FAKKTA: Indikator Luhut Sebut Indonesia Tidak Dalam Kendali Cina Terlalu Sederhana
Tinta Media - Menanggapi pernyataan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) bahwa Indonesia tidak dalam kendali Cina, Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Hatta, S.E., M.M. menilai pernyataan itu terlalu sederhana.
"Indikator yang dipakai Pak LBP mengatakan bahwa Indonesia tidak dalam kendali Cina terlalu sederhana," tuturnya kepada Tinta Media, Senin (5/9/2022).
Harusnya, kata Hatta, juga dilihat dari indikator tingkat utang dan investasi yang masuk ke Indonesia. Selain itu juga harus dengan penafsiran yang cermat dan tajam. Tidak hanya melihat permukaan saja.
Selanjutnya, sebagai ekonom, ia menyajikan fakta utang Indonesia terhadap Cina berdasarkan data statistik.
"Dilihat dari Indikator tingkat utang luar negeri Indonesia ke Cina dalam rentang 10 tahun terakhir meningkat sangat tajam. Data statistik utang luar negeri Indonesia yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menunjukkan, utang luar negeri Indonesia tahun 2012 masih tercatat di angka $US5 milyar. Saat ini (juni 2022), sudah di angka $US20,7 milyar. Itu artinya naik 310%. Dibandingkan dengan tahun 2007, maka kenaikannya lebih mengerikan lagi, mencapai 2.410%. Karena pada tahun 2007 masih berada di angka $US828 juta," bebernya.
Kenaikan Utang Indonesia dari Cina ini, imbuhnya, melampaui utang terhadap negara lainnya seperti Singapura, Hongkong, dan Amerika Serikat. Ketiga Negara ini secara nominal lebih tinggi dibandingkan dengan Cina. Namun dari sisi pertumbuhannya justru dikalahkan oleh Cina.
Menurutnya, utang luar negeri itu membawa nilai manfaat, akan tetapi dampak negatif yang ditimbulkan lebih besar. "Meskipun dalam taraf tertentu utang luar negeri dapat membawa nilai manfaat, namun dampak negatifnya jauh lebih besar," jelasnya.
Utang luar negeri, lanjutnya, sesungguhnya tidak hanya membawa motif ekonomi, melainkan juga motif politik. Karena itu utang luar negeri dapat menjelma menjadi alat gebuk atau minimal alat untuk membungkam politik luar negeri sebuah negara yang terjerat utang.
Ia juga mengatakan bahwa manfaat atau tidaknya sesuatu dalam hal ini masalah utang luar negeri, tidak bisa hanya diukur dengan materi. "Manfaat dan tidaknya tidak bisa hanya diukur dari seberapa banyak nilai materi yang didapat atau menjadi beban," ujarnya.
Melainkan juga mencakup nilai dan manfaat non materi, tandasnya, seperti kebebasan menentukan sikap untuk membela kebenaran dan membela hak-hak masyarakat dunia yang terjajah.
Hatta juga menilai mengenai sikap gamang Indonesia terhadap dugaan pelanggaran China terhadap Muslim Xinjiang.
"Inilah tampaknya yang dianggap sebelah mata oleh pemerintah Indonesia. Lihat saja sikap gamang Indonesia atas dugaan kuat pelanggaran Cina terhadap hak-hak kemanusiaan umat Islam yang ada Xinjiang," ungkapnya.
Di lihat dari sisi ekspor impor, terang Hatta, meskipun defisit dagang Indonesia tahun 2021 terhadap Cina di angka -4%, lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya yang mencapai -20% (2020) bahkan -49% (2015). Namun dilihat dari sisi produk yang diekspor dan diimpor oleh Indonesia tampak menunjukkan kualitas yang lebih buruk. Sebagai contoh adalah batubara dan produk turunannya. Ekspor batubara Indonesia kepada Cina tahun 2021 mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah. Dengan nilai $US9,1 milyar. Sebelumnya tertinggi hanya berada di angka $US6 milyar pada tahun 2011.
Kemudian ia menjelaskan perbandingan produk yang diimpor dan diekspor oleh Indonesia ke China, yang mana nilainya lebih rendah.
"Dibandingkan dengan jenis produk yang diimpor oleh Indonesia dari Cina, produk yang diekspor memiliki nilai tambah yang jauh lebih rendah. Bukan produk yang terlebih dahulu diolah oleh industri-industri di Indonesia alias bahan mentah," paparnya.
Impor tertinggi Indonesia dari Cina, imbuhnya, adalah produk dengan kode 84. Produk yang termasuk dalam kode ini adalah seperti mesin, peralatan mekanik, serta bagian-bagiannya. Itu semua menunjukkan bahwa keuntungan terbesar dari ekspor impor diperoleh oleh Cina. Bukan Indonesia. (Trade Map - Bilateral trade between Indonesia and Cina).
Ia kembali menegaskan bahwa dengan melihat data-data yang ada, sudah sangat jelas menunjukkan posisi Indonesia dalam dominasi Cina.
"Dilihat dari data-data yang disampaikan di atas sebenarnya sudah cukup gamblang bagaimana posisi Indonesia di bidang ekonomi dan politik terhadap Cina. Seperti halnya ekspor impor, di lihat lebih jauh dari sisi investasi juga menunjukkan bagaimana posisi Indonesia yang semakin berada dalam dominasi Cina," tandasnya.
Hal ini, ujar Hatta tidak lepas dari konsep politik dan ekonomi Kapitalistik, sebagaimana yang dipakai oleh Indonesia, hanya akan meniscayakan sebuah negara terjerat dan terjebak dalam kerangkeng penjajahan. Dengan seperti itu, sejujur apapun penguasa yang menjalankan pemerintahan maka tidak akan memberikan dampak yang signifikan.
Kemudian, Hatta menjelaskan bagaimana Islam mengatur hubungan kerjasama dengan negara lain. "Dalam konteks Kerjasama ekonomi dengan negara lain, Islam mengatur agar negara tidak boleh menjadikan asas manfaat dalam interaksinya dengan negara lain sebagaimana yang terjadi saat ini," terangnya.
Islam, lanjutnya, menetapkan bahwa Khalifah harus memperhatikan status dari negara lain tersebut sesuai dengan parameter syariah Islam. Apakah termasuk dalam kafir harbi fi’lan atau kafir harbi hukman. Negara kafir harbi fi’lan adalah negara yang secara nyata memusuhi Islam dan umat Islam. Terhadap negara kafir harbi fi’lan tidak ada hubungan apapun dengan mereka kecuali perang.
Terakhir, ia menegaskan bahwa dalam Islam hanya boleh menjalin kerjasama dengan negara kafir harbi hukman, dengan batasan yang telah ditetapkan syariat.
"Adapun dengan negara kafir harbi hukman dapat dilakukan hubungan atau Kerjasama ekonomi dengan batasan-batasan yang ditetapkan oleh Syariah Islam seperti tidak boleh melakukan kerjasama secara permanen hingga larangan membuat negara Kafir tersebut menjadi lebih kuat dan berpotensi menjadi penghalang bagi jalannya dakwah Islam," pungkasnya.[] Nur Salamah