Tinta Media: Kearifan Lokal
Tampilkan postingan dengan label Kearifan Lokal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kearifan Lokal. Tampilkan semua postingan

Minggu, 27 Maret 2022

Mengusik Kearifan Lokal

https://drive.google.com/uc?export=view&id=14eoU-5PmI_zthrigXmz589D8BY0ACvXA

Tinta Media - Topik mengenai kearifan lokal kembali diangkat ke permukaan. Rakyat diajak untuk kembali berbangga diri dengan kearifan lokal yang dimiliki. Tak hanya untuk berusaha membawa kepada kebaikan kehidupan, tetapi juga kebanggaan diri dan negara di hadapan dunia.

Makna Kearifan Lokal

Indonesia adalah satu negara yang amat kaya dengan kearifan lokal. Ada banyak sekali kearifan lokal yang dimiliki dari setiap daerah yang ada. Bahkan, inilah yang diklaim sebagai kekayaan budaya yang patut untuk selalu dilestarikan dan dibanggakan. Kaum muda juga selalu distimulasi untuk bangga dan melestarikan kearifan lokal ini.

Kearifan lokal nusantara erat dikaitkan dengan keberadaan budaya. Walaupun sejatinya, kearifan lokal merupakan bagian dari budaya dari suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri.

Kearifan lokal atau yang juga dikenal sebagai local wisdom biasanya diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut. Kearifan lokal dapat ditemukan dalam cerita rakyat, peribahasa, lagu, dan permainan rakyat.

Kearifan lokal merupakan suatu pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat lokal tertentu melalui kumpulan pengalaman dalam mencoba dan diintegrasikan dengan pemahaman terhadap budaya dan keadaan alam suatu tempat.

Saat ini, ada upaya untuk mempertentangkan kearifan lokal dengan agama. Apalagi kalau bukan Islam? Hasil buah budaya yang termasuk ke dalam kearifan lokal ini disajikan dengan penampilan yang diharapkan mampu dimaklumi dalam ajaran agama, dianggap sebagai suatu kebolehan karena termasuk ke dalam budaya nusantara.

Bahkan, sebagian komentar nyiyir juga menempatkan agama sebagai pengusik kearifan lokal. Sejumlah ajaran yang ada di dalam agama diharapkan mampu bersanding secara damai dengan produk budaya yang membanggakan, tak boleh dimunculkan rasa halal dan haram.

Agama Mengatur Budaya

Tentu suatu hal yang tak arif dan bijak dalam melakukan hal ini. Terlebih, seakan menempatkan agama dan budaya sebagai dua hal yang harus dipilih, yang hasilnya menentukan bagaimana kredibilitas dan kualitas seorang rakyat dalam menempatkan kesetiaannya pada negara tempat ia tinggal.

Bahkan lebih parahnya, siapa saja yang berusaha mengusik kearifan lokal dengan dalil agama, maka akan dimasukan ke dalam kategori kelompok radikal, kelompok yang hanya menginginkan Islam tanpa adanya ajaran lainnya.

Diembuskan lagi fitnah bahwa kelompok ini tak mencintai budaya dan kearifan dalam negeri karena hanya mengusung ajaran agama yang notabene tak berasal dari dalam negeri, tetapi berasal dari Timur Tengah yang tak memiliki citra dan rasa kenusantaraan.

Inilah yang terjadi ketika pemahaman masyarakat mengenai Islam amat minim. Benturan keduanya menjadi alat untuk memecah belah kalangan yang masih minim pengetahuan agama dengan kalangan yang ingin agama menjadi penyelesai segala problematika kehidupan. Ini karena mereka percaya bahwa agama Islam serta syariatnya mampu untuk mengakhiri segala kenestapaan kehidupan yang dihadapi saat ini.

Umat Islam haruslah memahami bahwa agama berperan sebagai pondasi dalam segala aspek kehidupan. Agama memuat standar kehidupan untuk menentukan mana yang bisa diambil dan mana yang harus ditinggalkan, termasuk juga dalam memandang budaya dan kearifan lokal ini. Budaya harus bisa tunduk pada pengaturan agama. Ini karena agamalah yang menjadi pangkal segalanya. Bukan sebaliknya, agama harus tunduk pada budaya dan membiarkan budaya dan sajiannya yang sejatinya bertentangan, dengan dalil menghormati budaya.

Jika tidak, akan terlihat sama bagaimana di zaman dahulu, ketika masyarakat Quraisy diseru kepada Islam, mereka lebih memilih budaya nenek moyang mereka, dengan menganggap Islam sebagai pengusik kearifan lokal yang ada.

Sebagaimana disebutkan di dalam surat As-Shafat ayat 35-36 yang berbunyi,

“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?"

Oleh karenanya, muslim harus memiliki pemahaman yang utuh mengenai syariatnya. Ini dibantu oleh negara dengan memberikan pengajaran mengenai bagaimana menempatkan budaya dalam agama. Agamalah yang menjadi standar, mana yang sesuai dengan agama, maka bisa diambil, sedangkan mana yang tak sesuai dengan agama, maka harus dihilangkan.

Pemahaman ini bukan karena tak berbangga pada budaya, tetapi karena menempatkan agama sebagai standar kehidupan yang mengatur segala aspek di dalamnya. Wallahu’alam bishawab.

Oleh: Rochma Ummu Arifah
Sahabat Tinta Media

Kamis, 24 Maret 2022

Bahaya Moderat di Balik Narasi Kearifan Lokal

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1jtZwgSwhq-DocvZmIzvAqQnuGd6GqbHE

Tinta Media - Memang benar, penduduk Indonesia hingga kini masih kental dengan aliran kepercayaan atau animisme. Pemerintah bahkan melegalisasi animisme tersebut dan menjadikannya bagian dari keberagaman adat dan budaya di Indonesia. Keterlibatan pemerintah tersebut menjadikan rakyat Indonesia yang masih berpegang pada kepercayaan aninisme sulit untuk dipisahkan dari kepercayaan tersebut.

Hal tersebut menjadi kontras dengan realita Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Islam datang dan berkembang di Indonesia sejatinya untuk memberantas kepercayaan-kepercayaan masyarakat yang sesat tersebut. Logikanya, banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang telah memeluk Islam seharusnya menjadikan paham animisme tak lagi berkembang dan tumbuh subur.

Namun, realitasnya tidaklah demikian, terlebih setelah pemerintah sendiri sebagai pengurus rakyat mencontohkan animisme tersebut. Ritual klenik dipertontonkan secara nyata. Kesyirikan dilakukan oleh pemimpin di negara yang katanya bercita-cita menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Praktik klenik kendi atas ritual yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo beserta 34 gubernur se-Indonesia di lokasi Ibu Kota Negara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur adalah salah satunya. Ritual yang disebut sebagai titik nol IKN Nusantara tersebut diisi dengan ritual menyatukan air dan tanah yang dibawa oleh para gubernur dari wilayahnya masing-masing ke dalam kendi. Ritual tersebut kemudian dinamakan ritual Kendi Nusantara.

Apa yang dilakukan oleh Jokowi tersebut mengundang banyak komentar dari khalayak. Pengamat Politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun misalnya memberi komentar sebagaimana dilansir Kompas.com (14/3). Ubedilah mengatakan bahwa praktik Kendi Nusantara tersebut merupakan sesuatu yang mengada-ada, tetapi diyakini sebagai sebuah hal yang mengandung pesan mistis.

Selain mengada-ada, klaim bahwa praktik klenik tersebut merupakan prosesi adat yang mengandung makna filosofis untuk mengenang selalu asal-muasal nenek moyang dan mempertahankan kearifan leluhur adalah sangat tidak masuk akal.

Sebab, jika yang dimaksud nenek moyang manusia adalah Nabi Adam alaihi salam, semua sumber literatur sepakat bahwa Nabi Adam tidak ada kaitannya dengan praktik klenik, juga tidak pernah mengajarkan ritual mistis seperti itu. Nabi Adam justru mengesakan Allah Swt. dan beribadah serta berdoa hanya kepada Allah Swt, tidak mempersekutukan Allah Swt. dengan sesuatu apa pun.

Jika yang dimaksud adalah warisan pendahulu Indonesia sebelum datangnya ajaran Islam, seharusnya cahaya Islam yang telah menerangi rakyat Indonesia me-nasakh (menghapus) praktik syirik yang diharamkan dalam Islam. Sebab, ajaran Islam mengharuskan pemeluknya yaitu kaum muslimin untuk menyembah hanya kepada Allah dan wajib meninggalkan segala macam aliran kepercayaan yang mempersekutukan Allah.

Belumlah hilang dari benak kaum muslimin atas praktik kesyirikan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut, muncul lagi praktik perdukunan lainnya yang lagi-lagi diinisiasi oleh pemerintah, bahkan viral ke mancanegara. Deorang wanita bernama Rara Istiati ditunjuk menjadi pawang hujan di Sirkuit Mandalika pada Minggu (20/3) berdasarkan usulan dari Menteri BUMN Erick Thohir. Dengan penuh keyakinan, pemerintah Indonesia sebagai penyelenggara MotoGP Mandalika 2022 mempercayakan kepada Rara Istiati untuk mengendalikan hujan agar tak mengguyur Mandalika selama pertandingan berlangsung.

Lagi-lagi hal itu disebut sebagai bagian dari kearifan lokal. Hal tersebut disampaikan oleh Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKB, Maman Imanulhaq pada laman Detiknews.com (21/3)

Lucu memang, di era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih seperti saat ini, negeri yang katanya turut mengikuti perkembangan industri 5.0 masih mempercayai hal-hal yang tak masuk akal seperti itu.

Wajar jika tingkah si pawang hujan yang sempat menjadi bahan tertawaan pembalap asal luar negeri juga membuat Koordinator Laboratorium Pengelolaan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Budi Harsoyo juga ikut tergelitik. Dikutip dari Detiknews.com (21/3), Budi Harsoyo menjelaskan secara ilmiah bahwa sejak tanggal 18-20 Maret 2022, kaidah saintifik TMC sudah diminta untuk dioperasikan di Sirkuit Mandalika, yakni dengan melakukan penyemaian awan, di mana TMC melepaskan bahan semai awan dari unsur kimia yang mampu menjatuhkan hujan di seluruh area sirkuit. Sehingga, sebelum awan-awan hujan mendekat, TMC mencegat dan menjatuhkan hujannya di luar Mandalika.

Bisa disimpulkan bahwa pemerintah di lain sisi telah menggunakan teknologi yang secara ilmiah dapat melakukan pengalihan gerak awan. Dari sini muncul pertanyaan, lantas apa tujuan pemerintah menghadirkan sosok pawang hujan, bahkan aksinya seolah sengaja disorot kamera media?

Tak lain dan tak bukan, langkah pemerintah mulai dari menampilkan ritual kendi, bahkan menghadirkan sosok pawang hujan yang hanya menjadi sebatas gimmick adalah untuk melanggengkan paham moderat. Indonesia menjadi salah satu negeri muslim yang menjadikan isu moderasi beragama sebagai salah satu isu yang di back up oleh kekuatan politik.

Bukan tanpa tujuan, moderasi yang kian massif dipropagandakan melalui tangan-tangan penguasa menunjukkan dukungan penguasa negeri tersebut untuk menjalankan agenda negara-negara Barat untuk menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam yang kaffah.

Penting kiranya umat Islam memahami bahwa negara Barat, dalam hal ini Amerika Serikat (AS) telah menjadikan Islam sebagai musuhnya kini. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Samuel Huntington dalam buku berjudul Who Are We? The Challenges to America’s National Identity, 2004 yang berhasil meyakinkan George Bush dan pemimpin Barat lainnya bahwa Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama Amerika.

Dalam proposal Rand Corporation juga tercantum rencana busuk AS untuk menghancurkan Islam dengan cara mengotak-kotakkan umat Islam menjadi Islam tradisional, Islam moderat dan liberal, serta Islam fundamental dan radikal.

Indonesia menjadi salah satu negara yang diarahkan oleh AS untuk memelihara Islam Tradisional dan mengokohkan kekuatan Islam Moderat dan Liberal. Lantas, Islam Fundamental dan Radikal dibidik dan dibuatkan skenario fitnah keji. Kelompok Islam radikal lantas diletakkan di barisan ‘penjahat’ yang layak untuk dibenci dan dimusuhi, bahkan dihantam dengan kekuatan undang-undang dan militer.

Nahdatul Ulama (NU) lantas dipilih sebagai Ormas Islam terbesar dan tertua sebagai laskar pejuang untuk memerangi kelompok Islam yang dicap radikalisme. Said Aqil Siradj, saat masih menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di tahun 2021 mengatakan bahwa NU dilahirkan oleh KH Hasyim Asy’ari dengan prinsip Islam moderat dan toleran. NU anti radikalisme, anti ekstrimisme apalagi terorisme. (AntaraNews.com, 20/8/2021)

Praktik klenik dan perdukunan yang dibalut indah atas nama kearifan lokal sejatinya adalah paham moderat. Sebab, paham moderat mengarahkan agar umat Islam tetap mengakui dan bersikap toleran atas perbedaan agama, termasuk mau untuk tetap menjalankan ajaran  animisme sebagai bagian dari pemeliharaan adat istiadat yang ada di negeri ini.

Pemerintahan di bawah kepemimpinan Jokowi membuktikan bahwa Indonesia adalah negara yang mengemban Islam moderat. Padahal, paham moderat ini sangat berbahaya bagi akidah umat Islam. Bukannya melindungi akidah umat dari paham-paham menyesatkan, pemerintah justru memberi contoh praktik ritual yang menggerus akidah umat Islam di negeri ini.

Telah sangat jelas dalam Islam, bahwa perbuatan syirik adalah dosa besar yang tidak akan mendapat ampunan dari Allah kecuali dengan bertaubat dan meninggalkan aktivitas kesyirikan tersebut.

Allah Swt. berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik). Dan Dia mengampuni (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Ia kehendaki. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar.” (AQ An-Nisa: 48)

Bisa dibayangkan rusaknya akidah umat jika paham moderat tersebut dibiarkan tetap ada dan umat dicekoki dengan paham sesat itu. Seharusnya, seorang pemimpin berkewajiban menjaga dan melindungi akidah umat, bukan justru mengambil peran menyebarkan paham moderat dan terlibat dalam mengobok-obok keimanan umat.

Namun, demikianlah wajah penguasa dalam sistem pemerintahan demokrasi. Demokrasi tegak di atas asas sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan, politik, hingga negara. Jangankan bisa menjadi wadah bagi tegaknya syariat Islam kaffah, demokrasi bahkan akan menghantam segala upaya untuk menegakkan Islam kaffah. Sebab demikianlah adanya, demokrasi sebagai produk pemerintahan negara Barat dijadikan alat untuk menghalangi kebangkitan Islam dan kaum muslimin.

Melihat realita di atas, sudah seharusnya umat Islam menyadari racun mematikan di balik paham moderat, sekaligus memahami bahwa demokrasi takkan pernah bisa melindungi keimanan mereka.

Hanya khilafah sajalah satu-satunya sistem pemerintahan yang berasaskan akidah Islam sehingga penjagaan terhadap akidah umat akan dilakukan. Segala pemikiran, aliran, paham, dan keyakinan yang mengancam akidah umat tidak akan dibiarkan masuk ke dalam benak kaum muslimin. Sebaliknya, penguatan akidah akan terus dilakukan melalui penyenggaraan pendidikan berbasis akidah Islam di segala jenjang. Sebab, tujuan dari khilafah adalah mewujudkan masyarakat yang taat kepada Allah Swt. secara totalitas serta tersebarnya cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia.

Oleh: Suriani, S.Pd.I
Pemerhati Kebijakan Publik
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab