Tinta Media: Kepemimpinan
Tampilkan postingan dengan label Kepemimpinan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kepemimpinan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 07 April 2024

Adakah Korelasi Kesejahteraan Perempuan dalam Kepemimpinan Perempuan?


Tinta Media - Pemilihan anggota DPRD Jember telah menetapkan 11 perempuan mewakili suara perempuan di legislatif tingkah daerah. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 245 yang menyebutkan syarat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dan harus terpenuhi di setiap daerah pemilihan.

Tercatat, ada sebelas perempuan dari 50 caleg terpilih yang menjadi legislator DPRD Jember 2024 - 2029 atau 22 persen. (Beritajatim.com, 30/03/2024)

Terpilihnya para wakil perempuan diharapkan bisa memperbaiki nasib perempuan dan anak yang berbasis gender. Selama ini, kekurangan wakil perempuan dianggap membatasi akses perempuan untuk mendapatkan haknya. Wanita kurang diperhatikan sehingga berpengaruh pada pertumbuhan anak seperti stunting, ekonomi lemah, perceraian, dan lainya. 

Benarkah ada hubungan antara banyaknya wakil perempuan dengan perbaikan kesejahteraan perempuan?

Jika kita jujur menilai, masalah yang terjadi di Jember saat ini sangat kompleks, seperti ekonomi, stunting, perceraian, narkoba, pembunuhan, pencurian, tawuran, dan masalah pelik lain. Masalah ini terjadi bukan hanya merugikan perempuan, tetapi laki-laki, tua, muda, semua terkena imbasnya. Masalah rumit ini tersistemik karena menyasar semua kalangan. 

Sekularisme Kapitalisme Penyebab Masalah.

Mari kita detili agar paham bahwa sistem sekularisme kapitalisme yang diterapkan saat ini menjadi sumber semua masalah. Sistem ini membebaskan manusia untuk membuat aturan dalam mengatur kehidupan. Akibatnya, aturan yang dihasilkan hanya menguntungkan segelintir orang. 

Jember adalah wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Ada gunung kapur, lautan, hutan, gunung emas yang bisa menyejahterakan masyarakat. Namun sayang, dalam sistem ini semua SDA dikelola oleh swasta, baik lokal maupun asing serta aseng. Semua itu dilindungi UU, yaitu UU Minerba, UU PMA, UU Ciptaker, dan lainnya. 

Tentu masyarakat tidak bisa menikmati hasil alam yang ada di sekitarnya, karena dari hulu hingga hilir semua sudah di kuasai swasta. Negara hanya menjadi regulator kebijakan. Pemimpin yang seharusnya melayani kepentingan masyarakat, nyatanya memihak para pemilik modal.

Para wakil rakyat, baik laki-laki atau perempuan semuanya menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan. Bisa dipastikan bahwa selama sistem yang ada tetap dipertahankan, maka kesejahteraan buat perempuan, anak, laki-laki, dan siapa saja hanya angan kosong belaka. Kalaupun keterwakilan 11 perempuan menjadi alasan akan meningkatkan pelayanan bagi perempuan, itu hanya secuil dan parsial saja. Yang mendapatkannya pun bisa dipastikan konstituen, pendukung, dan pemilihnya, tidak lebih dari itu.

Padahal, mereka dipilih untuk membawa kebaikan buat semua perempuan, bukan hanya para pendukungnya. Ditambah lagi, untuk mendapatkan kursi kekuasaan, mereka menghabiskan dana yang tembus hingga milyaran. Tentu mereka berpikir bagaimana bisa mendapatkan modal yang telah dikeluarkan plus keuntungannya untuk meraih kursi lima tahun ke depannya.

Sungguh, rakyat hanya menjadi tumbal pesta lima tahunan demi suara yang bisa menghantarkan pada jabatan tak lebih dari itu. Mengenaskan, rakyat diperhatikan hanya untuk mendapatkan suaranya. Sementara, mereka tetap susah dan sengsara. Di sisi lain, para penguasa dan pengusaha hidup bahagia dengan berbagai fasilitas yang telah tersedia.

Islam Menyejahterakan Semua

Islam sebagai sistem mampu menghantarkan masyarakat hidup sejahtera dan bahagia. Ini karena pemimpin yang dipilih adalah orang yang bertakwa, serta menjalankan sistem yang berasal dari Pencipta manusia.  Yang pasti, Dia tahu mana yang baik dan buruk buat hamba. Siapa saja yang menjadi pemimpin akan menjalankan sistem yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, orang yang baik berada dalam sistem yang baik, tentu kebijakannya akan baik.

Sedang jabatan dipahami sebagai amanah besar dan kelak ada pertanggungjawabkan. 

"Seorang pemimpin ibarat penggembala yang akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya” (HR Bukhari).

Mereka tidak mudah menyelewengkan jabatan demi meraup keuntungan dunia, karena paham semua ada konsekuensi yang berat.

Adapun sumber pendapatan yang digunakan untuk melayani masyarakat bisa berasal dari harta negara, yaitu ghanimah, fai, usyr, kharaj, khumus, dan lainnya. Bisa juga berasal dari harta milik umum, yaitu dari tambang, baik emas, pasir, batu bara, perak, minyak, dan lainnya. Harta milik umum ini tidak boleh diserahkan kepada swasta.

Yang berhak mengelolanya hanya negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik. Atau, dari zakat yang penerimanya ada delapan golongan yang telah ditetapkan syariat, termasuk juga harta infak, sedekah, wakaf, dan lainnya.

Dengan mekanisme yang sederhana, terbukti Islam mampu menyejahterakan semua warganya, baik muslim maupun nonmuslim selama 13 abad lamanya. Pertanyaannya, maukah kita diatur dalam sistem baik yang membawa kebaikan buat semua? Allahu a'lam.

Oleh: Umi Hanifah 
(Sahabat Tinta Media)

Jumat, 16 Februari 2024

Maraknya Bansos dan Amanah Kepemimpinan



Tinta Media - Kebebasan perilaku menjadi satu kondisi yang wajar terjadi dalam sistem demokrasi. Maka tak heran, apa pun akan dilakukan untuk meraih tujuan yang diinginkan. Sebagaimana dugaan politisasi bansos yang saat ini gencar dilakukan, alokasi anggaran perlindungan sosial untuk 2024 mencapai Rp496,8 triliun. Jumlah ini lebih besar dibandingkan pada masa pandemi Covid-19, yaitu Rp468,2 triliun (2021) dan Rp460,6 triliun (2022).

Menurut Titi Anggraini, dosen hukum pemilu Universitas Indonesia, memang ada indikasi tingkat politisasi bansos yang semakin masif di 2024. Walaupun diklaim itu bukan politisasi bansos, tetapi program tersebut memang sudah dianggarkan dan berjalan.

Titi juga menyatakan bahwa Presiden Jokowi dan para menterinya seharusnya bisa memisahkan kerja-kerja pelayanan publik dengan kampanye. Cara paling mudah, menurutnya, adalah dengan mengambil cuti.

Di sisi lain, Bawaslu telah mengimbau langsung kepada Presiden Jokowi agar tetap berada di koridor yang semestinya. Hal ini disampaikan oleh Totok Hariyono, anggota Bawaslu.

Totok juga mengatakan, walaupun secara spesifik tidak menyebutkan bansos, tetapi Bawaslu sudah memberikan imbauan kepada presiden, juga termasuk pejabat negara agar tidak melakukan tindakan yang melanggar larangan kampanye atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu. (BBC News Indonesia, 29/01/2924).

Berpikir Pragmatis

Tak dimungkiri bahwa berpikir pragmatis masih menjadi pola pikir yang mendominasi sebagian masyarakat di negeri ini. Dibalut dengan kesadaran politik dan pendidikan yang masih rendah serta problem kemiskinan yang belum tuntas sampai ke akarnya, pola pikir pragmatis ini menjadi faktor penyebab sebagian masyarakat "mudah dimanfaatkan" untuk kepentingan tertentu.

Dalam sistem demokrasi, meraih kekuasaan dengan segala cara wajar terjadi, karena memang sistem ini mengabaikan aturan agama Islam dalam kehidupan. Nah, bagaimana pandangan Islam tentang maraknya bansos dan persaingan untuk meraih kekuasaan ini?

Amanah Kepemimpinan

Dalam pandangan Islam, pemimpin mempunyai tanggung jawab yang tidak ringan sebagaimana hadis berikut ini. 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Al - Bukhari)

Problem kemiskinan yang sudah kronis di negeri ini, urgen membutuhkan solusi tuntas dari akarnya. Tidak hanya berupa peningkatan jumlah bansos setiap jelang pemilu, tetapi rakyat perlu jaminan kebutuhan dasar per masing-masing individu secara terus menerus. 

Maka, di sinilah penting bagi seorang pemimpin mengambil solusi dari Islam kaffah yang terbukti mempunyai aturan lengkap terkait jaminan kesejahteraan masyarakat, di antaranya:

Pertama, negara membuka lapangan pekerjaan yang luas dan memberi kesempatan yang sama pada setiap laki-laki. 

Kedua, adanya jaminan dari negara tentang harga pokok di pasar sehingga bisa dijangkau masyarakat. 

Ketiga, kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, infrastruktur, dan sebagainya bisa diakses semua warga dengan gratis. 

Dari mana anggarkan? Islam sudah punya mekanisme yang sempurna, yaitu diambilkan dari anggaran kepemilikan umum dan baitul mal.

Maka tak heran jika dalam peradaban Islam, kepemimpinan bukanlah sebuah kontestasi. Namun, kepemimpinan adalah sebuah amanah yang kelak akan dihisab. Teringat akan sebuah peristiwa ketika seorang sahabat Rasul ada yang meminta jabatan.

Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah Anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat)? Kemudian beliau (Rasulullah) menepuk bahuku dengan tangan. Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya)." (HR. Muslim).

Salah satu karakter pemimpin yang baik adalah bisa bersikap amanah, dalam arti mampu menerapkan syariat sehingga kepribadian Islam menjadi ciri khas seorang pemimpin. Maka, masyarakat juga harus diedukasi agar paham apa saja kriteria dalam memilih seorang pemimpin. Di sisi lain, pemimpin yang baik tidak perlu melakukan pencitraan agar disukai banyak orang. Demikian Islam memandang soal kepemimpinan, semoga makin banyak yang tercerdaskan hingga bisa menentukan pemimpin yang baik. Wa ma tawfiqi illa billah wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unib.

Oleh: Dahlia Kumalasari
Pendidik

Kamis, 15 Februari 2024

Kepemimpinan Akan Dipertanggungjawabkan



Tinta Media - Bukan rahasia umum lagi bahwa kontestasi pemilu dalam sistem politik demokrasi memfasilitasi para kontestan berebut untuk meraih kepemimpinan dan hak perwakilan. Baliho, spanduk, selebaran terpampang dan tersebar di seluruh penjuru untuk memperkenalkan dan mengampanyekan para kontestan. Semuanya diupayakan untuk mendapatkan dukungan suara dari rakyat, berbekal modal yang tidak sedikit tentu memiliki pengharapan agar kelak bisa mendulang keuntungan yang berlipat-lipat. Jika sudah demikian tentu orientasi politik bukan lagi menjadi pelayan rakyat namun lebih ke arah bisnis dan keuntungan. Hal ini sangat bertolak belakang dengan definisi politik dalam Islam. 

Politik dalam khasanah Islam disebut siyasah dengan akar kata sasa-yasusu-siyasatan yang bermakna mengurusi urusan rakyat (riayatun syu-unil ummah) dengan syariat Islam. Terlibat dalam politik memiliki arti memperhatikan kondisi rakyat dengan cara menghindarkan terjadinya kezaliman dan melenyapkan kejahatan yang akan menimpa rakyat. Rasulullah saw. juga menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya 

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ 

“Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain menggantikannya. Namun, sungguh tidak ada nabi lagi sesudahku, dan sepeninggalku akan ada para khalifah lalu jumlah mereka akan banyak.” (Para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu apa yang engkau perintahkan untuk kami?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah baiat kepada (khalifah) yang pertama kemudian kepada yang berikutnya, lalu penuhilah hak mereka, dan mintalah kepada Allah apa yang menjadi hak kalian, karena sesungguhnya Allah akan menanyai mereka tentang apa yang mereka pimpin.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Jika orientasi politik sudah beralih kepada bisnis dan keuntungan, kontrak kerja antara pemberi kerja (rakyat) dan pekerja (kepala negara/wakil rakyat), yang digaji untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan undang-undang yang telah dibuat oleh rakyat, hal ini tentu amat bertentangan dengan politik Islam. Terlebih kenyataannya sistem ekonomi kapitalisme yang paling menonjol dan sangat mempengaruhi elite kekuasaan, sehingga mereka tunduk kepada para kapitalis (pemilik modal). 

Mengurusi urusan rakyat bukanlah suatu pekerjaan yang ringan dan menguntungkan dalam perspektif keduniaan, semuanya harus diurus dengan serius untuk memenuhi kebutuhan asasi yang meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Ingatlah bagaimana sejarah kepemimpinan dalam Islam semenjak Rasulullah hingga Kekhilafahan terakhir di Turki. Peradaban yang panjang dan amat membekas dalam sejarah kehidupan manusia. 

Pribadi agung Rasulullah Saw. sebagai nabi dan rasul juga kepala negara, memberikan contoh keteladanan bagaimana pemimpin rela tidak membebani rakyatnya, hingga rela mengganjal perutnya dengan batu karena menahan lapar bahkan tidak memiliki apa-apa untuk dimakan. Meskipun sudah dibujuk oleh para sahabat agar mengutarakan apa kebutuhan beliau yang nantinya bisa dipenuhi dan diberikan, karena kesadaran beliau yang amat tinggi bagaimana mungkin bisa menyembunyikan rasa malu jika menghadap Allah Swt. akan menjadi beban atas orang yang beliau pimpin. Bahkan beliau membiarkan rasa kelaparan dalam perutnya sebagai hadiah dari Allah, agar umatnya kelak tidak ada yang kelaparan di dunia terlebih di akhirat kelak. 

Bagaimana pula sikap tegas Khalifah Umar bin Khattab Ra. melindungi hak seorang Yahudi warga negara dari wilayah Mesir karena aduan atas kesewenangan Gubernur Mesir Amr bin al-Ash, yang menetapkan kebijakan akan membongkar rumahnya, dalam rangka perluasan dan renovasi masjid yang indah, padahal ia tidak rela untuk menjual tanah dan rumahnya. Berbekal tulang yang digaris dengan pedang sebagai pesan, menghadaplah seorang Yahudi tersebut kepada Gubernur Mesir hingga membuat sang Gubernur ketakutan dan dibatalkanlah rencana pembangunan masjid. Pesan yang mendalam dan berisi ancaman kepada Gubernurnya bahwa betapa tinggi pangkat dan kekuasaan seseorang, kelak pasti akan berubah menjadi tulang yang busuk, karenanya hendaklah bertindak adil, jika tidak demikian maka pedang Khalifah yang akan bertindak dan memenggal leher sang Gubernur. 

Usaha yang serius dan bersungguh-sungguh juga ditunjukkan oleh Khalifah al-Mu’tasim pada masa Abbasiyah, yang berusaha untuk melindungi dan menjaga kehormatan seorang budak wanita muslimah yang diganggu oleh orang Romawi di Ammuriyah (wilayah yang diduduki Romawi) ketika berbelanja di pasar hingga membuat auratnya tersingkap. Mendengar kabar tersebut Khalifah kemudian mengerahkan ribuan pasukan yang menggetarkan, barisan pasukan itu bagian yang terdepan sudah ada di kota Ammuriyah, sedangkan pasukan yang ada di belakang masih berada di perbatasan kota Baghdad. Hingga akhirnya pecahlah pertempuran dengan tentara Romawi dan takluklah kota Ammuriyah. Masih banyak lagi contoh-contoh keteladanan pemimpin dalam Islam. 

Kepemimpinan bukanlah sesuatu yang harus diperebutkan karena pertanggung jawabannya tidak hanya di dunia namun juga di akhirat di hadapan Allah Swt. Ingatlah penggalan hadits Nabi Saw., “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Oleh: Haris Ardianto
Pendidik dan Aktivis Dakwah

Selasa, 09 Januari 2024

Ritual Malam Para Caleg di Makam, Syirik dan Ironi Kepemimpinan



Tinta Media - Suasana jelang pemilihan umum (pemilu) semakin terasa dengan semakin semaraknya foto-foto para calon anggota legislatif (caleg) yang terpampang di pinggir-pinggir jalan. Ini merupakan wujud promosi kepada masyarakat, untuk memilih mereka menjadi wakil rakyat di pemerintahan. Beragam upaya dilakukan untuk memenangkan diri dalam pertarungan kontestasi politik pada Februari 2024 mendatang. 

Tak hanya memasang foto, para caleg ini pun ternyata melakukan ritual di makam keramat. Melansir dari liputan6.com (8/12), para caleg melakukan wisata religi mengunjungi makam-makam di heritage Bukit Siguntang Palembang. Terdapat 7 unit makam di Wisata Bukit Siguntang Palembang, yang merupakan keturunan dari raja-raja di masa Kerajaan Sriwijaya. 

Menurut keterangan dari salah satu juru kunci Wisata Bukit Siguntang, biasanya tiap bulan Desember jelang Pemilu, banyak caleg yang datang. Mereka datang untuk berziarah dan mengirimkan doa kepada para leluhur, yang dipercaya sakti mandraguna di masanya. Ada yang berasal dari Palembang, Prabumulih, Ogan Ilir, Baturaja, Muara Enim, Bengkulu, dan Jakarta. Tak hanya itu, beberapa negara Asia, seperti Malaysia dan Singapura pun turut hadir ke Wisata Bukit Siguntang ini. 

Sekularisme Mengakar 

Sungguh, apa yang dilakukan para caleg adalah buah dari sekularisme yang mengakar. Mereka menormalisasi adanya kesyirikan, menjauhkan sikap dan perbuatan sesuai dengan norma agama. Lihat saja, demi meraih kekuasaan, para caleg rela menggunakan segala cara untuk menang dalam pemilu 2024 mendatang, termasuk dalam kunjungan ke makam-makam keramat. 

Terlebih, mereka melaksanakan tradisi nyeleneh untuk mewujudkan keinginan, seperti mengukur panjang kedua tangan yang dibentangkan di sebilah bambu dan dipasang tanda menggunakan karet. Beberapa hari kemudian, mereka datang lagi dan mengukur kembali bentangan tangan ke tanda karet yang dipasang sebelumnya. Jika batasannya melebihi, mereka percaya jika keinginannya akan terkabul. Selain itu, mereka juga melakukan do'a di atas makam keramat. Bahkan, disebut juga ada yang sampai membawa orang pintar dengan menggelar ritual-ritual aneh yang tak sesuai syari'at Islam. 

Menyedihkan memang, sekularisme telah mengikis habis akidah (keimanan) seseorang, termasuk dalam diri para caleg yang notabene kelak akan memimpin kehidupan rakyat. Namun, karena agama dipisahkan dari kehidupan, perbuatan yang dilakukan tidak berlandaskan halal dan haram, tetapi berlandaskan manfaat dan hawa nafsu semata. Demi tercapainya hasrat kepemimpinan, mereka rela melakukan apa saja, termasuk melanggar norma-norma agama. 

Jika masih menjadi kandidat saja sudah banyak melakukan kemaksiatan, bagaimana wujudnya jika amanah kepemimpinan sudah diserahkan ke pundaknya? Negara seperti apa yang akan diwujudkan? Pengurusan rakyat yang seperti apa yang akan dilakukan? 

Bisa dikatakan, para caleg sendiri sebenarnya sudah bingung ingin menang dengan cara apa. Mereka sendiri sadar bahwa tidak ada nilai yang membuat mereka percaya diri untuk menang. Karena faktanya, tak sedikit para kandidat caleg yang sebenarnya tidak memahami peran dan kepemimpinan. Bahkan, yang selama ini tidak dikenal track recordnya dalam kepemimpinan pun berani unjuk gigi dalam kontestasi pemilu. Waduh, kok bisa, ya? 

Itulah realitas yang terjadi jika kita hidup dalam sistem demokrasi yang menganut sistem sekuler. Jabatan kepemimpinan itu bak surya yang menyilaukan mata. Kedudukan dipandang sebagai tempat meraih pundi-pundi materi. Bayangkan saja, modal untuk masuk ke dalam dunia politik saja sudah besar. Tak heran jika yang baru saja menjabat bisa terjerat kasus korupsi untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkannya tadi. 

Pahami Urgensi Kepemimpinan 

Sesungguhnya, di dalam Islam, manusia tidak boleh mengemban paham sekularisme. Karena itulah, agama penting bagi kehidupan manusia. Buah dari agama adalah syari'at sebagai pijakan manusia dalam berbuat. 

Islam memandang kepemimpinan adalah amanah yang berat tanggung jawabnya, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Sebagaimana sabda Nabi saw. 

“Tidaklah seorang manusia yang diamanati Allah Swt. untuk mengurus urusan rakyat, lalu mati dalam keadaan dia menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga bagi dia.” (HR Bukhari) 

Seorang pemimpin wajib menjaga akidah (iman) rakyat agar tetap lurus di jalan Allah Swt. Tak hanya itu, pemimpin dalam Islam juga wajib menjamin ketersediaan kebutuhan rakyat, seperti sandang, pangan, dan papan. Demikian juga pendidikan, keamanan, dan kesehatan. 

Mengutip dari laman Muslimah News, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan bahwa seorang pejabat negara harus memiliki tiga kriteria penting, yaitu al-quwwah (kekuatan); at-taqwa (ketakwaan); dan al-rifq bi ar-ra’iyyah (lembut terhadap rakyat). 

Disebutkan bahwa ketakwaan adalah pilar penting yang harus dimiliki seorang pemimpin. Dia akan sadar bahwa setiap perbuatan yang dilakukan dilihat oleh Allah Swt. dan kelak Allah Swt. akan memberikan balasan. Ketakwaan menjadikan para pemimpin senantiasa berhati-hati dalam berbuat. Sehingga, ia tidak akan mungkin berbuat maksiat karena iman dan takwa ada dalam dadanya. Dia sadar bahwa maksiat menghantarkannya ke dalam neraka. 

Apalagi, berbuat syirik, berharap dan bergantung pada selain Allah Swt. merupakan dosa besar. Pelakunya mendapatkan ancaman masuk neraka. Allah Swt. berfirman, 

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa: 48). 

Sungguh, pemimpin yang bertakwa, yang senantiasa berpegang teguh pada al-Qur'an dan As-Sunnah harus segera diwujudkan, yakni dengan menjalankan ketakwaan individu, masyarakat, sampai ke level negara. Negara yang dimaksud adalah bukan negara demokrasi yang menihilkan peran agama, tetapi negara yang berpegang teguh pada hukum Allah Swt, yakni sistem Islam. 
Wallahua'lam bisshawab.


Oleh: Ismawati
Aktivis Muslimah Banyuasin

Senin, 11 Desember 2023

Soal Kepemimpinan



Tinta Media - Aku pernah bertanya soal kepemimpinan
Tapi mengapa tak pernah ada jawaban
Selain perpecahan 
dan permusuhan

Kata Pak Guru, sapu lidi dalam genggaman
Bisa menata halaman yang tak karuan
Umat tak 'kan raih kembali kekuatan dan kemuliaan
Saat negeri-negeri laksana hamparan pasir tak beraturan 

Tapi mengapa kau tolak
Gelora rindu umat yang bergejolak
Bait-bait dan seruan itu tak lain adalah syariat 
Dia tetapkan agar agama dan dunia jadi rahmat

Lalu, mengapa engkau hiraukan
Andaikan ada kata khilafah sekarang
Maka jalan-jalan akan selalu aman
Orang-orang lemah takkan jadi santapan dan rampasan

Indonesia dan dunia Islam memang
berada dalam krisis kepemimpinan 
Urusan manusia tidak pernah beres
Kata bahagia hanya obrolan beberapa SKS

Andai saja ada orang-orang mulia
Baik ulama maupun auliya
yang mengerti urusan akhirat dan dunia
dengan bijaksana memimpin dengan Al-Qur'an dan Sunnah-Nya

Tentu tiba kini saatnya pergi 
Tinggalkan rasa pahitnya sesat dan perkara keji
Raih mulia dengan Islami 
Maka umat pimpin dunia seantero negeri 

Ditulis pada Ahad, 10 Desember 2023
di sudut perumahan bernama Ar Raayah

Oleh: Mada W. Kusumah

Senin, 28 Agustus 2023

Perubahan Kepemimpinan Tidak Menyebabkan Kondisi Masyarakat Lebih Baik


 
Tinta Media - Ketua komunitas mengenal Islam Kafah Dra. Irianti Aminatun mengatakan bahwa perubahan kepemimpinan sejak orde lama, orde baru, hingga orde reformasi, tidak menyebabkan kondisi masyarakat lebih baik.
 
“Rangkaian perubahan itu tidak menyebabkan kondisi masyarakat lebih baik. Perubahan gagal, ekonomi, politik, pendidikan, hukum, sosial kemasyarakatan, justru kian memburuk,” ujarnya di acara Bincang Islam bersama Komunitas Mengenal Islam Kafah: Perubahan Hakiki ke Arah Islam, di Bandung, Ahad (27/8/2023).
 
Ia beralasan, perubahan yang terjadi tidak pada persoalan pokok, bukan pada akar permasalahan. “Akar permasalahannya, karena sistem Islam tidak diterapkan dan justru  menerapkan sistem kapitalis sekuler,” katanya.
 
Perubahan yang terjadi, ucapnya, hanya perubahan orang, bukan sistem.Padahal penyebab kerusakan itu pada sistem sekuler kapitalis yang rusak dan merusak. ”Inilah penyebab mengapa perubahan yang terjadi tidak berhasil menghantarkan kepada kebaikan,” simpulnya.
 
Ia melanjutkan,  sistem hukum (untuk memperoleh keadilan), sistem ekonomi (untuk mengatur sumber daya manusia dan sumber daya alam), pranata politik (untuk menjalankan roda pemerintahan), dan sanksi hukum (untuk menjamin stabilitas sosial kemasyarakatan) hakikatnya adalah perangkat sistem kehidupan yang menjadi penentu corak kehidupan.
 
“Meski terjadi perubahan rezim dan puncak pemimpin politik tumbang, semua sistem tersebut tidak otomatis berubah jika memang tidak diubah. Agar menghantarkan kepada kebaikan, maka wajib mengubah orang sekaligus sistemnya,” tandasnya.
 
Islam
 
Mengacu pada perubahan yang dilakukan Rasulullah, Irianti menjelaskan, Islam benar-benar dijadikan dasar oleh Rasulullah dalam visi dan misi perubahan. Rasul saw. menghunjamkan akidah Islam sebagai dasar perubahan. Akidah adalah pemikiran yang paling mendasar.
 
“Pemikiran yang paling dasar ini menggambarkan visi-misi hidup seorang muslim, dari mana ia berasal? Akan ke mana ia setelah mati? Lalu apa yang harus dilakukan di dunia ini? Ini adalah pemikiran dasar (akidah Islam),” jelasnya.
 
Ia menambahkan, perubahan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. adalah perubahan yang bersifat inqilabiy (revolusioner). Artinya, bukan perubahan yang bersifat parsial dan tadarruj (bertahap). Hal demikian karena kerusakan yang terjadi di Makkah kala itu realitasnya adalah kerusakan yang sistemis.
 
“Jika direfleksikan kepada kehidupan saat ini, kebobrokan terjadi di berbagai sisi kehidupan yang saling kait mengait. Islam memandang kondisi tersebut  sebagai zaman jahiliah (kebodohan). Kerusakan masyarakat mulai dari akidah, kehidupan bermuamalah, bidang hukum, adat istiadat, dan sisi kehidupan bermasyarakat lainnya. Dalam konteks kekinian, kerusakan yang terjadi ini bersifat sistemis dan ideologis. Oleh karena itu, perubahan yang dilakukan pun sejatinya adalah perubahan yang bersifat sistemis dan ideologis,” urainya.
 
Menurutnya,harapan dan arah perubahan yang benar dan baik itu tidak ada, kecuali hanya pada Islam, ideologi kehidupan yang bersumber dari Sang Pencipta manusia dan alam semesta. “Metode perubahannya pun harus sesuai contoh Rasulullah saw. yang bertumpu pada perubahan pemikiran tanpa kekerasan,” tambahnya.
 
Dakwah Rasul
 
Irianti lalu memaparkan, tiga tahapan dakwah Rasul dalam mengubah masyarakat jahiliah menuju masyarakat Islam.
 
“Pertama, tahap pembinaan berupa penancapan pemikiran yang diemban. Pemikiran baru yang diemban harus benar-benar diyakini dan tertancap secara mendalam dalam benak mereka yang ingin melakukan perubahan. Bahkan, rahasia keberhasilan perubahan yang berlandaskan sebuah pemikiran ada pada tahapan ini,” jelasnya.

Rasul saw., lanjutnya, menancapkan akidah Islam ke benak para sahabat tidak kurang dari 13 tahun selama di Makkah. Pemikiran yang jernih, selaras dengan akal, menenteramkan jiwa dan kalbu, akhirnya terhunjam kukuh di benak para sahabat. “Ini adalah modal paling dasar untuk kemudian melakukan tahap kedua,” pesannya.
 
Kedua, sebutnya, menyampaikan pemikiran atau ide perubahan kepada masyarakat dengan terang-terangan. Dilakukan dengan perang pemikiran dan perjuangan politik.
 
“Setiap pemikiran dan ide rusak, ragam kebijakan politik yang menyengsarakan rakyat, harus dikritik dan dijelaskan kelemahan, kekeliruan, dan akibat buruk terhadap kehidupan bermasyarakat,” jelasnya.
 
Pada era Rasulullah, ucapnya, Al-Qur’an mengecam tegas dan gamblang terhadap ragam keyakinan dan kebiasaan buruk kaum jahiliah, seperti firman Allah Swt. yang mengecam perilaku Abu Lahab.
 
“Dalam kondisi sekarang, perang pemikiran dan perjuangan politik itu bisa kita contohkan saat kita menjelaskan kebobrokan ide kapitalisme dan sosialisme, serta ragam turunan pemikiran lain yang menjadi napas atas berbagai kebijakan politik. Contohnya: UU Kesehatan, UU Omnibuslaw  Ciptakerja dan lain-lain,” terangnya.
 
Ketiga, lanjutnya, tarnsformasi kepemimpinan. Hijrah Rasulullah saw. adalah bentuk keberhasilan langkah yang ketiga ini. Saat itu, masyarakat dan tokoh-tokoh Madinah (ahlul quwwah wal mana’ah) sudah siap memberikan kekuasaan mereka kepada Rasulullah saw. Peresmian transformasi kepemimpinan itu ditandai dengan Baiat Aqabah II.
 
“Peristiwa baiat ini diawali dengan datangnya rombongan haji dari Madinah ke Makkah dengan jumlah yang cukup banyak. Mereka terdiri dari 75 orang kaum muslim, yaitu 73 laki-laki dan 2 perempuan,” imbuhnya.
 
Rasulullah saw, jelasnya, berhasil  mewujudkan cikal bakal yang akan menjadi fondasi dan pilar pertama dalam mendirikan Negara Islam. Yakni sebuah negara yang akan menerapkan Islam di dalam masyarakat, mengembannya sebagai risalah universal ke seluruh umat manusia dengan membawa serta kekuatan yang akan menjaganya, dan menghilangkan semua rintangan fisik yang menghalangi di jalan penyebaran dan penerapannya.
 
“Arus perubahan seperti  inilah yang sejatinya harus terjadi pada dunia dan kaum muslim saat ini. Perubahan dari kondisi sistem kapitalisme liberal atau sosialisme komunis, menuju masyarakat Islam. Perubahan ini yang akan benar-benar memberikan kebaikan pada masyarakat dan kehidupan alam semesta,” pungkasnya.[] Qorry

Rabu, 21 Juni 2023

Pernyataan Pak Presiden, Saya Setuju, Tapi Harus dengan Syariat Islam

Tinta Media - "Kepemimpinan itu ibarat tongkat estafet kepemimpinan itu bukan meteran pom bensin," ujar Pak Presiden Joko Widodo  (Jokowi) dalam peluncuran rancangan rencana pembangunan jangka panjang nasional 2025-2045. (Kanal Youtube KompasTV).

Pernyataan ini saya setuju, kepemimpinan itu mestilah berkelanjutan dan tidak dari nol. Program-program yang dilanjutkan haruslah dalam rangka mensejahterakan rakyat. Tapi, dengan standar pelaksanaannya berdasarkan syariat Islam. Sebagaimana Firman Allah S.W.T "Sesungguhnya agama yang diridhai Allah adalah Islam".

Pada kesempatan sebelumnya bakal calon Presiden koalisi perubahan Pak Anies Baswedan menyebut tujuan pemilu bukan untuk menengok ke belakang. Pemilu menurut Anis adalah ajang untuk berhenti sejenak dan menentukan arah masa depan bangsa jadi tidak usah khawatir.

Pernyataan Pak Anis juga, saya setuju. Tapi, pergantian kepemimpinan seyogyanya arah yang dituju adalah meraih ridho Allah S.W.T. Tentu diterapkannya Islam sebagai ideologi akan terwujud.

Dalam ideologi Islam, kepemimpinan itu adalah bentuk kegiatan politik. Sudut pandang yang kita pakai adalah standarnya Islam, jadi  politik Islam yang digunakan. Politik dalam Islam adalah melayani urusan rakyatnya. 

Proses kepemimpinan merupakan kegiatan politik maka upaya berkesinambungan "tongkat estafet" itu, harusnya tetap pada jalurnya. Agar mencapai tujuan dan langkah yang benar maka perlu sistem yang benar dan pemimpin yang bertakwa. 

Dalam kepemimpinan yang bertakwa  ini dibutuhkan seorang pemimpin yang memenuhi syarat. Maka Islam telah memberikan aturan dalam memilih pemimpin. Syarat seorang pemimpin itu harus dipenuhi. Syarat tersebut, yakni: Islam, laki-laki, berakal, baligh, merdeka, mampu dan adil.

 Dalam konteks syarat pemimpin, apa yang disampaikan Robert K. Greenleaf dalam bukunya yang berjudul Servant Leadership."Yang namanya kepemimpinan bukanlah jabatan yang itu diperebutkan, apalagi dalam rangka untuk menumpuk-numpuk harta untuk mendapatkan kepentingan pribadi". Bila melakukan menumpuk harta hal ini bertentangan dengan syarat adil. Lawan dari adil adalah zalim.

Surat al-maidah ayat 45 dan 47, Allah S.W.T berfirman "Barangsiapa yang berhukum tidak dengan Hukum Allah maka ia adalah orang yang fasik. Barang siapa yang berhukum tidak dengan Hukum Allah maka ia adalah orang yang zalim.

"Jadi apabila saat ini ada calon-calon pemimpin secara kasat mata baik ramah santun cerdas punya kapasitas tapi ia enggan untuk menerima hukum Allah maka ia termasuk orang-orang yang fasik dan orang-orang yang zalim," 

Rasulullah S.A.W bersabda," seorang Imam adalah pemelihara. Seorang Imam bagaikan seorang penggembala dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas pemeliharaan itu".(Hadist Riwayat Muslim ).

Kita sebagai Muslim seharusnya ketika mendapat amanah kepemimpinan menjadikan Islam sebagai pemahaman, standar kita menilai dan tolok ukur atas kebijakan yang dibuat. 

Allah berfirman dalam Surah Al-‘Araaf: ayat 96 yang artinya:“Dan sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan".

Apa yang terjadi saat ini tidak terlepas dari pandangan hidup umat Islam yang masih menerapkan sistem sekuler, kapitalisme. Korupsi yang semakin gila-gilaan, lgbtq, perzinahan, kenakalan remaja dan lain sebagainya terjadi akibat tidak diterapkannya syariah Islam secara kaffah dan pemimpin yang bertakwa.

Sebagaimana yang telah dicontohkan Baginda Rasulullah S.A.W dan para Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan roda pemerintahan. Menjadikan dakwah dan jihad sebagai politik luar negerinya, memenuhi kebutuhan pokok rakyat, menegakan hukum tanpa tebang pilih dan lain-lain.
Maka kepemimpinan itu harus dikembalikan dan diterapkannya Islam sebagai ideologi dengan institusi khilafah. Dengan begitu Allah S.W.T turunkan berkah ke negeri ini.[] 

Oleh: Muhammad Nur
Sahabat Tinta Media 

Rabu, 17 Mei 2023

Ustadz Abu Zaid: Karut-Marut Negeri Ini Bukan Sekadar Masalah Kepemimpinan, Tapi...

Tinta Media - Ustaz Abu Zaid dari Tabayyun Center berpandangan carut-marut di negeri ini bukan karena sekadar masalah kepemimpinan. 

"Karut-marut yang terjadi di negeri ini, baik itu ekonomi, politik, sosial dan budaya bukan karena sekadar masalah kepemimpinan," ujarnya dalam program Kabar Petang: Perubahan Hakiki hanya dengan Islam di kanal YouTube Khilafah News, Sabtu (13/5/2023).

Menurutnya, pergantian presiden bukanlah perkara mendasar untuk bisa menyelesaikan berbagai masalah yang dialami negeri ini, karena kepemimpinan hanyalah sebuah hasil dari proses-proses politik di negeri ini.

“Lantas apa penyebab utamanya?” tanyanya.

Ia memandang, bahwa penyebab utama sebenarnya adalah cara pandang atau pandangan hidup rakyat negeri ini yang mayoritas muslim tetapi tidak mau kembali kepada Al-Quran (sebagai pedoman kehidupan).

”Penduduk negeri ini tidak taat (sepenuhnya) kepada Allah Swt,” tegasnya. 

Menurutnya, penduduk negeri ini telah berpaling dari syariat islam. Malah mengikuti hawa nafsu dengan slogan suara terbanyak (hukum demokrasi) yang tidak peduli benar atau salah.
 
“Ini yang menjadi sebab kehancuran dalam berbagai bidang kehidupan. Misalnya korupsi yang gila-gilaan, kemudian masalah pendidikan, kenakalan remaja dan seterusnya,” bebernya.
 
Sebagai penegasan penyebab utama dan solusi, Ia pun menyampaikan Firman Allah Swt. Surah Al-‘Araaf: ayat 96 yang artinya,

“Dan sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan,” pungkasnya.[] Muhar

Sabtu, 01 April 2023

Hakikat Kepemimpinan Itu Melayani

Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Boni Solehudin menilai bahwa hakikat kepemimpinan adalah dalam rangka untuk melayani.

"Hakikat dari kepemimpinan adalah melayani bukan dilayani. Maka seorang pemimpin dalam Islam mengurusi umatnya bukan menguras harta umatnya," tuturnya dalam acara Teman Berbuka: Pemimpin itu Mengurus Rakyat bukan Menyengsarakan Rakyat di kanal Youtube Khilafah Channel Reborn,  Ahad (26/3/2023).

Ia menyampaikan pendapat seorang pakar leadership, Robert K. Greenleaf dalam bukunya yang berjudul Servant Leadership. "Yang namanya kepemimpinan bukanlah jabatan yang itu diperebutkan, apalagi dalam rangka untuk menumpuk-numpuk harta untuk mendapatkan kepentingan pribadi," paparnya.

Menurutnya, sejak 14 abad yang lalu, Islam telah mengajarkan kepada kita hakikat sebuah kepemimpinan. "Sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits Ibnu Asakir,  Rasulullah SAW menyampaikan pemimpin satu kaum adalah pelayan mereka," bebernya.

Meski hadits ini dhaif, tapi hadits ini secara makna tidak bertentangan dengan hadits yang shahih. "Dalam Imam Muslim, Rasulullah SAW. bersabda, seorang Imam adalah pemelihara. Seorang Imam bagaikan seorang penggembala dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas pemeliharaan itu," terangnya.

Menurutnya, hadits ini bukan hanya sebuah konsep dan juga teori. "Rasulullah SAW. dan juga para Khulafaur Rasyidin mengimplementasikan hadits ini sehingga menjadikan rakyat itu adil dan juga sejahtera," ujarnya.

Sebagaimana kisah Umar bin Khattab ketika menjabat sebagai Khalifah, senantiasa berkeliling untuk mengetahui kondisi rakyatnya dan ternyata ditemukan ada di antara rakyatnya yang kelaparan, maka Umar sendiri yang mengambil gandum di Baitul Mal kemudian diberikan kepada orang itu. 

"Masya Allah, itu adalah hakikat kepemimpinan dalam Islam yaitu untuk melayani bukan dalam rangka untuk mengumpulkan harta sedemikian rupa, bukan dalam rangka untuk memperkaya diri apalagi menampakkan kemewahan kekayaan di tengah-tengah kesengsaraan yang terjadi di masyarakat," pungkasnya.[] Lussy Deshanti
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab