Tinta Media: Kesehatan
Tampilkan postingan dengan label Kesehatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kesehatan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 06 Juli 2023

Aktivis ’98 Tidak Setuju Solusi Industrialisasi Kesehatan Atasi Darurat Kesehatan

Tinta Media - Aktivis 98 Agung Wisnuwardana menyampaikan tidak setuju RUU Kesehatan sebagai solusi terhadap input-input kesehatan yang meliputi pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan, informasi kesehatan, alat-alat kesehatan (termasuk vaksin dan teknologi), pembiayaan kesehatan, dan kepemimpinan terkait dengan kesehatan. 

“Saya tidak setuju bahwa RUU Kesehatan ini dianggap sebagai solusi terhadap input-input Kesehatan," tuturnya dalam Program Islamic Lawyers Forun: Ada Apa Dengan RUU Kesehatan, di kanal Youtube Rayah TV, Ahad (25/6/2023).

Agung khawatir input kesehatan akan berubah dari pendekatan pelayanan kesehatan (health care) menuju industri kesehatan (health industri). Menurutnya, industrialisasi ini akan menyebabkan peran pemerintah hilang posisinya dalam melayani bidang kesehatan. 

“Saya khawatir industrialisasi pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan, informasi kesehatan, alat-alat kesehatan, vaksin, dan teknologi, termasuk industrialisasi pembiayaan kesehatan dan kepemimpinan kesehatan. Dan kita sudah memiliki industrialisasi pembiayaan kesehatan berupa BPJS. BPJS ini bukan pelayanan tapi iuran gotong royong semua warga masyarakat untuk membiayai dirinya sendiri,” jelasnya.

Ia menegaskan permasalahan yang belum diselesaikan dalam bidang kesehatan ini adalah pelayanan kesehatan yang didominasi oleh rumah sakit-rumah sakit umum swasta dan kurangnya tenaga kesehatan. Rumah sakit swasta itu dominan di provinsi padat penduduk dengan angka persentasenya melebihi sekitar 70 persen untuk pelayanan masyarakat.

“Artinya pelayanan yang diberikan negara kepada masyarakat lebih sedikit daripada pelayanan yang diberikan swasta,” tegasnya.

Sedangkan kurangnya tenaga kesehatan, misalnya untuk penanganan jantung dibutuhkan dokter spesialis yang tidak bisa dadakan tetapi membutuhkan waktu 15 tahun untuk menyiapkannya. Ia mengkritisi penyelesaian yang diajukan oleh pemerintah dengan liberalisasi tenaga kesehatan yang tertuang dalam RUU Kesehatan.

“Di RUU Kesehatan ini diberi ruang agar tenaga kesehatan dari luar bisa masuk ke negeri ini. Ini menjadi titik kritis luar biasa dan saya katakan anggap saja kalau misalnya rumah sakit itu akan masuk digelandang ke negeri ini, swastanisasi terkait dengan rumah sakit,” kritiknya.

Ia menilai bahwa untuk alat, teknologi, vaksin bisa segera diselesaikan permasalahannya tetapi tenaga kesehatan tidak bisa diberikan dalam waktu singkat. Maka diperlukan pembenahan di bidang pendidikan kesehatan.

Ia berpendapat sebagai seorang aktivis dibutuhkan penyelesaian yang lebih manusiawi terkait dengan masalah kesehatan ini.

“Menurut pandangan saya, penyelesaian (solusi) darurat Kesehatan dari Menteri Kesehatan Bapak Budi Gunadi dengan industrialisasi input kesehatan ini namanya menyelesaikan masalah dengan masalah, tidak akan menyelesaikan masalah,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Praktisi Kesehatan Sampaikan Dua Poin Penting Terkait RUU Kesehatan

Tinta Media - Praktisi Kesehatan dr. Atim menyampaikan dua poin penting menanggapi RUU Kesehatan. 

“Pertama, dari sisi saya sebagai seorang dokter, praktisi kesehatan bahwa RUU Kesehatan ini ternyata tidak ada jaminan perlindungan hukum ketika seorang dokter itu melakukan tugasnya. Sedangkan kedua, dari sisi masyarakat, saya melihat ke depannya akan lebih berat dalam memenuhi kebutuhan kesehatannya,” ungkapnya dalam Program Islamic Lawyers Forum: Ada Apa Dengan RUU Kesehatan, di kanal Youtube Rayah TV, Ahad (25/6/2023).

Poin pertama, menurutnya dicontohkan pada beberapa kasus dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang pernah dianiaya oleh keluarga pasien atau yang mengaku keluarga pasien.

“Contoh nyata yaitu waktu kasus di Lampung, tenaga medis dipukuli. Saya sebagai teman sejawat merasa kasihan, orang yang berusaha menolong pasien dengan sepenuh hati untuk menyelamatkan jiwa pasien, kok masih dipukuli,” tuturnya.

Maka ia mengharapkan ke depannya para praktisi kesehatan, para tenaga medis, para medis itu lebih terlindungi ketika memberikan pelayanan kesehatan. 

“Maksudnya ada payung hukum yang melindungi mereka. Karena dalam pandangan saya, seorang dokter, seorang perawat, atau tenaga medis yang lain, mereka melaksanakan tugasnya. Insyaa Allah mereka itu benar-benar mau menolong pasiennya,” harapnya.

Sedangkan poin kedua, ia mengkritisi beban kesehatan masyarakat menjadi semakin berat dipenuhi. Hal ini disebabkan biaya kesehatan yang ditanggung oleh masyarakat.

“Alasannya karena adanya data anggaran negara terkait kesehatan akan dihilangkan dari APBN sebesar 5-10%, mungkin sekitar 2000 triliun. Jumlah itu saja masih kurang untuk kesehatan, apalagi jika akan dihilangkan,” kritiknya.

Kembali dr. Atim menyampaikan harapannya terkait RUU Kesehatan ini ke depannya mampu memperbaiki kondisi masyarakat, termasuk dalam pelayanan kepada masyarakat dan lebih menjamin kesehatan masyarakat.

“Tentu ini harapan kita semua, baik masyarakat kalangan atas, kalangan bawah, dan kalangan menengah, semuanya bisa mengakses fasilitas-fasilitas kesehatan dengan mudah dan murah,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Senin, 26 Juni 2023

Islam Menjamin Kesehatan Rakyat

Tinta Media - Narator Rayah TV menuturkan bahwa di dalam Islam, kesehatan rakyat dijamin oleh negara dengan menyediakan sarana dan  fasilitas kesehatan yang dibutuhkan rakyat.

“Islam mewajibkan negara menyediakan Rumah Sakit, klinik, dokter, tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya yang diperlukan oleh rakyat," ungkap Narator Rayah TV dalam tayangan Selama Ini Kita Ditipu BPJS Kesehatan? Kamis (22/6/2023) di kanal Youtube Rayah TV. 

Menurutnya, hadirnya negara adalah untuk mengurusi melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. "Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Imam atau Penguasa adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus,” terangnya.

Ia mengatakan, dalam Islam jaminan kesehatan memiliki tiga sifat.

Pertama, berlaku umum tanpa diskriminasi. Dalam arti tidak ada pengkelasan dalam pemberian layanan kesehatan kepada rakyat, baik muslim maupun non muslim. Kedua, bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya apapun untuk mendapat pelayanan kesehatan oleh negara. Ketiga, seluruh rakyat harus diberi kemudahan untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan oleh negara.

Ketiga sifat ini dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saat menjabat sebagai kepala negara dan dilanjutkan oleh para khalifah setelahnya,” tuturnya.

"Inilah Khilafah, model Negara Islam yang berbeda jauh dengan negara demokrasi saat ini!” pungkasnya. [] Abi Bahrain

Minggu, 18 Juni 2023

Ini yang Terjadi ketika Kesehatan Dikaitkan dengan Industri


Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) menuturkan, layanan kesehatan yang semestinya menjadi hak mendasar bagi masyarakat, jika dikaitkan dengan industri maka yang bicara adalah benefit, untung rugi, cost, investasi dan profit.

"Kesehatan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi masyarakat. Namun, ketika layanan kesehatan berbicara terkait industri, maka di situ akan bicara terkait benefit, bicara untung rugi, cost, bicara investasi dan profit," tuturnya dalam Focus to the Point: Liberalisasi Kesehatan, Rakyat Semakin Susah, Rabu (14/6/2023) di kanal YouTube UIY channel.

Ustadz Ismail Yusanto menyebutkan, ini hari pelayanan dalam bidang kesehatan telah mengalami pergeseran. "Kesehatan yang semestinya ditempatkan sebagai kewajiban negara dalam pelayanan warganya sudah beralih menjadi industri," sesalnya. 

Sebagai contoh, ketika pasien berhadapan dengan dokter, maka pasien tidak punya pilihan obat apa yang harus diminum. "Baik terkait jenis dan macam obatnya apa yang harus digunakan?" ujarnya. 

"Ditulis sesuai dengan resep dokternya, sampai termasuk juga harganya, hampir hampir tidak punya pilihan. Bahaya sekali resep yang ditulis, sikap pelayanan dokter kepada pasien bila dalam rangka mencari keuntungan," tambahnya. 

UIY mengatakan, pasien hampir hampir tidak memiliki pilihan, bahasa yang penting "bisa sembuh" kemudian dieksploitasi. "Muncul guyonan, pasien itu sakit dua kali, yang pertama sakit karena sendiri dan yang kedua sakit karena harus membayar biaya sakitnya," ungkapnya.

Jika dilihat dari kegiatan ekonomi yang adil atau memegang prinsip fairness, menurutnya, seorang pasien itu seharusnya memiliki pilihan, harus ada multiple provider, penyedia atau supplier, ada beberapa penawar sehingga pasien memiliki pilihan

"Namun pada kondisi saat ini, liberalisasi kesehatan sudah mengarah kepada orientasi dokter itu akan menjadi kepanjangan tangannya perusahaan farmasi, kepanjangan tangannya Rumah Sakit dan menjadi kepanjangan tangannya pemilik modal," sesalnya.

Rumah sakit menjadi kepanjangan tangannya pemilik modal, penyedia peralatan dan perusahan asuransi. "Ini saling mengikat menjadikan rumah sakit itu sebagai Rumah eksploitasi pasien," terangnya.

Ketika kesehatan dieksploitasi sedemikian rupa, maka akan berefek menimbulkan suasana sakit kepada setiap orang yang sakit itu karena memikirkan biaya rumah sakit. "Lebih jauh lagi bila liberalisasi bidang kesehatan ini terus bergulir, maka industrialisasi dalam bidang kesehatan itu akan semakin dominan dalam sebuah negara," jelasnya 

UIY mengingatkan peran negara sangat dibutuhkan dalam bidang kesehatan, begitu pun juga bidang lainnya seperti bidang pendidikan. "Negara harus jelas duduk posisinya," pungkasnya.[] Pakas Abu Raghib.

Jumat, 16 Juni 2023

RUU KESEHATAN: TERJADI PERUBAHAN PARADIGMA DARI HEALTH CARE MENJADI HEALTH INDUSTRY?

Tinta Media - Merujuk konsideran atau dasar pertimbangan didalam RUU Kesehatan terdapat penegasan secara jelas tanpa keraguan yaitu

Bahwa pembangunan kesehatan masyarakat semakin terbuka sehingga menciptakan kemandirian dan mendorong perkembangan industri kesehatan nasional pada tingkat regional dan global serta mendorong peningkatan layanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan kemakmuran yang berkelanjutan;

Di dalam pertimbangan tersebut terdapat 2 (dua) frasa yang dinilai mendorong liberalisasi kesehatan yaitu MENCIPTAKAN KEMANDIRIAN dan MENDORONG INDUSTRI KESEHATAN.

Mengutip pendapat Shaffer dalam bukunya yang berjudul Child Development, menyatakan kemandirian adalah kemandirian sebagai kemampuan untuk membuat keputusan dan menjadikan dirinya sumber kekuatan diri sehingga tidak bergantung kepada orang lain atau ”the capacity to make decisions independently, to serve as one`s own source of strength, and to otherwise manage one`s life tasks without depending on others for assistance”.

Jika berdasarkan definisi di atas, yang menjadi pertanyaan adalah apakah Pemerintah bermaksud mendorong agar rakyatnya tidak bergantung kepada Pemerintah dalam hal kesehatan? Mendorong agar rakyatnya untuk berupaya sendiri untuk memperoleh fasilitas kesehatan?

Jika itu yang dimaksud, apakah Negara tidak masuk kategori berlepas diri dari urusan rakyatnya? Menjauhkan peran negara dalam urusan pelayanan kesehatan dan cenderung menyerahkan pada mekanisme pasar. 

Padahal, kewajiban negara adalah menjamin kesehatan bagi setiap warga negara, seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 28 H ayat 1, UUD 1945 pasal 34 ayat 3, UU No. 26 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Sedangkan BPJS tidak murni tanggung jawab negara karena masyarakat turut serta menanggung biaya kesehatan dengan cara iuran, masyarakat saling bahu-membahu atau gotong royong dengan mengumpulkan iuran bulanan termasuk rakyat miskin pun mesti iuran BPJS jika ingin mendapatkan fasilitas kesehatan.

Sedangkan terkait Industri Kesehatan, apabila dimaknai perlu dikembangkan oleh negara tanpa swastanisasi/privatisasi untuk mengurangi ketergantungan pada obat dan alat kesehatan impor, maka ini sangat baik.

Namun jika dimaknai sebagai privatisasi/swastanisasi maka akan menjadi persoalan karena dikhawatirkan akan menyerahkan kepada mekanisme pasar.

Masyarakat seolah-olah berhadapan dengan pasar yang diasumsikan mempunyai tangan tak terlihat (invisible hands) dan akan menghasilkan keadaan yang tidak menguntungkan bagi semua pihak. 

Dengan kata lain, privatisasi yang bertujuan untuk efisiensi anggaran negara dapat berdampak negatif pada warga bahkan menghasilkan perubahan sosial negatif yakni terfragmentasinya masyarakat oleh pasar sehingga membuat mereka semakin tidak berdaya.

Potensi perubahan paradigma dari health care menjadi health industry dapat menghilangkan substansi utama dari pelayanan kesehatan.

Semoga yang demikian tidak terjadi.

Demikian.
IG @chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH Pelita Umat dan Mahasiswa Doktoral

Kamis, 15 Juni 2023

Help Shariah: RUU Kesehatan Berpotensi Kriminalisasi Nakes

Tinta Media - Ancaman mogok kerja nasional atau cuti kerja tenaga kesehatan (nakes) sebagai akibat dari UU (Undang Undang) Omnibus Law Kesehatan yang tidak transparan, dinilai berpotensi mengkriminalisasi dokter dan tenaga kesehatan. 

"Tidak transparannya RUU Kesehatan ini berpotensi mengkriminalisasi dokter dan para tenaga kesehatan (nakes),” tutur Anggota Help Shariah dr. Mustaqim dalam Program Kabar Petang: Nakes Melawan di kanal Youtube Khilafah Channel, Kamis (8/6/2023)

Ia memaparkan, potensi kriminalisasi tenaga kesehatan adalah salah satu poin dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) maupun ikatan profesi lainnya tidak setuju jika pembuatan UU Kesehatan dilanjutkan.

“Sebenarnya akad (ijarah) dari dokter dengan pasien adalah akad pengobatan, akad pemeriksaan, kemudian pengarahan kepada pengobatan, bukan akad untuk kesembuhan. Di RUU ini berpotensi bahwa akad yang diminta pasien adalah kesembuhan. Maka seandainya seorang dokter tidak bisa menyembuhkan, itu bisa berpotensi dijadikan lalai sehingga bisa dipidanakan,” paparnya.

Selama ini, dr. Mustaqim menyebutkan tidak bisa memidanakan dokter yang bekerja sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP), lalu hasilnya di luar dugaan. Ketika kemudian dokter melakukan sesuatu yang tidak disengaja atau ada efek samping, seperti Johnson Syndrom, yakni suatu darurat medis, merupakan reaksi terhadap obat atau infeksi. Itu tidak bisa dipenjara atau dipidanakan.

“Tetapi dengan adanya rancangan undang-undang saat ini, itu bisa-bisa untuk dituntut. Itulah kemudian berpotensi untuk mengkriminalkan dokter maupun tenaga kesehatan,” ujarnya.

Simalakama

Ia berpendapat mogok kerja atau cuti kerja bagi nakes itu simalakama. “Sebab sektor kesehatan masyarakat akan mengalami kendala, tetapi sudah disiasati oleh panitia bahwa yang akan dicutikan itu pelayanan-pelayanan non emergency sedangkan unit emergency serta obat atau ICU dan sebagainya tetap melakukan tugasnya sehari-hari,” ucapnya.

Simalakamanya, menurut dr. Mustaqim, para nakes ini mempertaruhkan nama baiknya, tetapi cuti kerja ini tetap harus dilakukan.

“Apabila tidak dilakukan akan ada kegiatan atau ada sesuatu yang buruk, yang lebih besar akan terjadi. Sehingga para tenaga kesehatan ini melakukan aksi nasional, ini sudah kedua kalinya. Jika tetap dilanjutkan untuk dilakukan pembahasan , maka cuti kerja nasional kembali dilakukan,” tuturnya.

Ia mengakhirinya dengan mengatakan bahwa sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim termasuk tenaga kesehatan ini adalah mengoreksi kebijakan pemerintah yang salah.

“Mengoreksi kebijakan pemerintah yang salah dari kacamata ilmiah, kacamata kesehatan, kacamata masyarakat, dan tentu saja salah dalam kacamata Islam,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Minggu, 11 Juni 2023

IJM: RUU Kesehatan Seharusnya Fokus pada Pelayanan Kesehatan

Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana membeberkan bahwa  Rancangan Undang-Undang (RUU ) kesehatan Omnibus Law harus fokus terhadap pelayanan kesehatan. 

"RUU kesehatan seharusnya berfokus pada penuntasan problem serius saat ini yakni kelalaian negara dalam menjamin kebutuhan tiap individu publik terhadap pelayanan kesehatan," ujarnya dalam program Aspirasi: Ribuan Dokter dan Perawat Turun Ke Jalan! Jalan Gatot Subroto Lumpuh, Senin (5/6/2023) di kanal Youtube Justice Monitor. 

Ia mengatakan pemerintah sering membuat aturan yang tidak menjawab kebutuhan masyarakat. Permasalahan yang sudah ada hanya akan ditumpuk dengan masalah lain melalui solusi yang tidak tuntas yang ditawarkan oleh pemerintah. 

"Pasalnya yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah jaminan mendapatkan pelayanan kesehatan yang gratis profesional dan tidak diskriminatif," tegasnya. 

Ia mengungkapkan harga pelayanan kesehatan semakin mahal, di samping itu seiring meluasnya cakupan pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( BPJS ) Kesehatan, kualitas pelayanan makin mengirit dan makin jauh dari harapan. diskriminasi pelayanan kesehatan pun Kian kronis dan meluas tidak sekali dua kali. 

"Inilah pil pahit kelalaian negara yang harus ditanggung oleh masyarakat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya konsekuensi logis akibat penerapan peraturan perundang-undangan sekuler kapitalisme di bidang kesehatan," bebernya. 

Ia menyatakan akar persoalan kelalaian itu berlangsung sejalan dengan dilegalkannya industrialisasi sistem kesehatan yang berujung pada kesengsaraan publik dan tergadainya idealisme insan kesehatan," ungkapnya. 

"Peristiwa getir masyarakat ketika berupaya mendapat pelayanan kesehatan bagi kesembuhan dan keselamatan jiwa mereka sebut saja kematian pasien miskin rumah sakit umum daerah ( RSUD ) bulukumba di kantor pendudukan catatan sipil (Dukcapil) saat mengurus kartu tanda penduduk (KTP)," imbuhnya. 

Ia mengatakan karakter sistem kesehatan kapitalisme berupa pelayanan BPJS Kesehatan misalnya, merupakan sistem rujukan kapitalistik dan konsep pembayaran untuk kepentingan bisnis BPJS Kesehatan belaka. "Bukan untuk kesembuhan dan keselamatan jiwa pasien," imbuhnya. 

Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3 tahun 2018 tentang penjaminan pelayanan persalinan dengan bayi lahir sehat dinilainya sebagai diskriminatif. "Dan berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan jiwa bayi dari sisi masyarakat khususnya pasien dan dari sisi keberadaan dokter dan insan kesehatan," ujarnya. 

Agung menuturkan kelalaian negara melalui pelegalan industrialisasi sistem kesehatan tidak kalah serius bahayanya. Idealisme dan dedikasi insan kesehatan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan dibajak oleh berbagai bisnis korporasi. 

"Mulai dari bisnis institusi pendidikan tenaga kesehatan khususnya kedokteran, industri farmasi, lembaga keuangan kapitalis BPJS Kesehatan bagi pembiaya hingga ke rumah sakitnya," pungkasnya.[] Muhammad Nur

Selasa, 11 April 2023

Negara Bertanggung Jawab atas Rendahnya Kesehatan Mental Rakyat


Tinta Media - Akhir-akhir ini Indonesia sedang digemparkan dengan berbagai kasus bunuh diri. Misal saja pada januri 2023, terdapat lima kasus bunuh diri yang dilakukan oleh remaja di Toraja. Ada juga seorang pria yang merupakan karyawan berusia 24 tahun tewas gantung diri di Ambon. Gantung diri juga dilakukan oleh seorang anak berusia 11 tahun di Banyuwangi. Tak lama, kasus gantung diri kembali terjadi dan dilakukan oleh gadis berusia 14 tahun di Jembrana, Bali, disusul kabar yang saat ini masih hangat diperbincangkan yaitu ditemukannya seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI) inisial MPD yang tewas, diduga melompat dari lantai 18 apartemen di Jakarta Selatan.

Terakhir, warga Dusun Wirokerten RT 02 Kelurahan Wirokerten Kapanewon Banguntapan, Bantul menemukan NS, seorang lelaki berumur 38 tahun ditemukan gantung diri di dapur rumahnya sekitar pukul 17.00 WIB. Dia ditemukan oleh ibunya, S (58) yang kebetulan mencari anaknya tersebut karena tidak kelihatan  (SINDOnews.com, 9/3/2023). Menurut keterangan keluarga, NS baru satu minggu yang lalu pulang dari bekerja sebagai tukang bangunan di Bogor Jawa Barat. Informasi dari tetangga, NS terlihat ada gangguan psikis.

Menurut penelitian terbaru, insiden serupa bisa jadi jauh lebih tinggi dari jumlah korban yang terdata secara resmi. Penyebab utamanya diyakini terkait dengan masalah kesehatan mental dan kelemahan dalam sistem pendataan. 

Sebuah studi tahun 2022 menyatakan bahwa angka bunuh diri di Indonesia bisa jadi empat kali lebih tinggi dari data resmi. Menurut WHO, bunuh diri menjadi penyebab utama kematian ke-empat di antara usia 15-29 tahun secara global pada tahun 2019. (BBC News Indonesia, 25/01/2023)

Sungguh ironisnya negeri ini. Mengapa tidak? Banyak sekali kasus bunuh diri yang nampaknya tak hanya popular di kalangan dewasa saja, tetapi kini marak dilakukan oleh para remaja dan generasi pada usia produktif. Di usia yang seharusnya seseorang mampu untuk terus belajar menggapai impian dengan mengembangkan segala potensi unik yang dimiliki sehingga dia mampu menemukan cara mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya dalam hidup, nyatanya harus diakhiri dengan cara tragis dan mengenaskan, sehingga terenggutlah jiwa dan raganya. 

Melihat betapa banyak kasus bunuh diri yang terjadi saat ini, mengindikasikan bahwa mayarakat sedang mengalami gangguan kesehatan mental. hal ini tak terhindarkan karena disebabkan oleh beberapa faktor yakni: 

Pertama, saat ini sudah menjadi hal biasa seorang anak tumbuh tanpa penanaman akidah dalam keluarganya. Mereka terlalu sibuk mengejar dunia hingga lupa akan kewajiban sebagai orang tua. Alhasil, ketika mengalami berbagai tekanan, anak akan mudah rapuh dan tidak mampu menyelesaikan masalah dengan baik, sehingga jalan instan yang dipilih adalah dengan melakukan bunuh diri sebagaimana peristiwa yang saat ini banyak terjadi. Harapannya, semua masalah dapat terselesaikan ketika dirinya sudah tiada, meskipun dia mungkin tahu bahwa kematian bukanlah akhir segalanya. 

Kedua, lingkungan sebagai wadah pembentukan diri. Aspek ini menjadi pengaruh yang sangat dominan terhadap pembentukan pola pikir dan perilaku seorang anak. Lingkungan yang buruk hanya mengantarkan para pemuda ke suatu keadaan yang salah arah, pun sebaliknya.

Ketiga, negara dengan sistem yang ada saat ini ternyata tidaklah mampu menyelesaikan permasalahan generasi hari ini, meskipun keberadaannya diakui oleh dunia. Bukan hanya itu, sistem ini dapat dikatakan tidak layak, sebab pada faktanya tidak dapat memberikan pendidikan secara utuh sebagaimana mestinya negara memfasilitasi generasi muda agar dia mampu berdaya untuk negara dan tentunya tidak berlepas diri dari ajaran agama. 

Tidak ada kurikulum yang mampu membina para generasi menjadi seorang pemuda yang cerdas dan kuat. Yang ada hanyalah sebuah sistem sekuler dengan kurikulum yang menekan tanpa memberi ruang bagi mereka untuk mengembangkan kreativitas sebagaimana mestinya. 

Kurangnya pendidikan agama semakin membuat para generasi tak memiliki pegangan ketika sedang terombang-ambing tanpa tujuan. Tidak heran bila saat ini masyarakat sedang mengalami gangguan kesehatan mental yang sangat meresahkan. Lalu, bila sudah begini, siapa yang mau disalah kan?

Perilaku ini sebenarnya sangat rendah. Bagaimanapun, hasilnya tetap saja merefleksikan sesuatu yang rendah. Masalah ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam hidup. Tentu saja, yang demikian itu merupakan hasil dari sistem kehidupan yang dipercaya masyarakat di semua aspeknya. 

Nyatanya, aspek tersebut gagal mengangkat martabat manusia dengan taraf pikir yang tinggi. Semua mengerucut pada buruknya sistem dan penguasa yang abai atas masyarakat. Negara tampaknya telah gagal menghasilkan individu-individu yang terampil. Padahal, seorang muslim tahu dan tidak akan melakukan apa pun yang dapat membahayakan diri, bahkan sampai mengancam jiwanya. Cukuplah Allah Swt. bagi dia dengan menjadikan rida-Nya sebagai standar benar-salah, boleh-tidaknya dalam melakukan segala hal dalam hidupnya. 

Pemisahan agama dengan kehidupann merupakan hasil dari sistem sekuler yang melahirkan segala aturan buatan manusia tanpa melibatkan Sang Pencipta dalam pembuatannya, sehingga jangan berharap sakinah akan hadir dalam jiwanya. 

Kekayaan, ketenaran, pendidikan, dan standar kebahagiaan menurut mereka nyatanya didasarkan pada pencapaian materi, tanpa memperhitungkan aspek kejiwaan. Alhasil, keringlah jiwa manusia yang diikuti dengan rapuhnya nilai ruhiyah mereka, kemudian menggerogoti masyarakat. Materi selalu menjadi sesuatu yang memaksa manusia untuk berkompetisi agar bisa mendapatkan dengan menghalalkan berbagai cara.

Sistem ekonomi menjadikan si kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, sehingga menyebabkan kesenjangan yang begitu luar biasa antarmereka. Hal ini semakin memperparah keadaan rakyat. Saat ini banyak orang berlomba-lomba di media dan kehidupan sosial mereka untuk pamer kekayaan dan kesuksesan. 

Anehnya, hal itu dilakukan juga oleh para penguasa di tengah banyaknya rakyat yang dilanda kemiskinan serta mengalami penderitaan. Hal ini tentu menimbulkan tekanan batin dan gangguan mental rakyat, sehingga pelampiasan emosi, kemarahan sering kali berujung pada tindak kriminalitas, menyakiti diri sendiri, atau bahkan bunuh diri.

Jadi, tak heran bila sistem bobrok ini melahirkan generasi dengan kesehatan mental yang rendah, tidak percaya diri dan tanpa tujuan. Ketika mendapatkan tekanan yang berat, dan pondasi akidah tidak terbentuk dalam diri yang menyebabkan ketenangan jiwa tak kunjung didapat. Alhasil, suicide (bunuh diri) menjadi pillihan. Parahnya, negara abai akan hal itu. Dengan tidak adanya kebijakan yang mampu menanggulangi permasalahan ini agar tidak terulang kembali membuktikan negara seakan tidak menganggap serius kasus-kasus bunuh diri yang menyedihkan ini.

Dalam sistem Islam, rida Allah Swt. merupakan sumber sejati kebahagiaan. Islam menjadikan akidah sebagai dasar atas pola asuh, kurikulum pendidikan, kehidupan bermasyarakat, ekonomi, politik, dan hukum, sehingga aturan tidak akan berubah secara signifikan, mendadak, apalagi melenceng dari fitrah manusia. 

Islam memandang bahwa prioritas utama yang wajib dan segera diwujudkan adalah kemaslahatan umat dalam menjalankan sistem pemerintahan. Oleh sebab itu, pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, bahkan kebutuhan jiwa yang berotientasi pada kesehatan mental masyarakat akan ditanggung sepenuhnya oleh negara melalui kaki tangan penguasa. 

Untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Sang Pencipta, Allah Swt., negara akan menciptakan kehidupan masyarakat yang terbiasa beramar makruf nahi mungkar. Dengan begitu, baik individu, keluarga, masyarakat, maupun para penguasa akan menjadikan ketakwaan kepada Allah sebagai amunisinya dalam mengarungi kehidupan. Nilai kerohanian akan timbul berkat kedekataannya kepada Allah Swt. Pondasi akidah yang kuat akan menentramkan jiwa setiap individu dalam masyarakat, serta menguatkan mental dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan. Sadar atas batasan hidup sebagaimana qada dan qadar, akan membuat setiap individu dalam masyarakat memaknai peristiwa yang terjadi dengan lebih baik.

Materi tidak akan menjadi tolak ukur atas kesuksesan dan kebahagiaan seseorang. Dengan begitu, akan muncul sakinah dalam hatinya, sabar menghadapi ujian, serta tidak tersilaukan dengan kemewahan dunia yang fana. Pada akhirnya, masyarakat akan sadar bahwa bunuh diri bukanlah solusi yang tepat untuk menyelesaikan suatu masalah, serta kesehatan mental masyarakat akan menjadi lebih baik karena adanya kedekatan setiap individu dengan Sang Pencipta, Allah Swt. yang didukung pula oleh negara yang berperan penting dalam mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Wallahu'alam.

Oleh: Latifah Wahyu S.
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 08 April 2023

Islam Menjamin Kesehatan Generasi


Tinta Media - Berbagai penyakit kronis pada anak saat ini menjadi problem serius yang butuh penanganan secara tepat dan cepat. Pola hidup yang tidak sehat, adanya kesenjangan akses masyarakat terhadap konsumsi makanan bergizi, dan faktor lingkungan, menjadi penyebab langsung berbagai penyakit anak, seperti kanker, diabetes, dan stunting.

Kasus tuberkolusis anak yang sudah lama terjadi, akhir-akhir ini kembali menjadi sorotan karena berada pada posisi mengkhawatirkan. Penularannya meningkat sangat cepat. Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia setelah India. Ini adalah prestasi buruk yang tidak perlu dibanggakan, karena merupakan kenyataan pahit untuk penyakit yang mematikan. 

Banyak faktor yang melatarbelakangi maraknya kasus TBC. Beberapa di antaranya yaitu lingkungan yang kurang bersih, rendahnya tingkat pemahaman masyarakat tentang sanitasi dan kesehatan sehingga mereka cenderung abai terhadap gejala yang dialami. Apalagi, penyakit ini sangat rentan menyerang anak-anak, terutama anak dengan kondisi gizi buruk, karena keadaan sosial ekonomi yang rendah. 

Semua hal tersebut merupakan imbas dari penerapan sistem kapitalis yang berlaku saat ini. Dengan aturan kapitalis, kesejahteraan masyarakat tidak terjamin. Hal ini juga berimbas pada pemenuhan kesehatan oleh masyarakat. Dengan tingkat perekonomian yang rendah, tentunya masyarakat kesulitan untuk memenuhi standar kesehatan dalam hidup mereka. Apalagi, sarana dan prasarana kesehatan sangat mahal. Selain itu, sistem lapitalisme ini juga menyebabkan akses untuk meraih pendidikan yang layak bagi masyarakat sangat sulit dijangkau karena sangat mahal. Karena itu, tingkat pendidikan mereka juga sangat rendah.

Berkaitan dengan hal ini, seharusnya pemerintah melakukan edukasi tentang kesehatan, agar masyarakat  mendapatkan informasi dari sumber yang tepat, yaitu para ahli. Dalam proses edukasi tersebut, negara menekankan bahwa kesehatan merupakan perkara penting dalam kehidupan seseorang. 

Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang pada pagi hari dalam keadaan aman tempat tinggalnya, sehat badannya, mempunyai makanan untuk hari itu, seolah-olah dunia dan seisinya telah terkumpul baginya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Seharusnya negara menjalankan fungsinya untuk memenuhi layanan  kesehatan secara merata bagi seluruh warga negara. Namun, saat ini negara terkesan abai. Kasus TBC akan terus meningkat, jika pengaturan urusan rakyat masih menerapkan kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme ini, hidup sehat dan sejahtera menjadi barang mahal. Sekalipun negara berupaya mencegah dan mengatasi TBC, namun upaya tersebut masih sangat parsial, tidak menyentuh akar persoalan.

Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Islam mempunya solusi bagi setiap masalah. Dalam Islam, penguasa wajib mengurus urusan rakyat dan memenuhi seluruh kebutuhannya. 

Rasulullah saw. bersabda,
“Pemimpin itu laksana gembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban akan gembalaannya (rakyatnya).” (HR. Imam Bukhari dan Ahmad).

Dalam Islam, negara wajib memenuhi kebutuhan kesehatan rakyat secara layak. Negara juga wajib meningkatkan taraf sosial ekonomi masyarakat dengan menerapkan sistem ekonomi Islam. Dengan kehidupan yang sejahtera, tidak sulit bagi warga untuk menciptakan sanitasi dan lingkungan bersih, serta gizi yang cukup untuk keluarganya. Kemudian negara membangun sarana dan layanan kesehatan yang dapat diakses masyarakat dengan murah dan mudah.

Kesehatan adalah nikmat kedua setelah iman. Jiwa dan raga yang sehat akan meningkatkan kualitas amal ibadah kaum muslimin. Anak  merupakan generasi penerus orang tuanya sebagai estafet dakwah Islam ke seluruh dunia. Oleh sebab itu, penerapan Islam secara kafah akan memberikan prioritas terhadap kesehatan generasi.

Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, menjaga dan memelihara kesehatan setiap individu warganya merupakan kewajiban penguasa, karena Allah akan meminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.

Wallahualam bissawab.

Oleh: Teti Kusmiati
Sahabat Tinta Media

Selasa, 28 Maret 2023

TBC Meningkat, Islam Punya Solusi Tepat

Tinta Media - Kasus TBC di Indonesia semakin marak dan menduduki peringkat kedua di dunia. Peningkatan drastis dari kasus TBC mencapai 200%. Hal tersebut dilaporkan kementerian kesehatan atas kenaikan jumlah kasus yang sangat signifikan (CNNIndonesia.com, 18/3/2023). 

Direktur pencegahan dan pengendalian penyakit menular Kemenkes dr. Imam Pambudi menyampaikan bahwa faktor dari kenaikan kasus tersebut terjadi akibat dari banyaknya orang tua yang tidak menyadari dan tidak segera mengobati, sehingga mudah terjadi penularan pada kelompok yang rentan, terutama anak anak.

Peningkatan kasus TBC tidak hanya berpengaruh pada kesehatan individu, tetapi juga berdampak pada tatanan sosial dan ekonomi masyarakat. Hal tersebut juga diungkapkan dalam acara peringatan hari TBC sedunia yang diselenggarakan di Rumah Sakit Dustira, Cimahi (15/03/2023).

Banyaknya kasus TBC yang terus meningkat tiap tahunnya mencerminkan betapa buruknya upaya pencegahan, buruknya masalah sanitasi, rendahnya daya tahan tubuh masyarakat akibat keseimbangan gizi dan asupan masyarakat yang kurang, lemahnya sistem kesehatan dan pendidikan, serta minimnya pengetahuan. 

Kemiskinan dan stunting juga dapat berpengaruh pada TBC karena tidak tersolusikan dengan baik, sarana kesehatan yang terbatas ditambah pelayanan yang mahal atau kualitas yang lebih baik dari kalangan bawah (miskin). Faktor ini sangat jelas memberikan andil dan kontribusi besar terhadap kasus TBC, sehingga rakyat semakin terpuruk dan kesulitan untuk mendapatkan layanan kesehatan yang optimal. 

Meskipun pemerintah telah menggandeng ormas-ormas, LSM, dan kerja sama dengan negara lain, seperti Amerika bahkan WHO untuk mencegah dan mengatasi TBC, tetapi semua upaya tersebut tak mampu menyelesaikan masalah kesehatan, salah satunya TBC.

Inilah bukti buruk dan lemahnya penerapan sistem sekuler kapitalisme yang menjadikan asas pengaturan kesehatan sebagai objek bisnis, kemudian berbagai kebutuhan dan pelayanan masyarakat dikapitalisasi tanpa mempedulikan kondisi rakyat, sehingga masalah kesehatan bahkan kemiskinan tersistem. 

Akibat sekuler kapitalis, masyarakat semakin kesulitan menerapkan pola dan gaya hidup sehat. Masyarakat sulit mengakses lingkungan dan sanitasi bersih, gizi baik, pemenuhan kebutuhan dasar, kesadaran literasi, pengetahuan, serta edukasi. Semuanya tidak akan tercapai selama menggunakan sistem kapitalisme.

Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Islam dapat meriayah dan memberi solusi dalam berbagai masalah, termasuk dalam penanganan kesehatan. Sebagaimana sabda Rasulullah,

"Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya." (HR Al Bukhori). 

Islam mampu memenuhi kebutuhan dasar rakyat, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan secara kayak. Layanan pendidikan dan kesehatan akan diberikan secara gratis. Negara pun memberikan lapangan pekerjaan kepada masyarakat kemudian mengelola SDA dan memberikan hasil pengelolahannya kepada masyarakat.

Sudah pasti Islam begitu sempurna dalam menyelesaikan seluruh problematika kehidupan, termasuk mengentaskan kemiskinan. Semua konsep ini tentunya dapat terwujud dalam naungan khilafah yang menerapkan sistem Islam secara kaffah. Dengan penerapan sistem politik dan ekonomi Islam, negara menjamin dengan menyediakan pelayanan kesehatan yang lebih baik dan berkualitas kepada masyarakat.

Wallahu a'lam bisshawwab.

Oleh: Avin
Muslimah Jember

Kamis, 09 Februari 2023

MMC: Kesehatan Berpengaruh pada Kesejahteraan Masyarakat

Tinta Media - Muslimah Media Center (MMC) menilai bahwa kesehatan adalah salah satu hal yang paling penting dan harus diutamakan oleh sebuah negara sebab kesehatan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat di negara tersebut. 

“Kesehatan itu salah satu hal penting yang harus diutamakan negara sebab kesehatan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat,” ujarnya dalam Serba-Serbi MMC: Indonesia Darurat Dokter, Tanggung Jawab Negara di Bidang Kesehatan Gagal? Senin (6/2/2023) di kanal YouTube Muslimah Media Center.

Menurutnya, semakin sehat penduduknya maka negara tersebut makin Sejahtera. Namun ironisnya saat ini, lanjutnya Indonesia berada dalam urutan 139 dari 194 negara dalam rasio jumlah dokter baik dokter umum maupun spesialis. Padahal rasio ideal atau garis emas rasio jumlah dokter adalah 1 per 1000 atau 1 dokter per 1000 orang. “Angka terakhir yang didapatkan dari WHO dan juga World Bank Ratio, Indonesia berada pada 0,47/1000. Angka ini menjadikan Indonesia menjadi negara yang mengalami darurat dokter jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya,” bebernya.

Narator mengungkapkan jika Indonesia berada di posisi terbawah ketiga yaitu di bawah dari Malaysia 1,54 dan Singapura 2,29, bahkan masih jauh di bawah Vietnam yakni 0,83. “Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia jauh berada di bawah negara lain dalam masalah kurangnya jumlah dokter terutama dokter spesialis dan sub spesialis,” ucapnya. 

Narator juga menilai Indonesia gagal memenuhi Golden Line dan disimpulkan bahwa Indonesia gagal bertanggung jawab kepada rakyatnya di bidang kesehatan. “Dengan fakta ini tak heran jika banyak warga negara Indonesia yang malah memilih berobat ke luar negeri karena berbagai alasan,” tuturnya.

Ini, menurutnya karena ada banyak faktor pemicunya mulai dari mencari teknologi tertentu hingga mencari keahlian spesialis tertentu sebab negara lain memiliki pelayanan kesehatan dengan berbagai pilihan. “Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat 3 disebutkan negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak,” jelasnya.

Narator membeberkan salah satu kunci penting sistem kesehatan tersebut adalah Jumlah dokter yang ada. Menurutnya, minimnya jumlah dokter tidak lepas dari sistem kesehatan yang diterapkan di negeri ini yakni sistem kesehatan kapitalis.
“Sistem kapitalisme di dunia kesehatan menempatkan Kesehatan sebagai industri yang pelayanannya diperjualbelikan. Penyediaan fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia di bidang kesehatan pun juga dibangun atas paradigma untung rugi,” ulasnya.

Narator mengungkapkan tak heran jika untuk menjadi tenaga kerja kesehatan seperti dokter membutuhkan biaya pendidikan besar, yang harus ditanggung oleh orang tua peserta didik, kemudian setelah lulus dari pendidikan kesehatan mereka akan masuk di dunia kesehatan yang sudah di kapitalisasi. “Pantaslah jika dikatakan bahwa potensi intelektual muslim telah terbajak oleh kepentingan bisnis industri kesehatan. Ilmu didedikasikan hanya untuk bisnis industri Global. Kehidupan di desain untuk memberdayakan kehidupan manusia dengan menghidupkan mesin-mesin pemutar uang untuk industri kesehatan ala kapitalis,” imbuhnya.

Narator menandaskan bahwa inilah kegagalan sistem kapitalisme yang menjadikan sumber sumber daya alam bahkan sumber daya manusia sebagai aset bagi mekanisme putaran pasar atau uang semata. “Sungguh dalam sistem kapitalisme, negara jauh dari fungsi utamanya sebagai ro’in atau pengurus umat yang sesungguhnya, yang harus menyediakan layanan kesehatan memadai dan mudah dijangkau oleh semua pihak,” terangnya. 

Gambaran pemimpin yang dibentuk oleh sistem demokrasi kapitalis, narator pastikan sangat berbeda dengan sistem Islam yang diterapkan di bawah institusi Khilafah Islam . Institusi Khilafah yang dipimpin khalifah adalah penanggung jawab pelayanan publik. Khilafah wajib menyediakan sarana kesehatan Rumah Sakit obat-obatan tenaga medis dan sebagainya secara mandiri itu adalah tanggung jawabnya.

Ia mengutip sebuah hadits Rasulullah Saw. riwayat al Bukhari : “Imam adalah pemelihara urusan rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” Selain itu, ia juga menyampaikan dalam hadits riwayat Muslim bahwa Rasulullah Saw. dan para khalifah telah melaksanakan sendiri layanan kesehatan. Rasulullah sebagai kepala negara di Madinah pernah mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay ketika beliau mendapatkan hadiah dokter dari Raja Muqauqis. Dokter tersebut beliau jadikan sebagai dokter umum bagi masyarakat dan gratis,” tambahnya. 

Narator menegaskan semua hadits Rasulullah tersebut merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan wajib dilakukan negara dan bukan yang lain. Negara harus mandiri dan tidak bersandar maupun bekerja sama dengan pihak lain atau swasta. “Allah Swt. juga telah memberikan tanggung jawab dan kewenangan penuh kepada pemerintah atau khalifah untuk mengelola penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan Pendidikan termasuk pendidikan kedokteran. Tugas Mulia ini tidak boleh dilalaikan sedikitpun apapun alasannya,” urainya. 

Semua hal di atas, narator juga menggambarkan sistem pendidikan Islam termasuk pendidikan kedokteran benar-benar sempurna pada tataran input proses maupun output. Kebijakan sistem pendidikan Khilafah yang bebas biaya dan kurikulum yang dibangun berdasarkan akidah Islam mampu mencetak dokter yang profesional dan bertakwa.

“Dari sistem Islam-lah akan lahir para dokter yang mampu memenuhi kebutuhan negara baik dari segi jumlah maupun kompetensi. Para dokter dengan kompetensi terbaik akan ditugaskan pada institusi-institusi pelayanan kesehatan Khilafah. Mereka digaji secara patut dan diberi tugas sesuai kompetensinya. Demikianlah hanya Khilafah yang mampu tampil sebagai perisai dan pengurus segala urusan umat, termasuk dalam menyediakan tenaga kesehatan yang memadai dan berkualitas,” pungkasnya.[] Erlina

Rabu, 07 Desember 2022

Ustazah Rif'ah Kholidah: BPJS adalah Bentuk Komersialisasi Kesehatan

Tinta Media - Konsultan dan Trainer Keluarga Sakinah Ustazah Rif'ah Kholidah menilai adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berupa BPJS sebenarnya merupakan bentuk komersialisasi kesehatan.

“Bila kita telaah keberadaan JKN atau jaminan kesehatan nasional dengan institusinya yaitu BPJS kesehatan sejatinya adalah komersialisasi kesehatan,” ungkapnya dalam tayangan Serba-serbi MMC: Bagaimana Jaminan Kesehatan dalam Islam? Ahad (4/12/2022) di laman YouTube Muslimah Media Center. 

Konsep ini, sambungnya, lahir dari konsep jaminan kesehatan kapitalistik, bahwa institusi penyelenggara asuransi sosial adalah entitas yang lebih kapabel dari pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

“Hal ini, jika dijelaskan dalam sejumlah dokumen diantaranya yaitu, Jerman Teknikal Corporation atau GTC. Sebuah LSM yang berperan aktif dalam membidangi JKN,” paparnya.

Di dalam dokumen tersebut, sebutnya, dijelaskan bahwa ide dasar jaminan kesehatan sosial adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari pemerintah kepada institusi yang mempunyai kemampuan yang tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama
peserta jaminan sosial.

Ia menjelaskan bahwa konsep ini adalah konsep yang batil dan haram karena bertentangan dengan syariat Islam..

Konsep Islam

“Konsep jaminan kesehatan dalam Islam adalah konsep yang agung karena berasal dari zat yang menciptakan manusia yakni Allah SWT. yang terpancar
dari pemikiran yang bersumber dari Alquran dan as-sunnah, sehingga menjadi
rahmat bagi seluruh alam,” bebernya.

Dalam kitab Siyasah ar Roiyah as Shihayah dijelaskan beberapa prinsip jaminan kesehatan di dalam Islam.”Yang pertama, bahwa kesehatan itu merupakan kebutuhan pokok publik yang wajib dipenuhi sebagaimana kebutuhan akan makan dan kebutuhan keamanan serta yang lainnya,” tuturnya.

Hal ini, ungkapnya, ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW, yang artinya siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapat keadaan yang aman terhadap kelompoknya sehat badannya memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia menjadi miliknya. (hadits riwayat at Tirmidzi)

“Prinsip yang kedua adalah bahwa Islam mewajibkan kepada negara memberikan jaminan kesehatan secara gratis dan berkualitas kepada seluruh rakyatnya tanpa memandang status ekonominya, apakah dia kaya ataukah dia itu miskin. Maka, semua rakyatnya berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama sesuai dengan kebutuhan medisnya,” ujar Ustazah Rif'ah.

Ia mengatakan ketentuan ini didasarkan dari hadis Rasulullah SAW, dari Jabir,
Rasulullah SAW, yang artinya, ”Rasulullah SAW, pernah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Ka'ab yang sedang sakit. Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Ka'ab lalu melakukan kay atau pengobatan dengan besi panas pada urat itu.” (Hr. Muslim)

Dari hadis ini, ia menyampaikan bahwa dapat kita pahami jika Rasulullah SAW sebagai kepala negara telah menjamin kesehatan rakyatnya, dengan mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya sepeser pun dan tanpa membebani. Apalagi memaksa rakyatnya untuk mengeluarkan uang mendapatkan pelayanan kesehatan dari negara.

“Prinsip yang ketiga adalah bahwa pengadaan layanan sarana dan prasarana
kesehatan wajib diupayakan oleh negara bagi seluruh rakyatnya,” tuturnya.

Jika, sambungnya, pengadaan layanan kesehatan tersebut tidak ada akan menyebabkan dhoror atau bahaya, maka negara wajib untuk menghilangkan dhoror atau bahaya tersebut. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, yang artinya:

 “Tidak boleh menimbulkan dhoror atau bahaya pada diri sendiri juga bagi orang yang lain. Barangsiapa yang membahayakan orang lain, maka Allah akan membalas bahaya kepadanya. Dan barangsiapa yang menyusahkan atau menyempitkan orang lain, maka Allah akan menyulitkan kepadanya,”
(HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Prinsip yang keempat, tambahnya, adalah negara wajib mengalokasikan anggaran belanjanya untuk memenuhi kesehatan bagi seluruh rakyat. Dan haram bagi negara untuk melalaikan kewajibannya atau mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak lain, baik swasta atau rakyatnya sendiri.

Sebab, ia menuturkan, tanggung jawab pemenuhan kesehatan adalah merupakan kewajiban yang harus seimbang oleh negara. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW dari Abdullah bin Umar yang artinya, “pemimpin atau imam atau kepala negara adalah pengurus rakyat dan bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR, Bukhari)

“Dari sinilah jelas bahwa Islam telah menjamin pemenuhan kebutuhan kesehatan kepada rakyatnya secara gratis tanpa pandang bulu. Dan negara bertanggung jawab untuk memenuhinya,” pungkasnya.[] Wafi
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab