KOREKSI TERHADAP PENDAPAT TJAHJO ARIANTO TERKAIT TANAH MELAYU REMPANG
Tinta Media - Mengutip informasi dari website kantor berita yang memberitakan bahwa Pakar hukum pertanahan, Tjahjo Arianto, menyebut bahwa Pulau Rempang adalah hutan yang digarap oleh masyarakat penggarap dan bukan tanah adat.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:
Pertama, bahwa perlu diketahui tanah adat adalah mereka menggarap tanah itu turun menurun, tinggal disitu turun menurun. Sedangkan Suku Melayu telah menempati sejak ratusan tahun yang lalu secara genealogis dan teritorial. Hal ini merujuk literatur (1); Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, "Tuhfat al-Nafis". Edited by Virginia Matheson. (Shah Alam: Penerbit Fajar Bakti, 1997); (2) Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, "Tuhfat al-Nafis Naskhah Terengganu", Rewritted by 'Alawi from Karimun Archipelagos. (Kuala Terengganu: The House of Tengku Ismail, 1991); (3). "Furu' al-Ma'mur: Inilah satu Undang-Undang Qanun yang terpakai oleh Kepala2 yang besar pangkat kecil dan besar yang menjaga negeri dalam Kerajaan Riau dan takluk adanya". Alih aksara Hasan Junus. (Pekanbaru: Pusat Pengembangan Bahasa dan Kebudayaan Melayu Universitas Riau, 1996); (4). Aswandi Syahri, "Melacak Kembali Hari Jadi Batam: Raja Isa dan Jejak Awal Sejarah Pemerintahan di Pulau Batam (1829-1913)". Lampiran dalam Perda Kota Batam No. 4 Tahun 2009 Tentang Hari Jadi Kota Batam; (5).Cynthia Chou and Vivienne Wee, "Tribality and Globalization: The Orang Suku Laut and the 'Growth Triangle' in a Conntested Environment". Dalam Geoffrey Benjamin and Cynthia Chou (ed.), Tribal Communities in the Malay World: Historical, Cultural, and Social Perspectives. (Singapore: IIAS and ISEAS, tt).; (6) Jan van der Putten, "His Word is the Truth: Haji Ibrahim's Letters and Other Writtings". (Leiden: Research School of Asian, African, and Amerindian Studies, 2001).
Kedua, Bahwa perlu diketahui Peraturan Perundang-undangan tentang Hutan baru ada setelah Republik Indonesia berdiri, jadi secara geneologis mereka lebih berhak. Konflik agraria terjadi disebabkan karena adanya legal pluralisme antara pemerintah dan masyarakat. Legal pluralisme merupakan situasi yakni dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial. Di Indonesia hukum negara dianggap memiliki posisi yang lebih tinggi dalam pengelolaan sumber daya alam dibandingkan hukum adat. Seringkali negara mengambil kebijakan sepihak dalam pengelolaan sumber daya alam tanpa melibatkan masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada sumber daya alam tersebut.
Ketiga, Bahwa merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan milik Negara dan Pemerintah. Masyarakat adat memiliki hak penuh atas tanah, wilayah dan sumber daya alam, termasuk atas hutan adat. Pengakuan terhadap hak-hak ini, merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi yang melekat pada masyarakat adat dan dijamin oleh UUD 1945 dan Undang-undang Agraria No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;
Keempat, Bahwa ditinjau secara geopolitik, letak Batam sangat strategis berada di Selat Malaka pintu gerbang orang-orang asing masuk ke wilayah Indonesia, dekat dengan Singapura dan dekat dengan Laut Natuna (Laut Cina Selatan) yang sedang konflik antara Negara China, Amerika Serikat dan berbagai Negara. Semestinya pulau yang berada di garis terdepan tersebut diperkuat, bukan sebaliknya diberikan kepada Investor asing. Jika tidak diperkuat "NKRI HARGA MATI" hanya sebatas slogan yang tunduk kepada kepentingan Investor.
Demikian
IG@chandrapurnairawan
Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH Pelita Umat