Angkat Kearifan Lokal untuk Melawan Intoleransi dan Radikalisme
Tinta Media - Bagi masyarakat Sunda di Jawa Barat, kearifan lokal merupakan unsur penting sebagai pedoman hidup sehari-hari. Konsep Silih Asah, Silih Asih, dan Silih Asuh, misalnya, merupakan filosofi hidup dari orang Sunda yang dijadikan sebagai perekat sosial dari beragam elemen masyarakat di Jawa Barat. Konsep tersebut dipandang ampuh untuk menjadi benteng pertahanan agar tidak terpapar perilaku intoleransi serta paham radikalisme, sehingga dinilai baik jika dijadikan senjata untuk melawan intoleransi dan radikalisme tersebut. Hal ini disampaikan oleh Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Barat, Rafani Achyar, kepada ANTARA beberapa waktu yang lalu.
Menjadikan kearifan lokal sebagai bentuk konter terhadap isu intoleransi dan radikalisme tentulah tidak tepat. Hal ini karena keduanya tidak berkaitan. Isu intoleransi dan radikalisme hanyalah bentuk islamophobik yang disebarkan oleh pihak-pihak tertentu, karena kebencian mereka terhadap Islam dan syariatnya. Menurut mereka, jihad dan khilafah yang merupakan bagian dari syariat Islam berpotensi memecah belah persatuan bangsa.
Di sisi lain, isu kearifan lokal ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari apa pun. Isu ini dipandang dapat menyatukan berbagai keberagaman di tengah masyarakat, baik budaya maupun agama (kepercayaan). Karena itu, masyarakat menjadi lebih mengedepankan kearifan lokal sebagai alat persatuan bangsa, dibandingkan menonjolkan agama.
Hal tersebut diperkuat dengan penyebaran propaganda terkait isu-isu yang bertujuan untuk memanipulasi ajaran Islam. Semua itu disandarkan pada paham dan ide-ide yang sebenarnya bukan dari Islam, seperti demokrasi dan HAM, hingga mendeskreditkan Islam dan hukum-hukum Islam. Wajar jika umat semakin jauh dari Islam yang hakiki. Hal seperti ini memang lazim terjadi dalam sistem kapitalis demokrasi, seperti yang diterapkan di negeri ini.
Tentu menjadi miris dan ironis, jika masyarakat Jabar dan Indonesia pada umumnya yang mayoritas muslim, lebih mengedepankan kearifan lokal daripada agamanya. Bukankah Allah Swt. telah menetapkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diridai Allah?
Allah berfirman, yang artinya:
"Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah disempurnakan agamamu untuk-Ku, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu dan telah Kuridai Islam sebagai agamamu, tetapi barang siapa terpaksa karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh Allah Maha Pengasih Maha Penyayang." (TQS Al Maidah: 3)
Sesungguhnya, Islam merupakan alat pemersatu. Islam dapat diterima oleh semua suku dan bangsa, hingga terwujud rahmatan lil'alamin. Sebagaimana firman Allah Swt, yang artinya:
'Dan kami tidak mengutus engkau Muhammad melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam." (Q.S Al- Ambiya: 107)
Karena itu, harusnya masyarakat di negeri ini bangga sebagai umat Islam, sehingga meletakkan Islam sebagai bagian yang tertinggi dalam kehidupannya. Hal ini sebagaimana ungkapan, "Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya."
Agar kesadaran umat Islam kembali lurus dalam beragama, haruslah ada upaya dari kaum muslimin untuk membina dirinya dengan Islam. Hal ini seiring dengan adanya para pengemban dakwah Islam yang membina umat dengan tsaqafah Islam, membebaskan dari akidah yang rusak, pemikiran yang salah, persepsi yang keliru, serta pengaruh ide-ide dan pandangan-pandangan yang kufur.
Keberadaan dakwah Islam kaffah (menyeluruh) di tengah-tengah masyarakat sangat penting, baik secara berjamaah maupun individu. Hal ini akan membentuk kesadaran dan opini umum tentang Islam sebagai way of life. Dengan begitu, ada kerinduan dalam diri umat untuk menerapkannya dalam kancah kehidupan. Sistem Islam akan hadir sebagai tatanan masyarakat yang bersakhsiyah Islam, baik dari sisi pola pikir, ataupun pola sikap.
Ini karena Islam adalah agama untuk seluruh manusia, sebagaimana firman Allah Swt, yang artinya:
"Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS Saba;28)
Karena itu, penerapannya pun dapat meliputi semua suku bangsa dan keberagaman agama. Masyarakat akan hidup berdampingan secara damai. Inilah yang tercermin dalam kehidupan di Yerusalem dan Andalusia ketika Islam diterapkan oleh institusi negara (khilafah). Dua kota ini dikenal dengan kota tiga agama, karena di dalamnya hidup berdampingan secara damai, penganut agama Islam, Yahudi, dan Kristen. Bahkan, di Yerusalemlah berkumpul tempat ibadah tiga agama tersebut.
Islam sebagai dien yang berasal dari Sang Pencipta, tentu sesuai dengan kehidupan manusia, hingga mampu menyatukan umat manusia dan membawa rahmat bagi seluruh alam. Hal inilah yang tampak selama kurun waktu khilafah tegak, lebih dari 13 abad. Daulah Islam mampu menyatukan seluruh warga negaranya, baik muslim maupun nonmuslim, apa pun warna kulit, agama, ras, dan suku bangsa. Keadilan dan kesejahteraan dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa kecuali.
Adapun terkait kearifan (budaya) lokal, jikapun ada di tengah masyarakat, maka perlu diperhatikan, apakah kearifan lokal tersebut bertentangan dengan Islam ataukah tidak. Jika bertentangan dengan Islam, maka harus dihilangkan. Namun, jika tidak bertentangan, maka dibolehkan untuk tetap ada.
Demikianlah, justru hanya penerapan Islam secara keseluruhanlah yang akan mendatangkan persatuan, perdamaian, dan kesejahteraan bagi umat manusia. Ini hanya bisa dilakukan oleh sebuah institusi daulah khilafah.
Firman Allah Swt. yang artinya:
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) maka Kami siksa mereka sesuai apa yang telah mereka kerjakan. (TQS. Al A'raf: 96)
Wallahu a'lam bishawab
Oleh: Elah Hayani
Sahabat Tinta Media