PEPS: Kebijakan Fiskal Negeri ini Harus Ditata Ulang
Tinta Media - Managing Director at Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengungkapkan bahwa kebijakan fiskal negeri ini harus ditata ulang agar pro kepada rakyat.
“Saya rasa kebijakan fiskal ini harus ditata ulang agar pro terhadap rakyat karena angka kemiskinan kita sangat besar sekali,” ungkapnya dalam Re Live: Rp 2.000 Triliun APBN 2023 dari Pajak! Kekayaan Minerba diserahkan ke Swasta? Rabu (22/2/2023), di kanal Youtube Rayah TV.
Saat ini instrumen pajak menjadi pendapatan utama di Indonesia, demikian dengan negara lain. Anthony mengatakan pajak merupakan suatu instrumen fiskal yang tidak pro terhadap rakyat. Menurutnya, Indonesia tidak pernah optimal dalam menjalankannya. Terbukti masyarakat kelas bawah menjadi lebih sulit kehidupannya. “Artinya tidak pro kepada rakyat, instrumen fiskal ini lebih banyak pro kepada pengusaha-pengusaha. Insentif semuanya diberikan kepada pengusaha,” kritiknya.
Ia menjelaskan kemiskinan berdasarkan BPS yaitu dengan pendapatan di bawah Rp 535.000 per orang per bulan, angka kemiskinan mencapai 26,36 juta angka terakhir per September 2020. Tetapi Bank Dunia mengatakan kemiskinan Indonesia dengan pendapatan Rp 590.000 per orang per bulan atau $ 3,65 per hari per orang di mana kursnya memakai kurs purchasing power parity 2017 ekuivalen dengan Rp 590.000 per orang per bulan.
“Jadi kita lihat selisih antara Rp 535.000 threshold daripada pendapatan di garis kemiskinan itu menjadi Rp 590.000, artinya selisih 65.000, rakyat miskin Indonesia naik dari 26,36 juta menjadi 62 juta terakhir tahun 2021. Artinya garis kemiskinan naik sedikit saja maka rakyat miskinnya akan bertambah,” jelasnya.
Ia berpendapat bahwa sumber daya alam saat ini sudah tidak berkontribusi besar kepada APBN, lebih banyak kontribusinya kepada swasta. “Instrumen pajak pendapatan dari sumber daya alam tidak berkontribusi besar kepada APBN karena kepemilikan dan pengelolaannya lebih banyak dikuasai oleh swasta,” ungkapnya.
Padahal pada masa orde baru sumber daya alam melalui minyak bumi mampu berkontribusi pada APBN sebesar 80%. “Itu sangat luar biasa, tapi sekarang ini sudah dari pajak bahkan ada kenaikan PPN tahun 2022 dan UU Pajak yang terakhir memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk menaikkan pajak lagi sampai tahun 2025, tahap awal 11 % tetapi masih bisa naik lagi,” bebernya.
Ia mencontohkan kepemilikan minyak sawit yang lahannya luas tetapi diberikan kepada swasta, bukan kepada BUMN, demikian dengan batubara saat ini dikuasai oleh swasta. Sehingga kenaikan harga itu hanya dinikmati oleh swasta.
“Kita hanya mendapat royalti pajak, konsesi pajak , dan sebagainya,. Seperti tahun 2022 terjadi kenaikan harga batubara, swasta sangat menikmati, negara ada tetapi negara hanya dapat kenaikan harga saja, tidak terlalu signifikan dibandingkan kepemilikan mereka,” ucapnya.
“Inilah saya rasa pemerintah gagal dalam mengatasi kemiskinan melalui fiskal,” pungkasnya. [] Ageng Kartika