Tinta Media: Keimanan
Tampilkan postingan dengan label Keimanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Keimanan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 03 Oktober 2023

Keimanan Terkikis dalam Kehidupan Sekuler Kapitalis

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap para istrinya.“(HR. Tirmidzi)

Tinta Media - Sabda Rasulullah Muhammad saw. tersebut tidak hanya beliau ucapkan, tetapi juga beliau contohkan dalam perbuatan. Sebab, berakhlak baik terhadap sesama merupakan salah satu manifestasi dari keimanan. Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap yang dicontohkan Rasulullah harus pula diterapkan oleh seluruh umat manusia, terutama umat Islam. Sebab, Rasulullah adalah suri tauladan terbaik.

Sayangnya, ketika manusia hidup di bawah naungan sekuler kapitalis seperti saat ini, (memisahkan aturan agama dari kehidupan dan kehidupan lebih berorientasi pada keuntungan materi), justru keimanan semakin terkikis. Bahkan, tidak sedikit lahir individu-individu sadis yang tega menyakiti orang terdekat. Padahal, orang terdekat seperti keluarga merupakan pihak yang seharusnya dilindungi dan disayangi.

Seperti dilansir dari Republika.co.id, bahwa Seorang suami bernama Nando (25 tahun) tega membunuh istrinya bernama Mega Suryani Dewi (24). Pembunuhan tersebut terjadi di rumah kontrakannya di Kampung Cikedokan, RT 01, RW 04, Desa Sukadanau, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, pada Kamis (7/9/2023). Kapolsek Cikarang Barat, AKP Rusna Wati mengatakan, Nando membunuh istrinya lantaran kesal ditanya masalah uang belanja. (12/09/23)

Peristiwa di atas bukanlah satu-satunya. Kekerasan berujung pembunuhan pada pasangan juga terjadi di Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Seorang suami berinisial BSK tega menusuk istrinya NSL hingga meninggal dunia karena tidak terima digugat cerai. (Kompas.com, 16/09/23)

Sungguh pilu. Kehidupan suami istri yang seyogyanya penuh kasih sayang justru dihiasi pertikaian berujung kematian. Seorang suami yang seharusnya menjadi pelindung bagi istrinya justru menjadi pencabut nyawa bagi orang yang dulu dicintainya.

Berbagai tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sungguh marak terjadi, bahkan sering berujung pada kematian. Penyebabnya pun bermacam-macam. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya pengelolaan emosi dan daya tahan dalam menghadapi beratnya kehidupan. Ini adalah potret buram kehidupan sekuler kapitalis yang terbukti telah mengikis keimanan individu hingga setipis tisu.

Bagaimana tidak? Masyarakat telah disibukkan dengan urusan dunia demi memenuhi kebutuhan hidup yang kian besar dan sulit. Ditambah lagi tidak terwujudnya suasana keimanan akibat urusan agama dianggap sebagai urusan individu, sehingga diberikan pilihan untuk menaati aturan agama ataukah tidak.

Tak ayal, masyarakat banyak yang semakin jauh dari aturan agama dan mengabaikan halal haram. Bahkan, dalam kehidupan rumah tangga pun masyarakat banyak yang meninggalkan aturan agama. Tak heran, rumah tangga hanya dianggap untuk memenuhi kebutuhan materi. Ketika kebutuhan materi tidak terpenuhi dalam keluarga, maka berbagai kerusakan pun terjadi.

Paradigma kapitalisme sekuler jelas berbeda dengan paradigma Islam. Dalam Islam, setiap perbuatan manusia terikat dengan hukum syara' (syariat Islam) yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, Sang Pencipta. Kehidupan Islam berorientasi pada rida Allah, bukan pada manfaat duniawi. Inilah akidah Islam yang sahih.

Akidah Islam memberikan kekuatan dan membentuk kesabaran seorang hamba dalam menghadapi kesulitan dan beratnya ujian kehidupan. Keimanannya menjadi perisai untuk sabar dan tetap dalam kewarasan ketika menghadapi masalah, sehingga tidak akan berbuat maksiat apalagi sampai menghilangkan nyawa seseorang. Sebab, Islam mewujudkan keyakinan bahwa Allah tidak akan membebani manusia di luar kesanggupannya.

Sebagaimana firman Allah yang artinya:
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (QS. Al-Baqarah: 286)

Selain itu, seperangkat aturan Islam yang sempurna mewujudkan kepemimpinan Islam tegak di atas akidah, sehingga mampu berdiri untuk mengurus urusan umat atas landasan keimanan terhadap Allah Swt. Oleh karena itu, pemimpin dalam Islam akan mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat secara optimal.

Maka, sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat hingga tataran individu, baik kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, maupun pendidikan dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Dengan begitu, tidak akan terjadi tindak KDRT hanya karena alasan kesulitan ekonomi.

Tidak hanya memenuhi kebutuhan hidup, pemimpin dalam Islam juga wajib menjaga akidah umat sehingga negara menjadi satu-satunya jalan dalam menerapkan syariat Islam secara menyeluruh. Dengan begitu, urusan agama bukan diserahkan kepada individu untuk memilih menerapkan atau tidak. Akan tetapi, negara wajib menjamin terlaksananya aturan tersebut oleh setiap individu.

Dengan begitu, tiga pilar tegaknya aturan Allah akan terwujud, yakni keimanan individu, kontrol masyarakat, dan peran negara. Semua terlaksana atas dasar iman. Hal ini tidak akan terwujud selama aturan kapitalis sekuler masih diterapkan. Wallahu a'lam!

Oleh: Wida Nusaibah (Pemerhati Masalah Sosial)

Senin, 25 September 2023

Kehormatan Seseorang Tergantung pada Kadar Keimanannya

Tinta Media - Sobat. Kemuliaan Seseorang bergantung pada keimanannya. Apabila dia kehilangan sebagian kehormatan dan kemuliaannya, berarti dia telah kehilangan hakikat imannya, ilmiah maupun amaliah, lahir maupun batin. Seseorang pun akan dilindungi Allah sesuai dengan kadar keimanannya. Allah akan melindung mereka bergantung pada sejauh mana mereka mengikuti, mematuhi, dan menaati Rasul-Nya. Karena itu ketika kadar iman seseorang berkurang, maka semua bagian di atasnya pun akan berkurang.

Allah SWT berfirman :

 وَإِن يُرِيدُوٓاْ أَن يَخۡدَعُوكَ فَإِنَّ حَسۡبَكَ ٱللَّهُۚ هُوَ ٱلَّذِيٓ أَيَّدَكَ بِنَصۡرِهِۦ وَبِٱلۡمُؤۡمِنِينَ  

“Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin,” (QS. Al-Anfal (8) : 62)

Sobat. Bila kaum Yahudi dan kaum musyrikin hendak menipu atau hendak mencari kesempatan untuk menyerang dengan adanya perdamaian, maka Allah memberikan jaminan kepada Nabi Muhammad saw bahwa hal itu tidak akan membahayakan kaum Muslimin. Cukuplah Allah (sebagai pelindung), Allah senantiasa melindungi Rasul-Nya dan melindungi umat Islam dan akan memberikan kemenangan kepada mereka bila musuh-musuh itu menyerang kembali. 

Sobat. Allah telah memperkuat kedudukan Rasul-Nya dengan pertolongan yang diberikan-Nya kepada kaum Muslimin di masa-masa yang lalu seperti yang terjadi pada Perang Badar, di mana kaum Muslimin dalam keadaan lemah dan sedikit jumlahnya. Mereka dapat mengalahkan kaum musyrikin yang berlipat ganda dan lengkap persenjataannya. 

Allah telah mempersatukan hati kaum Muslimin sehingga mereka hidup rukun dan damai, cinta mencintai, dan saling menolong, sehingga mereka merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, padahal mereka sebelumnya hidup bersuku-suku dan bermusuhan antara satu golongan dengan golongan yang lain. Mereka pada mulanya terdiri dari kaum Muslimin yang datang ke Medinah dan kaum Anshar penduduk Medinah yang menyambut kedatangan kaum Muslimin itu. 

Kaum Anshar sendiri dahulunya terpecah-belah terdiri dari suku Aus dan Khazraj. Antara kedua suku ini senantiasa terjadi permusuhan dan peperangan. Tetapi dengan kehendak Allah mereka semuanya menjadi umat yang bersatu di bawah panji-panji iman, bersedia mengorbankan harta dan jiwa untuk menegakkan kalimah Allah. Ini adalah satu karunia dari Allah yang tidak ternilai harganya yang tidak dapat dicapai walaupun dengan mengorbankan semua harta dan kekayaan. 

Kesatuan hati, kesatuan tekad dan kesatuan cita-cita dan ideologi adalah hal yang amat penting dan berharga untuk mencapai satu cita-cita. Inilah karunia Allah yang telah dimiliki oleh kaum Muslimin pada masa itu. Karena pentingnya karunia itu dan amat tinggi nilainya Allah mengingatkan mereka agar selalu mengingat Allah dengan firman-Nya:

Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara. (Ali 'Imran/3: 103)

Sobat. Maka dengan pertolongan Allah dan persatuan kaum Muslimin serta rasa cinta, kasih sayang yang terjalin antara sesama mereka, betapa pun kesulitan dan bagaimana pun besar bahaya yang akan menimpa tentu akan dapat ditanggulangi dan diatasi. 

Sobat. Allah memperingatkan pula dalam ayat ini bagaimana tingginya nilai persatuan itu, sehingga bila Nabi Muhammad sendiri menghabiskan semua kekayaan yang ada di bumi untuk mencapainya pasti dia tidak akan berhasil. Tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka dengan iman yang kuat dan rasa kasih-sayang yang tinggi. Ini adalah satu tanda bahwa Allah meridai kaum Muslimin dan merestui perjuangan mereka dan mereka tidak perlu merasa khawatir sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Sobat. Apabila iman seseorang berkurang dan melemah, maka begitu pula kebersamaan Allah dan perlindungan-Nya. Pertolongan dan bantuan Allah yang hakiki juga hanya diperuntukkan bagi orang yang beriman sempurna.

Allah SWT berfirman :

إِنَّا لَنَنصُرُ رُسُلَنَا وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَيَوۡمَ يَقُومُ ٱلۡأَشۡهَٰدُ  

“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat),” ( QS. Ghafir (40) : 51 )

Sobat. Dalam ayat ini, Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman berupa pertolongan dan kemenangan dalam menghadapi musuh-musuh mereka. Allah mengatakan bahwa Dia pasti menjadikan para rasul-Nya orang-orang yang menang atas musuh-musuh mereka dan akan menolong serta membahagiakan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Sobat. Cara dan bentuk pertolongan Allah itu bermacam-macam, adakalanya dengan meninggikan kedudukan dan kekuasaan mereka atas musuh-musuh mereka, seperti yang diberikan kepada Daud dan Sulaiman, adakalanya dengan memberikan kemenangan kepada mereka atas musuh-musuh mereka, seperti yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw. 

Adakalanya juga dengan menimpakan kepada mereka kesengsaraan dan malapetaka, seperti yang dialami oleh Fir'aun dan kaumnya, dan adakalanya dengan menghancurkan orang-orang kafir dan menyelamatkan para rasul dan orang-orang yang beriman besertanya, seperti yang dialami Nabi Saleh, Hud, Syuaib, dan Nuh beserta kaumnya.

Demikian pula Allah memberikan pertolongan kepada para rasul dan orang-orang yang beriman pada hari Kiamat yaitu pada hari berdirinya saksi-saksi yang terdiri dari para malaikat, para nabi, dan orang-orang yang beriman. Pada hari itu, mereka menjadi saksi atas segala perbuatan orang-orang kafir dan atas pengetahuan para rasul kepada mereka, tetapi mereka mendustakannya.

Sobat. Oleh karena itu, apabila seseorang ditimpa bencana atau ujian pada diri dan hartanya, atau dikuasai pihak musuh maka semua itu karena dosanya, baik dengan meninggikan kewajiban atau melaksanakan larangan-Nya, yang disebabkan kurang Iman.

Allah SWT berfirman :

وَلَا تَهِنُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَنتُمُ ٱلۡأَعۡلَوۡنَ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ 

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” ( QS. Ali Imran (3) : 139 )

Sobat. Ayat ini menghendaki agar kaum Muslimin jangan bersifat lemah dan bersedih hati, meskipun mereka mengalami pukulan berat dan penderitaan yang cukup pahit dalam Perang Uhud, karena kalah atau menang dalam suatu peperangan adalah hal biasa yang termasuk dalam ketentuan Allah. 

Yang demikian itu hendaklah dijadikan pelajaran. Kaum Muslimin dalam peperangan sebenarnya mempunyai mental yang kuat dan semangat yang tinggi serta lebih unggul jika mereka benar-benar beriman.

Sobat. Jaminan Allah ini karena Iman dan amal sholeh mereka. Amal sholeh mereka merupakan salah satu tentara Allah. Dia akan senantiasa menjaga mereka melalui amal tersebut, serta tidak akan memutuskan dan menghapus pahala amal mereka.

Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Buku BIGWIN. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur

Sabtu, 15 April 2023

UIY: Penting Mengokohkan Keimanan bahwa Al-Qur’an Kalamullah

Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) menegaskan pentingny mengokohkan keimanan bahwa Al-Qur’an kalamullah.

“Jika ada bagian terpenting yang semestinya harus ada pada setiap muslim, itu adalah keimanan yang kokoh terhadap Al-Qur’an bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah,” ungkapnya di Fokus to The Point: Al-Qur’an yang Diabaikan, melalui kanal You Tube UIY Official, Kamis (13/4/2023).
 
Pengokohan keimanan ini, lanjutnya, penting karena Al-Qur’an ini baru akan memberikan impact (dampak)  yang sangat besar kepada siapapun yang mempercayai bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah.
 
“Keimanan ini  yang mengubah orang per orang, sebutlah misalnya salah satu ilmuwan Gerry Miller (1973) yang sekaligus seorang pendeta.  Dalam usahanya untuk meyakinkan jamaahnya, dia melakukan riset untuk mencari kelemahan pada Al-Qur’an. Yang dia jumpai bukan kelemahan tapi kekuatan Al-Qur’an,” ucap UIY mencontohkan.
 
UIY menuturkan, saat Gerry melakukan riset ia membaca Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 82 yang menyatakan, kalaulah Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah niscaya akan dijumpai perselisihan yang banyak. Gerry membaca ayat itu seolah mendapat jalan untuk mencari kelemahan Al-Qur’an.
 
“Lima tahun Gerry melakukan riset Al-Qur’an, yang dia jumpai bukan kelemahan tapi kekuatan. Bukan hanya tidak dijumpai perselisihan antara satu ayat dengan ayat lain, tapi tidak dijumpai perselisihan ayat Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan modern,” ucap UIY menceritakan hasil riset Gerry.
 
Akhirnya pada 1978 Gerry memutuskan masuk Islam dan menjadi pendakwah terkemuka di Amerika bagian Utara. “Ini yang saya katakan bahwa Al-Qur’an itu merubah orang,” tandasnya.
 
Rapuh Keimanan
 
Menyoroti banyaknya fakta manusia yang tidak mau menerapkan Al-Qur’an, UIY mengatakan bahwa itu karena rapuhnya keimanan.
 
“Jadi pangkalnya itu memang rapuhnya keimanan kepada Al-Qur’an.  Kalau sudah rapuh keimanan kepada Al-Qur’an maka tidak ada gerak hati atau keinginan untuk membacanya, mempelajarinya, mentadaburinya. Kalaupun bisa membaca, tidak mentadaburi, kalaupun mentadaburinya, tahu isinya, dia tidak mengamalkan, tidak melaksanakan. Kalaupun mengamalkan dia pilih-pilih mana yang menurut dia baik mana yang tidak dan seterusnya,” urainya.
 
Kondisi seperti di atas itu, kata UIY,  yang dikeluhkan Rasulullah yang terekam dalam Al-Quran (surat Al-Furqon ayat 30) bahwa kaumnya telah menjadikan Al-Qur’an sebagai sesuatu yang diabaikan.
 
“Karena itulah maka ada tugas sangat besar yang ada pada kita untuk bagaimana menanamkan keyakinan yang benar kepada Al-Qur’an sehingga dengan keyakinan itu terdorong untuk membaca, mentadaburi, mengamalkan dan memperjuangkan agar diamalkan secara kaffah,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 

Sabtu, 03 Desember 2022

Konsekuensi Keimanan adalah Keterikatan dengan Syariáh

Tinta Media - Sobat. Dalam Kehidupan ini, manusia yang normal tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya ; apalagi keyakinannya didasarkan pada dalil-dalil yang qathí. Karena itu, sudah semestinya seorang muslim yang menganut aqidah Islam secara benar akan senantiasa berbuat dan bersikap serta bertindak selaras dengan aqidah yang diyakininya itu. Jika tidak, berarti keimanannya dusta belaka; hanya keimanan pura-pura. Keimanan semacam ini tentu tidak ada faedahnya.

Syeikh Mahmud Syaltut menyatakan bahwa aqidah adalah sudut pandang yang harus diyakini terlebih dahulu sebelum meyakini sesuatu yang lain. Sudut pandang ini tidak boleh disusupi dengan keraguan dan kesamaran. Adapun syariat adalah system atau aturan yang disyariahkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesame muslim, dengan sesame manusia, dengan alam semesta dan dengan kehidupan. Demikian penjelasan beliau dalam bukunya Islam Aqidah wa Syariáh.

Sobat. Beliau menyatakan,” Dalam Islam, aqidah adalah landasan pokok yang membangun syariah. Syariah adalah refleksi Aqidah. Oleh karena itu, tidak ada syariah tanpa keberadaan aqidah. Tidak ada penerapan syariah Islam kecuali di bwah naungan Aqidah Islam. Sebab syariah tanpa dilandasi aqidah seperti bangunan tanpa dasar. Al-Qurán menggunakan kata al-iman untuk aqidah dan ámal ash-shalih untuk syariah.

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ كَانَتۡ لَهُمۡ جَنَّٰتُ ٱلۡفِرۡدَوۡسِ نُزُلًا خَٰلِدِينَ فِيهَا لَا يَبۡغُونَ عَنۡهَا حِوَلٗا 
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya.( QS. Al-Kahfi (18) : 107-108 )

Sobat. Sesungguhnya orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan membenarkan risalah para rasul dan berbuat amal saleh semata-mata untuk mencapai keridaan-Nya, bagi mereka disediakan surga Firdaus sebagai tempat tinggal. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, bersabda Rasulullah saw:

Apabila kamu memohon kepada Allah, maka mohonlah surga Firdaus, karena ia itu surga yang paling mulia dan yang paling tinggi dan di atasnya terdapat Arsy Ar Rahman, dan dari surga Firdaus itu mengalirlah sungai-sungai surga. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Sobat. Konsekuensi keimanan seorang muslim adalah keterikatannya dengan totalitas Islam sebagai aqidah dan syariah, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah ( sholat, zakat, shaum, haji dll); masalah makanan, pakaian, dan akhlak; maupun masalah muamalah ( ekonomi, politik, pemeritahan, pendidikan, social, pertahanan dan keamanan, dll.

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا  
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” ( QS. An-Nisa’ (4) : 65 )

Sobat . Ayat ini menjelaskan dengan sumpah bahwa walaupun ada orang yang mengaku beriman, tetapi pada hakikatnya tidaklah mereka beriman selama mereka tidak mau bertahkim kepada Rasul. Rasulullah saw pernah mengambil keputusan dalam perselisihan yang terjadi di antara mereka, seperti yang terjadi pada orang-orang munafik. Atau mereka bertahkim kepada Rasul tetapi kalau putusannya tidak sesuai dengan keinginan mereka lalu merasa keberatan dan tidak senang atas putusan itu, seperti putusan Nabi untuk az-Zubair bin Awwam ketika seorang laki-laki dari kaum Ansar yang tersebut di atas datang dan bertahkim kepada Rasulullah.

Jadi orang yang benar-benar beriman haruslah mau bertahkim kepada Rasulullah dan menerima putusannya dengan sepenuh hati tanpa merasa curiga dan keberatan. Memang putusan seorang hakim baik ia seorang rasul maupun bukan, haruslah berdasarkan kenyataan dan bukti-bukti yang cukup.

Karena itu seorang muslim tidak hanya harus bertahkim kepada Rasulullah SAW dan hatinya merasa puas dengan keputusan tersebut, namun juga harus tunduk dan patuh kepadanya yang diimplementasikan dalam bentuk perbuatan. Rasulullah SAW bersabda :

“ Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, seseorang di antara kalian tidak beriman hingga hawa nafsunya mengikuti (risalah) yang aku bawa.” ( HR. Muslim)

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ  

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” ( QS. Al-Hasyr (59) : 7 )

Sobat. Ayat ini mengandung prinsip-prinsip umum agama Islam, yaitu agar menaati Rasulullah dengan melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi larangannya, karena menaati Rasulullah saw pada hakikatnya menaati Allah juga. Segala sesuatu yang disampaikan Rasulullah berasal dari Allah, sebagaimana firman-Nya:
 
Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (an Najm/53: 3-4)

Rasulullah saw menyampaikan segala sesuatu kepada manusia dengan tujuan untuk menjelaskan agama Allah yang terdapat dalam Al-Qur'an. Allah berfirman:
 بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِۗ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ 
(Mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan Adh-dzikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan. (an-Nahl/16: 44)

Ayat 44 surah an-Nahl ini mengisyaratkan kepada kaum Muslimin agar melaksanakan hadis-hadis Rasulullah, sebagaimana melaksanakan pesan-pesan Al-Qur'an, karena keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Pada akhir ayat 7 ini, Allah memerintahkan manusia bertakwa kepada-Nya dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Tidak bertakwa kepada Allah berarti durhaka kepada-Nya. Setiap orang yang durhaka itu akan ditimpa azab yang pedih.

Sesudah itu Allah swt menjelaskan bahwa para rasul itu diutus dengan membawa bukti-bukti nyata tentang kebenaran mereka. Yang dimaksud dengan bukti-bukti yang nyata dalam ayat ini ialah mukjizat-mukjizat yang membuktikan kebenaran kerasulan mereka. Sedangkan yang dimaksud dengan az-zubur ialah kitab yang mengandung tuntunan hidup dan tata hukum yang diberikan oleh Allah kepada manusia.

Ayat 44 QS An-nahl ini juga menerangkan bahwa Allah menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad saw supaya beliau menjelaskan kepada manusia mengenai ajaran, perintah, larangan, dan aturan hidup yang harus mereka perhatikan dan amalkan. Al-Qur'an juga mengandung kisah umat-umat terdahulu agar dijadikan suri teladan dalam menempuh kehidupan di dunia. Nabi Muhammad juga diperintahkan untuk menjelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur'an dan merinci ayat-ayat yang bersifat global mengkhususkan yang bersifat umum, membatasi yang mutlak dan lain-lain agar mudah dicerna dan sesuai dengan kemampuan berpikir mereka.

Di akhir ayat, Allah swt menegaskan agar mereka memikirkan kandungan isi Al-Qur'an dengan pemikiran yang jernih untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat, terlepas dari berbagai macam azab dan bencana seperti yang menimpa umat-umat sebelumnya.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا 
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ (4): 59 )

Sobat. Ayat ini memerintahkan agar kaum Muslimin taat dan patuh kepada-Nya, kepada rasul-Nya dan kepada orang yang memegang kekuasaan di antara mereka agar tercipta kemaslahatan umum. 

Untuk kesempurnaan pelaksanaan amanat dan hukum sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, hendaklah kaum Muslimin:

a. Taat dan patuh kepada perintah Allah dengan mengamalkan isi Kitab suci Al-Qur'an, melaksanakan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, sekalipun dirasa berat, tidak sesuai dengan keinginan dan kehendak pribadi. Sebenarnya segala yang diperintahkan Allah itu mengandung maslahat dan apa yang dilarang-Nya mengandung mudarat.
b. Melaksanakan ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah saw pembawa amanat dari Allah untuk dilaksanakan oleh segenap hamba-Nya. Dia ditugaskan untuk menjelaskan kepada manusia isi Al-Qur'an. Allah berfirman:

"... Dan Kami turunkan Adz-dzikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka ¦." (an-Nahl/16:44).

c. Patuh kepada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan ulil amri yaitu orang-orang yang memegang kekuasaan di antara mereka. Apabila mereka telah sepakat dalam suatu hal, maka kaum Muslimin berkewajiban melaksanakannya dengan syarat bahwa keputusan mereka tidak bertentangan dengan Kitab Al-Qur'an dan hadis. Kalau tidak demikian halnya, maka kita tidak wajib melaksanakannya, bahkan wajib menentangnya, karena tidak dibenarkan seseorang itu taat dan patuh kepada sesuatu yang merupakan dosa dan maksiat pada Allah.

Nabi Muhammad saw bersabda:
"Tidak (dibenarkan) taat kepada makhluk di dalam hal-hal yang merupakan maksiat kepada Khalik (Allah swt)." (Riwayat Ahmad).

d. Kalau ada sesuatu yang diperselisihkan dan tidak tercapai kata sepakat, maka wajib dikembalikan kepada Al-Qur'an dan hadis. Kalau tidak terdapat di dalamnya haruslah disesuaikan dengan (dikiaskan kepada) hal-hal yang ada persamaan dan persesuaiannya di dalam Al-Qur'an dan sunah Rasulullah saw.

Tentunya yang dapat melakukan kias seperti yang dimaksud di atas ialah orang-orang yang berilmu pengetahuan, mengetahui dan memahami isi Al-Qur'an dan sunah Rasul. Demikianlah hendaknya dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhirat.

(DR.Nasrul Syarif M.Si. Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana IAI Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur)

Rabu, 19 Oktober 2022

Guru Luthfi: Al Baqarah 136 Tempatkan Porsi dan Posisi Keimanan bagi Rasulullah dan Nabi Lain

Tinta Media - Pengasuh Majelis Ta'lim Baitul Qur’an, Tapin, Guru H. Luthfi Hidayat menegaskan bahwa makna QS. Al-Baqarah ayat 136 adalah porsi dan posisi keimanan yang pas terhadap Rasulullah dan Nabi yang lain. 

“Makna Firman Allah Surat Al Baqarah ayat 136, yakni menempatkan porsi dan posisi keimanan yang pas terhadap Rasulullah dan nabi yang lain,” tegasnya dalam Program Kajian Jumat Bersama Al Quran: Keimanan kepada Muhammad SAW dan Para Nabi yang Lain, Jumat (7/10/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Ia mengungkapkan bahwa umat Islam wajib mengimani kepada semua rasul secara global.

“Allah telah mengutus mereka dan menurunkan kitab atau suhuf kepada mereka (semua rasul). Tidak membeda-bedakan di antara mereka,” ungkapnya. 

Namun, ia mengatakan keimanan kepada Rasulullah SAW dalam porsi secara rinci. 
“Termasuk taat dan tunduk kepada hukum yang dibawa beliau Saw. secara keseluruhan. Masuk ke dalam Islam secara kafah, menyeluruh,” katanya. 

Firman Allah SWT:

قُولُوا آمَنَّا بَاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلى إبْرَاهِمَ وَإسْمَاعِيلَ وَإسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْباطّ وَمَا -ُوتِيَ مُوسى وَعِيس وَمَا أُتِيَالنَّبِيُّونَ مِن رَبِّهِمْ لَا نُفَرِقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ 

Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, lsma'il, Ishaq, Ya'kub dan anak cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan 'Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabb-mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya " (TQS. Al Baqarah [2]: 136).

Guru Luthfi memaparkan penjelasan dari Imam Ibnu Katsir bahwa Allah Swt. membimbing hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa beriman kepada apa yang diturunkan kepada mereka melalui Rasul-Nya, Muhammad Saw. secara rinci, serta apa yang diturunkan kepada para nabi yang terdahulu secara global.

“Allah Ta'ala telah menyebutkan beberapa nama rasul, menyebutkan secara global nabi-nabi lainnya. Dan Allah menghendaki mereka (orang-orang mukmin) tidak membeda-bedakan salah satu di antara mereka (para rasul),hendaklah mereka beriman kepada seluruh rasul,” paparnya. 

Ia pun menguraikan pendapat dari Imam Al Qurthubi yang menerangkan tafsir beliau al Jaami'li Ahkamil Qur'an perihal Asbabun Nuzul (sebab turun-Nya) ayat ini. 
“khitab (seruan) dalam ayat ini ditujukan kepada umat ini. Kepada mereka (orang-orang mukmin) Allah mengajarkan keimanan. Ibnu Abbas berkata, “Sekelompok orang-orang Yahudi datang kepada Nabi Saw., lalu mereka bertanya tentang nabi siapa saja yang harus diimani? Maka turunlah ayat ini,” urainya. 

Ia mengatakan Firman Allah Swt., yang menyatakan, katakanlah (hai orang-orang mukmin): kami beriman kepada Allah. Diriwayatkan Al Bukhari dari Abu Hurairah, mengatakan bahwa dahulu Ahlul Kitab membacakan Taurat yang menggunakan bahasa Ibrani dan menafsirkannya kepada orang-orang Islam dengan bahasa Arab. 

“Kemudian Rasulullah Saw. bersabda agar kalian (orang-orang mukmin) tidak mempercayai kepada Ahlul Kitab tapi tidak boleh juga mendustakan mereka, akan tetapi katakan kepada mereka bahwa ‘kami beriman kepada Allah dan apa yang  Dia turunkan’,” katanya. 

Ia mengungkapkan penuturan dari Imam Muhammad Ali Ash Shabuni, makna dari: “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami”.

“Artinya, katakanlah (oleh kalian) wahai kaum Muslimin bahwa kami beriman kepada Allah, dan kepada Al Quran yang telah diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'kub, dan anak cucunya,” tuturnya. 

Ia melanjutkan, “Artinya, kami beriman kepada suhuf dan hukum-hukum yang diturunkan kepada Ibrahim, yang nabi-nabi lain juga mengamalkannya, kami juga percaya kepada apa yang diturunkan kepada anak cucu Ibrahim dan Ishaq. Mereka adalah anak cucu menurut silsilah kenabian pada mereka,” ungkapnya. 

Ia mengakhirinya dengan menegaskan kembali bahwa wajib bagi kita beriman dan tidak membeda-bedakan seorang pun dari para nabi dan kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi secara keseluruhan. 

“Artinya kami beriman kepada kepada apa yang diturunkan atas selain mereka dari para nabi semuanya, dan membenarkan apa yang diturunkan kepada mereka dari sisi Allah berupa ayat-ayat jelas dan mukjizat yang terang,” bebernya. 

“Kita turut dan tunduk kepada perintah Allah dan hukum-hukumnya, tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka (para nabi), artinya kita tidak beriman kepada sebagian dan mengingkari sebagian yang lain sebagaimana yang dilakukan oleh Yahudi dan Nasrani,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Selasa, 18 Oktober 2022

Pola Konsumsi dalam Islam Terkait Erat dengan Keimanan

Tinta Media - Narator MMC mengatakan, pola konsumsi  dalam Islam terkait erat dengan keimanan. “Pola konsumsi tidak hanya sekedar masalah personal tapi adalah sebuah
budaya yang dihasilkan dari sebuah konsep kehidupan. Maka, konsumsi dalam Islam tidak pernah bisa dipisahkan dari peran keimanan,” ujarnya dalam sebuah tayangan bertajuk ‘Pola Konsumsi Islam Menjauhkan Manusia dari Akhlak Tercela’ di laman YouTube MMC, Rabu (12/10/2022).

Menurutnya, keimanan tersebut akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi, baik dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual. Untuk itu, konsumsi dalam Islam tidak serta merta dibebaskan menurut keinginan manusia. Islam memberi batasan konsumsi yang harus diperhatikan aspek halal haram dan tidak boleh berlebih-lebihan.

“Batasan ini yang menjadi salah satu cara agar manusia tidak terjerumus pada akhlak tercela dalam konsumsi. Sebab, pola konsumsi yang menyeleweng memiliki pengaruh buruk dalam ahlak,” paparnya.

Diantara buktinya, ungkap narator, ketika Khalifah Umar Bin Khattab pergi ke Syam, mereka mendatangkan kepadanya kuda tarik untuk dijadikan kendaraan beliau. Umar menaikinya. Kuda itu angkuh, lalu Umar memukulnya. Namun kuda itu semakin bertambah angkuh.

 Maka beliau turun darinya dan berkata, “Tidaklah kamu membawaku melainkan kepada setan. Aku tidak turun darinya hingga aku mengingkari nafsuku. Berikanlah kepadaku kendaraanku,” Lalu Umar pun menaikinya.

“Perkataan Khalifah Umar, 'aku tidak turun darinya hingga aku mengingkari nafsuku' menunjukkan bahwa isyarat tentang pengaruh menaiki kuda tarik angkuh adalah tertanam sebagian akhlak yang buruk di dalamnya,” jelasnya. 

Narator menyampaikan, contoh lain dari akhlak buruk dalam pola konsumsi adalah berlebihan hingga menimbulkan rasa ujub atau bangga diri ataupun riya’. “Seperti melampaui kesederhanaan dalam infaq dan menaikkannya dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain hingga sampai ujung riya’ dan berlebih-lebihan,” tuturnya.

Untuk menjauhi akhlak yang tercela ini, sambung narator, Khalifah Umar Bin Khattab mengatakan, “Ya Allah janganlah engkau memperbanyak kepadaku dari dunia ini yang menyebabkan aku lalai dan janganlah engkau mempersedikit kepadaku darinya yang menyebabkan aku lupa.”

Umar, tuturnya, menyebutkan alasan demikian, karena sesungguhnya sesuatu yang sedikit dan mencukupi itu lebih baik daripada yang banyak dan melalaikan.

Narator menyebutkan, “sikap wara’ Khalifah Umar Bin Khattab ini adalah cerminan keimanan dalam konsumsi. Sikap yang demikian harus dimiliki oleh pemimpin, karena pemimpin yang paham syariat akan menjadi contoh bagi pejabat di bawahnya dan rakyatnya pemimpin yang demikian itu juga akan membuat kebijakan konsumsi sesuai tuntunan syariat.” 

Sayangnya, papar narator, pemimpin yang memiliki kapasitas seperti Khalifah Umar hanya bisa dihasilkan dari sistem Islam yakni sistem Khilafah. “Sebuah sistem yang menerapkan aturan-aturan Islam secara menyeluruh, termasuk juga dalam hal konsumsi. Sehingga pola konsumsi yang terbentuk jauh dari ahlak tercela,” pungkasnya.[] Wafi

Sabtu, 17 September 2022

Bangunlah Pernikahan dengan Komitmen Keimanan

Tinta Media - Sobat. Penulis diminta ngisi mengenai harmonisasi keluarga oleh majelis taklim para isteri pengusaha yang sedang dan telah proses menuju hijrah total. Pondasi dasar meraih mawaddah dan kesakinahan dalam keluarga adalah komitmen Keimanan. 

Sobat. Keimanan akan menumbuhkan kecintaan pada apa-apa yang membuat Allah Ridha. Keimanan akan membuat segala hal tampak indah sebagai ibadah. Melapangkan jiwa, meluaskan dada, mengasah kepekaan, menarikan angan ketinggian, menguatkan akal, dan menajamkan firasat. Menyegarkan, menyejukkan, mencenungkan, menceriakan, mewarnai pelangi, dan menggerakkan perbaikan. Itulah yang diperbuat keimanan!

Sobat. Komitmen Keimanan itu ketika rupa tak lagi memiliki makna, ketika jasad sudah rapuh menyuruk tanah, ketika cinta tak lagi akrab dengan asmara, maka komitmenlah perekat paling kuat. Jika komitmen itu digantungkan pada keimanan terhadap Allah Yang Mahatinggi, maka ia kan mengabadi, melanggeng, mengekal, dan kita bawa sebagai bekal menghadap-Nya.

Allah SWT berfirman :
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ  

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” ( QS. Ar-Rum (30) : 21 )

Sobat. Dalam ayat berikut ini diterangkan tanda-tanda kekuasaan Allah yaitu kehidupan bersama antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah perkawinan. Manusia mengetahui bahwa mereka mempunyai perasaan tertentu terhadap jenis yang lain. 

Perasaan dan pikiran-pikiran itu ditimbulkan oleh daya tarik yang ada pada masing-masing mereka, yang menjadikan yang satu tertarik kepada yang lain, sehingga antara kedua jenis, laki-laki dan perempuan, itu terjalin hubungan yang wajar. Mereka melangkah maju dan berusaha agar perasaan-perasaan dan kecenderungan-kecenderungan antara laki-laki dengan perempuan tercapai. 
Puncak dari semuanya itu ialah terjadinya perkawinan antara laki-laki dengan perempuan. Dalam keadaan demikian, bagi laki-laki hanya istrinya perempuan yang paling baik, sedang bagi perempuan hanya suaminya laki-laki yang menarik hatinya. Masing-masing merasa tenteram hatinya dengan adanya pasangan itu. 

Semuanya itu merupakan modal yang paling berharga dalam membina rumah tangga bahagia. Dengan adanya rumah tangga yang berbahagia, jiwa dan pikiran menjadi tenteram, tubuh dan hati mereka menjadi tenang, kehidupan dan penghidupan menjadi mantap, kegairahan hidup akan timbul, dan ketenteraman bagi laki-laki dan perempuan secara menyeluruh akan tercapai.

Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, (istrinya) mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian ketika dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah, Tuhan Mereka (seraya berkata), "Jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami akan selalu bersyukur." (al-A'raf/7: 189)

Sobat. Khusus mengenai kata-kata mawaddah (rasa kasih) dan rahmah (sayang), Mujahid dan 'Ikrimah berpendapat bahwa yang pertama adalah sebagai ganti dari kata "nikah" (bersetubuh) dan yang kedua sebagai kata ganti "anak". Jadi menurut Mujahid dan 'Ikrimah, maksud ungkapan ayat "bahwa Dia menjadikan antara suami dan istri rasa kasih sayang" ialah adanya perkawinan sebagai yang disyariatkan Tuhan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dari jenisnya sendiri, yaitu jenis manusia, akan terjadi persenggamaan yang menyebabkan adanya anak-anak dan keturunan. Persenggamaan merupakan suatu yang wajar dalam kehidupan manusia, sebagaimana adanya anak-anak yang merupakan suatu yang umum pula.
 
Sobat. Ada yang berpendapat bahwa mawaddah bagi anak muda, dan rahmah bagi orang tua. Ada pula yang menafsirkan bahwa mawaddah ialah rasa kasih sayang yang makin lama terasa makin kuat antara suami istri. Sehubungan dengan mawaddah itu Allah mengutuk kaum Lut yang melampiaskan nafsunya dengan melakukan homoseks, dan meninggalkan istri-istri mereka yang seharusnya menjadi tempat mereka melimpahkan rasa kasih sayang dan melakukan persenggamaan. Allah berfirman:

Dan kamu tinggalkan (perempuan) yang diciptakan Tuhan untuk menjadi istri-istri kamu? (asy-Syu'ara'/26: 166) 

Dalam ayat ini, Allah memberitahukan kepada kaum laki-laki bahwa "tempat tertentu" itu ada pada perempuan dan dijadikan untuk laki-laki. Dalam hadis diterangkan bahwa para istri semestinya melayani ajakan suaminya, kapan saja ia menghendaki, namun harus melihat kondisi masing-masing, baik dari segi kesehatan ataupun emosional. Dengan demikian, akan terjadi keharmonisan dalam rumah tangga. Nabi saw bersabda:

Demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seseorang lelaki pun yang mengajak istrinya untuk bercampur, tetapi ia (istri) enggan, kecuali yang ada di langit akan marah kepada istri itu, sampai suaminya rida kepadanya. Dalam lafal yang lain, hadis ini berbunyi, "Apabila istri tidur meninggalkan ranjang suaminya maka malaikat-malaikat akan melaknatinya hingga ia berada di pagi hari. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah) 

Sobat. Dalam ayat ini dan ayat-ayat yang lain, Allah menetapkan ketentuan-ketentuan hidup suami istri untuk mencapai kebahagiaan hidup, ketenteraman jiwa, dan kerukunan hidup berumah tangga. Apabila hal itu belum tercapai, mereka semestinya mengadakan introspeksi terhadap diri mereka sendiri, meneliti apa yang belum dapat mereka lakukan serta kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat. Kemudian mereka menetapkan cara yang paling baik untuk berdamai dan memenuhi kekurangan tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah, sehingga tujuan perkawinan yang diharapkan itu tercapai, yaitu ketenangan, saling mencintai, dan kasih sayang.

Demikian agungnya perkawinan itu, dan rasa kasih sayang ditimbulkannya, sehingga ayat ini ditutup dengan menyatakan bahwa semuanya itu merupakan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah bagi orang-orang yang mau menggunakan pikirannya. 

Akan tetapi, sedikit sekali manusia yang mau mengingat kekuasaan Allah yang menciptakan pasangan bagi mereka dari jenis mereka sendiri (jenis manusia) dan menanamkan rasa cinta dan kasih sayang dalam jiwa mereka.

Sobat. Suatu penelitian ilmiah menunjukkan bahwa setelah meneliti ribuan pasangan suami istri (pasutri) maka disimpulkan bahwa setelah diadakan korelasi, maka antara kedua pasangan tadi terdapat banyak kesamaan, baik secara psikologis maupun secara fisik. Maksud "jenis kamu sendiri" di sini adalah dari sisi psikis dan fisik yang sama sehingga mereka mempunyai kesamaan antara keduanya. Hanya dengan hidup bersama pasangan yang serasa akrab (familiar) dengannya, maka akan tumbuh perasaan mawaddah dan rahmah, kasih sayang dan perasaan cinta. Oleh karena itu, teman hidup harus dipilih dari jenis, kelompok fisik, dan kejiwaan yang mempunyai kemiripan yang serupa dengannya.

Sobat. Ketika sebuah rumah tangga di bangun atas komitmen keimanan maka iman akan mengalir ke seluruh bagian dan persendian tubuhnya, mengikuti semua lekukan dan belokannya. Ia memancarkan cahaya, kehidupan, kebersihan, kesucian, kesadaran, cita-cita, motivasi untuk berbuat baik dan menyumbangkan yang terbaik. Ia menjadi himmah untuk menguhkan misi peribadahan yang Allah bebankan pada masing-masing ; suami, isteri dan anak-anak yang kelak dikaruniakan kepada mereka.

Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana IAI Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab