Tinta Media - Sobat. Kebodohan adalah antonim dari kata Ilmu (mengetahui). Kebodohan adalah salah satu permasalahan terbesar di muka bumi. Kebodohan adalah ketidakmampuan seseorang untuk memvisualisasikan realitas yang terjadi. Dengan kebodohan, seorang bisa terjerumus dalam kesalahan, dosa, dan kekufuran, serta menentang ketuhanan, melanggar hak-hak manusia, dan tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang harus ia lakukan.
Sobat. Kebodohan membawa pemiliknya untuk melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan, meletakkan sesuatu tidak pada tempat yang tepat, serta terjatuh dalam kerendahan dan ketidak bergunaan. Kebodohan menyebabkan kerusakan, kerugian, dan bahaya. Nabi Musa AS selalu berlindung dari kebodohan dengan doa,
وَإِذۡ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوۡمِهِۦٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تَذۡبَحُواْ بَقَرَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَتَّخِذُنَا هُزُوٗاۖ قَالَ أَعُوذُ بِٱللَّهِ أَنۡ أَكُونَ مِنَ ٱلۡجَٰهِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".( QS. Al-Baqarah (2) : 67 )
Sobat. Ketika Nabi Musa memerintahkan Bani Israil untuk menyembelih sapi, mereka berkata kepada Nabi Musa, "Apakah kamu mempermainkan kami? Kami bertanya kepadamu tentang perkara pembunuhan, lalu kamu menyuruh kami menyembelih seekor sapi. Ini ganjil sekali dan jauh daripada yang kami maksudkan." Seharusnya Bani Israil menjalankan perintah Nabi Musa itu dan menyambutnya dengan patuh dan taat, kemudian mereka menunggu apa yang akan terjadi sesudah itu, tetapi mereka berbuat sebaliknya.
Perkataan mereka itu sebagai bukti bahwa mereka sangat kasar tabiatnya dan tidak mengakui kekuasaan Allah. Nabi Musa menjawab, "Saya berlindung kepada Allah dari memperolok-olokkan manusia karena perbuatan itu termasuk perbuatan orang jahil, lebih-lebih bagi seorang rasul yang akan menyampaikan risalah dan hukum-hukum Allah kepada manusia."
Sobat. Wahyu pertama yang turun adalah kata “iqra’ bacalah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam selalu mendorong umat untuk menuntut ilmu. Tidak akan terjadi perselisihan, peperangan, penumpahan darah, dan pengumpulan harta, kecuali disebabkan kebodohan. Jika kebodohan telah bersemayam pada diri seseorang, kebodohan menjadi jalan kerusakan dan kehancuran karena kebodohan menyebabkan beberapa musibah terjadi, sumber maksiat, pintu dosa, jembatan segala kekejian, dan penyakit dalam masyarakat. Bagaimana solusi untuk permasalahan ini?
Sobat. Berikut ini beberapa solusi untuk mengatasi kebodohan :
1. Langkah pertama untuk mengentaskan kebodohan adalah mengakui kebodohan itu lalu memiliki keinginan dan tekad yang penuh untuk menuntut ilmu serta keluar dari zona kebodohan. Allah SWT telah memerintahkan Nabi Muhammad SAW dengan doa berikut karena keutamaan Ilmu dan keburukan kebodohan.
فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ ٱلۡمَلِكُ ٱلۡحَقُّۗ وَلَا تَعۡجَلۡ بِٱلۡقُرۡءَانِ مِن قَبۡلِ أَن يُقۡضَىٰٓ إِلَيۡكَ وَحۡيُهُۥۖ وَقُل رَّبِّ زِدۡنِي عِلۡمٗا
“Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan".( QS. Thaha (20) : 114 )
Sobat. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw ketika Jibril membacakan kepadanya beberapa ayat yang diturunkan, dia cepat-cepat membacanya kembali padahal Jibril belum selesai membacakan seluruh ayat yang akan disampaikan pada Nabi. Hal ini karena Nabi takut kalau dia tidak cepat-cepat mengulanginya, mungkin dia lupa dan tidak dapat mengingat kembali.
Oleh sebab itu Allah melarangnya bertindak seperti itu, karena tindakan seperti itu mungkin akan lebih mengacaukan hafalannya sebab di waktu dia mengulangi membaca apa yang telah dibacakan kepadanya perhatiannya tertuju kepada pengulangan bacaan itu tidak kepada ayat-ayat selanjutnya yang akan dibacakan jibril padahal Allah menjamin akan memelihara Al-Qur'an dengan sebaik-baiknya, jadi tidak mungkin Nabi Muhammad lupa atau dijadikan Allah lupa kalau dia mendengarkan baik-baik lebih dahulu semua ayat-ayat yang dibacakan Jibril kemudian bila Jibril telah selesai membacakan seluruhnya, barulah Nabi membacanya kembali.
Ayat ini menegaskan bahwa Allah Yang Mahatinggi, Mahabesar amat Luas Ilmu-Nya yang dengan Ilmu-Nya itu Dia mengatur segala sesuatu dan membuat peraturan-peraturan yang sesuai dengan kepentingan makhluk-Nya, tidak terkecuali peraturan-peraturan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia. Dialah yang mengutus para nabi dan para rasul dan menurunkan kitab-kitab suci seperti Zabur, Taurat dan Injil serta Dia pulalah yang menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad saw.
Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan berangsur-angsur bukan sekaligus sesuai dengan hikmah kebijaksanaan-Nya. Kadang-kadang diturunkan hanya beberapa ayat pendek saja atau surah yang pendek pula dan kadang-kadang diturunkan ayat-ayat yang panjang sesuai dengan keperluan dan kebutuhan pada waktu itu.
Mengenai hal ini Allah berfirman:
Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk membaca Al-Qur'an) karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya.Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannya. (al-Qiyamah/75: 16-19)
Mengenai jaminan Allah dan terpeliharanya Al-Qur'an tersebut dalam ayat:
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya. (al-hijr/15: 9)
Kemudian Allah menyuruh Nabi Muhammad saw agar berdoa supaya Dia memberikan kepadanya tambahan ilmu. Diriwayatkan oleh at-Tirmizi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah berdoa seperti berikut:
Ya Allah. Jadikanlah ilmu yang Engkau ajarkan kepadaku bermanfaat bagiku, ajarkanlah kepadaku ilmu yang berguna untukku dan berikanlah kepadaku tambahan ilmu. Segala puji bagi Allah atas segala hal, aku berlindung kepada Allah dari keadaan dan segala hal yang dilakukan oleh penghuni neraka. (at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Bazzar)
2. Melanjutkan aktivitas ilmiah, pendidikan, serta pengetahuan untuk menggugah jiwa dan membangun kesadaran umat. Peringatkanlah mereka tentang bahaya kebodohan bagi diri sendiri dan masyarakat serta hindarkanlah mereka dari pengaruh kebodohan. Umat tidak akan pernah maju tanpa ilmu dan tidak akan mundur kecuali karena kebodohan.
3. Memenuhi segenap sarana pendidikan dan penyebaran pendidikan. Jadikanlah pendidikan umat sebagai program prioritas bagi individu, pemerintahan, dan masyarakat. Ahmad Syauqi panglima para penyair, berkata,” Dengan Ilmu dan harta, manusia membangun kerajaan. Namun seorang raja tidak akan bisa dibangun dengan kebodohan dan ketakutan.”
4. Meyakini bahwa kebodahan adalah penyakit besar di tengah masyarakat, serta bahayanya menimpa pribadi dan umat secara umum. Umat yang bodoh tidak akan bisa membangun kemuliaan, menciptakan peradaban, menjaga nilai-nilai keluhuran, dan menjaga kota.
5. Menasihati anak-anak secara terus-menerus, mendorong mereka untuk belajar, serta menunjukkan nilai-nilai luhur dan keutamaan ilmu. Selain itu, laranglah serta tekankanlah untuk menghindari kebodohan, dampak dari kebodohan berupa kerusakan dunia dan akherat, serta bahaya yang ditimbulkan karena kebodohan dalam waktu dekat dan lambat.
6. Memenuhi perangkat-perangkat dalam keluarga untuk mengajarkan nilai-nilai keluhuran kepada anak-anak, serta mengangkat cita-cita untuk mencapai derajat keilmuan tertinggi.
7. Membuka kursus-kursus keahlian serta mempermudah metode pembelajaran dan praktek agar pendidikan sampai ke segenap penjuru negeri.
8. Memperhatikan bakat-bakat pembelajar dengan pengajaran, pendidikan, dan penghormatan agar kelak memiliki pengaruh kebangkitan, kemuliaan, serta kemajuan umat karena orang yang menonjol dalam ilmu dan pengetahuan berhak mendapatkan apresiasi sebagaimana firman Allah :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” ( QS. Al-Mujadilah (58): 11 )
Sobat. Ayat ini memberikan penjelasan bahwa jika di antara kaum Muslimin ada yang diperintahkan Rasulullah saw berdiri untuk memberikan kesempatan kepada orang tertentu untuk duduk, atau mereka diperintahkan pergi dahulu, hendaklah mereka berdiri atau pergi, karena beliau ingin memberikan penghormatan kepada orang-orang itu, ingin menyendiri untuk memikirkan urusan-urusan agama, atau melaksanakan tugas-tugas yang perlu diselesaikan dengan segera.
Dari ayat ini dapat dipahami hal-hal sebagai berikut:
1. Para sahabat berlomba-lomba mencari tempat dekat Rasulullah saw agar mudah mendengar perkataan yang beliau sampaikan kepada mereka.
2. Perintah memberikan tempat kepada orang yang baru datang merupakan anjuran, jika memungkinkan dilakukan, untuk menimbulkan rasa persahabatan antara sesama yang hadir.
3. Sesungguhnya tiap-tiap orang yang memberikan kelapangan kepada hamba Allah dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, maka Allah akan memberi kelapangan pula kepadanya di dunia dan di akhirat.
Memberi kelapangan kepada sesama Muslim dalam pergaulan dan usaha mencari kebajikan dan kebaikan, berusaha menyenangkan hati saudara-saudaranya, memberi pertolongan, dan sebagainya termasuk yang dianjurkan Rasulullah saw.
Beliau bersabda:
Allah selalu menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)
Berdasarkan ayat ini para ulama berpendapat bahwa orang-orang yang hadir dalam suatu majelis hendaklah mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam majelis itu atau mematuhi perintah orang-orang yang mengatur majelis itu.
Jika dipelajari maksud ayat di atas, ada suatu ketetapan yang ditentukan ayat ini, yaitu agar orang-orang menghadiri suatu majelis baik yang datang pada waktunya atau yang terlambat, selalu menjaga suasana yang baik, penuh persaudaraan dan saling bertenggang rasa. Bagi yang lebih dahulu datang, hendaklah memenuhi tempat di muka, sehingga orang yang datang kemudian tidak perlu melangkahi atau mengganggu orang yang telah lebih dahulu hadir. Bagi orang yang terlambat datang, hendaklah rela dengan keadaan yang ditemuinya, seperti tidak mendapat tempat duduk. Inilah yang dimaksud dengan sabda Nabi saw:
Janganlah seseorang menyuruh temannya berdiri dari tempat duduknya, lalu ia duduk di tempat tersebut, tetapi hendaklah mereka bergeser dan berlapang-lapang." (Riwayat Muslim dari Ibnu 'Umar)
Akhir ayat ini menerangkan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman, taat dan patuh kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, berusaha menciptakan suasana damai, aman, dan tenteram dalam masyarakat, demikian pula orang-orang berilmu yang menggunakan ilmunya untuk menegakkan kalimat Allah. Dari ayat ini dipahami bahwa orang-orang yang mempunyai derajat yang paling tinggi di sisi Allah ialah orang yang beriman dan berilmu. Ilmunya itu diamalkan sesuai dengan yang diperintahkan Allah dan rasul-Nya.
Kemudian Allah menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui semua yang dilakukan manusia, tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya. Dia akan memberi balasan yang adil sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Perbuatan baik akan dibalas dengan surga dan perbuatan jahat dan terlarang akan dibalas dengan azab neraka.
9. Mengajak para pekerja professional dan orang-orang kaya untuk berpartisipasi membuka sekolah dan universitas. Ini adalah kewajiban Negara untuk menggapai kemaslahatan umum.
10. Bergaulah dengan para ahli ilmu, ahli Fiqih, serta bergaullah bersama ahli makrifat dan orang-orang yang memahami agama dengan baik, serta mengambil faedah dari keilmuan mereka.
Sobat. Artikel ini saya tutup dengan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim : “ Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menimba ilmu. Niscaya Allah akan mudahkan baginya, berkat amalan ini jalan menuju Surga.”
Sobat. Saydina Ali bin Abi Thalib pernah berpesan, “ Cukuplah dengan Ilmu kemuliaan seseorang meskipun orang-orang bodoh tidak menganggapnya sebagai ahli ilmu. Cukuplah dengan kebodohan membuka aib seorang dan mengaku bahwa dirinya adalah ahli ilmu.”
Sobat. Ilmu adalah sumber kebahagiaan , karena melalui ilmu seseorang mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya. Dengan Ilmu, maka semua keadaan yang Allah takdirkan kepada manusia, apakah miskin maupun kaya adalah baik semuanya. Sebaliknya tanpa ilmu, semua keadaan hidup, baik kaya atau miskin, adalah buruk semuanya.
( DR Nasrul Syarif M.Si. Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana IAI Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur )