Tinta Media: Kebohongan
Tampilkan postingan dengan label Kebohongan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kebohongan. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 Januari 2023

Inilah Dampak Ketika Negara Membangun Narasi Kebohongan Bahaya Radikal

Tinta Media - Ketika negara membangun sebuah narasi kebohongan akan bahaya radikal maka narasi tersebut, menurut Ketua LBH Pelita Umat sekaligus Mahasiswa Doktoral Chandra Purna Irawan, S.H, M.H. akan menimbulkan dampak kebencian, diskrimasi, dan prasangka (prejudice) yang dapat membawa seseorang berbuat kriminal (hate crime).

“Narasi kebohongan akan bahaya radikal yang dibangun negara akan menimbulkan dampak kebencian, diskrimasi, dan prasangka (prejudice) yang dapat membawa seseorang berbuat kriminal (hate crime),” tuturnya kepada Tintamedia.web.id, Jumat (27/1/2023).  
  
Narasi kebohongan akan bahaya radikal yang dimaksud adalah narasi kebohongan tentang ajaran Tuhan, yang menurut Chandra dinarasikan seolah-olah sebuah ideologi atau faham. Sementara di sisi lain negara mengadopsi ideologi atau paham kapitalisme.

Chandra mempertanyakan bagaimana mungkin negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, mengkriminalkan dan membangun narasi kebohongan terhadap ajaran Tuhan Yang Mahas Esa. “Ajaran Tuhan dituduh sebagai ideologi dan faham, kemudian pengikut Tuhan dikriminalisasi dengan tuduhan bertentangan dengan ideologi negara. Saya jadi teringat pada tokoh yang menyatakan negeri ini tidak maju karena Tuhan tidak ditakuti. Tantangan kita adalah bagaimana Tuhan ditakuti,” pungkasnya.[] Erlina 

Inilah Dampak Ketika Negara Membangun Narasi Kebohongan Bahaya Radikal

Tinta Media - Ketika negara membangun sebuah narasi kebohongan akan bahaya radikal maka narasi tersebut, menurut Ketua LBH Pelita Umat sekaligus Mahasiswa Doktoral Chandra Purna Irawan, S.H, M.H. akan menimbulkan dampak kebencian, diskrimasi, dan prasangka (prejudice) yang dapat membawa seseorang berbuat kriminal (hate crime).

“Narasi kebohongan akan bahaya radikal yang dibangun negara akan menimbulkan dampak kebencian, diskrimasi, dan prasangka (prejudice) yang dapat membawa seseorang berbuat kriminal (hate crime),” tuturnya kepada Tintamedia.web.id, Jumat (27/1/2023).  
  
Narasi kebohongan akan bahaya radikal yang dimaksud adalah narasi kebohongan tentang ajaran Tuhan, yang menurut Chandra dinarasikan seolah-olah sebuah ideologi atau faham. Sementara di sisi lain negara mengadopsi ideologi atau paham kapitalisme.

Chandra mempertanyakan bagaimana mungkin negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, mengkriminalkan dan membangun narasi kebohongan terhadap ajaran Tuhan Yang Mahas Esa. “Ajaran Tuhan dituduh sebagai ideologi dan faham, kemudian pengikut Tuhan dikriminalisasi dengan tuduhan bertentangan dengan ideologi negara. Saya jadi teringat pada tokoh yang menyatakan negeri ini tidak maju karena Tuhan tidak ditakuti. Tantangan kita adalah bagaimana Tuhan ditakuti,” pungkasnya.[] Erlina 

Sabtu, 22 Oktober 2022

Darurat Kebohongan dalam Sistem yang Penuh Pencitraan, Saatnya Kembali pada Islam

Tinta Media - Berani berkata jujur dari hati yang terdalam sangatlah mahal dalam sistem yang menjunjung tinggi pencitraan. Tampak baik di permukaan, tetapi menyimpan keburukan. Berani berbohong dan mengobral janji manis, serta melakukan tipu daya agar mendapat dukungan dari rakyat. Halal dan haram bukan standar perbuatan, tetapi lebih mengedepankan citra untuk mendapatkan pengakuan manusia. Wajah lugu, merakyat, dan penuh welas asih, tetapi ternyata tega terhadap rakyat dengan menghasilkan kebijakan yang menyengsarakan, tetapi menguntungkan oligarki.

Kebohongan pun dilakukan berulang ulang untuk menutupi kekurangan. Membangun citra positif dilakukan dengan segala cara agar terkesan baik di hadapan manusia. Bahkan, buzzer pun dipelihara untuk membangun citra agar kekuasaan tetap dalam genggaman. 

Negeri ini dalam darurat kebohongan sehingga sulit untuk membedakan antara yang benar dan salah. Semua dibalut dengan kebohongan dan tidak punya keberanian untuk menyampaikan kejujuran. 
Benar apa yang disampaikan Habib Muhammad Rizieq Shihab soal kondisi negara yang dipenuhi dengan darurat kebohongan dan darurat kezaliman. 

Keberanian untuk menyatakan kejujuran sungguh mahal. Bibit-bibit kejujuran sulit tumbuh dalam sistem yang mengagungkan pencitraan. Idealisme ditinggalkan dan diganti dengan pragmatisme yang dianggap menguntungkan untuk meraih nikmat dunia. Kejujuran ditekan, bahkan diancam dengan hukuman pidana agar rakyat bungkam dan tidak berani menyampaikan apa yang dianggap benar. 

Fakta ditutup rapat karena dianggap bisa menggoyang kekuasaan. Bahkan, para buzzer dibayar mahal hanya untuk menebar kebohongan agar citra baik yang semu dan menipu tetap terjaga. Negara semakin rapuh karena uang rakyat digunakan tidak untuk kebaikan, tetapi lebih untuk membangun citra positif, meskipun dengan menebar kebohongan.

Akankah kebohongan terus diproduksi untuk menutupi kebohongan lain yang dihasilkan agar citra baik bisa terus terjaga dan kekuasaan bisa terus dalam genggaman? 

Namun, kebohongan tidak bisa terus menerus dipertahankan, karena kejujuran pada waktunya akan muncul dan tidak bisa dielakkan akan terkuak kebusukan yang selama ini tersimpan rapat. 

Belajar dari kasus Sambo, pada akhirnya nampak kebusukannya. Bisnis haram yang melanggar aturan Allah ditampakkan dan kejahatan pada akhirnya menampakkan wajah aslinya. Rakyat sudah muak dengan janji-janji manis dan pencitraan yang dibangun hanya untuk menutupi kebohongan satu dan yang lainnya. Sampai pada akhirnya, kebusukan pasti akan tercium juga, dan berakhir dengan kehinaan karena sudah bermaksiat pada aturan Allah.

Sudah terbukti kekuasaan yang berpijak pada kebohongan sangatlah rapuh dan pada akhirnya berakhir dengan kehinaan. Sungguh mudah bagi Allah untuk mencabut kekuasaan dari orang-orang yang Dia kehendaki. 

Fir'aun dengan kekuasaan yang luar biasa pada akhirnya juga hancur dengan kehinaan. Begitu pula raja Namrud yang sangat berkuasa, di akhir hidupnya dihinakan oleh Allah Swt. 

Harusnya para penguasa saat ini belajar dari yang sebelumnya, agar namanya bisa tertulis dengan tinta emas dalam sejarah, seperti para pemimpin dalam sistem Islam, agar bisa kembali pada sebaik-baik tempat kembali setelah mati, yaitu surga-Nya. 

Dalam sistem kapitalisme demokrasi, pencitraan dianggap keharusan karena tujuannya hanya nikmat dunia dan kekuasaan. Sebaliknya, dalam Islam, tujuan berpolitik adalah untuk mengurusi urusan rakyat dan untuk mencari rida Allah. 

Dunia bukan tujuan, tetapi ujian untuk mempersiapkan kehidupan abadi di akhirat nanti. Kepemimpinan amanah sering kita dengar dalam sejarah. Namun, tidak dalam demokrasi yang semua penuh tipu daya untuk meraih kekuasaan. Segala cara pun ditempuh hanya untuk mempertahankan kekuasaan, agar terus dalam genggaman. 

Pemimpin yang memproduksi kebohongan dan janji manis banyak ditemukan dalam sistem demokrasi. Mereka tidak berani berkata jujur dan memperjuangkan kebenaran, selama itu dianggap tidak menguntungkan. Politik dianggap kotor karena hanya untuk kekuasaan. 

Mereka yang jujur dalam membela kebenaran, harus berhadapan dengan kekuasaan dengan berbagai framing negatif, ancaman, bahkan ditangkap tanpa harus melalui proses peradilan yang adil. Sebaliknya, mereka yang banyak menghasilkan kebohongan, mendapat jabatan dan bisa menikmati kue kekuasaan. 

Sungguh, negeri ini darurat kebohongan karena yang berbohong mendapatkan keuntungan dunia, tetapi yang jujur dilibas habis. Yang tertinggal hanya para pembohong yang membawa kerusakan di muka bumi ini. 

Seperti yang terjadi pada penggugat ijazah Presiden Jokowi, meskipun belum dibuktikan dalam proses pengadilan, penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap penggugat ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi), Bambang Tri Mulyono, pada Kamis (13/10/2022). (KOMPAS.com)

Saatnya kembali pada sistem Islam yang akan mendorong semua orang untuk berkata jujur, karena dalam Islam kita meyakini bahwa Allah Mahatahu atas segala sesuatu, baik apa yang kita tampakkan maupun yang kita sembunyikan.

Penduduk yang beriman dan bertakwa hanya takut kepada Allah Swt, sehingga mereka takut untuk berbohong. Rakyat berani mengoreksi pemimpinnya dengan menyampaikan kebenaran dan fakta. Penguasa mengapresiasi dan senang rakyatnya berani mengoreksi kebijakan yang salah. Bukan hanya di mulut saja, tetapi semua sudah tercatat dalam sejarah. 

Keberanian datang dari orang-orang yang masih menjaga idealismenya, bukan mereka yang suka berpikir pragmatis. Kaberanian membela kebenaran bukan ditentukan tingginya strata pendidikan maupun jabatan seseorang, tetapi lebih pada kayakian kuat, bersumber dari agama yang lurus dan mulia. 

Hanya orang yang memiliki ketakwaan yang sebenar ketakwaanlah yang memiliki keberanian memperjuangkan kebenaran hakiki. Ancaman tidak akan mampu menghentikannya untuk menyuarakan kebenaran dan berkata tidak pada kezaliman yang dilakukan penguasa. 

Hanya sistem Islam yang mendorong keberanian untuk menyampaikan kebenaran dan mampu menciptakan sosok pemimpin pemberani, jujur, dan membela rakyatnya. Saatnya mencampakkan sistem buruk yang menjadi sumber segala masalah, dan kembali pada sistem Islam yang akan menjadi solusi semua masalah.

Oleh: Mochamad Efendi
Sahabat Tinta Media 

Kamis, 22 September 2022

PSIKOLOGI BJORKA DAN NEGERI DARURAT KEBOHONGAN

Tinta Media - Fenomena bjorka sejenak mengalihkan perbincangan isu-isu krusial negeri ini seperti penolakan kenaikan harga BBM, kasus Sambo yang makin berbelit-belit dan kasus KM 50 yang tak kunjung menemukan titik terang. Jika ada sebagian orang menilai bahwa munculnya bjorka sebagai bentuk pengalihan isu, maka tidak terlalu salah juga.

Sebab telah menjadi budaya di negeri ini soal strategi pengalihan isu di saat ada persoalan bangsa yang menyita perhatian publik secara luas dan dalam waktu yang lama. Namun, jika ada masyarakat yang mendukung bjorka juga bisa dipahami. Sebab psikososial masyarakat yang kecewa akan kekuasaan rezim ini seolah terwakili oleh postingan-postingan bjorka di akun twiternya.

Terlebih banyak masyarakat yang cukup kecewa terhadap kasus polisi tembak polisi yang sejak awal bergulir ke publik ternyata terbukti banyak keterangan bohong yang justru dilontarkan oleh otoritas. Keterangan bohong ini akhirnya berujung pada pencopotan beberapa struktur kepolisian. Rakyat lantas menduga, bisa jadi kebohongan ini adalah fenomena puncak gunung es. Bjorka muncul di era post truth, maka wajar jika kemunculannya menimbulkan pro kontra, bisa jadi dia jujur anti rezim, bisa jadi sebaliknya juga.

M Rizal Fadilah menilai Bjorka mengejutkan dan akun instagramnya telah membuat gemetar pejabat penting Indonesia. Data pribadi diretas mulai Puan Maharani, Erick Thohir, Johnny G Plate, Tito Karnavian, Luhut Panjaitan hingga Joko Widodo. Badut Istana Denny Siregar pun ikut dibongkar-bongkar. Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan kebenaran data yang diretas oleh Bjorka meskipun menurutnya masih yang umum umum.

Kabinet geger dan Jokowi ketar-ketir lalu membentuk tim lintas sektoral emergency respons yang terdiri dari Kemenkominfo, BIN, BSSN, dan Polri untuk melawan Bjorka. Bjorka sendiri mengindikasikan keberadaan dirinya di Polandia karena menurut pengakuannya ia berteman dengan orang Indonesia di Warsawa. Eks pelarian tahun 1965. Di satu sisi dia menyebut era Soeharto, namun disisi lain seolah menyerang rezim Jokowi, adakah relevansinya?

Fenomena bjorka ini bisa dibaca dalam perspektif psikologi sosial. Psikologi sosial mempelajari tentang hubungan antara manusia dan kelompok pada lingkungannya yang dipengaruhi dengan perilaku manusia. Dalam kehidupan bersosial, terkadang ada kalanya kita mempunyai hubungan yang tidak baik (destruktif)  dengan manusia atau sebaliknya, terdapat hubungan baik (konstruktif).  Bjorka hadir dalam situasi hubungan antara rakyat dan penguasa sedang tidak baik karena kebijakannya kerap dinilai merugikan rakyat kecil.

Interaksi sosial manusia di masyarakat baik itu antar individu, individu dan kelompok ataupun antar kelompok memiliki respon kejiwaan. Reaksi kejiwaan seperti sikap, emosional, perhatian, kemauan. Kemudian juga motivasi, harga diri dan lain sebagainya tercakup dalam psikologi sosial. Psikologi sosial merupakan ilmu mengenai proses pekembangan mental manusia sebagai makhluk sosial. Dengan demikian, psikologi sosial mempelajari hal hal yang meliputi perilaku manusia dalam konteks sosial.

Bjorka hadir di tengah negeri darurat korupsi. Di negeri ini, para koruptor kakap yang membawa kabur triliunan uang rakyat justru seolah dilindungi dan tidak dihukum mati. Padahal faktanya telah menjadikan jutaan rakyat terjerat kemiskinan akibat korupsi ini. Tidak hanya sampai disitu, organisasi agama yang lantang mengkritik perilaku pejabat korup dalam sistem rusak justru dibubarkan. Organisasi yang anti kemaksiatan juga dibubarkan. Jadi Indonesia itu negeri macam apa ?

Meski para peneriak ‘saya pancasila’ dan ‘NKRI harga mati’ serta fitnah ‘radikal radikul’ telah banyak yang meringkuk di jeruji besi karena maling uang rakyat, dari pejabat pemerintah, pengurus partai hingga rektor bergelar profesor doktor, namun masih banyak koruptor kelas kakap yang masih melenggang tak tersentuh hukum. Dengan mudahnya mereka kabur ke luar negeri.

Bahkan hingga kini ada koruptor yang menghilang begitu saja tanpa bisa ditemukan oleh pihak kepolisian. Sangat berbeda ketika mencari orang yang dituduh radikal radikul, dengan mudahnya tertangkap. Kenapa bisa seperti ini, jawabnya adalah ketika ada kasus polisi tembak polisi terbongkar. Terbongkar sudah semua kebusukan sistem dan aparat di negeri ini yang selama ini ditutupi. Jadi siapa sebenarnya pengkhianat di negeri ini ?.

Dititik inilah psikologi sosial rakyat kecil seolah diwakili oleh bjorka, meskipun tidak ada yang siapa dia sebenarnya dan apa pula motifnya. Sebab dengan membocorkan data-data, sebenarnya yang rugi rakyat banyak juga. Namun demikian, bjorka telah mengkonfirmasi bahwa nampaknya data-data negara ini mudah dibobol oleh hacker. 

(AhmadSastra,KotaHujan,16/09/22 : 17.30 WIB)

Oleh: Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB)

Referensi: https://www.ahmadsastra.com/2022/09/psikologi-bjorka-dan-negeri-darurat.html?m=1
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab