Tinta Media: Kekerasan
Tampilkan postingan dengan label Kekerasan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kekerasan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 20 November 2022

Umi Diwanti: Selama Masih Ada Cara untuk Memperbaiki Perilaku Anak, Jangan Pernah Menggunakan Kekerasan!

Tinta Media - Pengasuh Kajian Parenting Ustazah Umi Diwanti berpesan kepada para orang tua dalam mendidik anaknya.

"Selama masih ada cara untuk memperbaiki perilaku anak, maka jangan pernah menggunakan kekerasan," tuturnya dalam acara Kajian Keluarga Samara dan Tahsin dengan tema 'Haruskah Anak Dipukul?' melalui akun facebooknya, Sabtu (19/11/2022). 

Menurutnya, perkara mendidik anak adalah hal yang tidak mudah. Apalagi mendidik anak sendiri terasa berat, berbeda dengan mendidik anak orang lain. "Mendidik anak sendiri itu memang lebih berat daripada mendidik anak orang lain," paparnya.

Bahkan Ummi menegaskan, kalau orang tua yang berprofesi sebagai guru bisa sabar mendidik anak orang lain, tapi menghadapi anak sendiri belum tentu sabar. 

"Kalau misalnya kita sebagai guru, kita pasti mudah lebih bersabar kalau menghadapi anak orang, tapi kalau ngadepin anak sendiri belum tentu" ujarnya.

Sehingga ia menilai kalau ada orang tua bisa sabar menghadapi anak, itu adalah nikmat yang luar biasa. "Beda memang menghadapi anak sendiri dengan menghadapi anak orang lain, maka kalau kita mampu bersabar manghadapi anak, itu salah satu nikmat yang luar biasa," tegasnya.

Ummi kemudian menyampaikan beberapa hadis Rasullullah yang isinya tentang sikap lembut atau kelembutan. Bahwasannya Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam pernah bersabda, "Kelembutan itu adalah hiasan segala sesuatu. Jika dihilangkan maka segala sesuatu itu akan menjadi buruk. Sesungguhnya kelembutan tidaklah diberikan pada segala urusan melainkan akan menghiasinya, dan tidaklah kelembutan ditarik dari tiap urusan kecuali akan menjadikannya buruk."

Dari hadis ini, ia menilai bahwa yang diutamakan oleh orang tua sebelum memukul adalah kelembutan. 

Hadis yang lain juga Ummi sampaikan "Barang siapa tidak dikaruniai kelembutan, berarti dia tidak diberi karunia yang baik. Barang siapa diberi kelembutan maka ia telah diberi kebaikan dunia akhirat," paparnya.

Jadi sebenarnya, katanya, secara umum akhlak seorang muslim itu adalah berperilaku lemah lembut. Termasuk juga kepada anak. "Maka doa yang kita lantunkan, rabbana hablana min ajwajina wadzuriatuna qurrota a'yun," ujarnya.

Kemudian ia menjelaskan makna qurrota a'yun adalah yang menyenangkan dan menyejukan pandangan.

Ia juga memberikan muhasabah. Bahwa anak itu adalah keinginan dari  orang tua. "Padahal anak itu, yang menginginkan kita loh bukan mereka yang menginginkan kita," jelasnya. 

"Bahkan pasangan suami isteri yang telat di karuniai anak, rela mengeluarkan puluhan juta demi anak. Tapi giliran anak sudah lahir maka sering dimarahi," tambahnya.

Ia kemudian memberikan hadis riwayat Bukhari dan Muslim mengenai sifat Rasullullah dalam bersikap lemah lembut. 

"Rasulullah kemudian bersabda, sesungguhnya Allah maha lembut, dan menyukai kelembutan dalam setiap urusan," pungkasnya.[] Teti Rostika

 .

Selasa, 15 November 2022

Tuduhan Kekerasan Berbasis Gender Membuat Blunder

Tinta Media - Pekan lalu media sosial ramai memberitakan tentang seorang suami yang menganiaya istri dan anaknya dengan sadis. Sang istri kini kondisinya kritis, sementara nyawa anak perempuannya tidak tertolong. Sebenarnya kasus ini hanya satu dari sekian banyak kasus kekerasan yang sekarang ini semakin banyak terjadi. Akan tetapi, yang mengherankan ada tuduhan yang dilontarkan anggota Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat bahwa kasus penganiayaan yang berujung pada kematian anak tersebut merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang ekstrem. REPUBLIKA.co.id ( 09/11/2022) 

Padahal faktanya, banyak juga terjadi kekerasan dengan korban yang sama gendernya, bahkan mengalami nasib yang lebih mengenaskan. Misalnya saja kasus yang sekarang ini masih berjalan dan menyita banyak perhatian, yaitu penghilangan nyawa ajudan di jajaran kepolisian. Ada juga kasus seorang anak di Ngawi, Jatim, yang membunuh ayahnya dengan tiga tusukan di dada hingga tembus ke paru, hanya karena bosan setelah setahun merawat ayahnya yang stroke. publika.rmol.id (20/10/2022) 

Tuduhan kekerasan berbasis gender ini malah mengaburkan penyebab kekerasan yang sebenarnya sangat kompleks dan sistemik. Sesungguhnya ada banyak faktor yang menjadi penyebab kekerasan dalam rumah tangga. Hanya saja, para pegiat gender selalu mengarahkan opini bahwa penyebab kekerasan adalah karena ketidaksetaraan gender. Hal itu dilakukan untuk menipu umat agar mendukung kesetaraan gender yang diusung sebagai solusi atas persoalan perempuan dan anak. Padahal, senyatanya kesetaraan gender hanyalah ilusi dan tidak akan menyelesaikan permasalahan kekerasan. 

Jika kita cermati lebih dalam, ada banyak faktor mengapa kekerasan semakin banyak terjadi di masyarakat. Tingkat stres yang semakin tinggi karena impitan ekonomi dan jauhnya seseorang dari nilai-nilai Islam membuat dia tak bisa mengontrol emosi. Relasi hubungan antar anggota keluarga hanya berdasarkan manfaat. Yang berkuasa adalah dia yang paling berkontribusi secara materi. 

Suami sebagai kepala keluarga tak akan dianggap apa-apa jika pendapatannya lebih rendah dari istri. Akibatnya, terjadi guncangan dalam keluarga. 

Itulah buah dari sistem kapitalistik yang merusak semua sendi-sendi kehidupan dan menjadi bibit terjadinya kekerasan. Bukan hanya di dalam rumah tangga, tetapi juga di masyarakat secara keseluruhan. Sistem ini tak layak untuk dipertahankan karena akan membawa manusia menuju kehancuran. 

Islam tentu saja melarang kekerasan dan pembunuhan pada anak perempuan. Ketika dulu bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup, Islam datang menyelamatkan. Bukan hanya itu, Islam mengutuk keras pembunuhan pada siapa pun, baik laki-laki dan perempuan tanpa hak, sebagaimana dalam surat Al-Maidah ayat 32. 

Islam memandang laki-laki dan perempuan sama kedudukannya di hadapan Syara' dan akan mendapatkan balasan setimpal, baik Surga ataupun Neraka, sesuai dengan amal perbuatannya. 

Adapun perbedaan peran dan kewajiban-kewajiban mereka yang dibebankan oleh Syara', merupakan bukti kasih sayang dan cinta dari Sang Pencipta. Allah Swt. yang paling tahu mana yang terbaik untuk makhluk ciptaan-Nya. 

Setiap individu muslim diharuskan mempelajari ajaran agamanya, agar dia bisa menahan amarah dan memperlakukana istri serta anak-anaknya sebaik mungkin. Ini sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad saw. yang artinya:

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya. Dan aku adalah orang yang paling baik kepada keluarga di antara kalian.” (HR Ibnu Majah) 

Sebelum menikah, setiap individu muslim harus mengetahui hak dan kewajiban masing-masing, meniatkan dari awal bahwa pernikahan merupakan ibadah sepanjang jalan yang akan menggenapkan separuh agamanya. 

Suami istri yakin bahwa masing-masing dari mereka akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Karenanya, mereka tidak akan berbuat zalim satu sama lain. 

Begitu juga terhadap anak. Mereka akan menganggap anak sebagai amanah yang harus dijaga dan diperlakukan sebaik mungkin sesuai dengan keinginan pemiliknya, Allah Swt. Kesadaran tersebut, akan menghasilkan hubungan yang harmonis dan jauh dari tindak kekerasan. 

Tak hanya itu, dalam sistem Islam, negara harus berperan aktif memberantas kekerasan, baik secara preventif maupun represif, agar tercipta suasana aman di seluruh lapisan masyarakat. 

Negara harus menjamin bahwa setiap kepala keluarga berhak mendapatkan penghasilan yang layak agar bisa menafkahi keluarga dan menjalankan fungsi qawwam-nya dengan baik. Dengan begitu, para istri bisa nyaman di rumah merawat anak-anaknya. Keluarga akan sejahtera dan masyarakat akan lebih tentram tanpa kekhawatiran. 

Inilah solusi tepat permasalahan kekerasan, bukan dengan kesetaraan gender yang hanya akan membuat blunder. Yakinlah, jika sistem Islam, yakni khilafah diterapkan, KDRT dan kekerasan lainnya akan terminimalisir, bahkan hilang dengan sendirinya.

Oleh: Sakinah Qalby
Sahabat Tinta Media

Senin, 07 November 2022

Kekerasan Marak, di Mana Jaminan Keamanan dari Negara?

Tinta Media - Kekerasan hingga pembunuhan marak terjadi dimana-mana. Laman berita pun akhir-akhir ini banyak diisi dengan berita seputar kekerasan. Di antaranya penganiayaan bayi berusia 4 bln di Desa Mattoanging, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros Sulawesi Selatan tewas dibanting ke lantai oleh pamannya sendiri, Ridwan (23)th. Pada Sabtu 22/10/ 2022.

Ada pula pasangan suami istri di kota Medan, Sumatera Utara. Diduga, mereka cek-cok hingga sang istri tewas bersimbah darah dibunuh oleh suaminya dengan cara digorok leher bagian belakang di pinggir jalan Mandala Bypass Kecamatan Medan Tembung kota Medan, pada Sabtu 22/10/2022 pukul 23.00 WIB.

Dan kasus yang sedang ramai dibicarakan adalah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh exs pendeta muda Kristian Rudolf Tobing terhadap teman nya sendiri yang berinisial AYR (36)th alias Icha dengan cara dicekik, lalu jasadnya dibuang di kolong Tol Becakayu, Pondok Gede, Bekasi. Sebelum melakukan aksinya, pelaku sempat belajar 3 hari dari internet cara membunuh secara senyap agar tidak ketahuan orang.

Tak hanya itu, masyarakat sering sekali diresahkan dengan banyaknya aksi tawuran di jalanan yang dilakukan oleh kelompok remaja. Kapolsek Pasanggarahan beserta jajarannya berhasil mengamankan enam pelajar yang diduga sebagai pelaku tawuran dan didapati membawa senjata tajam di jalan Bintaro Permai Raya, Jakarta Selatan pada 22/10/2022 pukul 03.00 dini hari.

Beberapa kejadian tersebut menunjukkan bahwa siapa saja bisa menjadi pelaku kekerasan, mulai dari remaja, dewasa, keluarga, hingga pendeta.

Kondisi ini menunjukkan betapa mahal harga keamanan di negeri ini. Negara gagal memenuhi  jaminan kebutuhan keamanan bagi rakyat. Padahal, negara seharusnya berperan sebagai pengurus dan pelindung bagi seluruh rakyat.

Namun, inilah realita negara yang menerapkan sistem kapitalisme-sekuler, tidak ada jaminan keamanan kepada rakyatnya. Sistem ini hanya menghasilkan kerusakan secara pemikiran, peraturan, dan perasaan di tengah masyarakat.

Ada dua faktor yang menyebabkan kekerasan sering terjadi dalam sistem ini: 

Pertama, faktor individu, yakni tidak terbangun keimanan yang kuat sehingga para pelaku tidak takut dosa, berprilaku sebebas-bebasnya dan meremehkan nyawa manusia.

Kedua, faktor lemahnya penegakan hukum oleh negara. Di negeri ini, hukum bisa dibeli atau direkayasa. Hukuman yang diberlakukan pun sangat ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pelakunya

Jika kedua faktor di atas terus dibiarkan berlarut-larut, maka masyarakat akan semakin rusak. Mudahnya menghilangkan nyawa manusia menunjukkan bahwa masyarakat berada dalam titik nadir. Oleh karena itu, selama sistem sekuler kapitalis ini masih diterapkan di negeri ini, kekerasan hingga pembunuhan akan terus berulang.

Hanya khilafahlah, sistem pemerintah Islam yang bisa mewujudkan jaminan keamanan kepada rakyat. Khilafah sebagai institusi tertinggi memiliki tanggung jawab penuh untuk melindungi rakyat. Ibarat sebuah tameng, negara akan menghalau segala hal yang dapat merusak atau membahayakan negeri dan rakyatnya.

Selain itu, khilafah juga memiliki tanggung jawab menciptakan suasana aman dan tentram bagi seluruh warga negara. Sebab, abai dan lengahnya sebuah negara di dalam melakukan kontrol terhadap rakyat, dapat mengakibatkan keresahan di mana-mana.

Dengan penjagaan yang dilakukan negara khilafah, peluang terjadinya tindak kekerasan, pembunuhan, dan tindakan brutal dapat dicegah dengan tegas. Khilafah telah memberikan jaminan harta, darah, dan kehormatan nyata bagi setiap warga negara. Jaminan ini adalah sisi politik kewarganegaraan Islam, yang memberikan ruang hidup bagi manusia dan jaminan paripurna.

Rasulullah saw. bersabda : 

"Hancur nya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim." HR. An Nasai. 

Hadis tersebut terealisasi dalam syariat Islam tentang sanki. Sesuai sanksi tersebut, pelaku pembunuhan dalam Islam mendapat hukuman yang keras.
Ada 3 jenis sanki pidana syariah bagi pelaku pembunuhan, tergantung pilihan yang diambil keluarga korban, yaitu hukuman mati atau qishas, membayar diyat (tebusan/uang darah), memaafkan

Sanki tegas yang berfungsi sebagai jawabir (penghapus dosa) dan zawajir (pembuat efek jera) membuat masyarakat tidak akan mau melakukan kejahatan serupa.

Di samping sanki yang tegas, khilafah juga akan membangun suasana ketakwaan di tengah masyarakat. Hal ini didukung oleh sistem pendidikan Islam dan sistem Islam lainnya.

Dengan begitu, individu masyarakat terbentuk menjadi pribadi bertakwa yang takut akan kemaksiatan. Sementara, masyarakat akan terbentuk menjadi masyarakat yang islami yang senantiasa beramar makruf nahi mungkar. Demikianlah, hanya khilafah yang mampu menjamin rasa aman bagi setiap warga negaranya.

Wallahu'alam ....

Oleh: Ratna Ummu Rayyan
Sahabat Tinta Media

Minggu, 06 November 2022

Merebaknya Kasus Kekerasan hingga Pembunuhan, Kok Bisa?

Tinta Media - Bulan September lalu, publik dihebohkan dengan kasus KDRT yang melibatkan pasangan selebritis yang cukup dikenal masyarakat dengan keharmonisannya. Tak hanya di kalangan publik figure, akhir oktober ini kasus yang tak kalah mengejutkan juga terjadi. Seorang suami membunuh istrinya sendiri lantaran cemburu. Jasad korban kemudian dibuang di tebing jembatan. Masih di ranah keluarga, seorang paman membanting keponakannya yang masih bayi berusia 4 bulan ke lantai hingga tewas lantaran kesal seusai cekcok dengan ibu korban.

Kasus serupa yang juga sempat viral, yaitu beredarnya sebuah video yang diduga seorang eks pendeta muda mendorong troli berisi bungkusan plastik, sembari tersenyum ketika hendak naik lift. Plastik tersebut ternyata berisi jasad korban yang dibunuhnya di sebuah apartemen di Jakarta Timur. 

Publik kembali harus mengelus dada. Dua bulan berturut-turut (Agustus-September) institusi pendidikan berbasis agama (pesantren) berkabung. Pasalnya, di sejumlah pesantren terjadi kasus kekerasan, berupa penganiayaan oleh senior, pengeroyokan hingga perkelahian yang menimbulkan hilangnya nyawa. 

Institusi non-agama pun tak lepas dari kasus serupa. Beberapa hari yang lalu, tawuran pelajar yang membawa senjata tajam terjadi di Tangerang. Salah satu korbannya mengalami luka bacok di kepala hingga tengkoraknya terbuka cukup lebar. Yang terbaru, kasus perundungan yang berujung cacat permanen pada korban hingga depresi mental dialami oleh pelajar MAN 1 Bandar Lampung. Pelakunya adalah teman-teman sekolah korban.

Sederet kasus kekerasan ini terjadi di berbagai lini, mulai dari yang terkenal sampai orang biasa, ranah privat hingga publik. Pelakunya orang terpelajar hingga bahkan yang terkesan agamis. 

Seyogyanya hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa kasus demikian ini begitu menjamur. Terlepas dari segala motif yang mendasari pelaku melakukan tindak kekerasan di atas, jika diambil benang merahnya, maka akan sampai pada kesimpulan bahwa kita hari ini sedang hidup di sistem yang menempatkan nyawa manusia seolah tidak ada harganya. Jika kejadiannya hanya satu dua kasus atau beberapa bidang saja, maka problemnya ada di individu. Namun, jika merata seperti ini, kita patut waspada bahwa kesalahannya tidak sekadar dari sisi individu per individu saja, tetapi sudah di level yang lebih tinggi.

Kesalahan pada level individu diakibatkan oleh lemahnya benteng keimanan dalam jiwa, sehingga seseorang menjadi mudah dibutakan oleh nafsu dan emosi sesaat. Minimnya pemahaman terhadap syariat telah membelokkan standart perbuatan seseorang, bukan lagi halal haram. Solusi yang diambil untuk menyelesaikan masalah pun tidak lagi mengindahkan rambu-rambu syariat. Merundung, melukai fisik, bahkan hingga menghilangkan nyawa pun dengan mudah dilakukan karena tidak adanya kontrol diri yang lahir dari pemikiran dan perasaan takut akan dosa.

Pada level negara, sistem kapitalis demokrasi nyatanya telah menjadi pabrik bagi segala macam produk berupa kerusakan pemikiran, perasaan, dan aturan di tengah-tengah masyarakat. Dampak sistemik pun tidak bisa dielakkan. 

Pada tataran pengaturan ekonomi yang kapitalistik, negara membolehkan penguasaan sektor-sektor krusial publik oleh pemilik modal, permainan harga oleh jejaring kapital, industrialisasi sektor pendidikan, kapitalisasi bidang kesehatan, dll. 

Variabel-variabel tersebut telah menciptakan lingkaran setan bagi rusaknya tatanan kehidupan masyarakat, dari ranah yang sangat privat sampai publik. 

Secara tidak langsung, hal itu juga telah memproduksi kemiskinan sistemik, degradasi moral kaum terpelajar karena ilmu hanya diorientasikan pada materi, hingga hilangnya perasaan atau naluriah kemanusiaan seseorang. Ditambah ketiadaan sanksi yang tegas, hukum yang tebang pilih, bisa direkayasa dan dibeli, menjadikan para pelaku kekerasan menganggap remeh atas perbuatannya, sehingga tidak mampu menciptakan efek jera kepada pelaku maupun efek pencegahan bagi masyarakat umum dari melakukan hal yang serupa.

Dalam sistem Islam, nyawa manusia sangat mahal harganya. Hal ini digambarkan dalam sabda Rasulullah saw.

“Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim” [HR. An-Nasa’i]. 

Maka, sebagai wujud penjagaan terhadap hal ini, negara memiliki kewajiban untuk menerapkan dua lapis kebijakan. 

Pertama, lapis preventif atau pencegahan. Melalui sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam, akan terbentuk individu-individu yang tidak saja mumpuni dalam iptek, tetapi juga berkepribadian Islam dan menguasai tsaqofah islam. Walhasil, individu-individu di masyarakat adalah mereka yang memiliki benteng ketakwaan yang kokoh sebagai pengendali dirinya. Mereka menjadikan pahala dan dosa sebagai standart perbuatan. Mereka akan senantiasa menjadikan rambu-rambu syariat sebagai solusi bagi seluruh problematika kehidupannya.

Begitupun keberadaan masyarakat. Mereka menjadi sistem kontrol selapis di bawah negara. Dari ketakwaan individu-individu di dalamnya, akan lahir suasana yang islami di tengah kehidupan bermasyarakat. Ketakwaan itu pula yang akan menciptakan atmosfer untuk gemar beramar ma’ruf nahi mungkar. 

Kondisi yang demikian akan menjadi model pencegahan yang efektif dari kekacauan yang mungkin ditimbulkan oleh individu yang bermasalah.

Kedua, lapis kuratif atau penindakan. Negara akan menerapkan sistem sanksi yang tegas terhadap para pelaku kekerasan. 

Ada tiga jenis pidana bagi pelaku pembunuhan tergantung pilihan yang diambil oleh keluarga korban, di antaranya qishash (hukuman mati), diyat (membayar tebusan atau uang darah), dan memaafkan (al ‘afwu). Sanksi ini akan menjadi jawabir (penghapus dosa) sekaligus menjadi zawajir (efek jera) bagi pelaku.

Hanya sistem Islam yang mampu menuntaskan problem kekerasan sampai ke akarnya. Karena Allah adalah Al-Khaliq (pencipta) sekaligus Al-Mudabbir (pengatur), maka produk hukum dari Allah berupa syariat adalah sebaik-baik solusi bagi seluruh problematika hidup manusia selaku hamba. 

Allah berfirman, “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [QS. Al-Maidah: 50]. 

Wallahu ‘alam bishawab.

Oleh: Naning Prasdawati, S.Kep.,Ns.
Sahabat Tinta Media

Selasa, 23 Agustus 2022

Kekerasan pada Anak, Negara Harus Bertindak


Tinta Media - Kasus kekerasan pada anak terus bergulir dan bisa menimpa siapa saja. Seperti yang terjadi di Jember, kasus kekerasan anak tidak kunjung usai. Padahal, kasus semacam ini bisa diselesaikan dengan cepat jika negara bertindak.

Berdasarkan rekap kasus Unit PPA/Perlindungan Perempuan dan Anak Satreskrim Polres Jember, di Tahun 2020 ada 135 kasus yang ditangani ke Polres Jember, kemudian Tahun 2021 sebanyak 84 kasus, dan mulai Januari hingga Juli 2022 ini sudah 41 kasus. Tribunnews.com (10/8/2022).
Kenapa harus negara? Karena negara punya kewenangan luas dan perangkat yang lengkap untuk menutup, bahkan sebelum kejadian, yaitu pencegahan. Kasus kekerasan itu bisa berupa pencabulan, pemerkosaan, kekerasan fisik, penelantaran anak, kekerasan verbal, seperti makian, bulian, dan kata-kata kasar.
Namun, sistem sekuler kapitalis yang diterapkan saat ini justru menjadi sebab masalah. Secara fitrah, manusia mengakui Tuhan/Allah, tetapi aturan Allah tidak dipakai dalam mengatur kehidupan, sehingga manusia lepas kendali, bahkan sering salah dalam mengambil sikap. Bisa disimpulkan, kekerasan yang menimpa anak adalah akibat dari sistem yang menyalahi fitrah.
Sejatinya manusia tahu kalau kekerasan adalah tindakan salah. Namun, mereka terpaksa melakukannya. Misalnya penelantaran anak, bisa disebabkan karena kondisi ekonomi yang sulit sehingga orang tua sibuk bekerja seharian. Dalam hal ini, tentu anak menjadi korban. 

Kondisi tersebut diperparah dengan rendahnya pendidikan karena biai sekolah mahal. Terbatasnya ilmu bisa jadi menambah persoalan yang ada. Ditambah dengan pergaulan bebas di tengah masyarakat, seakan membenarkan tindakan kekerasan, yang penting tidak menganggu orang lain. Semua itu bagai benang kusut yang sulit ditemukan titik ujungnya.

Kasus demi kasus akan bermunculan jika negara tidak cepat bertindak. Karena itu, ada beberapa hal yang seharusnya dilakukan negara, antara lain:

Pertama, menutup konten media yang mengarah pada kasus kekerasan pada anak, baik tayangan game, kartun, sinetron, film dan sebagainya. Hal ini karena tayangan media yang dilihat dalam jangka waktu yang lama, secara tidak langsung mendorong manusia melakukannya.

Kedua, mengedukasi masyarakat dengan iman dan ilmu. Iman menjadi benteng utama agar manusia takut berbuat salah, apalagi dosa. Ditopang dengan ilmu, maka aktivitasnya akan terikat dengan standar benar atau salah, bukan keumuman atau kewajaran karena banyak yang melakukan.
Artinya, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar akan berjalan beriringan, agar manusia tahu bahwa kekerasan adalah dosa besar. Namun, sistem sekuler kapitalis saat ini justru menjauhkan kita dari sikap saling mengingatkan, hanya karena takut melanggar hak asasi manusia. Maka jelas bahwa HAM adalah ide batil yang rusak dan merusak.

Ketiga, memberikan pelayanan dasar rakyat, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, keamanan, dan pendidikan dengan murah hingga gratis pada tiap individu. Ketika kebutuhan dasar terpenuhi, maka manusia bisa berpikir jernih untuk mencari solusi yang benar. Kehidupan yang nyaman memudahkan manusia untuk diajak melakukan kebaikan. Sebaliknya hari ini ketika negara abai terhadap pemenuhan masyarakat, mereka sulit dinasihati karena hatinya keras. Yang dipikirkan oleh masyarakat hanya seputar bagaimana mendapatkan uang dan uang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kezaliman pemimpin pasti berimbas pada karakter rakyatnya.

Keeempat, memberi sanksi yang tegas terhadap pelaku kekerasan. Hukuman yang paling adil adalah dari lslam, sebab berasal dari Pencipta manusia yang pasti mengandung kemaslahatan bagi semua. Sanksi yang diberikan harus memberikan efek jera agar yang lain berpikir ratusan kali, bahkan takut jika melakukannya.

Pada kekerasan yang melukai, misal hidung patah maka diberlakukan sama yaitu mematahkan hidung pelaku. Dalam kasus pemerkosaan, maka dihukum rajam/dilempari batu oleh masyarakat sampai mati jika pelakunya sudah menikah, dan hukuman jilid/cambuk 100 kali jika pelaku belum menikah. Pelaksanaan hukuman dilakukan di tempat terbuka agar masyarakat menyaksikan sehingga menimbulkan efek jera (/jawazir).

Ketika sanksi sudah dilaksanakan di dunia, maka bisa menggugurkan hukuman di akhirat kelak (jawabir).

Dengan pemberlakuan hukuman yang sesuai syariat tersebut, pasti kasus kekerasan akan segera tuntas. Pelaksana sanksi adalah pemimpin atau bisa diwakilkan kepada hakim yang ditunjuk. Tidak ada banding karena keputusan yang dikeluarkan oleh seorang hakim bersifat mengikat dan tidak bisa dibatalkan oleh siapa pun. (Nidlomul Hukm Fil lslam, Abdul Qodim Zallum maret 2002).
Pelaksanaan hukuman tersebut jelas akan menjaga jiwa dan kehormatan manusia, muslim maupun nonmuslim yang mau hidup di bawah aturan syariat. Semua itu bisa dirasakan ketika sistem lslam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Jelas, penerapan sistem kapitalis hari ini telah gagal menjadikan manusia hidup tenang, bahkan yang ada mereka mudah terjerumus pada kerusakan. Allahu a’lam.

Oleh: Umi Hanif 
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab