Tinta Media: Keluarga Samara
Tampilkan postingan dengan label Keluarga Samara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Keluarga Samara. Tampilkan semua postingan

Senin, 26 September 2022

Tambah Istri, antara Malapetaka dan Solusi

Tinta Media - Poligami, sebuah istilah yang mampu membuat telinga setiap wanita berdiri tegak begitu mendengarnya. Berbagai respon dan tanggapan selalu saja mewarnai setiap kemunculannya.

Memang masalah yang satu ini masih menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat. Tidak bisa dimungkiri, sebagian masyarakat ada yang pro, sebagian lagi masih ada yang kontra. Polemik ini semakin berkepanjangan karena ada pihak-pihak tertentu yang sengaja memanfaatkan situasi ini untuk semakin memojokkan Islam dan kaum muslimin, sehingga masyarakat akan semakin phobia terhadap Islam.

Sebenarnya, seperti apa Islam memandang masalah poligami ini? 

Hukum asal poligami dalam Islam adalah boleh. Dalilnya adalah Al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 3.

"Nikahilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kalian khawatir tidak akan  bisa berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau kalian nikahi budak-budak yang kalian miliki. Hal ini adalah lebih dekat pada sikap tidak berbuat aniaya.(Q An-Nisa[4]: 3)"  

Awalnya, ayat ini bukan perintah untuk menambah jumlah istri. Ayat ini diturunkan justru dalam rangka untuk membatasi jumlah istri. Hal ini karena sebelum ayat ini turun, seorang pria bisa menikahi wanita dalam jumlah tak terbatas. 

Jadi, anggapan bahwa hukum Islam mendiskreditkan perempuan karena membolehkan poligami adalah tidak tepat. Justru Islam datang untuk menyelamatkan dan memuliakan perempuan dengan memberikan keadilan.

Karena hukumnya boleh atau mubah, maka seorang pria yang berpoligami tidak dipandang lebih istimewa atau lebih mulia dibanding dengan yang tidak melakukan. Ia juga tidak dipandang lebih hina atau buruk. 

Sebagaimana orang makan atau minum, hukum dasarnya adalah mubah atau boleh. Dia boleh menambah atau tidak makanan itu, terserah dia. Tidak ada yang pernah berkomentar bahwa si Fulan lebih mulia atau lebih hina hanya karena menambah makanan. Secara fakta, memang ada orang yang sudah merasa cukup dengan sepiring makanan, tetapi ada yang malah belum kenyang.

Dari segi balasan di sisi Allah, juga sama sebagaimana hukum mubah yang lain. Jika dikerjakan tidak mendapat pahala, jika ditinggalkan pun tidak berdosa.
  
Ini berbeda jika ditinjau dari sisi perempuan. Bagi perempuan yang rela dan ikhlas untuk dipoligami, maka balasannya adalah surga. 

Allah Mahatahu, betapa sakit hati seorang wanita ketika hati suami tercinta mendua. Bahkan Siti Fatimah, putri Rasulullah juga merasakan hal yang sama. Digambarkan dalam suatu riwayat, sampai-sampai telur yang digenggam wanita mulia itu hampir matang saking panasnya hati beliau ketika mendengar Sayidina Ali ingin menikah lagi. Karena itu, Allah memberikan keadilan bagi wanita yang rela dan ikhlas untuk diduakan dengan balasan surga.

Kebolehan ini bersifat mutlak bagi setiap laki-laki yang memiliki kemampuan. Bahkan, keadilan pun tidak dianggap sebagai syarat bagi mereka. Hanya saja, ketika seseorang sudah melakukan poligami, ada hukum lain yang harus ditunaikan. Yaitu, ia harus bersikap adil agar jauh dari sifat aniaya. Jika ia merasa tidak mampu untuk bersikap adil, maka satu istri lebih baik baginya.

Sebagian orang menganggap bahwa tambah istri ini merupakan malapetaka, sebagian lagi menganggap hal itu justru nenjadi solusi. Bagaimana kita nendudukkan hal ini? 

Semua aturan yang ditetapkan oleh Allah pasti mengandung maslahat. Tidak ada ketetapan Allah itu yang sia-sia atapun mengandung mudharat. Apa yang baik menurut manusia belum tentu baik menurut Allah. Demikian juga sebaliknya, termasuk kebolehan berpoligami ini.

Bagi laki-laki yang memiliki kecenderungan jinsy atau seksualitas yang tinggi, maka menikah lagi bisa menjadi solusi, yaitu dalam rangka untuk menghindari perselingkuhan dan perzinaan. 

Di satu sisi, polgami juga bisa mengatasi ketimpangan jumlah antara pria dan wanita. Faktanya,  saat ini jumlah wanita lebih banyak dari pria, sehingga ada sebagian wanita yang bisa jadi tidak mendapat pasangan jika semua harus monogami.

Di samping itu, jika poligami ini dijalankan secara benar, maka akan menjadi ladang pahala pagi orang yang terlibat di dalamnya.

Namun, sering sekali apa yang terjadi di tengah masyarakat menunjukkan sebaliknya. Alih-alih menjadi ladang pahala, malah justru menimbulkan banyak masalah. Misalnya  terjadi KDRT, penelantaran dan sebagainya, sehingga masyarakat memberikan cap negatif terhadap semua hal yang berbau poligami. Padahal kalau kita mau jujur, hal-hal seperti itu juga sering sekali menimpa keluarga monogami.

Memang benar, tambah istri bisa nenjadi suatu malapetaka jika para pelaku tidak memahami hukum-hukum Islam, terutana yang berkaitan dengan masalah pernikahan, termasuk masalah hak dan kewajiban. Akan tetapi, tidak sedikit juga keluarga monogami yang hancur dan porak poranda. Jadi, yang menjadi persoalan utama di sini bukan poligami atau monogaminya, melainkan pemahaman terhadap syariat Islam dan penerapannya.  

Contoh yang paling mudah misalnya tentang keadilan. Memang secara hati dan perasaan, seorang pria tidak akan bisa berbagi secara merata. Namun secara materi, semua istri harus mendapat perlakuan uang sama di  sana. Kalau istri pertama mendapat rumah, maka yang lainnya juga harus mendapatkan tempat tinggal yang layak.

Apa yang terjadi di masyarakat justru sebaliknya. Padahal, ini termasuk salah satu sumber bencana. Bisa dibayangkan bagaimana kacau kehidupan mereka. Semua berawal dari satu hal, tidak paham terhadap syariat. 

Bagaimana bisa menjadi solusi kalau praktiknya saja penuh dengan masalah.

Peradaban kapitalis yang liberal inilah yang menjadi penyebab itu semua. Kebebasan dijunjung sebebas-bebasnya, misalnya kebebasan untuk memiliki, kebebasan seksual, kebebasan berekspresi, kebebasan untuk berpendapat dan sebagainya. Padahal secara realitas, tidak mungkin seseorang bisa menikmati kebebasan sebebas-bebasnya tanpa melanggar kebebasan orang lain. Di sini Hak Asasi Manusia hanya sebagai jargon semata. 

Berbagai macam stigma negatif sengaja ditancapkan untuk membentuk kerangka berpikir yang salah tentang poligami. Misalnya, stigma bahwa istri ke dua adalah perebut suami orang, istri pertama adalah pihak yang harus mengalah dan menderita, jika suami nikah lagi, berarti istri pertama tidak becus dalam berumah tangga, ibu tiri itu kejam, jahat dan masih banyak yang lain. Sehingga, tanpa sadar hal itu membentuk suatu pemahaman tertentu yang mendarah daging dan mengakar. Tak ayal, tanpa merasa bersalah, hal-hal senacam itulah yang dipraktikkan.

Padahal kalau kita mau jujur,  banyak pelaku poligami yang sukses membentuk keluarga sakinah mawaddah warahmah, karena mereka benar-benar menjalanka syariat Allah dengan benar. Demikian juga dengan pelaku monogami.

Intinya, baik poligami ataupun monogami, asalkan benar-benar berpegang pada syariat Allah, maka kebahagiaan dan ketenangan akan didapat.

Saat itulah, bisa dikatakan bahwa fungsi poligami sebagai solusi bisa dirasakan di tengah masyarakat.

Oleh: Ida Royanti
Sahabat Tinta Media 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab