cara.

Sistem ekonomi menjadikan si kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, sehingga menyebabkan kesenjangan yang begitu luar biasa antarmereka. Hal ini semakin memperparah keadaan rakyat. Saat ini banyak orang berlomba-lomba di media dan kehidupan sosial mereka untuk pamer kekayaan dan kesuksesan. 

Anehnya, hal itu dilakukan juga oleh para penguasa di tengah banyaknya rakyat yang dilanda kemiskinan serta mengalami penderitaan. Hal ini tentu menimbulkan tekanan batin dan gangguan mental rakyat, sehingga pelampiasan emosi, kemarahan sering kali berujung pada tindak kriminalitas, menyakiti diri sendiri, atau bahkan bunuh diri.

Jadi, tak heran bila sistem bobrok ini melahirkan generasi dengan kesehatan mental yang rendah, tidak percaya diri dan tanpa tujuan. Ketika mendapatkan tekanan yang berat, dan pondasi akidah tidak terbentuk dalam diri yang menyebabkan ketenangan jiwa tak kunjung didapat. Alhasil, suicide (bunuh diri) menjadi pillihan. Parahnya, negara abai akan hal itu. Dengan tidak adanya kebijakan yang mampu menanggulangi permasalahan ini agar tidak terulang kembali membuktikan negara seakan tidak menganggap serius kasus-kasus bunuh diri yang menyedihkan ini.

Dalam sistem Islam, rida Allah Swt. merupakan sumber sejati kebahagiaan. Islam menjadikan akidah sebagai dasar atas pola asuh, kurikulum pendidikan, kehidupan bermasyarakat, ekonomi, politik, dan hukum, sehingga aturan tidak akan berubah secara signifikan, mendadak, apalagi melenceng dari fitrah manusia. 

Islam memandang bahwa prioritas utama yang wajib dan segera diwujudkan adalah kemaslahatan umat dalam menjalankan sistem pemerintahan. Oleh sebab itu, pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, bahkan kebutuhan jiwa yang berotientasi pada kesehatan mental masyarakat akan ditanggung sepenuhnya oleh negara melalui kaki tangan penguasa. 

Untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Sang Pencipta, Allah Swt., negara akan menciptakan kehidupan masyarakat yang terbiasa beramar makruf nahi mungkar. Dengan begitu, baik individu, keluarga, masyarakat, maupun para penguasa akan menjadikan ketakwaan kepada Allah sebagai amunisinya dalam mengarungi kehidupan. Nilai kerohanian akan timbul berkat kedekataannya kepada Allah Swt. Pondasi akidah yang kuat akan menentramkan jiwa setiap individu dalam masyarakat, serta menguatkan mental dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan. Sadar atas batasan hidup sebagaimana qada dan qadar, akan membuat setiap individu dalam masyarakat memaknai peristiwa yang terjadi dengan lebih baik.

Materi tidak akan menjadi tolak ukur atas kesuksesan dan kebahagiaan seseorang. Dengan begitu, akan muncul sakinah dalam hatinya, sabar menghadapi ujian, serta tidak tersilaukan dengan kemewahan dunia yang fana. Pada akhirnya, masyarakat akan sadar bahwa bunuh diri bukanlah solusi yang tepat untuk menyelesaikan suatu masalah, serta kesehatan mental masyarakat akan menjadi lebih baik karena adanya kedekatan setiap individu dengan Sang Pencipta, Allah Swt. yang didukung pula oleh negara yang berperan penting dalam mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Wallahu'alam.

Oleh: Latifah Wahyu S.
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 08 April 2023

Islam Menjamin Kesehatan Generasi


Tinta Media - Berbagai penyakit kronis pada anak saat ini menjadi problem serius yang butuh penanganan secara tepat dan cepat. Pola hidup yang tidak sehat, adanya kesenjangan akses masyarakat terhadap konsumsi makanan bergizi, dan faktor lingkungan, menjadi penyebab langsung berbagai penyakit anak, seperti kanker, diabetes, dan stunting.

Kasus tuberkolusis anak yang sudah lama terjadi, akhir-akhir ini kembali menjadi sorotan karena berada pada posisi mengkhawatirkan. Penularannya meningkat sangat cepat. Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia setelah India. Ini adalah prestasi buruk yang tidak perlu dibanggakan, karena merupakan kenyataan pahit untuk penyakit yang mematikan. 

Banyak faktor yang melatarbelakangi maraknya kasus TBC. Beberapa di antaranya yaitu lingkungan yang kurang bersih, rendahnya tingkat pemahaman masyarakat tentang sanitasi dan kesehatan sehingga mereka cenderung abai terhadap gejala yang dialami. Apalagi, penyakit ini sangat rentan menyerang anak-anak, terutama anak dengan kondisi gizi buruk, karena keadaan sosial ekonomi yang rendah. 

Semua hal tersebut merupakan imbas dari penerapan sistem kapitalis yang berlaku saat ini. Dengan aturan kapitalis, kesejahteraan masyarakat tidak terjamin. Hal ini juga berimbas pada pemenuhan kesehatan oleh masyarakat. Dengan tingkat perekonomian yang rendah, tentunya masyarakat kesulitan untuk memenuhi standar kesehatan dalam hidup mereka. Apalagi, sarana dan prasarana kesehatan sangat mahal. Selain itu, sistem lapitalisme ini juga menyebabkan akses untuk meraih pendidikan yang layak bagi masyarakat sangat sulit dijangkau karena sangat mahal. Karena itu, tingkat pendidikan mereka juga sangat rendah.

Berkaitan dengan hal ini, seharusnya pemerintah melakukan edukasi tentang kesehatan, agar masyarakat  mendapatkan informasi dari sumber yang tepat, yaitu para ahli. Dalam proses edukasi tersebut, negara menekankan bahwa kesehatan merupakan perkara penting dalam kehidupan seseorang. 

Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang pada pagi hari dalam keadaan aman tempat tinggalnya, sehat badannya, mempunyai makanan untuk hari itu, seolah-olah dunia dan seisinya telah terkumpul baginya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Seharusnya negara menjalankan fungsinya untuk memenuhi layanan  kesehatan secara merata bagi seluruh warga negara. Namun, saat ini negara terkesan abai. Kasus TBC akan terus meningkat, jika pengaturan urusan rakyat masih menerapkan kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme ini, hidup sehat dan sejahtera menjadi barang mahal. Sekalipun negara berupaya mencegah dan mengatasi TBC, namun upaya tersebut masih sangat parsial, tidak menyentuh akar persoalan.

Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Islam mempunya solusi bagi setiap masalah. Dalam Islam, penguasa wajib mengurus urusan rakyat dan memenuhi seluruh kebutuhannya. 

Rasulullah saw. bersabda,
“Pemimpin itu laksana gembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban akan gembalaannya (rakyatnya).” (HR. Imam Bukhari dan Ahmad).

Dalam Islam, negara wajib memenuhi kebutuhan kesehatan rakyat secara layak. Negara juga wajib meningkatkan taraf sosial ekonomi masyarakat dengan menerapkan sistem ekonomi Islam. Dengan kehidupan yang sejahtera, tidak sulit bagi warga untuk menciptakan sanitasi dan lingkungan bersih, serta gizi yang cukup untuk keluarganya. Kemudian negara membangun sarana dan layanan kesehatan yang dapat diakses masyarakat dengan murah dan mudah.

Kesehatan adalah nikmat kedua setelah iman. Jiwa dan raga yang sehat akan meningkatkan kualitas amal ibadah kaum muslimin. Anak  merupakan generasi penerus orang tuanya sebagai estafet dakwah Islam ke seluruh dunia. Oleh sebab itu, penerapan Islam secara kafah akan memberikan prioritas terhadap kesehatan generasi.

Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, menjaga dan memelihara kesehatan setiap individu warganya merupakan kewajiban penguasa, karena Allah akan meminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.

Wallahualam bissawab.

Oleh: Teti Kusmiati
Sahabat Tinta Media

Selasa, 28 Maret 2023

TBC Meningkat, Islam Punya Solusi Tepat

Tinta Media - Kasus TBC di Indonesia semakin marak dan menduduki peringkat kedua di dunia. Peningkatan drastis dari kasus TBC mencapai 200%. Hal tersebut dilaporkan kementerian kesehatan atas kenaikan jumlah kasus yang sangat signifikan (CNNIndonesia.com, 18/3/2023). 

Direktur pencegahan dan pengendalian penyakit menular Kemenkes dr. Imam Pambudi menyampaikan bahwa faktor dari kenaikan kasus tersebut terjadi akibat dari banyaknya orang tua yang tidak menyadari dan tidak segera mengobati, sehingga mudah terjadi penularan pada kelompok yang rentan, terutama anak anak.

Peningkatan kasus TBC tidak hanya berpengaruh pada kesehatan individu, tetapi juga berdampak pada tatanan sosial dan ekonomi masyarakat. Hal tersebut juga diungkapkan dalam acara peringatan hari TBC sedunia yang diselenggarakan di Rumah Sakit Dustira, Cimahi (15/03/2023).

Banyaknya kasus TBC yang terus meningkat tiap tahunnya mencerminkan betapa buruknya upaya pencegahan, buruknya masalah sanitasi, rendahnya daya tahan tubuh masyarakat akibat keseimbangan gizi dan asupan masyarakat yang kurang, lemahnya sistem kesehatan dan pendidikan, serta minimnya pengetahuan. 

Kemiskinan dan stunting juga dapat berpengaruh pada TBC karena tidak tersolusikan dengan baik, sarana kesehatan yang terbatas ditambah pelayanan yang mahal atau kualitas yang lebih baik dari kalangan bawah (miskin). Faktor ini sangat jelas memberikan andil dan kontribusi besar terhadap kasus TBC, sehingga rakyat semakin terpuruk dan kesulitan untuk mendapatkan layanan kesehatan yang optimal. 

Meskipun pemerintah telah menggandeng ormas-ormas, LSM, dan kerja sama dengan negara lain, seperti Amerika bahkan WHO untuk mencegah dan mengatasi TBC, tetapi semua upaya tersebut tak mampu menyelesaikan masalah kesehatan, salah satunya TBC.

Inilah bukti buruk dan lemahnya penerapan sistem sekuler kapitalisme yang menjadikan asas pengaturan kesehatan sebagai objek bisnis, kemudian berbagai kebutuhan dan pelayanan masyarakat dikapitalisasi tanpa mempedulikan kondisi rakyat, sehingga masalah kesehatan bahkan kemiskinan tersistem. 

Akibat sekuler kapitalis, masyarakat semakin kesulitan menerapkan pola dan gaya hidup sehat. Masyarakat sulit mengakses lingkungan dan sanitasi bersih, gizi baik, pemenuhan kebutuhan dasar, kesadaran literasi, pengetahuan, serta edukasi. Semuanya tidak akan tercapai selama menggunakan sistem kapitalisme.

Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Islam dapat meriayah dan memberi solusi dalam berbagai masalah, termasuk dalam penanganan kesehatan. Sebagaimana sabda Rasulullah,

"Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya." (HR Al Bukhori). 

Islam mampu memenuhi kebutuhan dasar rakyat, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan secara kayak. Layanan pendidikan dan kesehatan akan diberikan secara gratis. Negara pun memberikan lapangan pekerjaan kepada masyarakat kemudian mengelola SDA dan memberikan hasil pengelolahannya kepada masyarakat.

Sudah pasti Islam begitu sempurna dalam menyelesaikan seluruh problematika kehidupan, termasuk mengentaskan kemiskinan. Semua konsep ini tentunya dapat terwujud dalam naungan khilafah yang menerapkan sistem Islam secara kaffah. Dengan penerapan sistem politik dan ekonomi Islam, negara menjamin dengan menyediakan pelayanan kesehatan yang lebih baik dan berkualitas kepada masyarakat.

Wallahu a'lam bisshawwab.

Oleh: Avin
Muslimah Jember

Kamis, 09 Februari 2023

MMC: Kesehatan Berpengaruh pada Kesejahteraan Masyarakat

Tinta Media - Muslimah Media Center (MMC) menilai bahwa kesehatan adalah salah satu hal yang paling penting dan harus diutamakan oleh sebuah negara sebab kesehatan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat di negara tersebut. 

“Kesehatan itu salah satu hal penting yang harus diutamakan negara sebab kesehatan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat,” ujarnya dalam Serba-Serbi MMC: Indonesia Darurat Dokter, Tanggung Jawab Negara di Bidang Kesehatan Gagal? Senin (6/2/2023) di kanal YouTube Muslimah Media Center.

Menurutnya, semakin sehat penduduknya maka negara tersebut makin Sejahtera. Namun ironisnya saat ini, lanjutnya Indonesia berada dalam urutan 139 dari 194 negara dalam rasio jumlah dokter baik dokter umum maupun spesialis. Padahal rasio ideal atau garis emas rasio jumlah dokter adalah 1 per 1000 atau 1 dokter per 1000 orang. “Angka terakhir yang didapatkan dari WHO dan juga World Bank Ratio, Indonesia berada pada 0,47/1000. Angka ini menjadikan Indonesia menjadi negara yang mengalami darurat dokter jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya,” bebernya.

Narator mengungkapkan jika Indonesia berada di posisi terbawah ketiga yaitu di bawah dari Malaysia 1,54 dan Singapura 2,29, bahkan masih jauh di bawah Vietnam yakni 0,83. “Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia jauh berada di bawah negara lain dalam masalah kurangnya jumlah dokter terutama dokter spesialis dan sub spesialis,” ucapnya. 

Narator juga menilai Indonesia gagal memenuhi Golden Line dan disimpulkan bahwa Indonesia gagal bertanggung jawab kepada rakyatnya di bidang kesehatan. “Dengan fakta ini tak heran jika banyak warga negara Indonesia yang malah memilih berobat ke luar negeri karena berbagai alasan,” tuturnya.

Ini, menurutnya karena ada banyak faktor pemicunya mulai dari mencari teknologi tertentu hingga mencari keahlian spesialis tertentu sebab negara lain memiliki pelayanan kesehatan dengan berbagai pilihan. “Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat 3 disebutkan negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak,” jelasnya.

Narator membeberkan salah satu kunci penting sistem kesehatan tersebut adalah Jumlah dokter yang ada. Menurutnya, minimnya jumlah dokter tidak lepas dari sistem kesehatan yang diterapkan di negeri ini yakni sistem kesehatan kapitalis.
“Sistem kapitalisme di dunia kesehatan menempatkan Kesehatan sebagai industri yang pelayanannya diperjualbelikan. Penyediaan fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia di bidang kesehatan pun juga dibangun atas paradigma untung rugi,” ulasnya.

Narator mengungkapkan tak heran jika untuk menjadi tenaga kerja kesehatan seperti dokter membutuhkan biaya pendidikan besar, yang harus ditanggung oleh orang tua peserta didik, kemudian setelah lulus dari pendidikan kesehatan mereka akan masuk di dunia kesehatan yang sudah di kapitalisasi. “Pantaslah jika dikatakan bahwa potensi intelektual muslim telah terbajak oleh kepentingan bisnis industri kesehatan. Ilmu didedikasikan hanya untuk bisnis industri Global. Kehidupan di desain untuk memberdayakan kehidupan manusia dengan menghidupkan mesin-mesin pemutar uang untuk industri kesehatan ala kapitalis,” imbuhnya.

Narator menandaskan bahwa inilah kegagalan sistem kapitalisme yang menjadikan sumber sumber daya alam bahkan sumber daya manusia sebagai aset bagi mekanisme putaran pasar atau uang semata. “Sungguh dalam sistem kapitalisme, negara jauh dari fungsi utamanya sebagai ro’in atau pengurus umat yang sesungguhnya, yang harus menyediakan layanan kesehatan memadai dan mudah dijangkau oleh semua pihak,” terangnya. 

Gambaran pemimpin yang dibentuk oleh sistem demokrasi kapitalis, narator pastikan sangat berbeda dengan sistem Islam yang diterapkan di bawah institusi Khilafah Islam . Institusi Khilafah yang dipimpin khalifah adalah penanggung jawab pelayanan publik. Khilafah wajib menyediakan sarana kesehatan Rumah Sakit obat-obatan tenaga medis dan sebagainya secara mandiri itu adalah tanggung jawabnya.

Ia mengutip sebuah hadits Rasulullah Saw. riwayat al Bukhari : “Imam adalah pemelihara urusan rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” Selain itu, ia juga menyampaikan dalam hadits riwayat Muslim bahwa Rasulullah Saw. dan para khalifah telah melaksanakan sendiri layanan kesehatan. Rasulullah sebagai kepala negara di Madinah pernah mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay ketika beliau mendapatkan hadiah dokter dari Raja Muqauqis. Dokter tersebut beliau jadikan sebagai dokter umum bagi masyarakat dan gratis,” tambahnya. 

Narator menegaskan semua hadits Rasulullah tersebut merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan wajib dilakukan negara dan bukan yang lain. Negara harus mandiri dan tidak bersandar maupun bekerja sama dengan pihak lain atau swasta. “Allah Swt. juga telah memberikan tanggung jawab dan kewenangan penuh kepada pemerintah atau khalifah untuk mengelola penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan Pendidikan termasuk pendidikan kedokteran. Tugas Mulia ini tidak boleh dilalaikan sedikitpun apapun alasannya,” urainya. 

Semua hal di atas, narator juga menggambarkan sistem pendidikan Islam termasuk pendidikan kedokteran benar-benar sempurna pada tataran input proses maupun output. Kebijakan sistem pendidikan Khilafah yang bebas biaya dan kurikulum yang dibangun berdasarkan akidah Islam mampu mencetak dokter yang profesional dan bertakwa.

“Dari sistem Islam-lah akan lahir para dokter yang mampu memenuhi kebutuhan negara baik dari segi jumlah maupun kompetensi. Para dokter dengan kompetensi terbaik akan ditugaskan pada institusi-institusi pelayanan kesehatan Khilafah. Mereka digaji secara patut dan diberi tugas sesuai kompetensinya. Demikianlah hanya Khilafah yang mampu tampil sebagai perisai dan pengurus segala urusan umat, termasuk dalam menyediakan tenaga kesehatan yang memadai dan berkualitas,” pungkasnya.[] Erlina

Rabu, 07 Desember 2022

Ustazah Rif'ah Kholidah: BPJS adalah Bentuk Komersialisasi Kesehatan

Tinta Media - Konsultan dan Trainer Keluarga Sakinah Ustazah Rif'ah Kholidah menilai adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berupa BPJS sebenarnya merupakan bentuk komersialisasi kesehatan.

“Bila kita telaah keberadaan JKN atau jaminan kesehatan nasional dengan institusinya yaitu BPJS kesehatan sejatinya adalah komersialisasi kesehatan,” ungkapnya dalam tayangan Serba-serbi MMC: Bagaimana Jaminan Kesehatan dalam Islam? Ahad (4/12/2022) di laman YouTube Muslimah Media Center. 

Konsep ini, sambungnya, lahir dari konsep jaminan kesehatan kapitalistik, bahwa institusi penyelenggara asuransi sosial adalah entitas yang lebih kapabel dari pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

“Hal ini, jika dijelaskan dalam sejumlah dokumen diantaranya yaitu, Jerman Teknikal Corporation atau GTC. Sebuah LSM yang berperan aktif dalam membidangi JKN,” paparnya.

Di dalam dokumen tersebut, sebutnya, dijelaskan bahwa ide dasar jaminan kesehatan sosial adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari pemerintah kepada institusi yang mempunyai kemampuan yang tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama
peserta jaminan sosial.

Ia menjelaskan bahwa konsep ini adalah konsep yang batil dan haram karena bertentangan dengan syariat Islam..

Konsep Islam

“Konsep jaminan kesehatan dalam Islam adalah konsep yang agung karena berasal dari zat yang menciptakan manusia yakni Allah SWT. yang terpancar
dari pemikiran yang bersumber dari Alquran dan as-sunnah, sehingga menjadi
rahmat bagi seluruh alam,” bebernya.

Dalam kitab Siyasah ar Roiyah as Shihayah dijelaskan beberapa prinsip jaminan kesehatan di dalam Islam.”Yang pertama, bahwa kesehatan itu merupakan kebutuhan pokok publik yang wajib dipenuhi sebagaimana kebutuhan akan makan dan kebutuhan keamanan serta yang lainnya,” tuturnya.

Hal ini, ungkapnya, ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW, yang artinya siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapat keadaan yang aman terhadap kelompoknya sehat badannya memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia menjadi miliknya. (hadits riwayat at Tirmidzi)

“Prinsip yang kedua adalah bahwa Islam mewajibkan kepada negara memberikan jaminan kesehatan secara gratis dan berkualitas kepada seluruh rakyatnya tanpa memandang status ekonominya, apakah dia kaya ataukah dia itu miskin. Maka, semua rakyatnya berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama sesuai dengan kebutuhan medisnya,” ujar Ustazah Rif'ah.

Ia mengatakan ketentuan ini didasarkan dari hadis Rasulullah SAW, dari Jabir,
Rasulullah SAW, yang artinya, ”Rasulullah SAW, pernah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Ka'ab yang sedang sakit. Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Ka'ab lalu melakukan kay atau pengobatan dengan besi panas pada urat itu.” (Hr. Muslim)

Dari hadis ini, ia menyampaikan bahwa dapat kita pahami jika Rasulullah SAW sebagai kepala negara telah menjamin kesehatan rakyatnya, dengan mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya sepeser pun dan tanpa membebani. Apalagi memaksa rakyatnya untuk mengeluarkan uang mendapatkan pelayanan kesehatan dari negara.

“Prinsip yang ketiga adalah bahwa pengadaan layanan sarana dan prasarana
kesehatan wajib diupayakan oleh negara bagi seluruh rakyatnya,” tuturnya.

Jika, sambungnya, pengadaan layanan kesehatan tersebut tidak ada akan menyebabkan dhoror atau bahaya, maka negara wajib untuk menghilangkan dhoror atau bahaya tersebut. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, yang artinya:

 “Tidak boleh menimbulkan dhoror atau bahaya pada diri sendiri juga bagi orang yang lain. Barangsiapa yang membahayakan orang lain, maka Allah akan membalas bahaya kepadanya. Dan barangsiapa yang menyusahkan atau menyempitkan orang lain, maka Allah akan menyulitkan kepadanya,”
(HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Prinsip yang keempat, tambahnya, adalah negara wajib mengalokasikan anggaran belanjanya untuk memenuhi kesehatan bagi seluruh rakyat. Dan haram bagi negara untuk melalaikan kewajibannya atau mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak lain, baik swasta atau rakyatnya sendiri.

Sebab, ia menuturkan, tanggung jawab pemenuhan kesehatan adalah merupakan kewajiban yang harus seimbang oleh negara. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW dari Abdullah bin Umar yang artinya, “pemimpin atau imam atau kepala negara adalah pengurus rakyat dan bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR, Bukhari)

“Dari sinilah jelas bahwa Islam telah menjamin pemenuhan kebutuhan kesehatan kepada rakyatnya secara gratis tanpa pandang bulu. Dan negara bertanggung jawab untuk memenuhinya,” pungkasnya.[] Wafi

Senin, 05 Desember 2022

Menkes Sebut Orang Kaya Bebani BPJS Kesehatan, MMC: Ini Bentuk Nyata Kezaliman Negara

Tinta Media - Pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang mencurigai sejumlah konglomerat atau orang kaya membebani BPJS Kesehatan dengan biaya tinggi pengobatan mereka lalu mengharuskan mengombinasikan iuran jaminan sosial BPJS-nya dengan asuransi kesehatan swasta, menurut Muslimah Media Center (MMC), adalah bentuk nyata kezaliman negara pada rakyatnya. 

“Ini adalah bentuk nyata kezaliman negara pada rakyatnya sendiri,” tutur narator dalam rubrik Serba-Serbi MMC: Konglomerat Dicurigai Jadi Beban BPJS, Kezaliman pada Rakyat? Kamis (1/12/2022) di kanal youtube Muslimah Media Center. 

MMC menilai sikap pemerintah terhadap BPJS orang kaya ini semakin mencerminkan negara melepas tanggung jawab atas layanan kesehatan rakyatnya. “Keberadaan BPJS saja sejatinya sudah bentuk pemalakan terhadap rakyat. Jaminan kesehatan yang diselenggarakan Pemerintah melalui BPJS faktanya justru telah memberatkan rakyat karena rakyat dipaksa membayar premi agar mendapatkan layanan kesehatan,” urainya.

Menurut MMC, layanan kesehatan yang seharusnya didapatkan secara gratis atau murah justru mengharuskan rakyat membayar iuran wajib sejatinya rakyatlah yang menjamin sendiri kesehatannya bukan Pemerintah.  
 
“Jaminan kesehatan rakyat oleh negara hanyalah jargon-jargon yang menipu. Regulasi yang dibuat tidak lepas dari paradigma kapitalis yang menjadikan kesehatan sebagai objek komersialisasi. Konsep good governance yang menyerahkan pengurusan kemaslahatan rakyat kepada pihak korporasi adalah implementasi kerangka berpikir kapitalistik,” ungkapnya.

 MMC melihat seluruh konsep yang diadopsi dari sistem ini menjadikan Pemerintah mengabaikan fungsinya sendiri sebagai pengurus urusan rakyat. “Di saat yang sama pemerintah seolah tak mampu memikirkan alternatif solusi kesehatan selain menyerahkan pada pihak korporasi. Pemerintah malah memproduksi kebijakan yang semakin memperkuat peran swasta untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dari urusan rakyat ini,” geramnya.

Layanan Kesehatan Dalam Islam

MMC mengungkapkan ada perbedaan yang nyata antara layanan kesehatan kapitalis dengan layanan kesehatan dalam sistem yang berparadigma Islam. Layanan kesehatan dalam Islam akan dijamin sepenuhnya oleh negara Khilafah.  

“Islam memandang bahwa kesehatan adalah kebutuhan asasi setiap individu di samping keamanan dan pendidikan. Syariah menetapkan bahwa negaralah yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan asasi tersebut untuk seluruh rakyat tanpa terkecuali,” jelasnya.

Ini, menurut MMC berdasarkan sebuah hadits riwayat Al-Bukhari yang artinya: “Imam atau kepala negara itu adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia Pimpin.”

“Salah satu implementasi dari hadis tersebut adalah negara Khilafah wajib menyediakan layanan kesehatan bagi setiap individu rakyat secara gratis. Paradigma Khilafah dalam mengatur urusan rakyat adalah melayani dan bertanggung jawab sepenuhnya. Khilafah tidak akan mengeksploitasi atau menempatkan rakyat sebagai pasar untuk barang dan jasa kesehatan,” tambahnya.

Selain itu, masih menurutnya khilafah menjamin dan bertanggung jawab sepenuhnya dalam penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai, dokter, dan tenaga medis yang profesional untuk memberikan layanan kesehatan maksimal.

“Khilafah akan membentuk badan-badan riset untuk mengidentifikasi berbagai macam penyakit beserta penangkalnya. Pada masa Khilafah Umayyah banyak dibangun rumah sakit yang disediakan untuk orang yang terkena lepra dan tunanetra. Demikian pula Khilafah Abbasiyah banyak mendirikan rumah sakit di Baghdad, Kairo, dan Damaskus dan mempopulerkan rumah sakit keliling,” ujarnya.

Untuk pembiayaan layanan kesehatan rakyat, menurut MMC akan mengambil dari kas negara Khilafah. “Kas negara khilafah lebih dari mencukupi untuk menjamin pelayanan kesehatan berkualitas dan gratis bagi setiap individu masyarakat. Pasalnya Khilafah mengelola seluruh sumber daya alam dan harta milik umum untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat,” bebernya.

MMC menambahkan khilafah akan menetapkan kebijakan larangan privatisasi harta-harta milik umum. “Privatisasi sumber daya alam dan harta-harta milik umum hanya menghilangkan sumber pemasukan besar negara. Khilafah juga terbebas dari hutang riba luar maupun dalam negeri yang dalam praktiknya amat membebani anggaran negara,” tuturnya.

MMC menyampaikan agar ada jaminan setiap individu rakyat dapat mengakses layanan kesehatan terbaik secara gratis membutuhkan sistem pemerintahan dan kebijakan yang benar. 

“Agar ada ketercukupan dana dalam layanan kesehatan gratis atau murah dibutuhkan pemerintah dan kebijakan yang menjadikan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam di tangan pemerintah bukan swasta. Hal ini hanya bisa diwujudkan dalam sistem pemerintahan yang tegak di atas paradigma dan aturan terbaik yakni aqidah dan syariah Islam syariah yaitu sistem pemerintahan Khilafah,” pungkasnya.[] Erlina

Jumat, 04 November 2022

Keamanan, Pendidikan dan Kesehatan di Negeri Ini Langka, tetapi Tidak Dipelihara

Tinta Media - Sudah menjadi pengetahuan umum bawah setiap hal, baik berupa barang, hewan, maupun tumbuhan, jika keberadaannya langka, maka akan menjadi sesuatu yang harus dilindungi. Semakin langka, sesuatu itu pasti semakin mahal nilainya karena semakin sulit ditemui. Karena itu, semakin sedikit orang yang dapat menikmatinya. 

Tampaknya, di negara ini, tidak hanya barang mewah saja yang langka, kebutuhan pokok masyarakat pun semakin langka. Keamanan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Namun, hari ini rasa keamanan perlahan menghilang. 

Negara adalah institusi yang wajib memenuhi kebutuhan pokok warganya. Kebutuhan pokok manusia tidak sebatas makanan, pakaian, dan tempat tinggal, tetapi keamanan, kesehatan, dan pendidikan pun tergolong kebutuhan pokok.

Mirisnya, sekarang kita bisa melihat dengan jelas, bagaimana lebih dari jutaan jiwa warga Indonesia tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak, baik dari segi fasilitas, hingga terjangkaunya harga. 

Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), terdapat kurang lebih 38 ribu siswa SD, 15 ribu siswa SMP, dan 22 ribu siswa SMA yang putus sekolah hingga akhir tahun 2021.

Dalam dunia kesehatan, masih hangat di dunia maya perbincangan mengenai  ratusan nyawa anak-anak yang meninggal akibat gagal ginjal akut. Banyak pakar kesehatan menyebutkan, mereka meninggal setelah meminum beberapa merek obat sirup (kompas.id)

Tidak sampai di sini, rasa keamanan pun nyaris tidak bisa dirasakan oleh masyarakat secara umum. Kekerasan, pencurian, pembunuhan, sudah menggantikan keamanan menjadi kebutuhan pokok masyarakat. 

Nyawa manusia di era hari ini ibarat nyawa nyamuk, tidak berharga sama sekali. Bergelimpangan di media sosial, berita-berita pembunuhan, mulai dari suami membakar istri, begal sepeda, penusukan anak kecil di Bekasi, peristiwa Kanjuruhan dan semisalnya. Manusia tidak lagi bebas keluar rumah ke mana saja.

Pemerintah sebenarnya bukannya lalai dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Namun, ia tidak mau bertanggung jawab sebagai pemenuh kebutuhan pokok masyarakatnya. Mengapa bisa demikian? Sebab penguasa menerapkan hukum kapitalisme.

Dalam kapitalisme, negara berfungsi sebagai regulator belaka. Ia memang menyediakan fasilitas kesehatan, keamanan, dan pendidikan. Akan tetapi, tugasnya berhenti hanya sampai itu. Apa yang terjadi pada rakyat setelah ia menyediakannya, penguasa tidak peduli.

Penguasa memberikan rumah sakit sebagai tempat berobat orang sakit. Namun, apakah seluruh rakyat mendapatkan pelayanan yang berkualitas dan terjangkau, pemerintah tidak akan menghiraukan. Berharap bahwa biaya kesehatan akan gratis hanyalah mimpi di siang bolong.

Hal yang sama pun terjadi pada lembaga pendidikan. Sudah umum di masyarakat, jika seseorang menginginkan pendidikan yang berkualitas dan berfasilitas bagus dan lengkap, maka harus membayar biaya yang tinggi.

Pertanyaannya, untuk apa pajak yang kita bayarkan ke negara? Ke mana semua uang itu pergi? Belum lagi tambang-tambang yang berjibun jumlahnya di Indonesia, ke mana semua harta kekayaan itu digunakan, apabila rakyat sendiri keadaannya sangat memprihatinkan?

Untuk menjamin rasa aman, polisi dan TNI didirikan. Kenyataannya, di dalam tubuh Polri sendiri terjadi kasus pembunuhan dan pengedaran narkoba. Bagaimana bisa menjamin rasa aman, di dalam institusi itu sendiri bahkan tidaklah aman.

Penguasa mengabaikan kebutuhan pokok rakyatnya karena ia berpaham kapitalisme dan menerapkan aturannya. Maka, cara untuk mengembalikan peran asli penguasa agar bertanggung jawab penuh atas rakyatnya adalah harus mengubah sistem yang diterapkan, tidak cukup dengan mengganti penguasa.

Sistem kapitalislah yang menyebabkan rakyat sengsara, maka kapitalisme wajib dilengserkan sebagai sistem kehidupan hari ini. Lalu, siapakah yang bisa menggantikan kapitalisme dan menciptakan kesejahteraan dan menjamin rasa keamanan manusia secara keseluruhan?

Sekitar seabad yang lalu, ada sebuah negara adidaya bernama Khilafah Islam. Khilafah ini menurut para pakar sejarah telah mampu menjamin rasa keamanan bagi seluruh rakyatnya, baik muslim maupun non-muslim. 

Will Durant, dalam bukunya berjudul ‘Story of Civilization’ mengatakan:

“Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapa pun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka.”

Jelas sekali dalam tulisan di atas disebutkan bahwa tidak pernah terjadi fenomena tersebut setelah zaman khilafah berakhir. Fakta pun berkata demikian. Hanya dengan institusi khilafah itu umat manusia bisa hidup dalam kesejahteraan dan keamanan yang tiada banding.

Kenapa negara khilafah bisa menyediakan rasa keamanan yang demikian? Tak lain dan tak bukan hal tersebut diakibatkan karena sistem yang diterapkan di dalamnya adalah sistem Islam.  Sang Pencipta Manusia, Allah Swt. menyebutnya sebagai rahmatan lil’alamin atau rahmat bagi seluruh alam.

Islam adalah agama satu-satunya yang diridai oleh Allah Swt. Kita ketahui bersama, bahwasanya Pencipta itu pastilah yang paling mengetahui apa yang dibutuhkan oleh yang diciptakannya. Oleh karena itu, aturan di dalam Islam pastilah yang terbaik untuk umat manusia.

Hanya saja, aturan Islam itu hanya dapat diterapkan di dalam negara khilafah, bukan yang lainnya. Maka, sistem kapitalisme harus diganti dengan sistem Islam. Begitu juga negara demokrasi ini harus diubah menjadi Daulah Islam. Wallahu a’lam bishawab.

Oleh: Wafi Mu’tashimah
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 15 Oktober 2022

Jadikan Manusia Bermental Rapuh, MMC: Sistem Kapitalisme Gagal Atur Kehidupan

Tinta Media - Muslimah Media Center (MMC) mengungkap kegagalan sistem kapitalisme dalam mengatur kehidupan, sehingga menciptakan manusia-manusia bermental rapuh.

“Tidak bisa dipungkiri bahwa kesehatan mental telah menjadi masalah kesehatan yang belum terselesaikan di tengah-tengah masyarakat baik di tingkat global maupun nasional. Keberadaan Hari Kesehatan Mental Sedunia yang ada sejak tahun 1992 menunjukkan bahwa sistem kapitalisme gagal dalam mengatur kehidupan, sehingga menciptakan manusia-manusia bermental rapuh," tutur narator dalam serba-serbi MMC: Peringati Hari Mental Sedunia Penyakit Mental Masih Pelik dalam Kapitalisme di kanal youtube Muslimah Media Center, Senin (10/10/2022).

Menurutnya, kapitalisme dengan asasnya sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan membuat banyak orang termasuk kaum muslimin tidak memahami tujuan hidupnya.

“Masyarakat sekuler merasa bahwa hidup ini hanyalah mencari kesenangan dunia yang berstandar pada materi sehingga ketika materi, harga dan jabatan, prestis, tidak mampu digapai. Masyarakat akan gagal dan merasa disingkirkan dari hiruk-pikuk kehidupan maka cepat ataupun lambat banyak orang yang akan mengalami depresi dan putus harapan, begitupun ketika ditimpa ujian atau kesulitan hidup,” bebernya. 

"Masyarakat sekuler tidak akan mampu menanganinya dengan cara yang benar justru memilih bunuh diri," tambah narator.

Selain itu sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi negara ini, menurutnya, telah melegalkan aturan yang dibuat oleh manusia yang serba terbatas dan sarat akan kepentingan. "Penguasa akan membuat kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat namun menguntungkan golongannya dan elit kapital, kehidupan rakyat semakin sempit di tengah naiknya harga-harga kebutuhan hidup, PHK masalah kerja terjadi di mana-mana, tidak ada jaminan negara bagi rakyat. Rakyat seakan dibiarkan sendiri menghadapi kesulitan hidup," terangnya. 

“Penguasa dalam sistem kapitalisme hanya bertindak sebagai regulator kebijakan, bukan pelayan umat. Maka tidak heran meski berpuluh-puluh tahun hari kesehatan mental diperingati justru isu kesehatan mental makin merajalela karena sistem kapitalisme-lah yang merupakan pabrik penyakit mental itu sendiri,” paparnya.

Sistem Islam

Hal ini sangat berbeda dengan negara yang menerapkan Islam secara sempurna, lanjut narator, negara khilafah, karena hanya Islam satu-satunya agama dan sistem hidup yang lurus sesuai fitrah penciptaan, menyejahterakan dan mampu mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. 

"Pemimpin dalam Islam akan benar-benar memosisikan diri sebagai ra’in (pengurus urasan rakyat) dan bertanggung jawab karena ia yakin dan menyadari betul bahwa kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat," ungkapnya.

“Khilafah melalui sistem pendidikan islam berbasis akidah mampu mencetak orang-orang yang bermental kuat kuat dan berjiwa kepemimpinan. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk syaksiyyah islamiyyah (kepribadian islam) dan mencetak para ahli, baik ilmu agama maupun ahli ilmu terapan. Pembentukan kepribadian islam akan membentuk masyarakat memiliki keimanan yang kokoh dan senantiasa terikat dengan syariat islam maka masyarakat yang terbentuk adalah orang-orang shalih dan menstandarkan kebahagiaan pada ridha Allah semata,” jelas narator panjang.

Menurutnya, pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia sehingga negara khilafah bertanggungjawab untuk mewujudkan pendidikan terbaik yang mudah diakses setiap rakyatnya.

Narator mengutip kitab Mukaddimah Ad-Dustur UUD negara Islam dalam pasal 173 yang menyebutkan, “negara wajib menyelenggarakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia di dalam kancah kehidupan bagi setiap indivdu baik laki-laki maupun perempuan dalam dua jenjang pendidikan; jenjang pendidikan dasar dan jenjang pendidikan menengah. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara cuma-cuma. Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan secara cuma-cuma.”

Berjalanannya sistem pendidikan yang demikian, kata Narator,  tentunya harus didukung oleh sistem ekonomi yang kuat. Khilafah akan menerapkan sistem ekonomi islam berbasis Baitul mal sehingga mendapatkan sumber-sumber pemasukan negara bagi pembiayaan pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Biaya pendidikan akan diambil dari pengelolaan kepemilikan umum dan kepemilikan negara (fai’ dan kharaj). 

"Inilah gambaran sistem islam yang mampu mencetak generasi cemerlang bermental kokoh selama 13 abad lamanya. Hanya dengan penerapan sistem Islam di bawah naungan khilafah rakyat akan sejahtera, senantiasa dalam ketaatan dan bahagia hakiki,” pungkasnya.[] Khaeriyah Nasruddin

Jumat, 02 September 2022

Penyakit Menular Melanda, Minim Proteksi Negara

Tinta Media - Kementerian kesehatan telah mengumumkan temuan kasus cacar monyet atau monkeypox pertama di Indonesia melalui konferensi pers pada Sabtu, 20 Agustus lalu. Dilaporkan bahwa pasien cacar monyet pertama adalah seorang WNI, yakni pria berusia 27 tahun yang sempat melakukan perjalanan luar negeri (Republika, 27/08/2022).

Cacar monyet telah ditetapkan berstatus darurat kesehatan global sejak Sabtu, 23 Juli 2022 lalu oleh WHO karena telah terjadi di lebih dari 70 negara. Saat ini, sedikitnya 40.000 orang dari 90 negara terinfeksi virus cacar monyet dan 12 orang di antaranya meninggal dunia.

Penularan dari binatang ke manusia diyakini terjadi akibat perjalanan internasional ke negara-negara yang terpapar virus ini atau melalui binatang impor. Kemenkes menegaskan bahwa penyakit ini menular lewat kontak langsung dengan orang yang terjangkit virus cacar monyet, misalnya dengan droplet, lesi kulit dan benda yang terkontaminasi virus tersebut. Artinya, meskipun monkeypox tidak seganas Covid-19, tetap saja merupakan penyakit menular yang bisa menyerang siapa saja yang kontak dengan penderita. 

Masuknya cacar monyet membuktikan tiadanya proteksi atas penyakit menular di negeri ini sejak awal kemunculannya.
Dunia kapitalisme tidak segera mengambil tindakan untuk menghentikan penyebaran virus di awal kemunculannya. Hal ini nampak dari penetapan darurat penyakit menular setelah tersebar di lebih dari 70 negara.
Kematian akibat penyakit ini pun diukur dengan persentase dan dianggap tidak berbahaya selama kematian di bawah satu persen dari total pasien tertular. Dari sini, negara diharapkan bisa bersikap tegas, jangan sampai kesalahan penanganan Covid-19 kembali terulang. 

Namun, negara kapitalis sendiri telah menempatkan kepentingan materi di atas kepentingan pemeliharaan jiwa manusia. Penutupan akses antarnegara untuk mencegah penularan virus yang belum tersebar luas tentu dipandang sebagai kerugian bagi negara-negara yang menerapkan sistem kapitalis. Sebab, hal ini akan menghambat distribusi barang dan jasa dan tentunya merugikan para korporasi yang sejatinya menjadi pengendali dunia hari ini, meskipun kesehatan dan nyawa manusia jadi taruhannya. 

Berbeda dengan khilafah atau negara Islam yang menerapkan Islam secara kaffah. Sistem Islam memandang bagaimana seluruh problematika manusia selesai. Menjaga jiwa manusia adalah salah satu tujuan dari penerapan syariat Islam. Karena itu, saat ditemukan satu saja pasien yang terinfeksi penyakit menular, maka khalifah sebagai pemimpin negara akan segera mengambil tindakan untuk mencegah penularan tanpa menunggu penemuan pasien di wilayah lain ataupun kematian yang diakibatkannya.

Rasulullah saw. bersabda, "Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar dari tempat itu" (HR. Muslim)

Kemudian negara akan segera memisahkan antara yang sehat dan yang sakit. Hal ini bisa dilakukan dengan dua pendekatan, 

Pertama, penelusuran orang yang terjangkit penyakit menular. pada setiap pasien yang mengalami keluhan kesehatan, dilakukan pengecekan apakah ada yang terpapar. 

Kedua, melakukan penelusuran umum, yakni pemeriksaan pada warga masyarakat umum agar diketahui apakah terjadi penyakit menular. Hal ini bisa dilakukan melalui tempat-tempat publik, seperti bandara, stasiun, terminal, dan lain-lain.

Khalifah juga akan segera melakukan penelitian terkait virus yang menimbulkan penyakit dan dampak mortalitas atau kematian, serta mengembangkan vaksin dengan prosedur yang efektif dan efisien. Khalifah juga mengembangkan dan menyediakan obat-obatan yang penting untuk mengobati pasien yang terinfeksi penyakit menular. Penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan akan mencegah penyakit menular dan menuntaskan hingga ke akarnya.

Sebagai orang beriman yang memiliki tanggung jawab besar, sudah selayaknya para pemimpin muslim belajar dari sejarah. Jangan sampai kasus Covid-19 kembali terulang. Wallahu alam.

Oleh: Riana Annisa
Sahabat Tinta Media

Kamis, 01 September 2022

MMC: Kapitalisme Letakkan Kepentingan Materi Diatas Pemeliharaan Jiwa Manusia

Tinta Media - Menanggapi masalah temuan kasus cacar monyet (monkeypox) pertama di Indonesia oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Narator Muslimah Media Center (MMC) menilai kapitalisme telah meletakkan kepentingan materi diatas kepentingan pemeliharaan jiwa manusia.

"Kapitalisme telah meletakkan kepentingan materi diatas kepentingan pemeliharaan jiwa manusia," tuturnya dalam Serba-serbi MMC : Cacar Monyet Masuk Indonesia, Minim Upaya Pencegahan? di kanal Youtube Muslimah Media Center, Kamis (25/8/2022).

Menutup askes antar negara, lanjutnya, untuk mencegah penularan virus yang belum tersebar luas, merupakan kerugian bagi negara-negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Sebab hal ini akan menghambat distribusi barang dan jasa. Dan tentu akan merugikan para koorporasi yang sejatinya menjadi pengendali dunia hari ini. Alhasil kesehatan dan nyawa manusia jadi taruhannya.

"Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah mengumumkan temuan kasus cacar monyet (monkeypox) pertama di Indonesia melalui konferensi pers, Sabtu (20/8/2022) pukul 17.00 WIB melalui zoom dan kanal youtube Kementerian Kesehatan. Kemenkes melaporkan pasien cacar monyet pertama pada seorang WNI, yakni pria berusia 20 tahun yang sempat melakukan perjalanan luar negeri," ujarnya. 

Ia menjelaskan, cacar monyet telah ditetapkan berstatus darurat kesehatan global, sejak Sabtu (20/8/2022) lalu oleh World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia. Menurut Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, cacar monyet memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai keadaaan darurat ketika sudah terjadi di lebih dari 70 negara. Saat ini sedikitnya 40.000 orang dari 90 negara terinfeksi virus cacar monyet, dan 12 orang diantaranya meninggal dunia.

"Sebagaimana diketahui bahwa cacar monyet merupakan penyakit langka disebabkan oleh virus cacar monyet. Virus cacar monyet berasal dari family yang sama dengan virus penyebab cacar. Oleh karena itu gejalanya juga mirip dengan cacar biasa. Penyakit ini pertama kali ditemukan pada kera yang dipelihara untuk penelitian pada tahun 1958. Oleh karena itu cacar jenis ini disebut cacar monyet. Penularan dari binatang ke manusia diyakini terjadi akibat perjalanan internasional ke negara-negara yang terpapar virus ini melalui binatang impor," jelasnya.

Kemenkes menegaskan, penyakit ini menular lewat kontak langsung dengan orang yang terjangkit virus cacar monyet, bisa dengan droplet, lesi kulit, dan benda yang terkontaminasi virus tersebut. Untuk mencegah penularan, Kemenkes telah menyiapkan obat-obatan dan vaksinasi. 

"Masuknya cacar monyet membuktikan tiadanya proteksi atas penyakit menular di negeri ini. Sejak awal kemunculannya, dunia kapitalisme tidak segera mengambil tindakan untuk menghentikan sebaran virus berbahaya ini. Hal ini nampak dari penetapan darurat penyakit menular ini setelah menular di lebih dari 70 negara. Kematian akibat penyakit ini pun dihitung dengan persentase dan dianggap tidak berbahaya selama kematian dibawah 1% dari total pasien tertular," tegasnya.

Ia pun menilai, berbeda dengan khilafah atau negara Islam yang menerapkan Islam secara kaffah. Islam telah menjadikan seluruh fokus permasalahan pada manusia itu sendiri. Sehingga seluruh kebijakan yang diambil oleh penguasa adalah bagaimana agar seluruh permasalahan manusia selesai. Menjaga jiwa manusia adalah salah satu tujuan dari penerapan syariat Islam. Karena itu, saat ditemukan saja satu pasien yang terinfeksi penyakit menular, maka khilafah akan segera mengambil tindakan untuk mencegah penularan tanpa menunggu penemuan pasien di wilayah lain, ataupun kematian akibat wabah. 

"Sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, wabah hanya bisa dicegah dengan mengisolasi daerah yang terkena wabah, sementara penduduk di luar wabah beraktivitas seperti biasa," ujarnya mencontohkan.

Rasulullah SAW bersabda, "Apabila kalian mendengarkan wabah di suatu tempat, maka janganlah memasuki tempat itu. Dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu, maka janganlah keluar dari tempat itu." (HR.Muslim)

Kemudian, lanjutnya, negara akan segera memisahkan antara yang sehat dan yang sakit. Hal ini bisa dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama, proses Tracking atau penelusuran orang yang terjangkit penyakit menular. "Setiap pasien yang mengalami keluhan kesehatan, dilakukan pengecekan apakah ada yang terpapar," jelasnya.

Langkah Kedua, bisa juga dengan melakukan penelusuran umum, yakni pemeriksaan pada warga masyarakat umum agar diketahui apakah terjangkit penyakit menular. "Bisa melalui tempat-tempat publik seperti bandara, stasiun, terminal, dan lain-lain," paparnya. 

"Konsep sistem kesehatan dalam Islam, negara mengobati pasien penderita wabah secara gratis, profesional dan tidak mendasarkan pelayanan pada kembalinya uang. Khilafah justru diwajibkan syariah untuk membantu mereka yang membutuhkan perawatan secara gratis," bebernya. 

Ia membeberkan, pasalnya jaminan kesehatan dalam Islam memiliki 4 sifat. Pertama Universal, artinya tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian pelayanan kepada rakyat. 
Kedua, bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapat pelayanan kesehatan.

Ketiga, seluruh rakyat bisa mengakses seluruh layanan kesehatan dengan mudah. 
Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis bukan dibatasi plafon seperti halnya JKN atau BPJS. Negara menanggung semua biaya pengobatan warganya. 

Ia menambahkan, selain itu khilafah juga akan segera melakukan spesifitas virus yang menimbulkan penyakit dan dampak moralitas (kematian) serta morbiditasnya (kesakitan). Vaksin akan dikembangkan dengan prosedur yang seefektif mungkin. Mengingat dana pembiayaan berasal dari amanah wakaf untuk kepentingan sebesar-besarnya umat manusia.

"Khilafah juga akan menyediakan cara yang efisien untuk meneliti dan mengembangkan obat-obatan yang penting untuk mengobati pasien yang terinfeksi penyakit menular," tandasnya. 

"Hanya dibawah penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, penyakit menular akan dicegah dan dituntaskan hingga ke akar-akarnya," pungkasnya.[] Willy Waliah

Sabtu, 02 Juli 2022

Hampir Satu Milyar Penduduk Dunia Alami Gangguan Kesehatan Mental, Ustazah Iffah: Indikasi Sistem Saat Ini Banyak Persoalan


Tinta Media - Menanggapi rilis WHO yang menyampaikan bahwa hampir satu milyar penduduk dunia alami gangguan kesehatan mental, Aktivis Muslimah Ustazah Iffah Ainur Rochmah mengungkapkan, hal itu sebagai indikasi atau penanda bahwa sistem yang berjalan di dunia ini menghasilkan banyak persoalan.

"Nah ini kita bisa jadikan sebagai indikasi atau sebagai penanda bahwa sistem yang berjalan di dunia ini menghasilkan banyak persoalan," tuturnya kepada Tinta Media, Senin (27/06/2022).

Ia mengurai berbagai persoalan sistemik yang muncul. Mulai dari persoalan ekonomi,  persoalan keluarga (berupa tidak harmonisnya hubungan keluarga, retaknya keluarga), kemudian tidak harmonisnya hubungan antar individu-individu di masyarakat, persoalan sosial, dan persoalan politik  yang terjadi karena pengaturan berbagai urusan kehidupan masyarakat tidak diselesaikan dengan baik.

Tidak Ada Harmonisasi

Menurutnya, munculnya gangguan kesehatan mental paling besar diakibatkan oleh tidak adanya harmonisasi. Baik harmonisasi di dalam hubungan keluarga, di dalam hubungan sosial antar individu masyarakat maupun kemudian terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan masyarakat khususnya kebutuhan ekonomi, kebutuhan layanan kesehatan, dan seterusnya.

"Coba kita bayangkan ketika tidak baik-baik saja atau tidak harmonis, kondisi tidak ideal dalam kehidupan berkeluarga, maka kita bisa saksikan ada anak-anak yang sejak kecil menyaksikan kedua orang tuanya bertengkar atau konflik, maka ini menjadi satu pukulan mental tersendiri bagi anak-anak," paparnya.

Bahkan, lanjutnya, di usia dewasa banyak juga orang yang kemudian mengatakan, "Oh saya tidak mau berumah tangga, karena saya tidak ingin nanti mengalami kondisi yang sama dengan orang tua," kutipnya.

Kekerasan dalam Rumah Tangga

"Apalagi kalau mereka melihat terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, misalnya adanya kekerasan fisik yang dilakukan oleh keluarganya baik kepada ibu ataupun kepada anak-anak. Ini juga menjadi trauma tersendiri dan mengakibatkan gangguan mental, gangguan kesehatan mental pada anak-anak," terangnya.

Belum lagi, ungkap Ustazah Iffah, kalau kita lihat karena banyaknya anak-anak itu terpapar content-content kekerasan  atau mereka juga menyaksikan, mengalami langsung menjadi korban kekerasan itu di dalam keluarganya, maka mereka menduplikasi, mereka meniru apa yang dilakukan oleh orang-orang dewasa di sekitar mereka, yang mereka tonton di media, maka ini juga membuat mereka melakukan buliying (perundungan) serupa kepada yang lainnya, belum lagi soal kekerasan seksual, dan seterusnya.

"Nah ini memang berakibat pada gangguan-gangguan kesehatan  mental, baik pada anak-anak di usia tumbuh kembang mereka, ataupun pada saat mereka di usia yang lebih dewasa," ujarnya.

Mereka yang pada usia anak-anak mengalami kekerasan seksual misalnya, maka di usia dewasa juga akan mengalami trauma tersendiri atau bahkan ada sebagian yang disampaikan oleh riset-riset yang ada, bahwa pelaku kekerasan seksual bahkan predator seksual itu adalah orang-orang yang dulunya di masa kecil, mereka mengalami kekerasan serupa.

Kekerasan Ekonomi

Ustazah Iffah memandang, orang yang mengalami atau orang yang menghadapi kehidupan yang sangat sulit secara ekonomi (secara ekonomi mereka mengalami kesulitan), mereka tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya, maka ada semacam persoalan gangguan kesehatan mental di usia yang lebih dewasa.

"Mereka seperti ingin take revenge (seperti ingin balas dendam). Kita bisa lihat beberapa waktu yang lalu kasus crazy rich 'yang melakukan' bisnis penipuan, trading, kemudian sejenisnya, itu adalah orang-orang yang dia katakan, 'Dulu saya punya orang tua yang tidak bisa memenuhi kebutuhan saya, secara ekonomi sangat sulit'," kutipnya.

Ia menilai ungkapan 'secara ekonomi sangat sulit' itu tidak dipahami sebagai hal yang tidak bisa diterima secara mudah, karena mereka melihat ada orang lain yang bisa memiliki apa saja. Jadi, ada kesenjangan yang luar biasa. Orang yang kaya sangat kaya, orang yang miskin sangat juga miskin.

"Nah, ini juga menyebabkan gangguan gangguan pada kesehatan mental. Nah, otomatis kalau kita merunut dari beberapa contoh kasus tadi, kita bisa lihat memang problem kesehatan mental ini bukan problem yang bersifat subjektif dialami oleh individu-individu yang tak mampu menghadapi msalahnya, bukan hanya itu. Tapi ini adalah problem sistemik," pungkasnya. []'Aziimatul Azka

Selasa, 28 Juni 2022

KRIS BPJS, Mampukah Mewujudkan Keadilan?


Tinta Media - BPJS kesehatan akan menghapus layanan rawat inap berjenjang menjadi kelas rawat inap standar (KRIS). Dengan demikian, ke depannya pasien yang menggunakan BPJS tidak akan ada klasifikasi kelas 1,2, dan 3. Semua pasien akan mendapatkan layanan dalam ruang kelas inap yang sama atau tunggal.

Sepintas kebijakan ini seperti memberikan keadilan sosial bagi masyarakat, karena tidak ada jenjang terhadap layanan rawat inap. Hanya saja, menurut YLKI, dari sisi perlindungan konsumen rencana ini perlu dikritisi. Salahsatunya karena untuk peserta BPJS kesehatan existing yang saat ini terdaftar di kelas 1 (satu), harus secara sukarela turun kelas dan menyesuaikan KRIS.

Nah, untuk pasien eks kelas 1 yang tidak  mau dirawat inap di ruang bersama, maka dipersilahkan naik ke kelas VIP yang dimiliki rumah sakit. Tentu saja dengan konsekuensi membayar selisih biaya, menjadi pasien umum, atau dicover asuransi swasta (jika punya). Sedang peserta existing yang terkelompok di kelas 3, terpaksa harus naik kelas. Tentu saja konsekuensi iuran juga berpotensi naik.

Dengan demikian, patut diduga bahwa kelas standar (KRIS) ini digagas untuk mengakomodasi kepentingan asuransi komersial. Pihak RS akan berlomba memperbanyak ruang VIP untuk mengakomodir peserta JKN yang tidak mau menggunakan kelas standar. 

Dari paparan di atas, semakin nampak bahwa saat ini pemerintah semakin berlepas tangan terhadap pelayanan kesehatan yang sejatinya bagian dari kebutuhan mendasar manusia. Pihak swasta diberikan "jatah bermain" di area yang seharusnya tidak boleh mengambil keuntungan di sana.

Namun sayang, karena saat ini sistem yang berjalan berorientasi pada materi, maka seluruh cabang kehidupan termasuk kesehatan menjadi lahan basah untuk mengeruk keuntungan bagi siapa pun yang memiliki modal. Akhirnya, pihak yang kuat akan menguasai pihak yang lemah. Wajar kalau saat ini muncul pernyataan "orang miskin dilarang sakit". 

Dalam kacamata syariat Islam, kesehatan adalah aspek yang menjadi kebutuhan mendasar manusia. Pemenuhannya menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan individu. Karena itu, tidak boleh bagi para pemimpin memungut uang dari masyarakat untuk membiayai kesehatannya sendiri.

Pengaturan ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Rasulullah saw. tak pernah memungut biaya bagi umatnya untuk memperoleh jaminan kesehatan. Hal itu tercantum dalam hadis HR. Muslim 2207 saat salah seorang sahabat sedang sakit, dan dokter memotong urat dan mengobatinya.

"Dalam hadis tersebut, Rasulullah saw. sebagai kepala negara Islam telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu."

Demikianlah pengaturan Islam tentang kesehatan. Justru Islamlah satu-satunya sistem yang akan memberikan keadilan sebenarnya kepada masyarakat. Hanya saja, kebijakan ini hanya akan bisa direalisasikan jika pemerintah saat ini mau mengambil Islam sebagai landasan dalam pengambilan seluruh kebijakan. Maka, sudah saatnya negeri ini kembali kepada syariat Islam, apalagi yang kita tunggu?

Wallahu'alam

Oleh: Fenti
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab