Tinta Media: Kepemimpinan Islam
Tampilkan postingan dengan label Kepemimpinan Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kepemimpinan Islam. Tampilkan semua postingan

Rabu, 03 Januari 2024

PARADIGMA KEPEMIMPINAN ISLAM UNTUK KEMAJUAN DAN KEBERKAHAN NEGERI

Tinta Media - Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96). Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu (QS Al Baqarah : 208) 

Menjadi seorang muslim dan mukmin adalah menjadi orang yang dengan sadar harus melaksanakan segala hukum dan aturan Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Menjadi seorang muslim berarti siap untuk senantiasa terikat dengan ajaran Islam. Keterikatan semua sikap dan tingkah laku kepada Islam adalah konsekuensi keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.  

Terlebih seorang pemimpin yang bertanggungjawab memimpin rakyat, maka visinya harus untuk mewujudkan masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Pemimpin itu ibarat nahkoda sebuah kapal yang sedang berlayar di tengah lautan luas dengan ombak yang setiap saat bisa menghantamnya. Nahkoda adalah orang yang paling bertanggung jawab kemana kapal berlayar. Nahkoda adalah pemimpin dan kapal adalah wadah atau sistemnya. 

Misi seorang pemimpin dalam paradigma Islam adalah untuk mencapai kebahagiaan rakyat di dunia dan keselamatan di akhirat. Pemimpin dalam paradigma Islam adalah yang senantiasa berorientasi kepada kemajuan peradaban bangsa dan keberkahan hidup di dunia. Pemimpin dalam paradigma Islam juga selalu berorientasi kepada kehidupan akhirat yang abadi. Allah telah berfirman : Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia ini dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka (QS Al Baqarah : 201) 

Islam adalah agama yang benar dan sempurna karena berasal dari Allah yang maha sempurna. Islam adalah pedoman hidup menuju keselamatan dunia akhirat. Meninggalkan hukum dan peringatan Allah akan melahirkan kesengsaraan dan kesempitan hidup. Hal ini sejalan dengan peringatan Allah SWT : Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang  sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta". (QS Thaha : 124) 

Masalah kepemimpinan dalam pandangan  Islam adalah perkara yang sangat penting.  Saking pentingnya keberadaan kepemimpinan dalam Islam, tatkala Rasulullah wafat, para sahabat menunda memakamkan jenazah Rasulullah selama dua malam untuk bermusyawarah memilih pemimpin pengganti kepemimpinan Rasulullah dan terpilihlah sahabat Abu Bakar Asy Syidiq menjadi seorang khalifah pertama dalam Islam. 

Fungsi  kepemimpinan dalam Islam adalah untuk mengatur  urusan manusia agar tertib sejalan dengan  nash Al Qur’an  serta tidak terjadi kekacauan dan perselisihan. Rasulullah memerintahkan kita agar mengangkat salah satu menjadi pemimpin dalam sebuah  perjalanan. Islam mewajibkan kita untuk taat kepada Allah, Rasulullah dan kepada ulil amri yakni orang yang diamanahi untuk mengatur urusan umat  . Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS An Nisaa : 59). 

Ayat ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa wajib bagi kita untuk menaati Ulil Amri atau pemimpin di antara kita. Secara bahasa (harfiah) ulil amri bermakna penguasa atau orang yang memegang urusan. Pemimpin menurut Imam Bukhari dan Abu Ubaidah memiliki makna orang yang diberi amanah untuk mengurus urusan orang-orang yang dipimpinnya. 

Abu Hurairah memaknai ulil amri sebagai al umara (penguasa). Maimun bin Mahram dan Jabir bin Abdillah memaknainya dengan ahlul ‘ilmi wa al khoir (ahli ilmu dan kebaikan). Sedangkan Mujahid dan Abi Al Hasan memaknai kata ulil amri sebagai al ‘ulama. Dalam riwayat lain, Mujahid menyatakan bahwa mereka adalah sahabat Rasul. Ikrimah memaknai ulil amri lebih spesifik yakni Abu bakar dan Umar bin Khatab. 

Ibnu Abbas memaknai ulil amri sebagai al umara wa al wullat atau para penguasa. Konteks ayat ini juga turun berkaitan dengan kewajiban menaati para penguasa. Sayyidina Ali bin Abi Thalib, karamallahu wajhah dalam Tafsir Al Quran karya Al Baghawi menjelaskan bahwa seorang imam atau pemimpin negara wajib memerintah berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT, serta menunaikan amanah. Jika dia melakukan itu, maka rakyat wajib untuk mendengarkan dan menaatinya. 

Sebaliknya tidak wajib taat kepada pemimpin yang tidak memerintah berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT atau memerintahkan  kemaksiatan kepada Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW laa thoata li makhluqin fii maksiatil kholiq Tidak ada ketaatan kepada makhluk yang memerintahkan kemaksiatan kepada Allah. (HR Ahmad) Dengan demikian ketaatan kepada pemimpin dalam  pandangan Islam hanya jika pemimpin tersebut terikat kepada hukum dan aturan Allah SWT dalam merumuskan hukum dan perundang-undangan. 

Kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Ketaqwaan adalah pelaksanaan seluruh perintah Allah dalam urusan pribadi dan negara serta menjauhi seluruh larangan Allah dalam urusan pribadi dan negara. Allah perintahkan umat ini untuk menjalankan Islam secara kaffah, tidak boleh setengah-setengah. Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu (QS Al Baqarah : 208) 

Rasulullah adalah pemimpin teladan dalam Islam yang sepenuhnya berhukum kepada wahyu Allah dalam mengatur seluruh urusan manusia dan dunia, bukan dengan hawa nafsu. Aturan dan undang-undang dalam paradigma negara dalam Islam bersumber dari Al Qur’an dan al hadits, bukan berdasarkan kesepakatan sosial. Dengan demikian, dalam konteks hari ini, seorang pemimpin yang wajib kita taati adalah pemimpin yang mengatur sistem pemerintahannya, ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar negeri atau hukum-hukum syariah yang lain bersumberkan kepada Al Qur’an dan Al Hadist. Dengan kata lain seorang pemimpin muslim yang menerapkan Islam secara kaffah. Selain itu pemimpin itu juga harus seorang muslim, laki-laki, merdeka, berakal, baligh, adil, dan memiliki kemampuan. 

Sebagai seorang muslim sudah memestinya kita sadar sepenuhnya untuk terikat kepada aturan dan hukum Allah dalam bersikap dan bertindak sekecil apa pun. Semua sikap dan tindakan kita semestinya didasarkan oleh dalil agar kita tidak terjebak kepada tindakan yang justru dilarang oleh Allah SWT. Sebab semua tindakan yang kita pilih akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Jika perbuatan kita dilandasi oleh niat lillah dan mengikuti sunnah Rasulullah, maka kita telah beramal sholeh dan karenanya mendapatkan pahala dari Allah SWT. 

Menjadi pemimpin atau menaati pemimpin adalah perbuatan yang juga akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Kesalahan memilih pemimpin  yang tidak menerapkan Islam secara kaffah akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Islam memerintahkan kepada kita untuk masuk Islam secara kaffah. Udkhulu fissilmi kaffah. Kehidupan manusia di dunia ini akan penuh dengan keberkahan dan kesejahteraan jika diatur dengan hukum dan aturan Allah semata-mata karena didasari oleh keimanan dan ketaqwaan. 

Hal ini sejalan dengan janji Allah : Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96)
 
Kepemimpinan islami seperti dalam narasi di atas hanya akan lahir dalam negara islami juga. Kata islami/is·la·mi/ dalam KBBI memiliki bermakna bersifat keislaman. Kata Islami adalah istilah umum yang merujuk kepada nilai keislaman yang melekat pada sesuatu. Sesuatu yang dimaksud bisa saja dalam bentuk karya seni, tradisi, pendidikan, budaya, sikap hidup, cara pandang, teknologi, ajaran, produk hukum, lembaga, negara, dan lain-lain. Sesuatu disebut islami apabila nilai-nilai yang terkandung atau sistem yang bekerja di dalamnya mengadopsi ajaran Islam. 

Kata islami jika dilekatkan kepada kata negara menjadi negara islami yang maknanya adalah negara yang sumber sistem hukumnya berasal dari wahyu. Negara islami bisa dikatakan sebagai antithesis dari negara sekuler dan negara komunis. Negara sekuler adalah negara yang sistem hukumnya berdasarkan konsensus sosial sebagaimana demokrasi sekuler dengan jargon dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sementara negara komunis adalah negara yang sistem hukumnya bersumber dari paham materialisme yang ateistik. 

Apakah negara Pancasila adalah negara Islami ? Jika merujuk kepada definisi di atas dan fakta yang ada, maka negara Pancasila belum bisa dikatakan sebagai negara islami. Sebab dari sisi sumber hukum, negara Pancasila tidak menjadikan Al Qur’an sebagai satu-satunya sumber hukum. Terlebih jika Indonesia menetapkan sebagai negara demokrasi, maka demokrasi adalah ideologi yang bersumber dari peradaban Yunani. Jika Pancasila itu Islami, mengapa usaha formalisasi syariah Islam justru selalu dibenturkan dengan Pancasila ? 

Sementara, demokrasi adalah paham Barat yang membawa karakter dasar antroposentrisme, manusia adalah sumber segalanya dalam kehidupan dan mengabaikan peran tuhan. Secara ekonomi, paham demokrasi tidaklah mengenal hukum halal dan haram sebagaimana Islam. Pancasila sendiri sesungguhnya merupakan set of philosophy yang bebas nilai, bergantung kepada interpretasi politik kekuasaan. 

Penerapan demokrasi Pancasila di negeri ini,  alih-alih telah memberikan keberkahan ekonomi bagi rakyat. Justru yang terjadi adalah lahirnya kebijakan ekonomi yang berpihak kepada oligarki kapitalis yang makin menyengsarakan rakyat banyak. Akhirnya kekayaan segelintir pemodal lebih banyak dibandingkan dengan kekayaan 100 juta rakyat miskin di Indonesia. Bukankah hal ini bertentangan dengan Al Qur’an surat  Al Hasyr: 7 yang menegaskan supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. 

Antroposentrisme kapitalis ala demokrasi di negeri ini justru telah menyelisihi al maqashid al syar’i yakni penjagaan dan perlindungan atas harta. Konsep kebebasan kepemilikan ala demokrasi juga menyelisihi hukum Islam. Sumber daya alam yang semestinya milik rakyat justru diprivatisasi oleh segelintir oligarki.  Antroposentrisme kapitalis menggambarkan sebuah hasrat yang selalu tidak terpuaskan melalui nafsu keserakahannya yang berusaha memenuhi hasratnya dengan berbagai gagasan yang mengindikasikan eksploitasi kapitalistik atas manusia dan alam. 

Antroposentrisme kapitalis juga membawa karakter reduksionis dan kolonialistik. Antroposentrisme politik telah menjadikan negeri ini justru terjajah oleh ideologi asing, alih-alih menjadi negara islami. Paham sekularisme yang menjadi jalan tengah kompromi politik justru sering diskriminatif kepada ajaran Islam. Bahkan lebih dari itu, di negeri ini tengah terjadi islamophobia yang makin menggila. Adalah paradoks jika dikatakan sebagai negara islami, tapi yang terjadi justru islamophobia. 

Istilah Dar al mietsaq (negara kesepakatan) dan Dar al ahdi wa al syahadah (negara hasil perjanjian dan tempat membangun) bagi seluruh rakyat Indonesia justru menujukkan bahwa negera ini bukan negara islami, namun negara sekuler. Indikasinya sangat jelas, yakni lahirnya berbagai produk UU hasil kesepakatan anggota dewan, bukan hasil istimbat hukum yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasulillah. Bahkan tak jarang produk UU yang lahir justru mendapat penolakan dari rakyat karena dinggap tidak pro rakyat. 

Tujuan lain dari al maqashid al syar’i berdirinya negara dalam Islam adalah melindungi agama, sebab agama dan negara adalah dua sisi mata uang yang tidak mungkin dipisahkan. Imam Al Ghazali mengatakan bahwa sesungguhnya dunia adalah ladang bagi akhirat, tidaklah sempurna agama kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar; agama merupakan  pondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin. 

Al Qur’an mengenalkan istilah khalifah sebagai konsep kepemimpinan Islam. Disebut dengan raja karena memimpin kerajaan. Disebut sultan karena memimpin kesultanan dan disebut khalifah karena memimpin khilafah. Esensi khilafah dalam Islam adalah untuk menerapkan syariat dan hukum Allah secara sempurna di berbagai bidang kehidupan manusia. Esensi kedua khilafah adalah dakwah rahmatan lil alamin ke seluruh penjuru dunia. Esensi ketiga khilafah adalah mewujudkan persatuan umat seluruh dunia dalam satu kepemimpinan. 

Di sub tema Nabi Mendirikan Negara, Mahfud menuliskan bahwa membangun negara, bahkan mendirikan negara dan pemerintahan (khilafah), menurut Islam, adalah keharusan (wajib) karena bernegara adalah sunatullah. Tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang bisa hidup di luar kekuasaan negara, baik negara merdeka maupun negara jajahan. 

Dengan demikian, khilafah adalah negara Islami sebagai pelanjut negara Madinah yang dipimpin Rasulullah. Khilafah menyandarkan sistem hukumnya kepada Al Qur’an, Al Hadist, Ijma’ dan Qiyas. Lantas dimana letak islaminya negara Pancasila yang menerapkan demokrasi dan sekularisme ? 

Dengan demikian penguasa dan pemimpin  yang tidak mendorong terciptanya masyarakat yang beriman dan bertaqwa akan jauh dari keberkahan Allah dalam negara islami.  Penguasa yang tidak menerapkan Islam secara kaffah bukan hanya akan menimbulkan kesengsaraan rakyat, lebih dari itu kita tidak boleh memilihnya apalagi menaatinya, sebab selain hanya akan menjadikan sebuah negeri sengsara, pilihan kita juga akan dimintai pertanggungjawaban. 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 01/01/2024 : 10.30 WIB)

Oleh : Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab