Tinta Media: Kekuasaan
Tampilkan postingan dengan label Kekuasaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kekuasaan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Maret 2024

Pemilu dalam Sistem Demokrasi, Hanya Ajang Mencari Kekuasaan


Tinta Media - Beberapa waktu lalu, tepatnya 14 Februari 2024, Indonesia telah mengadakan pesta demokrasi, yaitu pemilihan umum (pemilu) untuk memilih presiden-wakil presiden, dan anggota legislatif. Keramaian menjelang pemilu ini sudah berlangsung beberapa bulan sebelumnya, dengan antusiasme beberapa kalangan masyarakat dalam menyambutnya.

Dalam pelaksanaannya, selain diwarnai dengan antusiasme, pemilu kali ini pun diwarnai dengan beberapa kericuhan dan juga kecurangan yang ditemukan di beberapa daerah di Indonesia.

Salah satunya di TPS 44 Desa Bojongkunci, Kabupaten Bandung. Dugaan kecurangan tersebut ramai setelah banyak kertas suara yang telah dicoblos untuk pasangan paslon tertentu sebelum pemilihan dilakukan.

Kronologi ini menjadi sorotan utama selama proses pemilihan. Masyarakat menjadi khawatir bahwa kecurangan ini akan menimbulkan gejolak baru bagi para simpatisan dan juga memengaruhi kestabilan politik.

Dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, terdapat ketentuan mengenai tindak pidana bagi pelaku kecurangan dalam pemilu.

Sebenarnya kecurangan pemilu dalam sistem demokrasi ini bukan hanya terjadi pada tahun ini. Masih jelas dalam ingatan kita tentang kericuhan yang dilakukan oleh pendukung paslon yang dicurangi pada pemilu tahun 2019, yang hampir memakan korban luka-luka. Selain itu, pemilu tahun 2019 juga diwarnai dengan meninggalnya sekitar 750 orang petugas KPPS secara hampir bersamaan, yang disinyalir karena kelelahan harus menghitung ulang surat suara, walaupun alasan ini masih menjadi perdebatan yang tidak berujung, hingga dipeti-eskan.

Lebih mirisnya lagi, seorang yang dibela mati-matian oleh pendukung paslon yang kalah, justru melenggang dan menerima kekuasaan dari pihak yang menang. Hal ini membuktikan bahwa dalam politik demokrasi tidak ada teman abadi dan  tidak ada musuh abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Maka, selama dapat meraih kepentingannya, seorang politisi akan sangat mudah memihak siapa pun, sekalipun dia merupakan rival politik di masa lalu. Atau sebaliknya, siapa pun akan dia tinggalkan jika tidak dapat memenuhi kepentingannya, sekalipun dulu merupakan teman politiknya.


Politik dalam pandangan mereka, semata untuk meraih kekuasaan setinggi-tingginya. Kekuasaan diraih untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya (oligarki), bukan untuk kepentingan rakyat. Ini justru cenderung merugikan rakyat. Rakyat hanya diperlukan ketika pemilu saja, untuk menghantarkan mereka ke kekuasaan. Setelah mereka berkuasa, kebijakan-kebijakan yang dibuat dan dijalankan justru jauh dari upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. 

Pemilu demokrasi dengan biaya mahal, mengharuskan para kontestan pemilu memiliki dana besar, yang sering kali bukan berasal dari uang sendiri, tetapi dari para penyokong dana, yaitu para kapitalis, luar dan atau dalam negeri. Maka, tidak heran jika  pemilu hanya menjadi ajang pertarungan para kapitalis melalui calon yang didukungnya. 

Jika satu  mendapatkan kekuasaan, para pejabat berlomba untuk memberikan kompensasi dana tersebut dengan segala cara, baik dalam bentuk modal, proyek pembangunan, program pemerintah, ataupun jabatan, melalui tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hawa nafsu berkuasa dengan segala macam cara, menjadi sebuah keniscayaan. Inilah konsekuensi dari penerapan demokrasi sekuler kapitalis, yang memisahkan agama dari kehidupan, yang mengagungkan aturan manusia yang lemah, dan mendewakan kebebasan.

Padahal, sebagai kaum muslimin, harusnya kita mengembalikan hak membuat aturan kepada Sang Pencipta, yaitu Allah Swt. Aturan tersebut diterapkan melalui kekuasaan sebuah negara untuk mengatur urusan umat dalam seluruh bidang kehidupan.

Sebagai agama yang sempurna, Islam mengatur segala hal, termasuk tentang pemilu. Pemilu di dalam Islam merupakan uslub (cara) untuk mencari pemimpin. Pada dasarnya, hukumnya boleh. Namun, bukan berarti harus menabrak syariat Islam. Sebagai muslim, sudah seharusnya kita mengutamakan aturan Allah dalam aktivitas apa pun, termasuk pemilu.

Selain pemilu, cara lain dalam memilih khalifah atau pemimpin adalah dengan musyawarah oleh ahlul halli wal aqdi sebagimana ketika terpilihnya Abu Bakar pasca wafatnya Rasulullah saw. atau dengan menunjuk langsung, seperti yang terjadi pada penunjukan Umar bin Khatab oleh Abu Bakar, sebagai hasil pilihan masyarakat. Atau dengan cara pemilu, seperti pasca Umar bin Khattab wafat, setelah sebelumnya beliau dalam kondisi terluka menjelang wafatnya, telah menunjuk enam orang calon khalifah, yang akhirnya mengerucut menjadi dua orang hasil pilihan kaum muslimin, yakni Utsman bin Affan dan 'Ali bin Abi Thalib, hingga akhirnya terpilihlah Utsman sebagai khalifah pengganti Umar setelah wafatnya.

Terpilihnya seorang khalifah dengan berbagai cara tersebut, belum menjadikan dia sah sebagai khalifah, kecuali setelah melakukan metode pengangkatan kepala negara, yaitu bai'at syar'i. 

Imam An-Nawawi, dalam kitab Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh al-minhaj(VII/390) menyatakan,.

"Akad imamah (khilafah) sah dengan adanya bai'at, atau lebih tepatnya bai'at dari ahlul halli wal aqdi, yang mudah untuk dikumpulkan." (Imam an-nawawi)

Itulah bai'at in'iqad yang menjadi tanda sahnya seseorang diangkat sebagai seorang khalifah. Syariat Islam telah membatasi waktu maksimal kosongnya kaum muslimin dari seorang khalifah adalah tiga hari saja. 

Pemilihan pemimpin dalam Islam sangat sederhana, cepat, dan murah. Seluruh kaum muslimin baik rakyat maupun pihak penyelenggara, hingga para calon khalifah yang ada, akan menjalankan amanah itu sebagai dorongan keimanan dan ketakwaan untuk bersegera menjalankan kewajiban syariat, yaitu penerapan syariat Islam secara kaffah oleh seorang khalifah. 

Tidak ada keuntungan pribadi ataupun golongan yang diutamakan sebagaimana dalam sistem demokrasi kapitalisme, karena tujuan yang ditargetkan untuk diraih adalah semata dalam mencapai rida Allah Swt. 

Visi besar ini dimiliki oleh semua elemen kaum muslimin, baik penguasa maupun rakyat. Maka, inilah yang dapat mewujudkan Islam rahmatan lil 'alamin, sebagaimana yang pernah terjadi ketika syariat Islam kaffah diterapkan dalam naungan khilafah Islamiyyah sekitar lebih dari 13 abad lamanya. Wallaahu a’lam bish-shawwab

Oleh: Ira Mariana
Sahabat Tinta Media

Rabu, 06 Maret 2024

IJM: Upaya Menggoyang kekuasaan adalah Ciri Khas Pemerintahan Demokrasi



Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menilai adanya gerakan rakyat pendukung pemakzulan sebagai salah satu upaya untuk menggoyang kekuasaan menjelang pemilu adalah merupakan ciri khas pemerintahan demokrasi. 

“Adanya gerakan rakyat pendukung pemakzulan merupakan salah satu upaya menggoyang kekuasaan yang dilakukan menjelang pemilu sudah menjadi ciri khas pemerintahan demokrasi,” ulasnya dalam video Gerakan Rakyat Pendukung Pemakzulan Semakin Dahsyat? di kanal Youtube Justice Monitor, Selasa (27/2/2024). 

Menurut Agung, di sisi yang lain pihak berkuasa di banyak negara termasuk negeri ini tentunya akan mempertahankan kekuasaan dengan segala cara, termasuk menggunakan aparat dan memberdayakan kelompok masyarakat. 

“Entah mereka digunakan untuk melindunginya maupun digunakan untuk menghadang oposannya.  Demikian seterusnya setiap rezim berganti, instabilitas politik tidak kunjung reda,” ucapnya 

Ia melihat sebagai sebuah kewajaran dalam demokrasi ketika kekuasaan digunakan untuk mengamankan posisi dan kelompok pendukungnya, bukan untuk melayani rakyat. Elite politik tidak peduli pada konflik masyarakat akibat dari keegoan masing-masing karena di mata mereka rakyat adalah kendaraan politik menuju kekuasaan. 

“Dampak dari kisruh elite politik, ujung-ujungnya rakyat yang menjadi korban. Terkadang rasionalitas terabaikan. Kubu pendukungnya akan membela membabi buta tanpa melihat objektif  kehidupan seluruh masyarakat,” ujarnya prihatin.

Ia juga menyampaikan bahwa kubu yang menginginkan perubahan pun berpotensi menjadi korban persekusi penguasa dan ‘bullying’ dari kelompok pendukung rezim. Aktor di balik elite politik tetap memantau situasi keberpihakan rakyat pada jagoannya. 

“Jika angin tetap mengarah pada petahana maka ia akan support penuh. Dan jika angin mengarah pada oposan, tak segan-segan ia akan beralih untuk segera mendukungnya,” bebernya. 

Saat jagoannya berkuasa, lanjutnya, ia akan menagih keberpihakan mereka dengan sejumlah perundang-undangan yang mengabaikan kesejahteraan mayoritas rakyat. Penyalahgunaan kekuasaan atau ‘abuse of power’ oleh pemegang kekuasaan dengan mengatasnamakan kesejahteraan umum (‘public welfare’) dan peraturan hukum sering kali terjadi dalam pemerintahan demokrasi. 

“Hukum dalam demokrasi liberal mengabaikan kepentingan umum dan sering kali tidak dirumuskan secara jelas sehingga interpretasi yang sah dilakukan secara sepihak untuk membenarkan tindakan pemegang kekuasaan. Hukum juga menjadi alat untuk mencapai maksud dan tujuan penguasa yang terkadang sulit dipertanggungjawabkan secara konstitusional. Lalu sampai kapan kita seperti ini?” pungkasnya.[] Erlina

Sabtu, 02 Maret 2024

Mayoritas Muslim, Rumah Inspirasi Perubahan: Negeri Ini Sepantasnya Diatur Syariat Islam

Tinta Media - Direktur Rumah Inspirasi Perubahan Indra Fakhruddin mengungkapkan, negeri yang mayoritas muslim ini sepantasnya diatur oleh syariah Islam. 

"Negeri ini adalah mayoritas muslim, maka wajib dan memang sudah sepantasnya mereka ini hidup diatur oleh Syariah Islam," ungkapnya, dalam acara bedah kafah edisi 333: Mengembalikan Fungsi Kekuasaan Sesuai dengan Ajaran Islam di kanal YouTube Rumah Inspirasi Perubahan, Jumat (23/2/2024).

"Sebab Syariah Islam itu wajib dan layak untuk digunakan untuk mengatur urusan ekonomi, sosial, pendidikan, politik pemerintahan, hukum dan juga peradilan, sebabnya sangat jelas bahwa Islam bukan sekedar agama ritual spiritual dan moral belaka," jelasnya.

Namun ia menyayangkan, bahwa selama negara ini berdiri, sejak kemerdekaan, bangsa ini malah memilih sekuler yakni ide yang memisahkan agama atau Islam dari kekuasaan. Meski berpenduduk mayoritas muslim, Islam tidak dipilih untuk berdampingan dengan kekuasaan. 

"Islam selalu dijauhkan dari yang namanya kekuasaan bahkan isu Islam dan syariah yang sering disampaikan oleh para gerakan Islam ideologis justru banyak sekali absen dalam setiap momentum pergantian kekuasaan seperti saat pilpres atau pemilu yang sekarang ini sedang kita gaung-gaungkan dan menjadi opini publik," katanya.

"Padahal yang menjadi penting itu adalah sistem yang mau dipakai itu apa. Makanya saat ini, tidak ada satu pun paslon muslim atau partai Islam yang mengusung agenda penerapan syariat Islam. Jadi, seakan-akan sepi benar dari agenda yang bahkan ini seharusnya menjadi sesuatu yang sangat penting," imbuhnya.

Selain itu, menurutnya, hanya sedikit pula ulama yang menyerukan para calon penguasa agar memimpin dan mengurus rakyat dengan syariat Islam. Di dalam setiap pilpres ataupun juga pemilu tidak sedikit ulama termasuk Majelis Ulama Indonesia yang menfatwakkan umat Islam wajib memilih pemimpin dan haram golput.

"Itu yang sering disampaikan kemarin. Haram untuk golput. Namun, sedikit sekali ulama yang memfatwakan pemimpin atau penguasa ini wajib menegakkan syariah Islam secara kafah di dalam seluruh aspek kehidupannya," katanya.

"'Padahal kalau kita bicara tentang ulama ini, pemirsa tentu sangat paham, akrab dengan kitab-kitab para ulama," imbuhnya.

Ia menuturkan, di dalam kitab-kitab para ulama fikih tidak hanya dibahas bab tentang thaharah atau bersuci, ubudiah seperti shalat, zakat, haji saja, di dalamnya juga dibahas bab muamalah, termasuk ekonomi dan juga siyasah atau politik, hudud hingga imamah atau khilafah.

"Bahkan juga membahas tentang jihad atau perang fisabilillah. Dan banyak sekali maka sampai saat ini pun kitab-kitab para ulama fikih itu bahkan di antaranya ditulis sejak ratusan tahun yang lalu tetap saja masih dikaji oleh para santri dan juga diajarkan oleh para ulama atau kiai khususnya di pondok-pondok pesantren kitab-kitab fikih karya Imam Syafi'i rahimahullah taala," pungkasnya.[] Azzaky Ali

Rabu, 28 Februari 2024

PAKTA: Demokrasi Itu Instrumen Kapitalisme


Tinta Media - Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana mengungkapkan, sistem demokrasi itu merupakan instrumen kapitalisme untuk melanggengkan kekayaan.

“Demokrasi itu merupakan instrumen bagi kapitalisme untuk melanggengkan kekayaan mereka,” ujarnya dalam acara Kabar Petang: Kecurangan Pilpres Sulut Huru-Hara Politik? Di kanal Youtube Khilafah News, Rabu (21/2/2024).

Menurutnya, melalui instrumen demokrasi ini para pemilik modal, pengusaha, oligarki dan para kapitalis bisa bebas menguasai aset-aset publik dan juga kekayaan alam dengan berbagai macam potensi luar biasa terutama di Indonesia. 

“Misalnya belum lama ini, baru saja informasinya ada 9 perusahaan menguasai tambang emas baru mendapatkan ijin tambang dan batu bara. Buka saja di situs Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), itu kan semacam lelang pertambangan. Gimana ceritanya negeri ini dilelang?” kesalnya.

Padahal lanjutnya, itu bukanlah milik orang tuanya, miliknya, bahkan bukan milik presiden. “Itu milik semua rakyat Indonesia. Ketika itu milik semua rakyat Indonesia maka tidak boleh satu pun orang melelang itu, termasuk negara,” tegasnya.

Kalau negara sampai berani melelang, bebernya, itu berarti negara melangkahi kedaulatan rakyat, melangkahi rakyat dan kelak pertanggungjawabannya besar di hadapan Allah Swt.

“Padahal kekuasaan itu dipilih masyarakat lho, mestinya dia tidak punya hak untuk menjual itu ( tambang emas dan batu bara),” ungkapnya.

Mestinya negara mengelola dengan baik dan keuntungannya dibagi secara merata ke tengah-tengah masyarakat bukan malah dijual. “Kalau diserahkan ke swasta keuntungannya untuk swasta,” bebernya.

Oligarki

Erwin juga mengungkap, siapa pun presidennya, yang akan menang hakikatnya oligarki, pengusaha, para pemilik modal, para kapitalis. “Sedangkan masyarakat yang di bawah kebagian kecil rempahnya saja,” kritiknya.

Karena menurutnya, perampasan sumber daya alam terutama di negeri ini sudah dibenarkan atau diboleh kan oleh Undang-Undang (UU) yang faktanya sudah di-setting bahwa UU tersebut untuk kepentingan kapitalis dan yang mensetting adalah penguasa.

“Para kapitalis, pengusaha, para pemilik modal, dan oligarki, mereka seperti mendapatkan surga di alam demokrasi ini,” tukasnya.

Bahkan kata Erwin, ketiga capresnya pun di-support oleh kapitalis, pengusaha, para pemilik modal dan oligarki.

“Meskipun tidak di-support oligarki tapi dia (capres) di-support partai politik, di belakangnya partai politik ada oligarki, jadi tidak ada satu pun yang tidak di-support oligarki,” pungkasnya.[] Setiyawan Dwi

Minggu, 25 Februari 2024

Kekuasaan dan Islam Tidak Boleh Dipisahkan


Tinta Media - Pesta demokrasi yang sudah digelar adalah pesta akbar yang begitu dinantikan oleh orang-orang yang ingin duduk di panggung kekuasaan. Kita bisa lihat, saat itu, antusiasme tidak hanya terlihat dari para paslon, tetapi juga masyarakat yang ikut mendukung dan memeriahkan setiap acara yang dibuat oleh para paslon.

Dukungan pun datang dari para tokoh ulama. Ada yang mengatakan bahwa semua orang memiliki hak demokrasi yang sama pada pemilu 2024. Bahkan, sejumlah tokoh ulama di Kabupaten Bandung bersepakat untuk mendeklarasikan calon presiden dan wakil presiden tertentu dan mengampanyekan di wilayahnya.

Di tengah suasana pemilu saat ini, para calon penguasa memang mencari dukungan kepada setiap lapisan masyarakat, mulai dari rakyat bawah hingga kalangan atas, tak terkecuali yang paling diincar adalah para tokoh ulama. Karena mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim, maka bisa dipastikan bahwa sosok ulamalah yang paling berpengaruh. 

Oleh sebab itu, pesantren-pesantren menjadi tempat favorit yang kerap dikunjungi ketika musim pemilu. Seperti biasa, berkedok 'menjaga silaturahim' menjadi alasan para pengejar kekuasaan untuk menemui para pemimpin pondok pesantren. Tak lupa, dana untuk pesantren pun menjadi bagian dari rangkaian kampanye untuk mendapatkan dukungan dari para ulama. 

Inilah kenapa banyak ulama yang ikut berkampanye. Buah busuk sistem sekuler kapitalisme sudah merusak pemahaman umat Islam. Karena itu, kalangan ulama yang seharusnya mampu membawa umat kepada jalan yang diridai Allah, malah ikut menjerumuskan umat pada pesta demokrasi yang jelas-jelas jauh dari syariah.

Apalagi jika yang diusung adalah dari kalangan yang track record perilakunya sangat tidak baik, terutama yang memusuhi Islam. Sejatinya musuh-musuh Islam sampai kapan pun menyimpan kebencian terhadap Islam. Apakah sosok seperti ini pantas dijadikan pemimpin dari sebuah negeri yang mayoritas penduduknya muslim? 

Dalam sistem demokrasi kapitalisme, aktivitas cari muka saat ini lumrah dilakukan oleh para calon penguasa. Mereka tebar janji, gratis ini itu, suguhkan kartu ini itu, sebagai iming-iming agar masyarakat terbuai dan mendukung mereka. Padahal, nyatanya itu hanya bahasa pemilu saja. 

Dalam sistem ini, cara-cara meraih kekuasaan sering kali menghalalkan segalanya. Ini karena akidah yang diemban di negeri ini adalah memisahkan agama dari kehidupan dan negara. Orientasi mereka hanya pada dunia semata. Pada akhirnya, ketika kekuasaan sudah di tangan, mereka lupa dengan janji-janjinya. Rakyat pun kembali dilupakan dan dibiarkan melanjutkan penderitaan yang tiada akhir. 

Para penganut ideologi ini selalu mempropagandakan demokrasi sebagai sistem yang terbaik yang mampu menjamin kesejahteraan, kemakmuran, kesetaraan, dan keadilan. Padahal, realitasnya kemakmuran hanya dirasakan oleh oligarki saja, bukan rakyat kecil.

Ini karena sesungguhnya yang berdaulat dalam sistem ini adalah para elite politik yang mengatasnamakan wakil rakyat. Lagi dan lagi, rakyat kecil menjadi korban ketidakadilan sistem demokrasi yang mengklaim bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat. Nyatanya, semua itu hanya ilusi semata.

Berbeda halnya dalam sistem Islam, kekuasaan dan Islam tidak bisa dipisahkan, jika dipisahkan maka akan membahayakan pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya. Maka dari itu, Islam mempunyai beberapa syarat menjadi seorang pemimpin negara, di antaranya yaitu: muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu melaksanakan tugas sebagai pemimpin negara.

Selain itu, dalam Islam, begitu penting mengetahui karakter seorang pemimpin. Tidak hanya sekadar terlihat baik, muda, pintar, berwibawa, ramah, alim ataupun gemoy, tetapi harus betul-betul dilihat dari ketakwaan kepada Allah Swt. 

Kemudian, apakah kelak kekuasaannya akan digunakan untuk memperkaya diri dan kelompoknya atau sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt?

Rasulullah saw. bersabda,

"Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengatur urusan mereka dan dia dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya." (HR.al-Bukhari).

Peradaban mencatat bahwa Islam mempunyai pemimpin yang menjadi sosok panutan terbaik sepanjang masa. Beliau adalah Rasulullah saw. Beliaulah yang kemudian menjadi suri teladan para pemimpin Islam sepeninggal beliau. Bahkan, Islam selama 13 abad lamanya menjadi mercusuar dunia. Ini karena karena sistem pemerintahannya yang luar biasa mampu meriayah seluruh umat yang hidup dalam daulah Islamiyah.

Maka dari itu, menjadi seorang pemimpin amatlah berat tanggung jawabnya. Amanah yang diemban bukan hanya sekadar menjaga rakyat, tetapi juga menjaga Islam agar tetap tegak sebagai satu-satunya ideologi yang harus diterapkan. Inilah kenapa kekuasaan tidak boleh dipisahkan dari Islam.

Sudah saatnya kita sebagai kaum muslimin berjuang untuk menegakkan Islam secara kaffah dalam sistem pemerintahan Islam. Hanya dengan Islam, rakyat bisa sejahtera dan terbebas dari belenggu ketidakadilan dan kemiskinan yang disebabkan oleh sistem rusak, yaitu sistem demokrasi kapitalisme. Wallahualam.



Oleh: Neng Mae
(Sahabat Tinta Media)

Minggu, 18 Februari 2024

LBH Pelita Umat: Pejabat yang Hilang Etika dan Rasa Malu, Cenderung Koruptif



Tinta Media - Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H, menuturkan, pejabat yang kehilangan etika dan rasa malu, dalam menjalankan kekuasaan akan cenderung berperilaku koruptif.

"Etika di atas hukum. Hilang etika, maka akan hilang rasa malu. Hilang etika dan rasa malu dalam menjalankan kekuasaan akan cenderung menjadi perilaku koruptif terhadap kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki," ujarnya dalam tulisan di akun Instagram @ChandraPurnaIrawan, Rabu (14/2/2024).

Ia mengutip adagium yang cukup terkenal oleh Lord Acton yang berkata, "power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut)." 

"Pejabat negara dan penegak hukum yang menjalankan kekuasaan dan kewenangan tanpa kontrol etika, dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat," ungkapnya.

Menurutnya, ini akan menghasilkan pembangkangan publik yang dapat berakibat runtuhnya atau bubarnya negara. 

"Sejarah telah mencatat banyaknya negara yang bubar akibat perilaku pejabatnya yang tidak memiliki etika dan malu," simpulnya.

Ia menilai, politik sebagai seni menggunakan kekuasaan. Karena kekuasaan politik itu harus diberikan kepada orang-orang bijak atau orang-orang yang punya etika moral yang baik. "Penggunaan kekuasaan tepat dan tidaknya, bergantung dari siapa yang memegang kekuasaan," ujarnya.

Chandra mengungkap, para pendukung moral-etis menjadikan ini tolak ukur persoalan kebangsaan. Bahkan moral politikus yang pada kenyataannya berkorelasi dengan persoalan kemiskinan yang sedang dihadapi rakyat Indonesia. "Moral dan mental politisi yang korup berkontribusi pada kemiskinan rakyat," tegasnya.

Chandra menyitir sindiran dari seorang Filosof Immanuel Kant, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik; merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya memangsa merpati.

Celakanya sesalnya, yang sering menonjol adalah “sisi ular” ketimbang watak “merpati”-nya. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. 

"Bahkan ekstremitas watak politisi pun diasosiasikan dengan “watak binatang”," pungkasnya.[] Muhammad Nur

Jumat, 23 Juni 2023

Inilah Penyebab Umat Islam Belum Meraih Kekuasaan

Tinta Media - Aktivis Dakwah, Adi Victoria mengungkap penyebab umat islam yang mayoritas di negeri ini belum meraih kekuasaan.

"Ada beberapa hal yang menjadi penyebab utamanya, diantaranya," terangnya dikutip dalam kolom siyasah dakwah media Al wa'e edisi Dzulqaidah 1444/1-30 Juni 2023.

Pertama, umat islam baru menjadi objek, bukan subjek. Walaupun umat islam sebagai mayoritas di negeri ini, faktanya umat islam masih dijadikan sebagai objek politik, bukan sebagai subjek politik. "Artinya, umat ini bukan sebagai pelaku utama dalam aktivitas politik untuk meraih kekuasaan, namun hanya sebatas umat yang suaranya diinginkan," tegasnya.

Kedua, islam politik masih sebatas simbol. Adanya ustaz dan tokoh umat pada barisan calon pemimpin tersebut merupakan simbol politik umat islam. "Yang harus dilakukan oleh umat islam adalah melihat apakah visi dan misi calon pemimpin tersebut memang bertujuan untuk menerapkan islam saat berkuasa atau tidak," tandasnya.

Ketiga, partai politik islam kehilangan idealisme. Partai islam fokus pada kemenangan pemilu lalu bermacam _ushlub_ dan _washilah_ dilakukan untuk meraih dukungan demi menang pemilu. "Misalnya berkoalisi dengan partai politik yang sekuler, berkampanye dengan melanggar syariah islam, berpartisipasi dengan pemerintah yang sekuler, dll," terangnya.

Keempat, adanya tekanan politik yang kuat. Adi menegaskan, Ini membuat sebagian umat islam takut dan tidak mau menampakkan visi politik umat dan identitas politik islam dengan stigma negatif larangan politik identitas. "Jelas sekali yang diserang dalam propaganda politik identitas ini adalah umat islam," tegasnya.

Kelima, masih based on person not based on system. Umat masih berfokus kepada person, yakni sosok yang akan menjadi pemimpin. "Jangan sampai perubahan yang diinginkan malah tidak terwujud karena hanya fokus pada sosok pemimpin. Yang tadinya ingin mempengaruhi, malah ikut terpengaruh, inilah bukti kerusakan sistem demokrasi," ujarnya.

Keenam, terjebak hiruk pikuk pesta demokrasi. Tanpa ada kesadaran yang baik dan benar terkait hakikat perubahan membuat umat islam selalu terjebak pada hiruk pikuk pesta demokrasi. "Apalagi tahun politik menjelang pemilu senantiasa disampaikan propaganda 'satu suara anda sangat menentukan'," pungkasnya.[] Amar Dani

Jumat, 16 Juni 2023

Kekuasaan Lebih Diutamakan dari Urusan Rakyat?

Tinta Media - Partai politik peserta pemilu serentak 2024 resmi mendaftarkan bakal calon anggota legislatif ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Mei lalu. Dari ribuan nama dan beragam latar belakang yang didaftarkan, banyak yang berstatus sebagai kepala daerah maupun wakil kepala daerah. Hal ini menyebabkan banyaknya pemimpin daerah yang mengundurkan diri dari jabatannya.

Selain kepala daerah, pemilu ini juga diramaikan dari kalangan pejabat negara yang masih berstatus sebagai menteri, wakil menteri, atau kepala badan yang dicalonkan oleh partainya untuk duduk di kursi legislatif. Bahkan, dari kalangan artis juga ramai didaftarkan oleh partai politik untuk ikut pemilu. 

Hiruk-pikuk pencalonan calon legislatif (caleg) menunjukkan betapa posisi sebagai anggota dewan sangat menggiurkan, hingga rela meninggalkan amanah yang telah diemban. Mundurnya para pemimpin daerah maupun menteri dari amanahnya ini, membuat rakyat justru dirugikan.

Seperti yang disuarakan oleh Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute Arfianto Purbo Laksono, mundurnya para kepala daerah merugikan bagi masyarakat. Menurutnya, para kepala daerah yang mundur akan digantikan pelaksana tugas (Plt). Akan tetapi, Plt tidak bisa mengambil kebijakan strategis.

Meski potensi kerugian bagi rakyat sangat besar, mundurnya pemimpin daerah seperti ini ternyata legal menurut undang-undang. Menurut Pasal 182 huruf k dan Pasal 240 ayat (1) huruf k Undang-Undang Pemilu, kepala atau wakil kepala daerah yang mengikuti pemilu harus mundur dari jabatan mereka.

Padahal, seorang kepala daerah adalah pemimpin yang dipilih oleh rakyat untuk menjalankan kepemimpinan dalam waktu yang sudah ditentukan. Artinya, mereka dipercaya oleh rakyat untuk mengatur dan mengurusi rakyat. Oleh karenanya, seorang kepala daerah seharusnya memenuhi tanggung jawabnya hingga waktunya selesai. Namun sayangnya, pemahaman seperti ini tidak berlaku dalam sistem saat ini. Melalui undang-undang yang ada, terbuka jalan bagi para pemimpin daerah untuk meninggalkan jabatan.

Inilah pemilu legislatif yang diwarnai dengan aksi para kepala maupun wakil kepala daerah yang mundur dari jabatan karena maju pemilu legislatif (pileg). Sementara, calon legislatif (caleg) dari kalangan artis digunakan parpol sebagai pendongkrak suara. 

Sebagaimana yang disampaikan oleh pengamat politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus, pencalonan para selebritas menjadi anggota legislatif adalah cara mudah partai politik untuk mendongkrak suara atau kursi di parlemen. Padahal menurutnya, mereka tidak cukup menonjol dalam mengemukakan gagasan di kursi parlemen.

Fakta perebutan kekuasaan seperti yang terjadi hari ini adalah merupakan gambaran kekuasaan dalam sistem demokrasi-sekulerisme yang berkuasa saat ini. Sistem demokrasi yang berasaskan sekulerisme menjadikan manusia memiliki kedaulatan dalam membuat hukum, padahal manusia notabenya sangat subjektif. Ini terbukti dengan undang-undang yang mengatur kebolehan pemimpin daerah mundur dari jabatannya demi mengikuti pileg.

Tak hanya itu, akidah sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan membuat makna kekuasaan diartikan sebagai ajang memperkaya diri dan kelompok saja. Maka, yang terjadi adalah mereka akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan suara mayoritas rakyat. Hasilnya, kualitas pemimpin tidaklah diperhitungkan, tetapi eksistensi caleg lebih diutamakan. Maka, tidak diragukan lagi kalangan artis bisa masuk ke parlemen walaupun kapasitas mereka belum sampai tataran level negarawan.

Ini sangat berbeda dengan gambaran pejabat yang dilahirkan oleh sistem Islam. Sebagai negara Islam yang menerapkan syariat secara kaffah, standar mafahim (pemahaman), maqayis (tolak ukur) dan qana'ah (penerimaan) masyarakat akan disandarkan pada syariat Islam, termasuk cara pandang terhadap amanah kekuasaan. Dalam Islam, amanat kekuasaan bukan hanya sekadar urusan dunia, melainkan juga urusan akhirat.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. al-Bukhari)

Selain hadis di atas, juga terdapat hadis lainnya yang menegaskan jika seorang pemimpin yang lalai dalam tugasnya, berkhianat dalam amanahnya, tidak mengurus rakyat dengan baik dan justru sibuk mengurus kepentingan pribadi, maka Allah mengharamkan surga baginya. 

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Tidaklah seorang hamba yang diserahi oleh Allah tugas untuk mengurus rakyat, mati pada hari kematiannya, sementara ia mengkhianati rakyatnya, Allah mengharamkan surga bagi dirinya.” (HR. Muslim)

Adapun makna berkhianat dalam Syarh Shahih Muslim, Imam an-Nawawi menjelaskan sebagai berikut:

“Setiap orang yang melakukan hal ini, yakni pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjaga keamanan mereka, tidak berjihad untuk mengusir musuh-musuh mereka dan tidak menegakkan keadilan di tengah-tengah mereka, dipandang telah mengkhianati umat.”

Terlebih, kekuasaan di dalam Islam adalah sebagai metode (thariqah) untuk menegakkan, memelihara, dan mengemban urusan agama. Karena itu, amanah dalam Islam bukan sesuatu yang bisa dipermainkan sesuka hati sesuai dengan kepentingan pribadi atau kelompok. 

Amanah kekuasaan adalah amanah yang berat. Paradigma inilah yang sangat dipahami oleh para pemimpin (Khalifah) dalam Islam. Sejarah mencatat betapa luar biasanya kepemimpinan para Khalifah terdahulu. Seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau mematikan lentera yang merupakan fasilitas negara ketika sang anak ingin berbincang dengannya bukan tentang masalah umat.

Dalam Tarikh al-Islam juz II halaman 388 dan Tahdzin at Tahdzib  juz XII halaman 267 diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khattab terkenal sebagai penguasa yang tegas dan sangat disiplin. Beliau bahkan tidak segan-segan merampas harta para pejabat yang diduga berasal dari jalan yang tidak benar.

Seperti inilah gambaran kekuasaan dan para pemimpin yang lahir dalam sistem Islam. Para pemimpin dalam Islam  benar-benar memahami amanah kekuasaan sebagaimana yang diperintahkan syariat Islam. 

Hasilnya, dapat dilihat selama 1300 tahun kepemimpinan Islam berdiri, para Khalifah senantiasa hadir untuk mengurusi umat dan kepentingan agama Islam bukan untuk yang lain.

Oleh: Gusti Nurhizaziah
Aktivis Muslimah

Senin, 19 Desember 2022

ERA DISHARMONI KEKUASAAN DAN RAKYAT

Tinta Media  - Adalah manusiawi saat Plato begitu kecewa atas model kepemimpinan para politikus yang atas nama demokratis menjadikan Socrates, gurunya, harus dihukum mati di meja pengadilan atas tuduhan tak berdasar. Plato menilai tuduhan tak berdasar bahwa Socrates telah menyebarkan keonaran sosial yang menyebabkan demoralisasi pemuda Athena. Peristiwa inilah yang melatarbelakangi pemikiran politik Plato bahwa idealnya pemimpin adalah seorang filosof, bukan politikus.   

Plato memberikan catatan tajam atas relasi disharmoni antara penguasa dan rakyat, terlebih sikapnya terhadap para pemikir dan ilmuwan saat itu. Perbedaan pandangan antara ilmuwan dengan kebijakan politik kekuasaan dilihat sebagai kontraproduktif, bukan sebagai sebuah proses menuju tatanan negara yang lebih baik. Relasi disharmoni ini tentu lebih banyak merugikan rakyat dan menguntungkan kekuasaan.

Kepemimpinan filosof berdasarkan tesis Plato akan lebih baik, sebab seorang pemikir adalah orang yang memahami persoalan rakyatnya, konsisten atas prinsip-prinsip kebajikan dan memberikan solusi komprehensif. Seorang filosof adalah orang yang telah selesai dengan dirinya sendiri, tidak lagi memiliki kepentingan dunia, apalagi memanfaatkan kekuasaan demi memperkaya diri dan keluarganya.

Intuisi seorang pemimpin yang filosof akan sanggup menatap ke dunia idea, kaitannya dengan realitas sosial, sehingga akan memiliki gagasan tentang kebaikan, keadilan dan kebenaran. Problem mendasar bagi seorang politikus adalah keterlemparan jiwa ke dalam penjara dunia inderawi. Persoalan inilah (being) yang menjadikan (becoming) lahirnya disorientasi kekuasaan.

Disorientasi kekuasaan menempatkan rakyat bukan sebagai partner produktif untuk bersama melangkah memperbaiki negara, namun dilihat sebagai posisi di luar kekuasaan yang dicurigai. Produk undang-undang yang dihasilkan pun justru mendapat kecaman, protes dan kritik dari rakyatnya. Salah satunya adalah pengesahan RKUHP menjadi undang-undang (KUHP). Produk politik DPR dan pemerintah ini banyak menyisakan persoalan disharmoni pada masa depan.

Disorientasi politik kekuasaan meniscayakan adanya politik transaksional yang berpotensi adanya praktek money politic. Kekuasaan yang koruptif sangat berpengaruh kepada produk perundang-undangan yang dihasilkan. Terlebih jika suatu negara telah dikendalikan oleh hegemoni elit ekonomi dan politik yang bernama oligarki. Kedaulatan rakyat hanyalah nyanyian sunyi di lembaga-lembaga akademik, namun nihil dalam realitas sosial politik.



Filsafat politik machiavellianisme yang menetapkan paradigma bahwa setiap orang bertindak demi kepentingan mereka sendiri sehingga mereka tidak membentuk hubungan dekat dan tidak mudah percaya dengan orang lain tentu saja tidak relevan diterapkan di negeri ini. Uang dan kekuasaan bagi para pemimpin machiavellis lebih berarti bagi daripada hubungan harmoni dengan rakyatnya sendiri.

 

Filsafat politik kapitalistik oligarki juga akan menimbulkan disharmoni relasi kekuasaan dan rakyat. Oligarki adalah struktur kekuasaan yang terdiri dari beberapa individu elit, keluarga, atau perusahaan yang diizinkan untuk mengontrol suatu negara atau organisasi.

 
Melansir Thoughtco, "Oligarki" berasal dari kata Yunani "oligarkhes", yang berarti "sedikit yang memerintah". Jadi, oligarki adalah struktur kekuasaan yang dikendalikan oleh sejumlah kecil orang, yang dapat terkait dengan kekayaan, ikatan keluarga, bangsawan, kepentingan perusahaan, agama, politik, atau kekuatan militer.

 

Pada 600-an SM, ketika Yunani negara-kota dari Sparta dan Athena diperintah oleh kelompok elit bangsawan berpendidikan, pemerintahan oligarki berjaya. Selama abad ke-14, negara-kota Venesia dikendalikan oleh bangsawan kaya yang disebut "aristokrat". Saat Afrika Selatan berada di bawah sistem apartheid kulit putih hingga 1994, adalah contoh klasik dari sebuah negara yang diperintah oleh bentuk pemerintahan oligarki berbasis rasial.

 

Sementara, Indonesia yang dibangun diatas pandangan hidup pancasila menghendaki terwujudnya nilai-nilai kebajikan seperti ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, keadaban, persatuan, kerakyatan, musyawarah, perwakilan, hikmah, kebijaksanaan, dan keadilan sosial bagi seluruh anak bangsa ini.

 

Filosofi kebajikan ini menghajatkan sebuah paradigma politik yang sarat nilai kebaikan yang melahirkan relasi harmoni bagi perbaikan berkelanjutan negeri ini. Sistem politik tidak boleh anti intelektualisme, sebab para ilmuwan adalah kunci bagi perbaikan peradaban suatu bangsa.

 

Dinamika intelektual dan diskursus gagasan harus terus ditumbuhkembangkan seiring dengan dinamika dan konstalasi politik dunia. Adalah penting memberikan sebuah pertanyaan, kemana arah dunia saat ini, apakah sedang menuju kepada kemajuan ataukah kemunduran ?. Penerimaan atas gagasan-gagasan alternatif bagi negeri ini mestinya menjadi dibuka lebar demi masa depan bangsa ini.

 

Relasi penguasa dan rakyat harusnya saling menguatkan. Perumpamaan antara kekuasaan dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah pandangan hidup dan ideologi. Tiangnya adalah kekuasaan. Tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat.

 

Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya. Karena itu kepala negara adalah pengurus rakyatnya. Dia akan diminta pertanggungjawaban tentang kepengurusan rakyatnya. Istilah ‘mengurus’ mengindikasikan adanya relasi harmonis antara kekuasaan dan rakyatnya.

 

Akhirnya penting mencatat apa yang diungkapkan oleh Plato bahwa pemerintahan yang baik idealnya dipimpin oleh seorang aristokrat, yakni sosok pemimpin terbaik, terbijak, dan orang pilihan dari suatu negara. Bagi Plato, pemilihan pemimpin mestinya tidak diserahkan kepada proses pemungutan, namun melalui keputusan bersama oleh guardian, yaitu sekumpulan tokoh masyarakat yang terpercaya.

(AhmadSastra,KotaHujan,17/12/22 : 15.54 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Dr. Ahmad Sastra 
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

Jumat, 25 November 2022

URUSAN KEKUASAAN URUSAN UMAT ISLAM


Tinta Media - Saat Rasulullah Muhammad SAW wafat, para sahabat senior yang merupakan representasi Umat Islam baik dari kaum Ansor dan Muhajirin segera berkumpul dan bermusyawarah di Saqifah Bani Saidah, untuk menentukan kepemimpinan pengganti Rasul. Akhirnya, Abu Bakar RA dibai'at menjadi Khalifah, menggantikan kedudukan Rasulullah sebagai kepala Negara dan pemimpin kaum Muslimin.

Semasa hidupnya, sebagai kepala Negara Islam di Madinah, Rasulullah bukan hanya menjadi pemimpin bagi umat Islam. Di Madinah, ada ahludz dzimah, yakni warga negara Islam non muslim yang tunduk pada kekuasaan Islam. Ada yang beragama Yahudi, Nasrani hingga Majusi.

Namun saat kaum Muslimin melalui para sahabat senior yang berkumpul di Saqifah Bani Saidah berkumpul untuk memikirkan siapa penguasa pengganti Rasul, tidak ada satupun perwakilan dari kaum Yahudi, Nasrani dan Majusi yang dilibatkan dalam Musyawarah di Saqifah Bani Saidah. Karena urusan kekuasaan adalah murni urusan Umat Islam, non muslim tidak memiliki wewenang untuk menentukan masa depan politik umat Islam.

Dalam kepemimpinan politik Islam, seorang yang ingin menjadi Khalifah juga harus seorang Muslim. Non Muslim tidak berhak atas jabatan Kekhilafahan. Ini juga mengkonfirmasi, bahwa urusan kekuasaan adalah murni hak, wewenang dan tanggung jawab Umat Islam.

Dalam politik Islam, hanya orang Islam yang berhak memilih dan dipilih sebagai pemimpin (Khalifah). Non Muslim tidak berhak menjadi Khalifah, non muslim juga tak berhak memilih dan membai'at calon Khalifah.

Kedudukan non Muslim dalam politik Islam adalah warga negara yang dijamin hak-haknya, seperti: Hak beribadah sesuai keyakinannya, hak atas pelayanan negara baik sandang, pangan dan papan. Hak fasilitas dari negara, baik pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Sementara untuk urusan politik, non muslim tak memiliki hak untuk terlibat dalam menentukan kekuasaan bagi umat Islam. Mereka, hanya dilibatkan dalam urusan memberikan kontrol dan masukan kepada Khalifah, terkait layanan dan fasilitas yang diberikan negara kepada mereka.

Adalah keliru, jika umat Islam berjuang untuk Islam tapi melibatkan non muslim dalam perjuangan mereka. Adalah aneh, jika misinya menegakkan syariat Islam tetapi melibatkan non muslim dalam kekuasaan.

Kekuasaan Islam tidak akan tegak dengan mencampurkan al Hak dan al Batil. Kekuasaan Islam tidak akan tegak dengan demokrasi, sebab demokrasi mencampurkan al Haq dan Al Batil.

Kekuasaan Islam hanya tegak dengan dakwah, yang diemban oleh Umat Islam. Dakwah yang mencontoh aktivitas Nabi Muhammad SAW ketika mendirikan kekuasaan (Negara) di Madinah.

Dakwah yang berorientasi pada penegakan daulah Khilafah ala Minhajin Nubuwah. Dakwah yang menyongsong tegaknya kekuasaan Islam, yang akan mengembalikan izzul Islam wal Muslimin. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

https://heylink.me/AK_Channel/

Jumat, 06 Mei 2022

APA GUNANYA KEKUASAAN?


MENURUT BANGSA JEPANG

Tinta Media  - Apa gunanya kekuasaan? Orang Jepang akan menjawab, kekuasaan yg dipegang oleh Pemimpin Nasional (Kaisar) itu digunakan untuk menggerakkan bangsanya menuju masyarakat adil dan makmur !

Contohnya ketika Jepang hancur karena bom atom di Nagasaki dan Hiroshima pada 1945, Kaisar Hirohito dengan kekuasaannya kemudian mengumpulkan guru yang masih hidup guna mendidik bangsanya menguasai ilmu dan teknologi.

Saat itu memang terjadi pro-kontra tentang strategi pemulihan Jepang setelah terpuruk. Angkatan Perang menghendaki agar menghimpun kekuatan tentara guna balas dendam ke AS. Sedangkan Kaisar memutuskan bahwa Jepang harus maju dengan semangat kemandirian (Bushido)  dengan mengutamakan pendidikan (maka dicari guru ). Dan semua tunduk keputusan sang Kaisar (termasuk tentara yang punya  pendapat lain ). Ternyata hanya dalam dua dekade Jepang bisa bangkit sebagai Negara industri besar terkemuka didunia !

Intinya Kepemimpinan bangsa Jepang menggunakannya sebagai inspirator kebangkitan ekonomi dengan strategi kemandirian dan pendidikan, bukan dengan jalan  berhutang keluar Negeri dan menjual asset Negara.

BAGAIMANA PEMIMPIN DI INDONESIA ?

Kalau di Jepang seseorang menjadi Pemimpin Nasional (Kaisar ) itu sudah "given" melalui System Kekaisaran. Sedang di Indonesia untuk menjadi Presiden harus melalui revolusi atau bisa juga dengan cara membeli suara rakyat.

Intinya, dengan latar belakang seseorang untuk menjadi Pemimpin  seperti itu, maka perlu penggalangan massa dukungan dan uang, maka setelah memegang kekuasaan, seorang Pemimpin/Presiden di Indonesia secara tidak sadar mendefinisikan bahwa FUNGSI KEKUASAAN  adalah untuk mencari dana guna memberi "makan" para pendukungnya. Yaitu lewat strategi/modus pembangunan, hutang LN, jual asset negara,  dan menyerahkan sumberdaya alam ( tambang emas, logam lain, batu bara, nikkel dll) ke Asing !

Memang beberapa waktu yang lalu ada kabar gembira bahwa saham Tambang Emas Freeport di Papua 51 % sudah dimiliki kembali oleh Indonesia ! Pertanyaannya darimana uang untuk membeli saham Freeport tersebut ? Ternyata berhutang juga ke China ! Artinya tambang emas terbesar didunia itu hakekatnya saat ini di kuasai oleh AS dan China !

Itulah GUNANYA KEKUASAAN di Indonesia !

Pertanyaannya, apakah hutang LN itu gratis ? Kalau tidak gratis apa konsekuensi hutang tersebut bila tidak terbayar ? Apakah akan seperti Tibet, Angola , Srilangka dll yang kemudian diambil alih kawasan Negaranya ke Aseng dan Asing ? Dan tambang emas seperti Freeport dimiliki oleh AS dan China ( oleh Kapitalis dan Komunis ?).

Dengan kata lain  akan kembali menjadi negeri jajahan seperti era VOC lagi ?

KESIMPULAN :

Masih adakah "akal sehat" kita ?

MAGELANG, 3 MEI 2022.

Oleh: Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST.

OPOR AYAM KETUPAT LEBARAN, MAK NYUS!


Tinta Media  - Jokowi teralienasi saat perayaan lebaran Idul Fitri. Dia tidak hadir di Masjid Istiqlal, simbol masjidnya kekuasaan Negara, melainkan malah melipir sholat di Yogyakarta.

Memang benar, melaksanakan sholat ID di Istiqlal sangat beresiko. Diantara resiko yang paling kecil adalah ada sejumlah anak kecil yang menirukan gayanya 'Yo Ndak Tahu Kok Nanya Saya'. Tentu jika hal ini terekam kamera, bisa berdampak 'bahaya' bagi Jokowi.

Belum lagi, beresiko diteriaki oleh emak-emak yang menuntut dirinya mundur. Kebayang, betapa garangnya wajah emak-emak, meskipun dalam kerangka hari raya berani dengan lantang berteriak 'Jokowi, mundur !'.

Atau resiko lain Jokowi diacuhkan. Tak ada yang menganggapnya. Tak ada yang berdesakan untuk bersalaman dengannya. Beda, dengan kondisi saat Jokowi blusukan di daerah.

Karena itu, Yogyakarta dipilih diduga sebagai tempat sholat untuk menghindari hal-hal yang tidak mengenakkan. Tak nyaman, masih menjabat Presiden tapi tidak dianggap oleh rakyatnya.

Semakin dekat tahun 2024, kegalauan Jokowi semakin meningkat. Karena, saat masih menjadi Presiden saja sudah diabaikan, apalagi nanti ketika sudah tidak berkuasa? Tak akan ada media yang peduli, mengabarkan berita tentang diri dan keluarganya.

Terlebih lagi, wacana tunda Pemilu dan presiden tiga periode mendapatkan tantangan keras dari rakyat. Perdana Menteri Jokowi (meminjam gelar yang disematkan oleh Elon Musk), juga gagal mengeksekusi tunda Pemilu melalui Parade Apdesi.

Rasanya, kebahagiaan hari raya terasa hampa. Saat menuju selesainya kekuasaan semakin dekat. Hari-hari terasa semakin cepat dihitung dalam bilangan pikiran.

Begitulah, kekuasaan bisa saja berkacak pinggang kepada rakyat. Tetapi kekuasaan, tak mungkin memaksa rakyat mengerubutinya, jika baunya amis bahkan busuk memuakkan.

Ajal kekuasaan, pasti tiba. Dan saat kekuasaan berlalu, tak ada yang tersisa dari diri yang meninggalkan keramahan rakyat untuk terus mengenangnya. Yang ada, rakyat merasa lega dengan datangnya ajal kekuasaan yang zalim.

Loh, ini bagaimana soal opor ayam dan ketupatnya ? Kok ga dibahas ?

Tidak, memang tidak saya bahas. Saya terbiasa menulis dengan gaya dan apa yang mau saya tulis. Suka, silahkan baca. Tidak suka, silahkan hapus. Simple bukan? []

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik


Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab