Tinta Media: Kekerasan
Tampilkan postingan dengan label Kekerasan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kekerasan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 April 2024

Kekerasan pada Anak Terus Terjadi, di Manakah Peran Regulasi?



Tinta Media - Anak merupakan amanah sekaligus anugerah terindah yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada setiap orang tua. Bahkan, kehadirannya selalu dinanti untuk menambah kebahagiaan dalam setiap keluarga. 

Anak yang seharusnya diberikan kasih sayang, perhatian, dan perlindungan, nyatanya saat ini masih menjadi salah satu objek dalam kekerasan. Seperti yang baru-baru ini terungkap, yaitu penganiayaan terhadap balita berumur 3 tahun, anak dari selebgram Aghnia Punjabi. Penganiayaan itu dilakukan oleh pengasuhnya sendiri. 

Anak kecil yang tidak memiliki daya upaya untuk membela diri menjadi korban kekesalan dari pengasuhnya hingga babak belur. Penganiayaan ini terjadi karena pelaku kesal terhadap korban yang menolak diberikan obat untuk menyembuhkan luka cakar. Selain itu, pelaku mengaku bahwa ada salah satu anggota keluarganya yang sedang sakit. Hal inilah yang memacu kekesalan dari pelaku, sehingga tega menganiaya balita 3 tahun tersebut secara sadis. (liputan6.com, 30/03/2024)

Sungguh miris, kekerasan yang terus terjadi pada anak dalam sistem saat ini menimbulkan pertanyaan besar dalam benak kita, di manakah peran regulasi?

Terjadinya kasus kekerasan pada anak menjadi bukti bahwa anak tidak mendapat jaminan keamanan. Perlindungan anak seharusnya menjadi tanggung jawab semua pihak, baik keluarga, masyarakat, maupun negara. Sayangnya, hari ini semua pihak tidak berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya.

Kehidupan dalam naungan kapitalisme sekularisme juga membuat beban hidup semakin berat, hingga meningkatkan stres. Ini mengakibatkan emosi seseorang tidak terkontrol dengan baik sehingga mudah melakukan tindak kekerasan. 

Di sisi lain, kasus kekerasan pada anak menjadi bukti nyata mandulnya atau lemahnya regulasi yang ada, baik UU -KDRT  ataupun UU Perlindungan Anak,  meskipun sudah mengalami revisi. Regulasi yang seharusnya memberikan jaminan perlindungan keamanan bagi anak, nyatanya tidak memberikan efek jera pada pelaku kekerasan, sehingga kasus kekerasan pada anak terus terjadi. 

Inilah buah dari penerapan sistem kapitalisme sekularisme. Regulasi dibuat sesuai kebutuhan, tetapi tidak pernah memberikan solusi tuntas sampai ke akar-akarnya.

Hal ini jauh berbeda dengan jaminan perlindungan yang diberikan Islam. Islam mewajibkan setiap orang untuk memahami betapa pentingnya perlindungan anak berperan mewujudkannya di semua lapisan masyarakat, baik keluarga, masyarakat maupun negara. 

Asas akidah Islam memberikan pemahaman kepada semua individu untuk mengetahui kewajibannya dalam melindungi anak. Islam memiliki mekanisme terbaik dalam memberikan perlindungan terhadap anak, antara lain:

Pertama, dalam lingkup keluarga. Islam telah menjelaskan dengan rinci terkait hak dan kewajiban sebagai orang tua kepada anak. Ayah bertanggung jawab sebagai pencari nafkah untuk mencukupi kehidupan keluarga dan Ibu sebagai ummun wa rabbatul bait, yaitu sebagai ibu yang memiliki tugas mulia dalam mencetak generasi peradaban terbaik dengan memberikan kasih sayang, perlindungan sepenuhnya kepada anak dan sebagai pengatur rumah tangga.

Kedua, dalam lingkungan masyarakat. Islam telah mengatur adanya aktivitas amar ma'ruf nahi munkar, yaitu saling mengingatkan satu sama lain dalam kebaikan dan melarang setiap masyarakat untuk berbuat kejahatan. Ini akan membuat masyarakat peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya, sehingga bisa mencegah kejahatan yang terjadi, khususnya kekerasan yang terjadi pada anak karena fungsi kontrol dari masyarakat berjalan dengan baik.

Ketiga, negara akan menerapkan sanksi tegas dan menjerakan bagi semua pihak yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak. Sanksi tegas ini akan dijalankan sesuai dengan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku, misalnya hukuman setimpal atau pembayaran ganti rugi atas tindak pidana terhadap tubuh dan jiwa.

Inilah bukti bahwa Islam sangat membela dan memperhatikan keselamatan jiwa seseorang. Dengan adanya kesadaran pada individu, masyarakat, dan negara, maka kekerasan pada anak tidak akan terjadi. Betapa indahnya hidup dalam naungan Islam! Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Agustriany Suangga
Muslimah Peduli Generasi

Terulangnya Kekerasan terhadap Anak



Tinta Media - Dunia anak sedang tidak baik-baik saja. Itulah kata-kata yang bisa menggambarkan tentang kondisi anak-anak sekarang. Kasus terbaru dan sangat menjadi perhatian bagi masyarakat adalah penganiayaan balita oleh pembantu rumah tangganya. Kasus ini menjadi sangat populer karena orang tua dari anak ini adalah seorang publik figur. Lantas, bagaimana dengan kasus kekerasan pada anak-anak lain yang tidak terekspos oleh media?

Kasus kekerasan pada anak sudah sering terjadi dan terus berulang. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melaporkan ada 20.205 kejadian kekerasan yang terjadi sepanjang tahun 2023. Kasus kekerasan terbanyak yaitu terjadi pada kekerasan seksual. Tidak jarang yang menjadi pelakunya adalah anggota keluarga itu sendiri.

Fakta yang terjadi menggambarkan betapa lemahnya jaminan perlindungan anak di negeri ini. Keluarga dan orang tua yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam perlindungan anak pun justru menjadi pelaku. Perlindungan anak seharusnya menjadi tanggung jawab semua pihak, baik keluarga, masyarakat maupun negara. 

Kehidupan dalam naungan kapitalisme sekularisme menjadikan beban hidup semakin berat. Kewajiban seorang ibu yang seharusnya menjaga dan merawat anak harus tergantikan dengan pembantu rumah tangga. Ini dilakukan dengan dalil bahwa ibu harus mencari nafkah.

Sedangkan dalam Islam, seorang ibu mempunyai kewajiban mengasuh anak dan mengurus rumah tangga, bukan bekerja di luar. Meskipun begitu, tidak ada larangan bagi seorang wanita untuk bekerja. Namun, ketika kebutuhan pangan dan sandang sudah terpenuhi dari nafkah suami, sebaiknya seorang ibu lebih fokus untuk menjaga anak-anak di rumah.

Belum lagi regulasi dari pemerintah, baik UU P-KDRT maupun UU Perlindungan anak, faktanya belum mampu menyelesaikan kasus kekerasan terhadap anak, meski sudah mengalami revisi. Regulasi tersebut tidak bisa dijadikan sebagai  tindakan preventif karena tidak bisa memberikan efek jera, juga tidak bisa mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa.

Berbeda ketika sistem Islam diterapkan. Islam mewajibkan setiap orang memahami pentingnya perlindungan anak dan berperan serta mewujudkannya dalam semua lapisan masyarakat, baik keluarga, masyarakat, maupun negara. Islam memiliki mekanisme terbaik dalam memberikan perlindungan serta tata cara mencegah agar kekerasan pada anak tidak terjadi.

Asas akidah Islam akan menciptakan individu-individu bertakwa dan senantiasa menjalankan semua perintah Allah Swt. Serta menjauhi larangan-Nya. Sehingga, setiap individu akan memahami kewajibannya dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Negara Islam akan menerapkan sanksi yang tegas dan menjerakan bagi semua pihak yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak. Wallahualam bishawabi.


Oleh: Deasy Yuliandasari, S.E.,
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 16 Maret 2024

Sekularisme Pemicu Kekerasan di Pesantren


Tinta Media - Sangat menyayat hati dan miris, ketika mengetahui kembali terjadi penganiayaan di pondok pesantren (Ponpes) PPTOQ Al Hanafiyyah di Mojokerto Kediri Jawa Timur. Seorang santri yang bernama Bintang Bilqis Maulan (14) meninggal akibat di aniaya  seniornya. Penganiayaan santri di pesantren sungguh sangat merisaukan dan bukan terjadi kali ini saja. 

Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan keagamaan yang sehari harinya mereka belajar agama dan senantiasa di tekankan untuk berpegang teguh pada syariat Islam. Di situlah seseorang menimba ilmu agama dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. 

Tidak bisa dipungkiri sekularismelah yang menjadi pemicu terjadinya kekerasan di kalangan pondok pesantren itu. Pola hidup sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan pun tak luput dari kehidupan di dalam pesantren. Karena sekularisme yang di terapkan di negara kita ini telah melahirkan  gaya hidup bebas. 

Pola kebebasan sekularisme ini tentu sangat berpengruh dalam kehidupan pesantren termasuk pada para sistem pendidikan pesantren dan para pengasuhnya. Yang seharusnya  menjadi teladan justru melakukan perundungan terhadap santri. 

Guru dan murid mengkaji Islam hanya sebagai tsaqofah (keilmuan) yang tidak di terapkan kecuali hanya pada aspek ibadah mahdhah saja. Sehingga dalam ibadah ini sangat di tekankan. Tetapi aspek yang lain dalam kehidupan sehari-hari  yang seharusnya juga sesuai dengan syariat Islam tidak di perhatikan. Syariat Islam seharusnya di terapkan baik oleh individu masyarakat maupun negara. Sayangnya syariat Islam justru malah di kesampingkan. Pelajaran Islam hanya dipahami sebagai ibadah mahdhah saja yaitu  hanya shalat, puasa, zakat, dan melaksanakan haji. Oleh karena itu. wajar jika penganiayaan  atau perundungan pun terjadi di kalangan pesantren. 

Padahal Islam adalah agama yang mengatur urusan individu masyarakat maupun urusan negara. Baik dari segi keamanan, pendidikan, kesehatan ekonomi, dan lain-lain.

Tidak ada jalan lain untuk menghentikan tindakan kekerasan ini  kecuali dengan mengubah pola hidup sekularisme dengan pola hidup Islam. Yaitu dengan di diterapkannya  seluruh aturan Islam di dalam kehidupan sehari hari, baik skop individu, masyarakat maupun negara. Karena hanya  Islam  dengan seluruh aturannya yang lengkap, sempurna, adil dan sesuai dengan fitrah manusia yang akan membawa manusia pada kesejahteraan, ketenangan, dan keamanan. 

Wallahu a'lam bish shawwab


Oleh: Ummu Nizam 
Sahabat Tinta Media 

Kamis, 14 Maret 2024

Kekerasan Seksual Semakin Marak, Buah dari Penerapan Sistem Kapitalisme



Tinta Media - Diduga melakukan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur di SMP 3 Negeri Baleendah, beberapa oknum guru Baleendah Kabupaten Bandung Jawa Barat dilaporkan ke Polda Jawa Barat. Salah satu terduga tak lain adalah wakil kepala sekolah. Pelaku dijerat dengan pasal tindak pidana kekerasan seksual yang terkandung dalam UU no. 12 pasal 5 tahun 2022.

Stein Siahaan selaku Kuasa Hukum korban mengatakan bahwa pihak keluarga korban merasa terancam dengan kasus yang menimpa anaknya, karena tidak diayomi maupun dilindungi oleh pihak sekolah. 

Stein mengatakan bahwa saat ini korban sedang berusaha dipulihkan psikisnya. Ia berharap, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Bapak Nadiem Makarim bisa menindak tegas para oknum guru di SMP 3 Negeri Baleendah, Kabupaten Bandung agar tidak terulang lagi kejadian seperti ini. Pihaknya pun terus menunggu perkembangan kasus kekerasan seksual yang menimpa beberapa murid di SMP 3 Negeri Baleendah, yang ternyata korbannya lebih dari 10 orang.

Kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihilangkan. Kekerasan seksual menimbulkan dampak luar biasa pada korban, meliputi penderitaan psikis, kesehatan, dan lain-lain. 

Hukum hari ini belum mampu memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, terlebih perempuan, termasuk di dalamnya menjamin kerugian fisik dan psikis korban. Rehabilitasi korban belum mampu melindungi hak-hak korban. Penanganan kasus pun belum dilakukan secara komprehensif dan tidak mencegah terulangnya kejahatan seksual.

Maraknya kekerasan di negeri ini tidak akan bisa terselesaikan dengan penerapan sistem buatan manusia. Selain aturannya lahir dari buah pikir manusia yang lemah dan terbatas, sistem sekuler kapitalistik ini bertentangan dengan Islam, jauh dari keridaan Allah Swt. 

Sebagaimana sabda Rasullullah saw. 

"Jika kepala salah seorang di antara kalian ditusuk jarum besi, itu lebih baik daripada meraba-raba perempuan yang bukan istrinya." (HR. At-Tabrani)

Hadis ini meneguhkan bahwa kekerasan seksual adalah hal yang sangat dilarang dalam Islam. Maraknya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak disebabkan karena tidak ada perlindungan terhadap perempuan dan anak, baik dalam negara, masyarakat, maupun keluarga. Hal ini karena minimnya pemahaman Islam tentang kewajiban negara, masyarakat, ataupun individu, serta tidak berlakunya aturan Islam di tengah-tengah umat. 

Dalam Islam, negara bertanggung jawab menerapkan aturan Islam secara kaffah. Umat akan mendapatkan jaminan keamanan dan kesejahteraan secara adil dan merata. Hal ini bisa terlaksana jika negara menerapkan aturan Islam secara keseluruhan dalam sebuah naungan, yakni khilafah 'alaa minhajin annubuwwah yang menjadikan akidah Islam sebagai landasan kehidupan dan syariat Islam sebagai aturan dalam bernegara

Rasulullah saw. bersabda,
 
"Sesungguhnya Imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya." (HR. Muslim)

Negara dalam sistem Islam merupakan satu-satunya institusi yang mampu melindungi dan mengatasi seluruh permasalahan, termasuk di dalamnya kekerasan terhadap perempuan dan anak secara sempurna. 

Di samping itu, negara adalah pelaksana utama penerapan syariat Islam. Oleh karenanya, negara berwenang memberikan sanksi tegas bagi pelaku tindak kejahatan seksual.

Dalam Islam, pelecehan verbal saja dihukum, apalagi pelecehan fisik seperti pemukulan, pemerkosaan, dan sejenisnya, sehingga hukumannya akan jauh lebih berat. 

Hanya syariat Islamlah yang mampu melindungi perempuan dan anak, bahkan siapa pun dari segala bentuk kekerasan. Dengan tiga pilar penegakan hukum Islam berupa ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan tanggung jawab negara, aturan Islam dapat terwujud secara sempurna. Sudah saatnya kita kembali menerapkan aturan Islam secara kaffah, baik individu, masyarakat, maupun negara. Wallahu'alam bishshawab.



Oleh: Rukmini
Sahabat Tinta Media 

Senin, 11 Maret 2024

IJM: Kekerasan Santri Harusnya Jadi Pelajaran Terakhir



Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana menuturkan, kekerasan pada santri yang terjadi di pondok pesantren Kediri seharusnya menjadi pelajaran terakhir. 

"Harusnya ini menjadi pelajaran terakhir, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan agama yang selalu menekankan moral keagamaan," tuturnya dalam video Kejam! Santri Diduga Dibully Kakak Senior Hingga Meninggal di kanal YouTube Justice Monitor, Kamis (29/2/2024). 

"Tempat mempelajari, memahami, mendalami, menghayati. Jangan sampai, mengamalkan ajaran Islam menjadi sarangnya para predator seksual maupun bullying oleh para santri senior," imbuhnya. 

Ia mengungkapkan bahwa orang tua memiliki niat mulia untuk mengantarkan putra putrinya mengaji, memperdalam ilmu agama di pesantren. Bahkan orang tua memiliki pilihan terbaik dengan menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah umum yang berada di lingkungan pesantren. "Mereka memiliki harapan tinggi agar anaknya tidak hanya mendapatkan pengetahuan umum saja namun juga diimbangi dengan pengetahuan agama. Sehingga kelak tampil sebagai pribadi dengan akhlak yang mulia," ulasnya. 

Namun nyatanya, lanjutnya, malah menjadi korban kejahatan para oknum senior. "Jangan sampai muncul opini di Lingkungan masyarakat bahwa pesantren pun bukan tempat yang aman bagi anak untuk belajar," tukasnya. 

Ia menilai bahwa meski kasus kekerasan dan perundungan lebih banyak yang terjadi di luar pesantren, namun bukan berarti boleh memaklumi kejadian kekerasan di beberapa pesantren. Sebab itu tidak mencerminkan wajah dari pondok pesantren secara keseluruhan. "Tetapi tentu kita harus introspeksi semuanya. Masalah kekerasan dan perundungan ini tidaklah sederhana melainkan bersifat sistematis, yakni kehidupan yang sekuler liberal," ungkapnya. 

Ia memandang bahwa tidak bisa menyalakan individu santri semata, juga keluarga dan institusi pesantrennya saja. Santri tidak hanya tinggal di lingkungan pesantren dengan berbagai macam peraturannya, melainkan juga dengan keluarga dan lingkungannya yang berinteraksi dengan kehidupan sekuler liberal. Hal ini menyebabkan kehidupan umat Islam menganut gaya hidup bebas dan tentu rentan stres sosial karena mengukur segala sesuatunya dengan material. "Inilah pemicu seorang mudah terpancing amarah hingga hilang akal, yang melakukan sesuatu di luar nalar hingga bisa menghilangkan nyawa manusia," paparnya. 

"Media massa pun memprovokasi generasi muda, tidak terkecuali para santri dengan berbagai ‘konten sampah’, yang merusak, untuk hidup dengan standar gaya hidup yang materialistis, kering akan _idrak sillah billah_ , kering akan hubungan dengan Allah Subhanahu Wa Taa'la," terangnya. 

Sementara itu,  tambahnya, santri tidak 100% tinggal di lingkungan pesantren, misalnya juga suguhan game, iklan, video dan sebagainya yang menyodorkan aksi-aksi kekerasan mungkin diterima juga. Itu termasuk ketika liburan pulang ke rumah orang tuanya. Hal ini tidak bisa dihindari, ditambah pola asuh dan karakter orang tua yang cenderung sekuler, kering dari kasih sayang, yang tidak sejalan dengan pesantren. "Hal ini pun mempengaruhi santri dalam menyelesaikan masalah dengan jalan serba instan tanpa proses, bijak, penuh kesabaran, dipikir dulu. Cenderungnya main tangan, kekerasan," bebernya. 

Ia menambahkan bahwa solusi kekerasan oleh santri ini butuh solusi sistemis. Tidaklah cukup menyelesaikan masalah hanya dengan satu sisi, misalnya memberikan sanksi berat pada pelaku kekerasan tetapi membiarkan sistem penyubur kekerasan tetap eksis di tengah-tengah kehidupan, baik di dalam gadget anak-anak itu sendiri, game-game, video-video tontonan yang memang menampilkan kekerasan yang itu memudahkan orang memicu terjadinya kekerasan. Perlindungan menyeluruh bagi anak atau pelajar dari tindak kekerasan baik seksual, fisik maupun psikis mengharuskan negara membuat evaluasi menyeluruh atas kebijakan terkait dengan berjalannya fungsi keluarga. Perlunya lingkungan yang kondusif. Kemudian kurikulum pendidikan yang sejalan serta penegakan hukum. 

"Hal ini harus ditempuh negara jika serius untuk menuntaskan berbagai kasus kekerasan yang terjadi saat ini pada anak," pungkasnya.[] Ajira

Jumat, 08 Desember 2023

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP)



Tinta Media - Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional, akan digelar selama 16 hari dari 25 November sampai 10 Desember yang merupakan peringatan Hari Hak Asasi manusia Internasional. Kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM. Kampanye.ini  dimulai sudah sejak 1991 yang dapat dukungan dari PBB.

HAKTP 2023 akan mengusung tema "UNITE! Invest to prevent violence against women and girls",  Berinvestasi untuk Mencegah Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Perempuan.

Tapi faktanya kekerasan terhadap kaum perempuan semakin meningkat dan tak kunjung selesai. Sistem ekonomi kapitalis, menjadi pemicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan, misal sering kali perempuan dijadikan alternatif utama yang dijadikan korban tenaganya diperas dengan upah murah. Ini pun termasuk bentuk kekerasan pada kaum perempuan. Sering terjadi perempuan yang berhadapan dengan hukum karena kasus kekerasan seksual, hampir tidak  menemui titik terang dalam penyelesaian kasus, ironisnya posisi korban jauh dari perlindungan, terkadang dalam kasus kekerasan seksual aparat penegak hukum justru melakukan victim blaming kriminalisasi alih-alih korban harus mempersiapkan mental untuk mendapatkan keadilan. Hadirnya negara untuk menangani kekerasan terhadap perempuan wajib dan usut tuntas hingga ke akar masalah, negara harus menindak tegas dan buat jera kepada pelaku kekerasan. 

Menjaga marwah Wanita Muslimah  adalah kunci kebaikan suatu umat. Karena wanita bagaikan batu bata, ia adalah pembangun generasi manusia. Maka jika kaum wanita baik, maka baiklah suatu generasi. Namun sebaliknya, jika kaum wanita itu rusak, maka akan rusak pulalah generasi tersebut. Maka, Islam memerintahkan menjaga kehormatan para perempuan baik oleh  diri perempuannya itu sendiri maupun oleh kaum pria  karena perempuan pengemban amanah pembangun generasi umat ini. Jadilah engkau wanita muslimah yang sejati, wanita yang senantiasa menjaga kehormatannya. Yang menjunjung tinggi hak Rabb-nya. Yang setia menjalankan sunnah rasul-Nya. Selama sistem sekuler kapitalisme digunakan gerakan solidaritas sehebat apapun dilakukan permasalahan tak kunjung selesai tindakan kekerasan terhadap perempuan   kasusnya terus berulang terjadi.

Akankah Hari peringatan  menjadi solusi tuntas terhadap kekerasan pada kaum perempuan? Karena yang ada hari peringatan dan kampanye hanya seremonial belaka. Dalam sistem kapitalis perempuan adalah komoditas. Sedangkan Islam memandang perempuan merupakan makhluk yang memiliki kemuliaan. Islam sangat Memuliakan karena perempuan  merupakan madrasatul uulaa atau madrasah pertama bagi ibu generasi yang dihasilkannya. Islam menempatkan wanita sebagai makhluk paling mulia yang harus dijaga. Allah Subhanahu wa ta'ala menciptakan perempuan beserta keindahannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Keindahan itu bukan hanya dinilai dari fisik saja melainkan hati dan pikirannya. Ada sebuah hadist menyebutkan : Dunia adalah perhiasan dan se baik baiknya perhiasan dunia adalah seorang istri yang shalihah. (HR Muslim dari Abdulah bin Amr).

Dalam hal ini mengingatkan kita sebagai perempuan Muslim diwajibkan menjaga marwah kita sebagai mahluk yang Allah ciptakan dengan kemuliaannya , kita harus menyadari itu. jangan sampai tertipu dengan rayuan dunia, jangan terjebak dengan sistem yang menjauhkan kehidupan dari nilai agama, seperti memamerkan kecantikan dan mempertontonkan kemolekan tubuh yang dijadikan komoditas orang yang berkepentingan  mencari keuntungan untuk golongannya.

Menyoal tentang seremonial dan berbagai kampanye tentang mengatasi kekerasan terhadap perempuan solusinya adalah penerapan aturan Islam Kaffah. 


Wallahu A'lam Bishawab.

Oleh: Ica
Sahabat Tinta Media 
 

Kamis, 06 April 2023

Kekerasan Merebak dalam Sekularisme

Tinta Media - Generasi muda seharusnya menjadi generasi emas penerus peradaban, generasi yang membawa Islam pada peradaban mulia, generasi tangguh yang menjadi masa depan sebuah negara.

Namun, generasi masa kini menampilkan hal yang berlainan dari harapan. Generasi kini sudah banyak yang melakukan kejahatan. Bahkan, tindakan sadisnya dijadikan sebuah tayangan.

Seperti diberitakan dalam news.detik.com (24/03/2023), tiga ABG terduga pelaku pembacokan siswa SMP yang berinisial ARSS (14) hingga meninggal dunia ditangkap polisi di Sukabumi, Jawa Barat. Pembacokan tersebut ditayangkan di Instagram secara live.

Selain kasus pembacokan di Sukabumi tadi, perang sarung yang terjadi di Ramadan kali ini pun menjadi tambahan daftar kelam tingkah laku individu. Seperti yang terjadi di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, hampir terjadi tawuran berkedok perang sarung.  (sukabumiupdate.com, 25/3/2023)

Perang sarung juga terjadi di Desa Brenggong, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo. Perang sarung antargeng yang terjadi pada hari Jumat pukul 01.00 WIB ini meresahkan warga.  (regional.kompas.com, 24/3/2023)

Tawuran dengan menggunakan sarung juga terjadi di Jalan Durian, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Polisi mengamankan 15 remaja. (news.detik.com, 25/3/2023)

Ke mana empati, bahkan hati nurani generasi masa kini?

Sekularisme dan Kebebasan

Sekularisme merupakan paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Paham ini mengakibatkan manusia jauh dari agama. Karena mengabaikan peran agama, manusia menjadi merasa bebas dalam berbuat. Manusia berbuat seakan tanpa aturan. Mereka melakukan apa pun semaunya, tanpa mempertimbangkan halal-haram, baik-buruk, dan Allah rida atau tidak. Akibatnya, tindakan manusia menjadi tak terkendali.

Kehidupan sekuler saat ini mendorong manusia untuk tak kenal agamanya. Aturan Islam tidak dijadikan acuan dalam bertindak. Agama seolah hanya untuk mengatur ibadah ritual saja, yang mungkin pula ibadah ritual pun tidak semua terlaksana. Lalu, apa yang terjadi jika agama tidak dijadikan dasar dalam perbuatan manusia?

Perbuatan manusia yang tidak diatur oleh ajaran Islam akan lebih menggunakan hawa nafsu untuk menyelesaikan masalah kehidupan, termasuk para remaja atau anak muda. Manusia tidak lagi menjadi individu yang  bertakwa, berilmu, dan pula tak menjadi pembangun peradaban Islam yang mulia.

Generasi muda dalam sekularisme menjadi jauh dari kepribadian Islam. Hal ini sebagai akibat dari kurangnya peran keluarga dan pendidikan dalam membentuk pemuda tangguh dan cerdas, serta memiliki kepribadian Islam. 

Dalam lingkungan keluarga, orang tua kadang tak paham bagaimana mendidik anak yang sesuai ajaran Islam. Hal ini disebabkan karena arus sekuler yang sudah masuk dalam ruang lingkup keluarga. Terkadang, orang tua tidak peduli atau terlalu cuek pada tingkah laku anak, apakah bertentangan dengan aturan agama atau tidak. Ditambah lagi, jika memiliki orang tua yang disibukkan dengan aktivitas bekerja di luar rumah, tak sedikit orang tua yang tak kenal ajaran agama secara menyeluruh. Dampaknya, orang tua tak mampu membimbing ataupun memberi pemahaman yang sesuai dengan aturan Allah kepada anaknya.

Pendidikan dalam sistem sekuler pun ternyata tak mampu menjadikan generasi sebagai penerus yang berkualitas. Justru, generasi menjadi bertindak makin ganas. Karena tak paham Islam, akhirnya mereka berbuat dengan bebas.

Ditambah pula dengan lingkungan pertemanan yang mendukung kebebasan dalam berperilaku tanpa mengenal terpuji atau tercela sesuai tuntunan agama. Teman sepermainan ini memberikan dampak yang amat besar. Lingkungan pertemanan yang baik akan berakibat baik juga pada generasi, begitu pula sebaliknya.

Lingkungan masyarakat yang acuh pun menjadi bagian dari rusaknya generasi muda. Masyarakat yang tidak peduli akan perkembangan generasi di lingkungannya, menjadikannya abai atas kewajiban sebagai pengontrol sosial. Masyarakat akan bertindak cuek selama tidak merugikan diri maupun keluarganya. Sehingga, tak menutup kemungkinan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh generasi muda, terjadi di lingkungan masyarakat individualis seperti ini.

Selain itu, negara pun turut bertanggung jawab atas kerusakan yang dialami generasi saat ini. Negara seakan acuh pada pemuda. Generasi dibiarkan melihat tontonan yang mengandung kekerasan, sehingga generasi muda mengikuti hal tersebut. Generasi tidak dijaga dari pemikiran yang merusak moral.


Islam dan Ajarannya

Penerapan Islam secara menyeluruh menjadi solusi atas merebaknya kekerasan yang dilakukan oleh generasi muda. Dengan menerapkan Islam secara kaffah, generasi muda akan memiliki kepribadian Islam dan akan menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, seperti melakukan kekerasan atau tawuran.

Pemahaman akan Islam kaffah harus dimiliki oleh setiap individu. Dengan mengkaji Islam secara menyeluruh, individu akan terhindar dari hal-hal yang tidak Allah sukai. Berbeda dengan tindak kekerasan maupun tawuran yang dilakukan oleh anak muda saat ini, pemuda yang berkepribadian Islam akan mempertimbangkan matang-matang apakah Allah rida dengan perbuatannya tersebut.

Di dalam rumah, mendidik anak sesuai dengan panduan Islam menjadi hal yang sangat penting dilakukan oleh orang tua.  Anak akan memahami tentang syariat Islam, sehingga anak akan paham juga tentang esensi kehidupan dan tujuan hidupnya di dunia ini. Anak juga akan mengetahui bahwasanya hanya aturan Islamlah yang digunakan di semua perbuatan atau aktivitas.

Dengan menerapkan Islam secara menyeluruh, masyarakat akan tergerak melakukan amar makruf nahi mungkar. Masyarakat Islami pun akan terbentuk. Jika sudah demikian, pelanggaran atas syariat Islam ataupun kemaksiatan yang terjadi di wilayah publik, akan mendapat perhatian oleh masyarakat untuk dinasihati atau ditegur atau dilaporkan kepada yang berwenang.

Dalam Islam, media sosial ataupun tontonan pun tidak boleh menampilkan kekerasan fisik maupun nonfisik yang sangat mungkin menjadi contoh buruk bagi anak. Islam pun sudah memberi batasan baik-buruk serta halal-haram. Inilah yang menjadi acuan dalam berbuat.

Dalam Islam kaffah, negara akan membuat aturan yang tegas serta  memberikan sanksi yang tegas pada pelaku kriminal. Dengan aturan dan sanksi yang tegas, akan menimbulkan efek jera. Sehingga, individu yang lainnya tidak akan melakukan kejahatan atau kemaksiatan seperti sebelumnya. Dengan aturan Islam yang menyeluruh yang diimplementasikan dalam sebuah negara, maka negara akan menjaga dan melindungi generasi penerus dari macam-macam kerusakan yang ada, baik dari sisi pemikiran maupun tingkah laku generasi. Wallahu'alam.

Oleh: Ummu Azmi
Aktivis Muslimah

Kamis, 02 Maret 2023

Pencabulan dan Kekerasan Anak Muncul Akibat Penerapan Sistem Hidup Sekuler Kapitalisme

Tinta Media - Menanggapi maraknya kasus pencabulan dan kekerasan seksual pada anak di Kabupaten Bandung, Aktivis Muslimah yang juga Pemerhati Generasi, Ustazah Najmah Sa'iidah menyampaikan hal ini muncul akibat penerapan sistem hidup sekuler kapitalisme.

"Kasus pencabulan dan kekerasan seksual pada anak ini, muncul akibat penerapan sistem hidup sekuler kapitalisme," tuturnya pada Tinta Media, Selasa (28/2/2023)

Menurutnya, kejadian tersebut tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai hidup yang salah yang telah berkembang di masyarakat.

"Pelaku kekerasan, termasuk kekerasan seksual pada anak yang mayoritasnya adalah orang dekat korban (keluarga, tetangga, bahkan gurunya), menggambarkan keadaan masyarakat yang sakit," tandasnya.

Ia memandang, nilai kebebasan yang dikandung sistem ini menjadi racun mematikan bagi akal dan naluri manusia.

"Hingga ayah kandung tega menggauli darah dagingnya sendiri. Membuat saudara kandung mengeluarkan hasrat buruk terhadap saudaranya sendiri. Ketika pemahaman agama tidak menjadi standar perilaku, maka hawa nafsu menjadi penentu. Akibatnya, orang berlomba memenuhi naluri seksualnya sesuka hatinya. Liberalisme telah menghilangkan ketakwaan individu," tegasnya.

Pada sisi lain, sambungnya, maraknya kekerasan pada anak menjadi gambaran betapa lemahnya jaminan keamanan bagi anak.

"Hal ini menggambarkan bahwa keluarga tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai tempat yang aman bagi anak," ungkapnya.

Ia menggambarkan, kondisi ini menjadi makin berat ketika orang tua termasuk ibu sibuk bekerja yang membuatnya lupa mengawasi anaknya. Kemiskinan, membuat kaum ibu harus ikut bekerja mencari nafkah, sehingga mengabaikan perannya sebagai pendidik dan pelindung anaknya. 

"Sulitnya kehidupan mengakibatkan tekanan psikologis pada orang tua, sehingga memicu terjadinya kekerasan kepada anak," ucapnya.

Ustazah Najmah menjelaskan, selain keluarga, lingkungan, dan negara juga telah abai memberikan keamanan kepada anak, kehidupan masyarakat yang diwarnai oleh kehidupan materialistis dan hedonis, akan membentuk individu yang mengutamakan terpenuhinya kebutuhan jasmani. Bahkan negara memfasilitasi hal tersebut.

"Maraknya pornografi dan pornoaksi menjadi bukti bagaimana syahwat dibiarkan menuntut pemuasan. Rendahnya kontrol masyarakat juga membuat banyaknya kasus yang tidak dilaporkan. Ringannya hukuman bagi pelaku kekerasan seksual menjadi bukti tambahan lemahnya jaminan negara atas keamanan anak. Hukuman masih tidak memberikan efek jera," pungkasnya.
[]'Aziimatul Azka

Jumat, 30 Desember 2022

Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Meningkat

Tinta Media - Pemerintah Kabupaten Bandung terus berkomitmen menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan melibatkan peran tiap elemen masyarakat guna melindungi dan menjaga perempuan dan anak. 

Dengan adanya sinergitas antara pemerintah daerah dan unsur pentahelix, Walikota Bandung Yana Mulyana optimis, berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan mulai dari kasus kekerasan, pelecehan seksual, eksploitasi, hingga perdagangan insyaalloh dapat kita minimalisir, sehingga perempuan sebagai pilar bangsa  dapat dijaga dan dijunjung tinggi sesuai dengan harkat martabatnya.

Upaya perlindungan anak dan perempuan terus dikampanyekan oleh pemerintah, mulai dari peringatan hari ibu, sampai hari anak untuk memotivasi masyarakat agar lebih peduli. Selain itu, ada program sinergitas antara pemerintah daerah dan unsur pentahelix. 

Banyak program pemerintah untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, dikarenakan kasus ini terus meningkat. Akan tetapi, ide-ide dan solusi bagi masalah kekerasan perempuan tidak kunjung mereda, bahkan makin kompleks, mulai dari tindakan asusila, KDRT terhadap perempuan dan anak, yang didominasi oleh kasus kekerasan  dan pelecehan seksual. 

Ini semua terjadi karena program pemerintah tidak memberikan solusi tuntas sampai ke akar-akarnya. Peran negara sebagai penetap kebijakan dan hukum atas permasalahan kekerasan ini tidak memberikan efek jera sehingga para pelaku kekerasan makin meningkat. Hal ini karena aturan yang dibuat manusia memiliki kelemahan dan keterbatasan, hingga pada akhirnya, bukannya menyelesaikan masalah malah menambah masalah. 

Bila kita teliti, ada beberapa sebab yang menjadi pemicu kasus ini terus meningkat, di antaranya:

Pertama, RUU TP-KS dianggap mampu menyelesaikan masalah persoalan. Salah satu isinya, yaitu yang terdapat dalam bab 1 pasal 1, yaitu, "Bahwa yang terkena hukum adalah jika mengandung ancaman atau paksaan." 

Artinya, ketika terjadi hubungan suka sama suka tanpa paksaan dan ancaman, maka mereka tidak terjerat hukum. Ini berarti melegalkan perzinaan dan melegimitasi pergaulan bebas. Hal ini akan membawa dampak buruk. Jelas, perempuanlah  yang banyak dirugikan. Akan banyak wanita hamil di luar nikah, tanpa ada tanggung jawab dari pasangannya. Dari sini, maka akan timbul konflik yang berujung kekerasan. 

Kedua, para pengusung feminis bependapat bahwa permasalahan yang menimpa perempuan adalah karena perempuan tidak mampu memberikan kontribusi secara materi di dalam keluarga. Akhirnya, peran perempuan sebagai ibu dan istri sering diabaikan dan dianggap sebagai peran yang tidak berarti. 

Karena itu, perempuan bersaing dengan pria dalam suatu  pekerjaan, lembaga, bahkan pemerintahan. Mereka bangga menjadi seseorang yang mampu memberikan kontribusi besar secara materi dalam keluarga.

Akhirnya, banyak perempuan yang menjadi penopang ekonomi keluarga. Hal ini semakin mengokohkan opini perempuan sebagai ujung tombak ekonomi keluarga dengan program pemberdayaan ekonomi perempuan. Pada akhirnya, perempuan terjebak dalam dunia kerja yang tak ramah dan tak memihak perempuan. 

Contohnya, ketika perempuan menjadi roda pemutar mesin-mesin pabrik yang dibayar murah atau menjadi buruh migran, banyak di antara mereka yang menjadi korban sindikat perdagangan perempuan, menjadi korban pemerkosaan, dianiaya, menjadi korban  pelecehan, bahkan tidak sedikit yang meregang nyawa dan pulang tinggal nama.

Dalam rumah tangga, ketika istri menggantikan  suami sebagai pencari nafkah, maka perempuan telah melawan fitrahnya, yaitu dilindungi dan dijaga. Namun, setelah lebih mapan, ia merasa tidak butuh laki-laki. Dari sini timbulah KDRT.

Banyak konflik rumah tangga yang berakhir pada perceraian. Akhirnya, anak-anak yang  mereka jadi korban. 

Ketiga, tidak adanya perlindungan terhadap perempuan, baik dalam keluarga, masyarakat, ataupun negara dan kurangnya pemahaman terhadap ilmu agama. 

Dari akar masalah tersebut dapat dilihat bahwa solusi pemerintah bukannya menyelesaikan masalah, tetapi justru menambah masalah.
Ini semua terjadi karena penerapan sistem kapitalisme yang berasaskan manfaat, dan sekulerisme yang menjauhkan agama dari kehidupan, sehingga umat muslim jauh dari pemahaman agama sebagai pengatur kehidupan. Mereka malah membuat hukum dari pikiran dan hawa nafsu manusia, sehingga umat tidak bisa menyelesaikan secara tuntas segala permasalahan dalam kehidupan.

Untuk itu, umat butuh solusi tuntas, sampai ke akarnya, yaitu dengan  menerapkan sistem Islam yang berasal dari wahyu Allah sebagai pengatur kehidupan. Ini karena manusia adalah mahluk ciptaan Allah. Allah tahu mana yang baik dan buruk bagi manusia dan Allah adalah sebaik-baik pembuat hukum yang sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan akal, sehingga menentramkan jiwa.

Dengan menerapkan
aturan Islam secara kaffah oleh negara Islam, manusia akan terhindar dari malapetaka, karena aturan Allah bila diterapkan akan membawa rahmat bagi alam semesta.

Negara dalam Islam yaitu khilafah menjadikan akidah dan syariah sebagai pijakan dan mencegah masuknya pemahaman yang merusak akidah dan kepribadian kaum muslimin, yaitu dengan menerapkan 3 pilar, di antaranya:

Pertama, ketakwaan individu dan keluarga. Suami sebagai pencari nafkah yang menjaga dan melindungi keluarganya. Sedangkan perempuan, peran utamanya sebagai ummun wa rabbah al-bait, yaitu sebagai istri, pengatur rumah, pendidik anak-anaknya yang akan membawa kemuliaan (surga). 

Islam mengajarkan untuk memisahkan tempat tidur anak sejak usia 7 tahun. Perempuan wajib menutup aurat untuk menjaga dan melindungi kemuliaan mereka. Ada aturan agar tidak berkhalwat (campu baur antara laki-laki dan perempuan). Aturan ini akan membentengi individu dan mencegahnya dari kemaksiatan.

Kedua, adanya kontrol masyarakat dengan aktivitas smar makruf nahi munkar.

Ketiga, peran negara yang mengurus rakyatnya dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang layak, menjaga agama, moral, serta menghilangkan setiap hal yang dapat merusaknya, seperti pornografi, pornoaksi, minuman keras, narkoba, dan sebagainya. 

Negara juga memberikan sanksi yang tegas yang berfungsi sebagai jawabir dan jawazir, yaitu hukuman yang memberikan efek jera dan penebus dosa di akhirat.

Telah sangat jelas, hanya sistem Islam yang bisa memberikan solusi tuntas, karena negara akan mampu menjaga dan  melindungi, perempuan dan anak-anak dari kekerasan. Kemuliaan perempuan akan terjaga dengan menjalankan Islam secara sempurna, dan negaralah pelaksana utama penerapan syariat Islam.

Wallahu alam

Oleh: Elah Hayani
Sahabat Tinta Media

Kamis, 22 Desember 2022

Kekerasan PRT, IJM: Perlindungan Jadi Hal Langka dalam Sistem Demokrasi Kapitalistik

Tinta Media - Menanggapi tingginya angka kekerasan terhadap para pembantu rumah tangga (PRT), Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menyatakan, perlindungan menjadi hal langka untuk didapatkan rakyat dalam sistem demokrasi kapitalistik.

"Tak ayal lagi, perlindungan menjadi hal langka untuk didapatkan rakyat dalam sistem demokrasi kapitalistik," tuturnya dalam Program Aspirasi Rakyat: PRT Bukan Budak, Sabtu (17/12/2022) di kanal YouTube Justice Monitor.

Ia melihat bahwa banyak pihak yang memperjuangkan rancangan undang-undang perlindungan pekerja rumah tangga untuk memberikan perlindungan kepada pekerja rumah tangga yang mengalami kondisi rentan eksploitasi. "Pertanyaannya, mungkinkah undang-undang itu melindungi mereka?" tanyanya.

Menurutnya, keberadaan dalam sistem kapitalisme sekarang ini. Dan kapitalisme itu memang mengarah pada eksploitasi. "Kita membutuhkan sistem yang betul-betul memberikan jaminan perlindungan kepada pekerja rumah tangga dan kepada rakyat secara keseluruhan. Itulah sistem Islam," ujarnya.

Ia mengungkapkan bahwa sistem Islam mengatur pengupahan. Upah ditentukan oleh manfaat yang diberikan dan diawasi oleh ahli ketenagakerjaan sehingga betul-betul tidak ada kezaliman antara keduanya. Dan betul-betul kemanfaatan yang diterima, gaji yang diterima sesuai.

Ia melanjutkan bahwa karena bisa jadi gaji tidak memenuhi kebutuhan pekerja rumah tangga, kebutuhan rakyat. Negara harus memberikan jaminan kepastian terpenuhi kebutuhan asasi yakni pangan, sandang, papan. Kemudian pendidikan, kesehatan dan juga keamanan. "Dengan cara seperti itu, maka setiap rakyat akan bisa memenuhi kebutuhan dengan layak. Dan itu bisa dimungkinkan dalam sistem Islam," terangnya.

Ia mengatakan bahwa sistem Islam memiliki sistem ekonomi yang memungkinkan salah satunya, kepemilikan umum terkait misalnya tambang, minyak, gas harus dimiliki oleh umum untuk kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, muslim maupun non muslim. "Dengan cara seperti itu, maka pemenuhan kebutuhan asasi secara layak sangat dimungkinkan. Termasuk di dalamnya pekerja rumah tangga," tukasnya.

Tetapi, lanjutnya, dalam sistem kapitalisme seperti sekarang, tidak akan mendapatkan jaminan itu dan bahkan akan semakin tereksploitasi. "Rancangan undang-undang terkait dengan perlindungan pekerja rumah tangga pun saya tidak yakin bisa melindungi pekerja rumah tangga sebaik mungkin," ungkapnya.

"Demikianlah yang bisa saya sampaikan. Jangan lupa untuk terus berjuang demi tegaknya Islam, demi kemaslahatan dan keberkahan langit dan bumi tercurah kepada kita semua," tandasnya.[] Ajira

Selasa, 13 Desember 2022

Kekerasan terhadap Perempuan Tuntas dengan Penerapan Islam Kaffah

Tinta Media - Setiap bulan November digelar peringatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKTP). Kampanye di Indonesia pertama kali dilansir Komnas Perempuan dan sudah berlangsung sejak 2001. Ini merupakan bagian dari pelaksanaan mandatnya sebagai lembaga negara Hak Asasisasi Manusia, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No.181 tahun 1998 yang diperbaharui melalui Peraturan Presiden No.65 tahun 2005 tentang Komnas Perempuan. 

Karenanya, dalam rangkaian Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKTP) 2022, Komnas Perempuan dan jaringannya menyerukan “Ciptakan Ruang Aman, Kenali Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual”. Pemilihan tema ini merupakan bentuk komitmen untuk terus mengawal implementasi UU TPKS. 

K16HAKTP kini menjadi agenda gerak bersama lembaga pengadaan layanan, women crisis center, organisasi keagamaan, anak-anak muda, pemerintah, aparat penegak hukum, privat sektor, jurnalis, dan berbagai pihak lainnya. Beragam kegiatan yang dilakukan untuk memperingati kampanye 16 hari tahun ini mulai dari kampanye media sosial, seminar, diskusi publik, pementasan seni, launching video, aksi car free day, dan bentuk kegiatan lainnya yang dilakukan baik secara online ataupun offline. Kegiatan ini diselenggarakan di Aceh, Lampung, Medan, Banten, Semarang, Surabaya, Kalimantan, Bali, NTT, dan Makassar. 

Tak Menyentuh Akar Masalah

Faktanya, kekerasan terhadap perempuan terus saja terjadi, bahkan cenderung meningkat. Menurut situs Komnas Perempuan, pada Januari s.d November 2022 telah menerima 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik/komunitas dan 899 kasus di ranah personal. 

Selain melalui kampanye ini, pemerintah juga telah melakukan upaya pencegahan dan perlindungan melalui payung hukum UU TPKS yang juga sudah disahkan. Namun, realitasnya hingga saat ini kasus kekerasan terhadap perempuan tidak juga menunjukkan penurunan.

Ini sekaligus menjadi bukti bahwa penyelesaian persoalan kasus kekerasan terhadap perempuan tidak menyentuh pada akar masalahnya. Sungguh sebuah kekeliruan yang besar jika dinyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan itu karena berbasis gender. 

Indonesia sebagai bagian dari negeri muslim terbesar yang kental dengan budaya patriarki dianggap sebagai biang keladi kasus kekerasan terhadap perempuan. Ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga. (Antaranews.com, 9/12/2021)  

Sungguh naif karena kenyataan yang terjadi justru ketika berada di ruang publik tanpa ada aturan atau pembatasan, perempuan rentan mendapatkan kekerasan, baik fisik maupun mental. Atas nama HAM, keberadaan perempuan saat ini berada dalam kebebasan yang membahayakan dirinya. Dari sini muncul propaganda My Body is Mine, yang membuat para perempuan bebas mengumbar aurat yang menjadi perangsang syahwat laki-laki hidung belang. 

Selain itu, kondisi perekonomian keluarga yang memprihatinkan justru membutuhkan bantuan perempuan sehingga terpaksa bekerja di luar rumah, bahkan hingga keluar negeri menjadi TKW. Inilah yang justru menjadikan perempuan rentan mendapatkan kekerasan. Dalam ranah keluarga, terjadinya kekerasan pada perempuan juga seringkali dipicu oleh permasalahan keluarga yang membawa pada pertengkaran sehingga berujung terjadinya kekerasan. Seringkali hal itu terjadi karena persoalan ekonomi yang membelit keluarga, sebagaimana yang disampaikan oleh Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA, Valentina Gintings. (Kompas.com, 19/2/2022) 

Solusi Tuntas

Persoalan ini jelas membutuhkan solusi tuntas yang menyentuh akar persoalan. Apalagi, regulasi saat ini pun ternyata tak bergigi. Secara nyata, solusi berbasis kesetaraan gender tak juga mampu menyelesaikan secara tuntas. Secara realitas, terbukti bahwa kekerasan pada perempuan bukan akibat bias gender.

Solusi tuntas hanya dapat diwujudkan dengan mengubah cara pandang yang salah terhadap kehidupan. Cara pandang yang sahih adalah cara pandang berdasarkan Islam, yang menjadikan akidah Islam sebagai asas dalam menyelesaikan setiap problematika kehidupan karena berasal dari Sang Pencipta manusia, alam semesta, dan seisinya. Cara pandang yang sahih ini juga akan memberikan kekuatan pada regulasi yang dibuat. 

Islam memiliki sistem yang sempurna. Kekerasan terhadap perempuan akan tuntas saat aturan Islam diterapkan. Beberapa solusi yang diberikan adalah sebagai berikut: 

Pertama, Islam akan melindungi anak-anak perempuan maupun laki-laki dan menyamakan perlakuan di antara keduanya. Islam memiliki sistem pergaulan yang akan menjaga interaksi antara laki-laki dan perempuan. 

Dalam Islam, baik laki-laki atau pun perempuan harus menundukkan pandangan ketika bertemu. Di tambah lagi, mereka hanya boleh bertemu di kondisi-kondisi tertentu. Selain itu, dilarang campur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa alasan syar’i (ikhtilat) maupun berdua-duaan dengan nonmahram (khalwat). Para Muslimahnya pun diwajibkan menutup aurat dengan sempurna, dilarang tabaruj, dan sebagainya. 

Selain memiliki aturan di ranah publik, Islam juga mengatur hubungan di ranah rumah tangga. Bagaimana anak bersikap kepada orang tuanya, dan begitu pula sebaliknya. Ada juga fikih suami dan istri yang apabila diterapkan akan menjamin sakinah, mawaddah wa rahmah dalam rumah tangga

Kedua, Islam menetapkan sanksi yang tegas pada pelaku kekerasan seksual. Hukuman tersebut memiliki dua fungsi, yaitu sebagai jawabir dan zawajir. Jawabir bermakna penebus dosa. Sedangkan zawajir berarti hukuman tersebut mampu mencegah orang lain melakukan tindakan yang sama. 

Misalnya, hukuman bagi pelaku perkosaan berupa had zina, yakni dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya telahh menikah (muhshan). Apabila pelakunya belum menikah (ghairu muhshon), maka akan dicambuk (dijilid) 100 kali dan diasingkan selama setahun. Sanksi rajam bagi pelaku juga tidak dilaksanakan sembarangan, harus secara terperinci, yaitu kasusnya harus ditangani oleh hakim (qadi) yang berwenang, harus ada saksi, dan lain-lain

Ketiga, kadangkala kekerasan terhadap perempuan terjadi tersebab ekonomi. Oleh karena itu, Islam akan menutup pintu ini dengan menjamin terpenuhinya kebutuhan setiap rakyat, baik pangan, papan, sandang, keamanan, kesehatan hingga pendidikan. 

Bagi siapa pun yang tidak mempunyai pekerjaan, negara Islam akan membuka lapangan pekerjaan sehingga mereka akan mendapatkan pemasukan yang memadai. Selain itu, bagi mereka yang tidak mampu bekerja, mereka akan berada dalam tanggungan keluarga. Jika keluarga tidak mampu, maka negara yang akan menanggung segla kebutuhannya. 

Negara akan mengambil dari Baitul mal untuk semua pembiyaan tersebut. Badan keuangan ini mendapatkan pemasukan dari pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), harta tidak bertuan, jizyah, kharaj, ganimah, fai, harta dari perilaku curang, dan sebagainya. Semua pemasukan itu akan dipakai untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Dengan begitu, ekonomi tidak lagi menajadi alasan melakukan kekerasan. 

Hanya Khilafah 

Penerapan seluruh aturan Islam tidak bisa dilaksanakan dalam sistem saat ini, disebabkan cara pandang (landasan) bertumpunya aturan sudah berbeda. Aturan Islam hanya bisa diterapkan oleh sistem pemerintahan Islam, yaitu khilafah. Maka dari itu, cara satu-satunya untuk memutus rantai kekerasan terhadap perempuan dan semisalnya sebatas dengan menerapkan Islam secara sempurna dalam bingkai Khilafah. Allah Swt. Berfirman yang artinya:

"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu." (QS Al-Baqarah 2: Ayat 208).
Wallahualam bissawab.

Oleh: Ummu Syakira
Sahabat Tinta Media  
  

Senin, 05 Desember 2022

Ustaz Iwan Ungkap Penyebab Kekerasan dalam Keluarga

Tinta Media - Pakar Parenting Islam Ustaz Iwan Januar mengungkap penyebab terjadinya kekerasan dalam keluarga.

"Banyaknya kekerasan dalam keluarga menunjukkan bahwa Indonesia mengalami krisis hubungan keluarga. Krisis hubungan keluarga penyebabnya adalah budaya hidup individualistik buah dari sistem sekuler," tuturnya dalam rubrik Jendela Keluarga Muslim: Mengapa Banyak Terjadi Kekerasan dalam Rumah Tangga? melalui kanal Youtube Peradaban Islam ID, Jumat (2/12/2022).

Menurutnya, banyaknya kekerasan dalam keluarga yang terjadi di Indonesia, seperti ada seorang anak meracuni orangtua dan kakaknya dengan sianida dan arsenik sampai mati karena masalah utang, seorang ibu yang membunuh bayi yang baru dilahirkannya karena cekcok dengan suaminya, seorang anak yang menggugat orangtuanya di pengadilan karena warisan, itu semua menunjukkan bahwa Indonesia ini mengalami krisis hubungan keluarga.

"Antara anggota keluarga kurang kedekatan, komunikasi dan sibuk dengan aktivitas masing-masing. Orang tua sibuk dengan pekerjaan mereka, frekuensi bertemu dan ngobrol dengan anak bahkan dengan
pasangan semakin berkurang, termasuk juga
hubungan biologis suami istri semakin berkurang, ditambah penggunaan teknologi digital di rumah semakin menjadikan
mereka akhirnya individualistik," ujarnya.

Anak-anak dan pasangan akan terabaikan dan kurang ikatan emosional, "Jangan harap orang tua bisa mendapatkan balasan perhatian, sikap hormat dan kasih sayang dari anak kalau mereka sendiri juga memperlakukan sama," terangnya.

Solusi

Ustaz Iwan mengatakan, Islam mendorong setiap keluarga untuk menciptakan suasana keluarga yang baik. "Seperti hubungan Nabi Yusuf dengan ayahnya, hubungan Nabi Ibrahim dengan putranya Ismail a.s. digambarkan dengan hubungan yang positif," tuturnya.

Kemudian dalam Islam, lanjutnya, para ayah atau para suami berkewajiban menanggung nafkah anggota keluarganya. "Di dalam Al-Qur'an dan hadits, banyak menyebutkan tentang kewajiban ayah memberikan nafkah pada keluarga," ungkapnya.

"Seorang muslim dalam kehidupan keluarga harus menunjukkan dan mencukupkan kasih sayang untuk anak-anak dan keluarganya," imbuhnya. 

Ustaz Iwan mencontohkan, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tidak sungkan menggendong cucunya ketika dalam keadaan salat. "Mencium cucunya dan memberikan hadiah pakaian untuk anak perempuan," pungkasnya.[] Evi

Minggu, 20 November 2022

Umi Diwanti: Selama Masih Ada Cara untuk Memperbaiki Perilaku Anak, Jangan Pernah Menggunakan Kekerasan!

Tinta Media - Pengasuh Kajian Parenting Ustazah Umi Diwanti berpesan kepada para orang tua dalam mendidik anaknya.

"Selama masih ada cara untuk memperbaiki perilaku anak, maka jangan pernah menggunakan kekerasan," tuturnya dalam acara Kajian Keluarga Samara dan Tahsin dengan tema 'Haruskah Anak Dipukul?' melalui akun facebooknya, Sabtu (19/11/2022). 

Menurutnya, perkara mendidik anak adalah hal yang tidak mudah. Apalagi mendidik anak sendiri terasa berat, berbeda dengan mendidik anak orang lain. "Mendidik anak sendiri itu memang lebih berat daripada mendidik anak orang lain," paparnya.

Bahkan Ummi menegaskan, kalau orang tua yang berprofesi sebagai guru bisa sabar mendidik anak orang lain, tapi menghadapi anak sendiri belum tentu sabar. 

"Kalau misalnya kita sebagai guru, kita pasti mudah lebih bersabar kalau menghadapi anak orang, tapi kalau ngadepin anak sendiri belum tentu" ujarnya.

Sehingga ia menilai kalau ada orang tua bisa sabar menghadapi anak, itu adalah nikmat yang luar biasa. "Beda memang menghadapi anak sendiri dengan menghadapi anak orang lain, maka kalau kita mampu bersabar manghadapi anak, itu salah satu nikmat yang luar biasa," tegasnya.

Ummi kemudian menyampaikan beberapa hadis Rasullullah yang isinya tentang sikap lembut atau kelembutan. Bahwasannya Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam pernah bersabda, "Kelembutan itu adalah hiasan segala sesuatu. Jika dihilangkan maka segala sesuatu itu akan menjadi buruk. Sesungguhnya kelembutan tidaklah diberikan pada segala urusan melainkan akan menghiasinya, dan tidaklah kelembutan ditarik dari tiap urusan kecuali akan menjadikannya buruk."

Dari hadis ini, ia menilai bahwa yang diutamakan oleh orang tua sebelum memukul adalah kelembutan. 

Hadis yang lain juga Ummi sampaikan "Barang siapa tidak dikaruniai kelembutan, berarti dia tidak diberi karunia yang baik. Barang siapa diberi kelembutan maka ia telah diberi kebaikan dunia akhirat," paparnya.

Jadi sebenarnya, katanya, secara umum akhlak seorang muslim itu adalah berperilaku lemah lembut. Termasuk juga kepada anak. "Maka doa yang kita lantunkan, rabbana hablana min ajwajina wadzuriatuna qurrota a'yun," ujarnya.

Kemudian ia menjelaskan makna qurrota a'yun adalah yang menyenangkan dan menyejukan pandangan.

Ia juga memberikan muhasabah. Bahwa anak itu adalah keinginan dari  orang tua. "Padahal anak itu, yang menginginkan kita loh bukan mereka yang menginginkan kita," jelasnya. 

"Bahkan pasangan suami isteri yang telat di karuniai anak, rela mengeluarkan puluhan juta demi anak. Tapi giliran anak sudah lahir maka sering dimarahi," tambahnya.

Ia kemudian memberikan hadis riwayat Bukhari dan Muslim mengenai sifat Rasullullah dalam bersikap lemah lembut. 

"Rasulullah kemudian bersabda, sesungguhnya Allah maha lembut, dan menyukai kelembutan dalam setiap urusan," pungkasnya.[] Teti Rostika

 .

Selasa, 15 November 2022

Tuduhan Kekerasan Berbasis Gender Membuat Blunder

Tinta Media - Pekan lalu media sosial ramai memberitakan tentang seorang suami yang menganiaya istri dan anaknya dengan sadis. Sang istri kini kondisinya kritis, sementara nyawa anak perempuannya tidak tertolong. Sebenarnya kasus ini hanya satu dari sekian banyak kasus kekerasan yang sekarang ini semakin banyak terjadi. Akan tetapi, yang mengherankan ada tuduhan yang dilontarkan anggota Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat bahwa kasus penganiayaan yang berujung pada kematian anak tersebut merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang ekstrem. REPUBLIKA.co.id ( 09/11/2022) 

Padahal faktanya, banyak juga terjadi kekerasan dengan korban yang sama gendernya, bahkan mengalami nasib yang lebih mengenaskan. Misalnya saja kasus yang sekarang ini masih berjalan dan menyita banyak perhatian, yaitu penghilangan nyawa ajudan di jajaran kepolisian. Ada juga kasus seorang anak di Ngawi, Jatim, yang membunuh ayahnya dengan tiga tusukan di dada hingga tembus ke paru, hanya karena bosan setelah setahun merawat ayahnya yang stroke. publika.rmol.id (20/10/2022) 

Tuduhan kekerasan berbasis gender ini malah mengaburkan penyebab kekerasan yang sebenarnya sangat kompleks dan sistemik. Sesungguhnya ada banyak faktor yang menjadi penyebab kekerasan dalam rumah tangga. Hanya saja, para pegiat gender selalu mengarahkan opini bahwa penyebab kekerasan adalah karena ketidaksetaraan gender. Hal itu dilakukan untuk menipu umat agar mendukung kesetaraan gender yang diusung sebagai solusi atas persoalan perempuan dan anak. Padahal, senyatanya kesetaraan gender hanyalah ilusi dan tidak akan menyelesaikan permasalahan kekerasan. 

Jika kita cermati lebih dalam, ada banyak faktor mengapa kekerasan semakin banyak terjadi di masyarakat. Tingkat stres yang semakin tinggi karena impitan ekonomi dan jauhnya seseorang dari nilai-nilai Islam membuat dia tak bisa mengontrol emosi. Relasi hubungan antar anggota keluarga hanya berdasarkan manfaat. Yang berkuasa adalah dia yang paling berkontribusi secara materi. 

Suami sebagai kepala keluarga tak akan dianggap apa-apa jika pendapatannya lebih rendah dari istri. Akibatnya, terjadi guncangan dalam keluarga. 

Itulah buah dari sistem kapitalistik yang merusak semua sendi-sendi kehidupan dan menjadi bibit terjadinya kekerasan. Bukan hanya di dalam rumah tangga, tetapi juga di masyarakat secara keseluruhan. Sistem ini tak layak untuk dipertahankan karena akan membawa manusia menuju kehancuran. 

Islam tentu saja melarang kekerasan dan pembunuhan pada anak perempuan. Ketika dulu bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup, Islam datang menyelamatkan. Bukan hanya itu, Islam mengutuk keras pembunuhan pada siapa pun, baik laki-laki dan perempuan tanpa hak, sebagaimana dalam surat Al-Maidah ayat 32. 

Islam memandang laki-laki dan perempuan sama kedudukannya di hadapan Syara' dan akan mendapatkan balasan setimpal, baik Surga ataupun Neraka, sesuai dengan amal perbuatannya. 

Adapun perbedaan peran dan kewajiban-kewajiban mereka yang dibebankan oleh Syara', merupakan bukti kasih sayang dan cinta dari Sang Pencipta. Allah Swt. yang paling tahu mana yang terbaik untuk makhluk ciptaan-Nya. 

Setiap individu muslim diharuskan mempelajari ajaran agamanya, agar dia bisa menahan amarah dan memperlakukana istri serta anak-anaknya sebaik mungkin. Ini sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad saw. yang artinya:

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya. Dan aku adalah orang yang paling baik kepada keluarga di antara kalian.” (HR Ibnu Majah) 

Sebelum menikah, setiap individu muslim harus mengetahui hak dan kewajiban masing-masing, meniatkan dari awal bahwa pernikahan merupakan ibadah sepanjang jalan yang akan menggenapkan separuh agamanya. 

Suami istri yakin bahwa masing-masing dari mereka akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Karenanya, mereka tidak akan berbuat zalim satu sama lain. 

Begitu juga terhadap anak. Mereka akan menganggap anak sebagai amanah yang harus dijaga dan diperlakukan sebaik mungkin sesuai dengan keinginan pemiliknya, Allah Swt. Kesadaran tersebut, akan menghasilkan hubungan yang harmonis dan jauh dari tindak kekerasan. 

Tak hanya itu, dalam sistem Islam, negara harus berperan aktif memberantas kekerasan, baik secara preventif maupun represif, agar tercipta suasana aman di seluruh lapisan masyarakat. 

Negara harus menjamin bahwa setiap kepala keluarga berhak mendapatkan penghasilan yang layak agar bisa menafkahi keluarga dan menjalankan fungsi qawwam-nya dengan baik. Dengan begitu, para istri bisa nyaman di rumah merawat anak-anaknya. Keluarga akan sejahtera dan masyarakat akan lebih tentram tanpa kekhawatiran. 

Inilah solusi tepat permasalahan kekerasan, bukan dengan kesetaraan gender yang hanya akan membuat blunder. Yakinlah, jika sistem Islam, yakni khilafah diterapkan, KDRT dan kekerasan lainnya akan terminimalisir, bahkan hilang dengan sendirinya.

Oleh: Sakinah Qalby
Sahabat Tinta Media

Senin, 07 November 2022

Kekerasan Marak, di Mana Jaminan Keamanan dari Negara?

Tinta Media - Kekerasan hingga pembunuhan marak terjadi dimana-mana. Laman berita pun akhir-akhir ini banyak diisi dengan berita seputar kekerasan. Di antaranya penganiayaan bayi berusia 4 bln di Desa Mattoanging, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros Sulawesi Selatan tewas dibanting ke lantai oleh pamannya sendiri, Ridwan (23)th. Pada Sabtu 22/10/ 2022.

Ada pula pasangan suami istri di kota Medan, Sumatera Utara. Diduga, mereka cek-cok hingga sang istri tewas bersimbah darah dibunuh oleh suaminya dengan cara digorok leher bagian belakang di pinggir jalan Mandala Bypass Kecamatan Medan Tembung kota Medan, pada Sabtu 22/10/2022 pukul 23.00 WIB.

Dan kasus yang sedang ramai dibicarakan adalah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh exs pendeta muda Kristian Rudolf Tobing terhadap teman nya sendiri yang berinisial AYR (36)th alias Icha dengan cara dicekik, lalu jasadnya dibuang di kolong Tol Becakayu, Pondok Gede, Bekasi. Sebelum melakukan aksinya, pelaku sempat belajar 3 hari dari internet cara membunuh secara senyap agar tidak ketahuan orang.

Tak hanya itu, masyarakat sering sekali diresahkan dengan banyaknya aksi tawuran di jalanan yang dilakukan oleh kelompok remaja. Kapolsek Pasanggarahan beserta jajarannya berhasil mengamankan enam pelajar yang diduga sebagai pelaku tawuran dan didapati membawa senjata tajam di jalan Bintaro Permai Raya, Jakarta Selatan pada 22/10/2022 pukul 03.00 dini hari.

Beberapa kejadian tersebut menunjukkan bahwa siapa saja bisa menjadi pelaku kekerasan, mulai dari remaja, dewasa, keluarga, hingga pendeta.

Kondisi ini menunjukkan betapa mahal harga keamanan di negeri ini. Negara gagal memenuhi  jaminan kebutuhan keamanan bagi rakyat. Padahal, negara seharusnya berperan sebagai pengurus dan pelindung bagi seluruh rakyat.

Namun, inilah realita negara yang menerapkan sistem kapitalisme-sekuler, tidak ada jaminan keamanan kepada rakyatnya. Sistem ini hanya menghasilkan kerusakan secara pemikiran, peraturan, dan perasaan di tengah masyarakat.

Ada dua faktor yang menyebabkan kekerasan sering terjadi dalam sistem ini: 

Pertama, faktor individu, yakni tidak terbangun keimanan yang kuat sehingga para pelaku tidak takut dosa, berprilaku sebebas-bebasnya dan meremehkan nyawa manusia.

Kedua, faktor lemahnya penegakan hukum oleh negara. Di negeri ini, hukum bisa dibeli atau direkayasa. Hukuman yang diberlakukan pun sangat ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pelakunya

Jika kedua faktor di atas terus dibiarkan berlarut-larut, maka masyarakat akan semakin rusak. Mudahnya menghilangkan nyawa manusia menunjukkan bahwa masyarakat berada dalam titik nadir. Oleh karena itu, selama sistem sekuler kapitalis ini masih diterapkan di negeri ini, kekerasan hingga pembunuhan akan terus berulang.

Hanya khilafahlah, sistem pemerintah Islam yang bisa mewujudkan jaminan keamanan kepada rakyat. Khilafah sebagai institusi tertinggi memiliki tanggung jawab penuh untuk melindungi rakyat. Ibarat sebuah tameng, negara akan menghalau segala hal yang dapat merusak atau membahayakan negeri dan rakyatnya.

Selain itu, khilafah juga memiliki tanggung jawab menciptakan suasana aman dan tentram bagi seluruh warga negara. Sebab, abai dan lengahnya sebuah negara di dalam melakukan kontrol terhadap rakyat, dapat mengakibatkan keresahan di mana-mana.

Dengan penjagaan yang dilakukan negara khilafah, peluang terjadinya tindak kekerasan, pembunuhan, dan tindakan brutal dapat dicegah dengan tegas. Khilafah telah memberikan jaminan harta, darah, dan kehormatan nyata bagi setiap warga negara. Jaminan ini adalah sisi politik kewarganegaraan Islam, yang memberikan ruang hidup bagi manusia dan jaminan paripurna.

Rasulullah saw. bersabda : 

"Hancur nya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim." HR. An Nasai. 

Hadis tersebut terealisasi dalam syariat Islam tentang sanki. Sesuai sanksi tersebut, pelaku pembunuhan dalam Islam mendapat hukuman yang keras.
Ada 3 jenis sanki pidana syariah bagi pelaku pembunuhan, tergantung pilihan yang diambil keluarga korban, yaitu hukuman mati atau qishas, membayar diyat (tebusan/uang darah), memaafkan

Sanki tegas yang berfungsi sebagai jawabir (penghapus dosa) dan zawajir (pembuat efek jera) membuat masyarakat tidak akan mau melakukan kejahatan serupa.

Di samping sanki yang tegas, khilafah juga akan membangun suasana ketakwaan di tengah masyarakat. Hal ini didukung oleh sistem pendidikan Islam dan sistem Islam lainnya.

Dengan begitu, individu masyarakat terbentuk menjadi pribadi bertakwa yang takut akan kemaksiatan. Sementara, masyarakat akan terbentuk menjadi masyarakat yang islami yang senantiasa beramar makruf nahi mungkar. Demikianlah, hanya khilafah yang mampu menjamin rasa aman bagi setiap warga negaranya.

Wallahu'alam ....

Oleh: Ratna Ummu Rayyan
Sahabat Tinta Media

Minggu, 06 November 2022

Merebaknya Kasus Kekerasan hingga Pembunuhan, Kok Bisa?

Tinta Media - Bulan September lalu, publik dihebohkan dengan kasus KDRT yang melibatkan pasangan selebritis yang cukup dikenal masyarakat dengan keharmonisannya. Tak hanya di kalangan publik figure, akhir oktober ini kasus yang tak kalah mengejutkan juga terjadi. Seorang suami membunuh istrinya sendiri lantaran cemburu. Jasad korban kemudian dibuang di tebing jembatan. Masih di ranah keluarga, seorang paman membanting keponakannya yang masih bayi berusia 4 bulan ke lantai hingga tewas lantaran kesal seusai cekcok dengan ibu korban.

Kasus serupa yang juga sempat viral, yaitu beredarnya sebuah video yang diduga seorang eks pendeta muda mendorong troli berisi bungkusan plastik, sembari tersenyum ketika hendak naik lift. Plastik tersebut ternyata berisi jasad korban yang dibunuhnya di sebuah apartemen di Jakarta Timur. 

Publik kembali harus mengelus dada. Dua bulan berturut-turut (Agustus-September) institusi pendidikan berbasis agama (pesantren) berkabung. Pasalnya, di sejumlah pesantren terjadi kasus kekerasan, berupa penganiayaan oleh senior, pengeroyokan hingga perkelahian yang menimbulkan hilangnya nyawa. 

Institusi non-agama pun tak lepas dari kasus serupa. Beberapa hari yang lalu, tawuran pelajar yang membawa senjata tajam terjadi di Tangerang. Salah satu korbannya mengalami luka bacok di kepala hingga tengkoraknya terbuka cukup lebar. Yang terbaru, kasus perundungan yang berujung cacat permanen pada korban hingga depresi mental dialami oleh pelajar MAN 1 Bandar Lampung. Pelakunya adalah teman-teman sekolah korban.

Sederet kasus kekerasan ini terjadi di berbagai lini, mulai dari yang terkenal sampai orang biasa, ranah privat hingga publik. Pelakunya orang terpelajar hingga bahkan yang terkesan agamis. 

Seyogyanya hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa kasus demikian ini begitu menjamur. Terlepas dari segala motif yang mendasari pelaku melakukan tindak kekerasan di atas, jika diambil benang merahnya, maka akan sampai pada kesimpulan bahwa kita hari ini sedang hidup di sistem yang menempatkan nyawa manusia seolah tidak ada harganya. Jika kejadiannya hanya satu dua kasus atau beberapa bidang saja, maka problemnya ada di individu. Namun, jika merata seperti ini, kita patut waspada bahwa kesalahannya tidak sekadar dari sisi individu per individu saja, tetapi sudah di level yang lebih tinggi.

Kesalahan pada level individu diakibatkan oleh lemahnya benteng keimanan dalam jiwa, sehingga seseorang menjadi mudah dibutakan oleh nafsu dan emosi sesaat. Minimnya pemahaman terhadap syariat telah membelokkan standart perbuatan seseorang, bukan lagi halal haram. Solusi yang diambil untuk menyelesaikan masalah pun tidak lagi mengindahkan rambu-rambu syariat. Merundung, melukai fisik, bahkan hingga menghilangkan nyawa pun dengan mudah dilakukan karena tidak adanya kontrol diri yang lahir dari pemikiran dan perasaan takut akan dosa.

Pada level negara, sistem kapitalis demokrasi nyatanya telah menjadi pabrik bagi segala macam produk berupa kerusakan pemikiran, perasaan, dan aturan di tengah-tengah masyarakat. Dampak sistemik pun tidak bisa dielakkan. 

Pada tataran pengaturan ekonomi yang kapitalistik, negara membolehkan penguasaan sektor-sektor krusial publik oleh pemilik modal, permainan harga oleh jejaring kapital, industrialisasi sektor pendidikan, kapitalisasi bidang kesehatan, dll. 

Variabel-variabel tersebut telah menciptakan lingkaran setan bagi rusaknya tatanan kehidupan masyarakat, dari ranah yang sangat privat sampai publik. 

Secara tidak langsung, hal itu juga telah memproduksi kemiskinan sistemik, degradasi moral kaum terpelajar karena ilmu hanya diorientasikan pada materi, hingga hilangnya perasaan atau naluriah kemanusiaan seseorang. Ditambah ketiadaan sanksi yang tegas, hukum yang tebang pilih, bisa direkayasa dan dibeli, menjadikan para pelaku kekerasan menganggap remeh atas perbuatannya, sehingga tidak mampu menciptakan efek jera kepada pelaku maupun efek pencegahan bagi masyarakat umum dari melakukan hal yang serupa.

Dalam sistem Islam, nyawa manusia sangat mahal harganya. Hal ini digambarkan dalam sabda Rasulullah saw.

“Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim” [HR. An-Nasa’i]. 

Maka, sebagai wujud penjagaan terhadap hal ini, negara memiliki kewajiban untuk menerapkan dua lapis kebijakan. 

Pertama, lapis preventif atau pencegahan. Melalui sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam, akan terbentuk individu-individu yang tidak saja mumpuni dalam iptek, tetapi juga berkepribadian Islam dan menguasai tsaqofah islam. Walhasil, individu-individu di masyarakat adalah mereka yang memiliki benteng ketakwaan yang kokoh sebagai pengendali dirinya. Mereka menjadikan pahala dan dosa sebagai standart perbuatan. Mereka akan senantiasa menjadikan rambu-rambu syariat sebagai solusi bagi seluruh problematika kehidupannya.

Begitupun keberadaan masyarakat. Mereka menjadi sistem kontrol selapis di bawah negara. Dari ketakwaan individu-individu di dalamnya, akan lahir suasana yang islami di tengah kehidupan bermasyarakat. Ketakwaan itu pula yang akan menciptakan atmosfer untuk gemar beramar ma’ruf nahi mungkar. 

Kondisi yang demikian akan menjadi model pencegahan yang efektif dari kekacauan yang mungkin ditimbulkan oleh individu yang bermasalah.

Kedua, lapis kuratif atau penindakan. Negara akan menerapkan sistem sanksi yang tegas terhadap para pelaku kekerasan. 

Ada tiga jenis pidana bagi pelaku pembunuhan tergantung pilihan yang diambil oleh keluarga korban, di antaranya qishash (hukuman mati), diyat (membayar tebusan atau uang darah), dan memaafkan (al ‘afwu). Sanksi ini akan menjadi jawabir (penghapus dosa) sekaligus menjadi zawajir (efek jera) bagi pelaku.

Hanya sistem Islam yang mampu menuntaskan problem kekerasan sampai ke akarnya. Karena Allah adalah Al-Khaliq (pencipta) sekaligus Al-Mudabbir (pengatur), maka produk hukum dari Allah berupa syariat adalah sebaik-baik solusi bagi seluruh problematika hidup manusia selaku hamba. 

Allah berfirman, “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [QS. Al-Maidah: 50]. 

Wallahu ‘alam bishawab.

Oleh: Naning Prasdawati, S.Kep.,Ns.
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab