Kerusuhan Berulang di Amerika, Bukti Gagalnya Sekularisme Menata Masyarakat Majemuk
Tinta Media - Menyikapi kerusuhan yang berujung penangkapan di New York, usai live streamer populer Kai Canet menggelar giveaway Playstation 5 untuk pengikutnya, pengamat politik internasional Umar Syarifudin mengatakan, ini bukti gagalnya sekularisme menata masyarakat majemuk.
“Kerusuhan berulang yang terjadi di Amerika dan Eropa dengan berbagai motif menjadi bukti gagalnya sekularisme menata masyarakat majemuk,” ungkapnya kepada Tinta Media, Selasa (8/8/2023).
Ia melanjutkan, ini kegagalan sekularisme dalam menata masyarakat, bukan hanya gagal menata masyarakat yang majemuk, tetapi juga gagal dalam menata masyarakat dunia secara umum.
“Kerusuhan itu, memperlihatkan lepasnya kontrol diri masyarakat di negara kapitalis atas perbuatan mereka. Ditambah iming-iming giveaway menjadikan sikap massa, penuh dorongan individualistik dan egoistik,” terangnya.
Adapun publik figur seharusnya berkontribusi di tengah masyarakat, memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya yang hidup dalam masyarakat. Seyogyanya mampu menjadi teladan yang baik dan menciptakan ketertiban di tengah masyarakat dan memberikan ketenangan serta keamanan di dalamnya. “Tapi yang terjadi dewasa ini kebalikannya,” sesalnya.
Remeh
Umar menilai, kerusuhan tersebut manifestasi cara pandang dan respon masyarakat atas suatu masalah.
“Demi barang yang remeh mereka rela bentrok hingga membuat saudaranya terluka. Problem ini berawal dari primer kebutuhan hidup menjadi isu sekunder, isu bentrokan. Pengalihan isu ini untuk menutupi kegagalan rezim Amerika Serikat menciptakan kesejahteraan agar legitimasinya tetap bertahan,” ulasnya.
Penerapan ekonomi kapitalisme, lanjutnya, menciptakan kesenjangan yang dalam antara yang kaya dan miskin di Amerika Serikat dan di seluruh dunia, baik kegagalan general maupun kegagalan partikular.
“Rezim barat berusaha menularkan penyakitnya ke dunia muslim agar ikut fokus pada here and now (di sini dan sekarang) sehingga membuat umat berfokus pada pencapaian materi dan pencarian validasi dari orang lain, termasuk terbawa arus tren. Ini akhirnya menciptakan follower mentality yang sayangnya menjangkiti banyak generasi muslim,” kritiknya.
Paradoks
Dalam penilaian Umar, sikap Amerika ini ironis sekaligus paradoks. AS dinilai sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, tetapi memiliki sikap diskriminatif dan intoleran terhadap Islam.
“Hal ini membuktikan sisi lain kegagalan demokrasi dalam memberi jaminan kesetaraan dan keadilan pada warga negara. Praktik demokrasi tidak bisa menyelesaikan tuntutan keadilan dari komunitas muslim yang tertindas oleh rezim,” terangnya.
Bahkan, lanjutnya, demokrasi telah mengantarkan kalangan liberalis membawa aspirasi korosifnya dan melampiaskan kebencian kepada muslim melalui peraturan yang membatasi ruang ekspresi dan berpendapat kaum Muslim.
Demokrasi, jelasnya, telah menjadi jalan bagi rezim AS untuk melakukan kekerasan dan teror yang menebarkan ketakutan dan penderitaan bagi rakyatnya sendiri, dan dunia muslim.
“Klaim kebebasan dan kesetaraan hanyalah bualan dan kata-kata kosong rezim penguasa AS. Ini membuktikan bahwa mereka tidak memiliki kepedulian yang tulus terhadap Islam dan kaum muslim,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.